Mengenal Mariyah Al-Qibtiyah Radhiyallahu 'Anha

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu, kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Q.S. At-Tahrim [66] : 1)


Mariyah Al-Qibtiyah, seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir, kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar radhiyallahu ‘anhuma dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.

Dari Mesir ke Yastrib

Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi atau Kristen Koptik. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Abi Baltah, rnenyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tengah perjalanan, Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerirna ajakan tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah masjid.

Ibrahim bin Muhammad

Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki Mariyah Al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Khadijah radhiyallahu ‘anha. Betapa gembiranya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.

Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaganya dan kandungannya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim ‘alaihis salam. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan gembira.

Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Mariyah di rumah Hafshah, sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah subhanahu wa ta’ala telah menegur lewat firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu, kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Q.S. At-Tahrim [66] : 1)

Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man Al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh, itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”

Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali bin Abi Thalib radhyiallahu ‘anhu menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.

Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”

Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda: “Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim. Mata kami menangis, hati kami bersedih, namun kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”

Demikianlah keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.

Saat Wafatnya

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah  Mariyah Al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah.

Sumber: Dzaujatur Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Dar As-Sa’abu, Riyadh.

Air

Ada dahaga ruhani ketika kehidupan di negeri ini kian jauh dari kepuasan jiwa. Orang menjadi begitu jatuh cinta dengan dunia materi, dan tidak lagi perduli dengan orang-orang di sekitarnya.


Seekor anak rusa tampak berlari kecil di tepian sungai. Ia melompat dari bebatuan satu ke bebatuan lain yang berserakan di sepanjang sungai. Rasa dahaganya yang begitu tak tertahankan tidak melunturkan niatnya untuk mencari mata air yang jernih. Karena di situlah, ia dan ibunya biasa minum.


Sayangnya, karena longsoran tanah tepian sungai, mata air tampak tidak lagi jernih. Warnanya agak kecoklatan. “Ih, kok tidak jernih,” ujar anak rusa sambil mencari aliran mata air ke arah aliran sungai.



Ia terus menelusuri aliran sungai yang berada lebih bawah dari lokasi mata air. Sayangnya, kian ke bawah, semua anak mata air yang ia temui berwarna sama: coklat keruh. Dan kian kebawah, warnanya lebih keruh lagi.



Kecewa dengan apa yang ia temukan, sang anak rusa pun berlari meninggalkan sungai menuju semak-semak di mana ibunya berada.



“Kamu sudah minum, Nak?” tanya sang ibu rusa ketika mendapati anaknya sudah berada di dekatnya.



“Belum, Bu,” ucap sang anak rusa tampak kesal.



“Kenapa? Kan kamu sudah tahu di mana mata air yang jernih itu berada,” sergah sang ibu rusa kemudian.



“Airnya keruh, Bu. Dan semua anak mata air yang berada di bawahnya pun sama, bahkan lebih keruh lagi,” ungkap sang anak rusa tidak mampu lagi menahan kekecewaannya.



Induk rusa pun menghampiri anaknya lebih dekat lagi. ”Anakku, kamu dapat pelajaran baru dari keruhnya mata air,” ucap sang induk rusa tiba-tiba.



“Maksud ibu?” tanya sang anak rusa begitu penasaran.



“Anakku, kalau mata air yang berada di bagian atas sungai keruh, semua aliran anak mata air di bawahnya akan lebih keruh lagi. Begitulah alam mengajarkan kita,” jelas sang ibu rusa diiringi anggukan anaknya.



Ada dahaga ruhani ketika kehidupan di negeri ini kian jauh dari kepuasan jiwa. Orang menjadi begitu jatuh cinta dengan dunia materi, dan tidak lagi perduli dengan orang-orang di sekitarnya.



Pada dahaga itu, orang pun merindukan sumber mata air ruhani nan jernih yang bisa memuaskan rasa haus mereka. Namun, ketika mata air yang berada di atas mulai keruh karena longsoran butiran tanah tepian sungai kehidupan, jangan kecewa ketika anak-anak mata air di bawahnya ditemukan jauh lebih keruh lagi.



Karena begitulah, Allah mengajarkan kita melalui alam ini. 

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top