“Berangkatlah
kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan
harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah [9] : 41)
Jihad
adalah suatu perkara yang sangat besar serta penting dan merupakan puncak dari
keislaman seseorang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
رَأْسُ
الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ
فِـي سَبِيْلِ اللهِ
“Pokoknya
perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di
jalan Allah.” (HR. Ahmad V/231, 236, 237, 245-246, At-Tirmidzi no. 2616,
‘Abdurrazzaq no. 20303, Ibnu Majah no. 3973, dan yang lainnya)
Kedudukan
jihad sangatlah penting dan senantiasa terjaga. Syari'at jihad akan tetap ada
hingga hari kiamat.
Jihad
adalah amal kebaikan yang telah Allah subhanahu wa ta'ala syari'atkan
kepada umat islam dimana ketika umat islam bersedia untuk menunaikannya maka
islam akan tegak kokoh serta mulia. Akan tetapi sebaliknya, jika umat Islam
meninggalkan jihad di Jalan Allah, maka niscaya yang akan di dapatkan oleh umat
Islam adalah kehinaan dan kerendahan. Sebagaimana sebuah riwayat yang shahih
dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا
تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ
وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى
تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Apabila
kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, mengambil ekor sapi dan telah
senang dengan pertanian serta meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan
kalian kerendahan (kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian
kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3003 dan Ahmad 2/28)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Tidak diragukan lagi
bahwa jihad melawan orang yang menyelisihi para rasul dan mengarahkan
pedang syariat kepada mereka serta melaksanakan kewajiban-kewajiban disebabkan
pernyataan mereka untuk menolong para nabi dan rasul, dan untuk menjadi
pelajaran berharga bagi yang mengambilnya sehingga dengan demikian orang-orang
yang menyimpang menjadi kapok, termasuk amalan yang paling utama yang Allah
perintahkan kepada kita untuk menjadikannya ibadah mendekatkan diri
kepadaNya”(Ar-Radd ‘ala Al-Akhna’I, hal. 326-329)
Pengertian
Jihad
Secara
etimologi, kata jihad diambil dari kata جَهَدَ : اَلْـجَهْدُ، اَلْـجُهْدُ
yang berarti kekuatan, usaha, susah payah dan kemampuan. (Lisaanul ‘Arab, Jilid
2 hal. 395-396)
Sedangkan
secara istilah, Jihad adalah:
مُـحَارَبَةُ
الْكُفَّارِ وَهُوَ الْمُغَالَبَةُ وَاسْتِفْرَاغُ مَا فِـيْ الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ
مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ
“Memerangi
orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan
kemampuan, baik berupa perkataan atau perbuatan.” (An-Nihayah fi Gharibil
Hadits, Jilid 1 hal. 319)
Beberapa
ulama pun mendefiniskan pengertian jihad ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata, “Jihad hakikatnya adalah bersungguh-sungguh mencapai sesuatu yang
Allah cintai berupa iman dan amal sholeh dan menolak sesuatu yang dibenci Allah
berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan” (Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 10 hal.
191)
Di
tempat lainnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga
menyatakan, “Jihad artinya mengerahkan seluruh kemampuan yaitu kemampuan
mendapatkan yang dicintai Allah dan menolak yang dibenci Allah” (Majmu’
Al-Fatawa, Jilid 10 hal. 192-193)
Sedangkan
Ibnu Rusyd rahimahullah menyatakan, “Jihad dengan pedang adalah
memerangi kaum musyrikin atas agama, sehingga semua orang yang menyusahkan
dirinya untuk dzat Allah maka ia telah berjihad di jalan Allah. Namun kata
jihad fi sabilillah bila disebut begitu saja maka tidak dipahami selain untuk
makna memerangi orang kafir dengan pedang sampai masuk islam atau memberikan
upeti dalam keadaan rendah dan hina” (Muqaddimah Ibnu Rusyd 1/369)
Hukum
Jihad
Jihad
adalah perkara fardhu (wajib) yang disyari’atkan kepada umat islam sebagaimana
yang telah ditegaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ
خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ
وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah Maha
Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 216)
Syaikh
Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah dalam kitabnya Risalah Al-Irsyad
ila Bayanil Haqq fi Hukmil Jihad menjelaskan mengenai hukum jihad. Hukum jihad
memerangi orang kafir adalah fardhu kifayah berdasarkan dalil-dalil dari
Al-Qur-an dan Al-Hadits yang shahih serta penjelasan ulama Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur kewajiban
atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya, maka berdosa semuanya.
Beliau
rahimahullah pun menjelaskan bahwa para ulama menyebutkan bahwa jihad
menjadi fardhu ‘ain pada tiga kondisi:
Pertama.
Apabila pasukan Muslimin dan pasukan orang-orang kafir bertemu dan sudah saling
berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ
الْأَدْبَارَ وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ
أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ
ۖ
وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang
akan menyerangmu, maka janganlah kamu berbalik membelakangi mereka (mundur).
Dan barangsiapa mundur pada waktu itu, kecuali untuk (siasat) perang atau
hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sungguh, orang itu kembali
dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka jahanam dan
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Anfal [8] : 15-16)
Kedua.
Apabila musuh menyerang dan mengepung suatu negeri kaum Muslimin yang aman,
maka wajib bagi penduduk negeri tersebut untuk keluar memerangi musuh (dalam
rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak.
Ketiga.
Apabila Imam meminta suatu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat
perang, maka wajib berangkat. Allah subahanhu wa ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الأرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الآخِرَةِ فَمَا
مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ. إِلا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ
عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلا تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللَّهُ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Wahai
orang-orang yang beriman! apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu:
"Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat
dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia
sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini
(dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak
berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih
dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi
kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.
At-Taubah [9] : 38-39)
Tujuan
Disyari’atkannya Jihad
Jihad
merupakan suatu perkara yang agung. Tujuan disyari’atkannya jihad adalah untuk
menegakkan agama Islam di muka bumi ini dan bukan untuk dendam pribadi atau
golongan sehingga dibutuhkan sekali pengetahuan tentang konsep islam dalam
jihad baik secara hukum, cara berjihad dan ketentuan harta rampasan perang
sebagai satu konsekwensi dari pelaksanaan jihad.
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا
فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan
perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah
semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali
terhadap orang-orang zhalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 193)
Dalam
kitab tafsirnya, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata,
“Perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan kepada Allah, tidak
ada penyembahan kepada berhala, kemusyrikan dan ilah-ilah lain. Sehingga,
ibadah dan ketaatan hanya ditujukan kepada Allah saja, tidak kepada yang lain.”
(Tafsir Ath-Thabari, Jilid 2 hal. 200)
Dari
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
“Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada
ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah.” (HR. Al-Bukhari, no. 25
dan Muslim, no. 22)
Dalam
kitab tafsirnya, mengenai ayat dan hadits di atas Imam Abu ‘Abdillah
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ayat dan hadits di atas
menunjukkan bahwa sebab qital (perang) adalah kekufuran.” (Tafsir Al-Qurthubi,
Jilid 2 hal. 236)
Para
ulama pun menjelaskan mengenai tujuan disyari’atkannya jihad dalam islam.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, ”Maksud tujuan jihad
adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk
Allah.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 15 hal. 170) Beliau rahimahullah juga
menyatakan, “Tujuan disyari’atkannya jihad agar (manusia dan jin meyakini
bahwa) tidak ada yang disembah dengan benar kecuali hanya Allah, tidak berdo’a
kepada selain Allah, tidak shalat kepada selain Allah, tidak sujud kepada
selain Allah, tidak puasa kepada selain-Nya, tidak ‘umrah dan haji kecuali ke
Baitullah, tidak boleh ada penyembelihan (Qurban) melainkan hanya karena Allah,
tidak bernadzar melainkan karena Allah, tidak bersumpah melainkan dengan nama
Allah saja, tidak bertawakkal melainkan hanya kepada-Nya, tidah takut melainkan
hanya kepada-Nya, tidak bertakwa melainkan hanya kepada-Nya, tidak ada yang
mendatangkan semua kebaikan melainkan hanya Allah, tidak ada yang dapat menolak
semua kejelekan melainkan hanya Allah, tidak ada yang menunjuki (ke jalan
lurus) melainkan hanya Allah, tidak ada yang menolong mereka kecuali hanya
Allah, tidak ada yang memberikan rezeki kepada mereka kecuali hanya Allah,
tidak ada yang memberi kecukupan kepada mereka kecuali hanya Allah dan tidak
ada yang mengampuni dosa-dosa mereka kecuali hanya Allah.” (Majmu’ Fatawa,
Jilid 35 hal. 368)
Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Maksud dan
tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah orang
kafir dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam ini
tegak karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan (mengenyahkan) semua
bentuk kemusyrikan yang menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan
fitnah (syirik). Apabila fitnah (kesyirikan) itu sudah hilang, tercapailah
maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan perang.” (Taisiirul Karimir
Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, hal. 76)
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan, “Jihad terbagi menjadi dua
yaitu jihad Ath-Thalab (menyerang) dan jihad Ad-Daf’u (bertahan). Maksud tujuan
keduanya adalah menyampaikan agama Allah dan mengajak orang mengikutinya,
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya islam dan meninggikan agama
Allah di muka bumi serta menjadikan agama ini hanya untuk Allah semata.”
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawi’ah, Jilid 18 hal. 70)
Keutamaan
Jihad fi Sabilillah
Banyak
sekali dalil dari Al-Quran maupun Al-Hadits serta Atsar-astar sahabat yang
menjelaskan mengenai keutamaan jihad fi sabilillah.
1 –
Orang yang berjihad dijanjikan surga oleh Allah
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَمْ
حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا
مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
“Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah
orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang
sabar.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 142)
Juga
dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfiman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ
أَلِيمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ يَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ
طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ۚ
ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَأُخْرَىٰ تُحِبُّونَهَا ۖ نَصْرٌ مِنَ
اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ ۗ
وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang
dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah
yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. Niscaya Allah mengampuni
dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam Surga ‘Adn.
Itulah kemenangan yang agung. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai
(yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan
sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin.” (QS. Ash-Shaff [61] :
13)
2 –
Jihad merupakan salah satu pintu surga
Dalam
sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim An-Naisaburi rahimahullah
dalam Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
dalam Al-Musnad, dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَلَيْكُمْ
بِالْجِهَادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –تَبَارَكَ وَتَعَالَى-، فَإِنَّ الْـجِهَادَ فِـيْ
سَبِيْلِ اللهِ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ ، يُذْهِبُ اللهُ بِهِ مِنَ الْهَمِّ
وَالْغَمِّ
“Wajib
atas kalian berjihad di jalan Allah tabaraka
wa ta’ala, karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah
satu pintu dari pintu-pintu Surga, Allah akan menghilangkan dengannya dari
kesedihan dan kesusahan.” (HR. Al-Hakim, Jilid 2 hal. 74-75 dan Ahmad, Jilid 5
hal. 314, 316, dan 319)
3 –
Jihad merupakan ibadah paling utama setelah shalat
Dalam
sebuah atsar yang shahih, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
إِنَّ
أَفْضَلَ الْعَمَلِ بَعْدَ الصَّلَاةِ اَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى
“Sesungguhnya
seutama-utama amal sesudah shalat adalah jihad di jalan Allah ta’ala.” (HR.
Ahmad, Jilid 2 hal. 32 no. 4873)
4 –
Orang yang berjihad itu seperti beribadah tanpa henti
Diriwayatkan
oleh banyak Imam Hadits dalam sebuah hadits shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata:
قِيْلَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ
اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ قَالَ : لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ. قَالَ : فَأَعَادُوْا عَلَيْهِ
مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا. كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ : لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ. وَقَالَ
فِيْ الثَّالِثَةِ : مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللهِ. لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ
الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى
Dikatakan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, Amalan apa yang setara dengan jihad fii sabiilillah? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab
: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Para
sahabat mengulangi pertanyaan tersebut dua kali atau tiga kali, dan Nabi tetap
menjawab: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda pada kali yang ketiga : “Perumpamaan orang yang
berjihad di jalan Allah itu seperti orang yang berpuasa, shalat, dan khusyu’
dengan (membaca) ayat-ayat Allah. Dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya
sampai orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala itu kembali.” (HR. Muslim no.
1878, Ibnu Abi Syaibah no. 19542, Ibnu Hibban no. 4608, At-Tirmidzi no. 1619
dan lainnya)
5 –
Dilindungi dari siksa dan fitnah kubur
Diriwayatkan
oleh Imam Muslim rahimahullah dalam kitabnya Shahih Muslim. Dari Salman
Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
رِبَاطُ
يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ
عَمَلُهُ الَّذِيْ كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ.
“Orang
yang menjaga di tapal batas sehari semalam lebih baik dari puasa dan shalat
malam selama sebulan. Dan jika ia mati, maka mengalirlah (pahala) amal yang
biasa ia kerjakan, diberikan rizkinya, dan dia dilindungi dari adzab (siksa)
kubur dan fitnahnya.” (HR. Muslim no. 1913)
Tujuan
Disyari’atkannya Jihad
Jihad
merupakan suatu perkara yang agung. Tujuan disyari’atkannya jihad adalah untuk
menegakkan agama Islam di muka bumi ini dan bukan untuk dendam pribadi atau
golongan sehingga dibutuhkan sekali pengetahuan tentang konsep islam dalam
jihad baik secara hukum, cara berjihad dan ketentuan harta rampasan perang
sebagai satu konsekwensi dari pelaksanaan jihad.
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا
فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan
perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah
semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali
terhadap orang-orang zhalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 193)
Dalam
kitab tafsirnya, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata,
“Perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan kepada Allah, tidak
ada penyembahan kepada berhala, kemusyrikan dan ilah-ilah lain. Sehingga,
ibadah dan ketaatan hanya ditujukan kepada Allah saja, tidak kepada yang lain.”
(Tafsir Ath-Thabari, Jilid 2 hal. 200)
Dari
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
“Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada
ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah.” (HR. Al-Bukhari, no. 25
dan Muslim, no. 22)
Dalam
kitab tafsirnya, mengenai ayat dan hadits di atas Imam Abu ‘Abdillah
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ayat dan hadits di atas
menunjukkan bahwa sebab qital (perang) adalah kekufuran.” (Tafsir Al-Qurthubi,
Jilid 2 hal. 236)
Para
ulama pun menjelaskan mengenai tujuan disyari’atkannya jihad dalam islam.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, ”Maksud tujuan jihad
adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk
Allah.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 15 hal. 170) Beliau rahimahullah juga
menyatakan, “Tujuan disyari’atkannya jihad agar (manusia dan jin meyakini
bahwa) tidak ada yang disembah dengan benar kecuali hanya Allah, tidak berdo’a
kepada selain Allah, tidak shalat kepada selain Allah, tidak sujud kepada
selain Allah, tidak puasa kepada selain-Nya, tidak ‘umrah dan haji kecuali ke
Baitullah, tidak boleh ada penyembelihan (Qurban) melainkan hanya karena Allah,
tidak bernadzar melainkan karena Allah, tidak bersumpah melainkan dengan nama
Allah saja, tidak bertawakkal melainkan hanya kepada-Nya, tidah takut melainkan
hanya kepada-Nya, tidak bertakwa melainkan hanya kepada-Nya, tidak ada yang
mendatangkan semua kebaikan melainkan hanya Allah, tidak ada yang dapat menolak
semua kejelekan melainkan hanya Allah, tidak ada yang menunjuki (ke jalan
lurus) melainkan hanya Allah, tidak ada yang menolong mereka kecuali hanya
Allah, tidak ada yang memberikan rezeki kepada mereka kecuali hanya Allah,
tidak ada yang memberi kecukupan kepada mereka kecuali hanya Allah dan tidak
ada yang mengampuni dosa-dosa mereka kecuali hanya Allah.” (Majmu’ Fatawa,
Jilid 35 hal. 368)
Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Maksud dan
tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah orang kafir
dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam ini tegak
karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan (mengenyahkan) semua
bentuk kemusyrikan yang menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud
dengan fitnah (syirik). Apabila fitnah (kesyirikan) itu sudah hilang,
tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan perang.”
(Taisiirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, hal. 76)
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan, “Jihad terbagi menjadi dua
yaitu jihad Ath-Thalab (menyerang) dan jihad Ad-Daf’u (bertahan). Maksud tujuan
keduanya adalah menyampaikan agama Allah dan mengajak orang mengikutinya,
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya islam dan meninggikan agama
Allah di muka bumi serta menjadikan agama ini hanya untuk Allah semata.”
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawi’ah, Jilid 18 hal. 70)
Jenis-Jenis
Jihad dan Tingkatannya
Ketika
masyarakat awam mendengar mengenai jihad, maka konotasinya bahwa jihad adalah
memerangi orang kafir. Padahal hal ini hanyalah salah satu dari bentuk atau
jenis jihad karena definisi jihad sendiri lebih luas dari itu. Syaikhul Islam
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan bahwa jihad ditinjau
dari objeknya memiliki empat tingkatan, yaitu jihad memerangi hawa nafsu, jihad
memerangi setan, jihad memerangi orang kafir dan jihad memerangi orang munafik.
Namun dalam keterangan selanjutnya Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah
menambah dengan jihad melawan kezhaliman, bid'ah dan kemungkaran. (Zadul Ma'ad
fi Hadyi Khairil 'Ibad, Jilid 3 hal. 9-10)
Berdasarkan
penjelasan dari Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah,
beberapa ulama pun menyimpulkan bahwa jenis-jenis Jihad sendiri hanya terbagi
menjadi 3 macam saja, yaitu jihad memerangi hawa nafsu, jihad memerangi setan
dan jihad memerangi musuh yang nyata termasuk di dalamnya orang kafir, orang
munafik, orang yang zhalim, pelaku bid’ah dan kemungkaran. Tiga macam jihad ini
termaktub di dalam Al-Quran, di antaranya:
Firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
وَجَاهِدُوا
فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ
هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ
إِبْرَاهِيمَ ۚ
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا
عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ ۖ فَنِعْمَ الْمَوْلَىٰ
وَنِعْمَ النَّصِيرُ
“Dan
berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.
(Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu
orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Quran) ini, agar
Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi
saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat,
dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dia-lah Pelindungmu; Dia sebaik-baik
pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS. Al-Hajj [22] : 78)
انْفِرُوا
خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah
kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan
harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah [9] : 41)
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا
ۚ
وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya
pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi
pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi.
Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada
kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah.
(Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan)
agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah
terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Al-Anfal [8] : 72) (Mufradat Alfazhil Quran, hal. 208)
Syaikhul
Islam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan dari 4 jenis
jihad, beliau membagi kembali 4 jenis jihad itu menjadi 13 tingkatan.
Pertama,
Jihad memerangi nafsu memiliki empat tingkatan:
1. Jihad
memeranginya untuk belajar petunjuk ilahi dan agama yang lurus yang menjadi sumber
keberuntungan dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Siapa yang
kehilangan ilmu petunjuk ini maka akan sengsara di dunia dan akhirat.
2. Jihad
memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengilmuinya. Kalau tidak demikian,
maka sekadar hanya mengilmuinya tanpa amal, jika tidak membahayakannya, maka
tidak akan memberi manfaat.
3. Jihad
memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak
mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk
dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat
dan tidak menyelamatkannya dari adzab Allah.
4. Jihad
memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar
memanggulnya karena Allah.
Apabila
telah sempurna empat martabat ini maka ia termasuk Rabbaniyyun. Hal ini karena
para salaf sepakat menyatakan bahwa seorang alim (ulama) tidak berhak disebut
Rabbani sampai ia mengenal kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya. Sehingga
orang yang berilmu, beramal dan mengajarkannya sajalah yang dipanggil sebagai
orang besar di alam langit.
Kedua,
jihad memerangi setan memiliki dua tingkatan:
1.
Memeranginya untuk menolak syubhat dan keraguan yang merusak iman yang syetan
arahkan kepada hamba.
2.
Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat yang syetan lemparkan
kepadanya.
Jihad
yang pertama (mengatasi syubhat) dilakukan dengan yakin dan jihad yang kedua
(mengatasi syahwat) dengan kesabaran. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
وَجَعَلْنَا
مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا
يُوقِنُونَ
“Dan
Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat
Kami.” (QS. As-Sajdah [32] : 24)
Allah
menjelaskan bahwa kepemimpinan agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan
yakin, lalu dengan kesabaran ia menolak syahwat dan keinginan rusak dan dengan
yakin ia menolak keraguan dan syubhat.
Jihad
melawan setan ini hukumnya fardhu ‘ain juga karena berhubungan langsung dengan
setiap pribadi manusia, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
إِنَّ
الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً
“Sesungguhnya
syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu).” (QS.
Fathir [35] : 6)
Ketiga,
jihad memerangi orang kafir dan munafik memiliki 4 tingkatan yaitu dengan hati,
lisan, harta dan jiwa. Jihad memerangi orang kafir lebih khusus dengan tangan
sedangkan jihad memerangi orang munafiq lebih khusus dengan lisan.
Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
جَاهِدُوا
الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
“Perangilah
kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2504,
An-Nasai no. 3096 dan Ahmad 3/124)
Pengertian
jihad dengan hati melawan orang kafir dan munafik adalah membenci mereka dan
tidak memberikan loyalitas dan kecintaan serta senang dengan kerendahan dan
kehinaan mereka dan sikap lainnya yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang
berhubungan dengan hati.
Pengertian
jihad dengan lisan adalah dengan mejelaskan kebenaran, membantah kesesatan dan
kebatilan-kebatilan mereka dengan hujjah dan bukti kongkrit.
Pengertian
jihad dengan harta adalah dengan menafkahkan harta di jalan Allah dalam perkara
jihad perang atau dakwah serta menolong dan membantu kaum muslimin. Adapun
jihad dengan jiwa maksudnya adalah memerangi mereka dengan tangan dan senjata
sampai mereka masuk islam atau kalah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ
إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu
hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS.
Al-Baqarah [2] : 193)
Dan
juga firman-Nya:
قَاتِلُوا
الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ
مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian
dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah [9] : 29)
Kaum
kafir dan munafik diperangi dengan keempat jihad di atas. Namun kaum kafir
lebih khusus dihadapi dengan tangan karena permusuhannya terang-terangan.
Sedangkan munafik khusus dihadapi dengan lisan karena permusuhannya tersembunyi
dan gamang dalam keadaan mereka di bawah kekuasaan kaum muslimin, sehingga
diperangi dengan hujjah dan dibongkar keadaan asli mereka serta dijelaskan
sifat-sifat mereka, agar orang-orang tahu hal itu dan berhati-hati dari mereka
dan dari terjerumus pada kemunafikan tersebut.
Keempat,
jihad memerangi pelaku kezholiman, kebid’ahan dan kemungkaran memiliki 3
tingkatan yaitu dengan tangan bila mampu, apabila tidak mampu, berpindah pada
lisan, bila juga tidak mampu maka diingkari dengan hati.
Dari
Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa
di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya
dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu
juga maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.”(HR Muslim no. 49)
Setiap
muslim dituntut berjihad menghadapi pelaku perbuatan zhalim, bid’ah dan mungkar
sesuai dengan kemampuannya dan dengan memperhatikan kaedah-kaedah amar ma’ruf
nahi mungkar. Setiap muslim pasti mampu melakukan jihad jenis ini minimal
dengan hatinya dan itu dengan cara mengingkari dan membenci kebid’ahan,
kezhaliman dan kemungkaran dengan hatinya dan berharap hilangnya hal-hal
tersebut.
Inilah
tiga belas martabat jihad dan barang siapa yang meninggal dan belum berperang
dan tidak pernah membisikkan jiwanya untuk berperang maka meninggal diatas satu
cabang kemunafiqan. Wallahu
a’lam. Selesai
dengan izin Allah Rabb Semesta Alam.
Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ