Jangan Sombong Bro !!!

Jangan Sombong Bro !!!

“Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain dari pada Allah.” (QS. An-Nisaa’: 173)


Bisa jadi seseorang itu menjadi sombong karena merasa dirinya mempunyai banyak kelebihan dan menganggap orang lain mempunyai banyak kekurangan. Umumnya sih begitu. Iya kan? Kamu bisa lihat sendiri deh teman yang suka petantang petenteng karena memiliki sesuatu yang bisa diandalkan. Ini biasanya bisa dilihat pada orang yang baru bisa dan adabnya nggak bagus. Klop. Kalo punya adab yang baik, akhlak yang baik, dan keimanan yang bagus, nggak bakalan tuh jadi sombong kalo punya ilmu atau keahlian yang lebih dari teman yang lain. Beneran!

Sobat, orang yang sombong itu bisa dilihat dari indikasinya yang umumnya menolak kebenaran dan meremehkan manusia lainnya. Wah, ati-ati deh tuh, kalo sampe menolak kebenaran dan merendahkan manusia, bisa-bisa terancam tak masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar ‘dzarah’ (partikel atom) dari kesombongan.” Maka seseorang bertanya, “Sesungguhnya ada kalanya seseorang itu senang berpakaian baik (bagus) dan sandalnya yang bagus.” Nabi bersabda, “Sesunggunya Allah itu Maha Indah, Dia menyukai keindahan, adapun kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan menghina manusia.” (HR Muslim)

Nah, misalnya di sekolahmu ada teman kamu yang berbuat maksiat tapi nggak mau terima kalo diingetin. Malah sewot sama kamu yang ngingetin. Itu sombong lho namanya. Padahal nih, tujuan kita ngingetin dia tuh baik. Misalnya aja kita negur teman yang pacarannya hot banget (kalo pun pacarannya nggak hot, tetap aja yang namanya pacaran tuh dilarang dalam Islam), supaya menghentikan kebiasaan jeleknya itu. Eh, dia malah bilang, “Apa pedulimu? Urus aja diri sendiri. Jangan cerewet berdalil segala di depan gue. Terserah elo. Mo bilang apa pun, gue nggak peduli.”

Halah, dinasihatin kok malah sewot. Ditegur malah ngebul ubun-ubunnya saking marahnya dia. Padahal, kita nasihatin, ngingetin, atau negur itu adalah tanda sayang. Tanda cinta dan peduli kita kepadanya. Tapi, teryata air susu dibalas air tuba. Mungkin bagi mereka yang udah ngerasa benar sendiri (atau hawa nafsunya jadi panglima?), sikap cuek alias nggak peduli ini dianggap jadi pilihannya dan senjata untuk menangkis orang lain yang rewel ikut campur urusan ‘dalam negerinya’. Ah, kayaknya doi belum bisa bedain mana sikap teman yang sok ikut campur dengan sikap teman yang emang mau nolongin dia. Kayaknya perlu belajar lagi deh tuh orang. Bukan maksud saya sombong or congkak nih, tapi kenyataan bahwa kalo orang nggak mau belajar ya kayak gitu. Wawasannya sempit dan nggak mau dengerin pendapat orang lain. Tul nggak sih?

Perlu tahu bahaya sombong

Ibnu Harist al-Hafi mendefinisikan kesombongan dan ujub dengan ungkapan “Jika engkau merasa amalmu banyak sedang amal orang selainmu sedikit”. Wah, meski kita berusaha sekuat tenaga untuk ngumpulin pahala, tapi bukan berarti harus memandang amal orang lain rendah ketimbang amal kita. Itu bisa jatuh ke dalam bentuk sikap sombong.

Fudhail bin Iyadh, salah satu guru Imam Syafi’i, menjelaskan bahwa iblis akan menang melawan bani Adam, hanya dengan menjadikan manusia memiliki satu dari tiga perilaku, yaitu: Pertama, ujubnya seseorang terhadap dirinya (sombong). Kedua, menganggap banyak amal yang telah dilakukannya. Ketiga, melupakan dosa-dosanya. Hmm… jadi kayaknya kita kudu ati-ati banget kalo udah merasa paling oke ketimbang yang lain. Sehingga kalo diingetin or dinasihatin kita cuek aja dan menganggap yang ngasih nasihat tuh nggak ada apa-apanya dibanding kita.

Semoga saja kita bisa ngindarin sikap sombong. Sebab, menurut seorang teman dengan setengah berpuisi nulis di sebuah grup diskusi dunia maya: “Berapa banyak lentera yang cahayanya mati tertiup angin. Berapa banyak ibadah yang pahalanya rusak oleh kesombongan. Amal soleh adalah cahaya dan cahaya itu bisa padam oleh angin ‘ujub dan kesombongan.”

Itu sebabnya, Hasan al-Basri tidak merasa yakin untuk mengatakan bahwa dirinya pasti beriman, lantaran kekhawatirannya bila Allah Ta’ala memandang amal-amal yang dia lakukan ternyata tidak sesuai dengan tuntutan keimanannya. Ia pernah ditanya, “Ya, Hasan apakah engkau seorang mukmin?”

Hasan al-Basri hanya menjawab, “Insya Allah”. Penanya terkejut dengan jawabannya.

“Kenapa engkau menjawab seperti itu?”

Imam Hasan al-Basri mengatakan, “Aku takut jika aku katakan ‘ya, aku mukmin’ tetapi Allah mengatakan ‘engkau bohong’ karena itu aku katakan insya Allah. Aku tidak merasa aman jika suatu ketika Allah mendapatiku melakukan apa yang Dia benci, lalu Dia murka kepadaku dan mengatakan ‘pergilah Aku tidak menerima amal-amalmu’”.

Ini memang sikap zuhud dari Imam Hasan al-Basri. Saking khawatirnya jatuh ke dalam ujub alias sombong, beliau sampe mengatakan demikian. Khawatir jika kemudian pernyataannya bikin bangga dengan dirinya sendiri dan merendahkan orang lain. Meski sebenarnya boleh juga bila kita dengan semangat menuliskan: “Proud to be muslim”. Tentu ini sebagai wujud rasa syukur kita sebagai muslim, dan tentunya akan berusaha untuk meningkatkan level kita menjadi seorang mukmin.

Sobat, kalo kita udah mampu mengenal diri kita luar-dalam, kayaknya insya Allah deh kita nggak bakalan sombong dan menganggap orang lain rendah ketimbang kita. Kita juga mau menghargai orang lain yang mengingatkan kita dan menegur kita jika kita berbuat salah. Karena kita yakin dan sadar bahwa sebagai manusia kita pasti banyak sisi lemahnya. Seringnya kita lupa. Jadi, kalo ada orang yang ngingetin kan seharusnya bersyukur. Jangan malah sewot dan merasa direndahkan. Lalu dengan sombong kita bilang: “Gue nih lebih tahu daripada elo!” Waduh!

Manusia memang tak sempurna

Oya, manusia emang nggak ada yang sempurna. Ia bisa gagal, bisa sukses, ada yang rejekinya lancar, ada yag seret, ada yang dikaruniai wajah cantik dan ganteng, tapi tak sedikit yang biasa-biasa aja bahkan mungkin buruk rupa menurut ukuran manusia. Nggak ada yang sempurna. Itu sebabnya, yang dibutuhkan adalah sikap saling membantu, kepedulian, dan perhatian. Bukan malah sombong atau merendahkan orang lain. Nggak mau diatur atau nggak mau diingatkan.

Nah, ketika kita diberitahu oleh orang lain bahwa kita telah salah, seharusnya kita segera mengintrospeksi diri. Dan kita nggak perlu takut dengan mengakui kesalahan, karena kesalahan bisa dilakukan siapa saja. Nggak kenal usia dan nggak tergantung kedudukan seseorang. Anak TK sampe presiden aja bisa salah kok. Jadi, nggak perlu nepsong dan nggak mau nerima kesalahan ketika diingatkan oleh orang lain.

Sebab nih, kesalahan memungkinkan kita melihat kemajuan yang telah kita raih. Coba deh, jika kita merekam kesalahan pada saat pertama kali kita belajar silat, rekamlah latihan kita selama tiga bulan. Kita akan melihat perubahan yang signifikan menuju ke arah yang lebih baik.

Sobat, kesalahan juga akan membuat kita belajar dari orang lain. Mengakui kesalahan yang udah jelas alias terang benderang adalah bagian dari sikap lapang dada dan sekaligus menekankan bahwa sebagai manusia kita memang nggak sempurna. Butuh bimbingan dan arahan dari orang lain. Nggak boleh banget ngerasa sombong gara-gara kita udah punya banyak jam terbang dalam keahlian yang dimiliki atau punya catatan rekor kerja yang bagus. Karena ada saatnya kita bisa mengalami kegagalan dan bahkan kesalahan dalam berbuat. Kegagalan dan kesalahan itu universal alias bisa dilakukan siapa aja.

Suatu hari Lukman al-Hakim menasihati anaknya: “Janganlah engkau palingkan wajahmu dari manusia dan jangan menjauhkan diri dari mereka. Janganlah engkau memandang manusia dengan remeh dan hina. Janganlah engkau bergaul dengan orang-orang yang hasad, dengki, dan sombong. Hiduplah engkau bersama manusia dan untuk manusia. Dengarlah dengan teliti jika manusia berbicara dan bergaul denganmu. Tunjukkanlah kepada mereka wajah manis, riang, dan gembira. Senantiasa kamu melemparkan senyum kepada mereka. Jika engkau selalu bersama mereka, mereka akan mencintaimu. Senyum selalu, dan berlemah-lembutlah kepada mereka. Jika engkau merendahkan hati terhadap mereka, mereka akan memuliakan kamu. Ketahuilah wahai anakku, bahwa orang sombong itu tak ubahnya seperti seorang yang berdiri di puncak bukit. Apabila dia melihat ke bawah, semua manusia kelihatan kecil, sedangkan dia sendiri nampak kecil di mata semua manusia lainnya.” (Mutiara Nasihat Lukman al-Hakim, hal. 84-85)

So, menyombongkan diri itu banyak mudharat alias kerusakan buat pelakunya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain dari pada Allah.” (QS. An-Nisaa’: 173)

Nah, sikap or sifat takabur bin sombong ini bisa ngerusak kekhilasan kita lho. Bisa jadi, suatu saat kamu dinasihatin sama temen kamu yang ilmunya di bawah kamu. Tapi karena kamu merasa gengsi kamu jadi menyombongkan diri. Ah, jadi nggak ikhlas deh. Padahal, salah satu ciri ikhlas adalah kita rela diberi nasihat oleh siapa pun selama nasihatnya benar dan apa yang kita lakukan memang salah. Kalo dinasihatin aja nggak mau padahal nasihat teman kita itu benar, berarti udah ada tuh benih-benih nggak ikhlas dalam diri kita. Amalan kita jadi sia-sia karena digerus sifat takabur bin sombong. Rugi banget deh. Iya kan?

So, mulai sekarang perbaiki sikap. Kalo ada benih kesombongan mulai tumbuh di hati, segera istighfar, mohon ampun kepada Allah Ta’ala, lalu berbuat baik semaksimal kita bisa. Bertemanlah dengan orang yang rendah hati.
Pacaran Itu Penuh Kedustaan

Pacaran Itu Penuh Kedustaan

“Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi”.  (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1446)


Ketika masa-masa pacaran, si kekasih akan selalu berdandan cantik di hadapan pacarnya, berkata lemah lembut, bersenyum manis dan belang jeleknya ditutup-tutupi. Yang pacaran akan merasa tidak pede jika nampak sesuatu yang jelek dari dirinya. Kalau dikatakan pacaran sebagai jalan untuk mengenal pasangan sebelum nikah, kenyataanya penjajakan tersebut jauh berbeda dengan saat telah menikah. Saat telah menikah, satu sama lain tidak mesti berpenampilan cantik atau ganteng saat di rumah. Tidak mesti pula terus-terusan bertemu dalam keadaan harum atau wangi. Bahkan dalam pernikahan ada pasangan yang berkata kasar yang hal ini tidak dijumpai saat pacaran dahulu.

Padahal Islam sudah memberi jalan bahwa mengenali pasangan bisa dari empat hal: (1) kecantikan, (2) martabat (keturunan), (3) kekayaan atau (4) baik atau tidak agamanya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi”.  (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1446)

Mengenal calon pasangan sudah cukup lewat empat hal tersebut. Keempat hal tadi bisa diketahui dari keluarga dekat atau dari teman dekat si pasangan. Jadi, tidak mesti lewat lisan si pasangan secara langsung.

Jika sudah ada cara yang Islam gariskan, masihkah mencari cara lain untuk mengenal pasangan? Lantas apa mesti mengenal calon pasangan lewat pacaran?

Ketahuilah bahwa nikah adalah tanda ingin serius, sedangkan pacaran hanya ingin terus dipermainkan. Jangan heran jika ada yang sudah pacaran bertahun-tahun, namun pernikahan mereka tidak sampai setahun jadi bubar.

Coba lihat saja para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah menempuh jalan pacaran ketika mencari pasangan. Sekali ta’aruf, merasa cocok, sudah langsung menuju pelaminan. Tidak seperti para pemuda saat ini yang menjalani pacaran hingga 10 tahun untuk bisa saling mengenal lebih dalam. Padahal para sahabat adalah sebaik-baik generasi sepeninggal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mesti dicontoh. Lihat saja apa yang terjadi ketika Fathimah dinikahi ‘Ali bin Abi Tholib atau Ruqoyyah yang dinikahi sahabat mulia ‘Utsman bin ‘Affan, mereka tidak melewati proses penjajakan pacaran. Imam Ahmad berkata dalam Ushulus Sunnah, “Hendaklah kita berpegang teguh dengan ajaran para sahabat radhiyallahu ‘anhum serta mengikuti ajaran mereka.”

Lihat pula si mbah kita dahulu. Mereka juga tidak mengenali calon pasangan mereka dengan pacaran. Akan tetapi, keluarga mereka tetap langgeng dan punya banyak keturunan.

So … Apa gunanya pacaran? Jika Anda ingin dikelabui terus-terusan, maka monggo itu pilihan Anda dan akhirnya Anda yang tanggung sendiri akibatnya. Semoga Allah beri taufik dan hidayah.

Pemimpin

“Seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mampu menyiapkan pemimpin-pemimpin baru yang akan menggantikannya esok.”


Tiga anak remaja tampak bersemangat berjalan beriringan dengan ayah mereka di sebuah jalan desa yang dikelilingi tumbuhan nan hijau. Sesekali, mereka tampak berhenti sebentar untuk istirahat, kemudian berjalan lagi.

Di sebuah pertigaan jalan, tiba-tiba mereka berhenti. Salah seorang dari mereka berujar, “Yah, kita ke arah mana?”

Yang ditanya tidak langsung menjawab. Sang ayah seperti memberi ruang kepada anak-anaknya untuk berekspresi. “Menurut kamu, kira-kira kemana?” ujar sang ayah kemudian.

Gaya sang ayah yang mereka cintai ini memang bukan hal baru buat mereka. Selalu saja, sang ayah akan melempar balik sebuah pertanyaan yang sangat berkait dengan kematangan analisa dan pengalaman.

“Kayaknya ke kiri deh, Yah!” ucap si bungsu tiba-tiba. Ia juga menjelaskan kalau jalan ke kiri itu jalan menuju puncak bukit yang mereka tuju. Tapi, si bungsu masih belum yakin.

“Kalau menurutku, ke kanan!” ucap si sulung kemudian. “Coba lihat beberapa petani yang memikul hasil panen mereka. Mereka datang dari arah kanan kita kan! Itu artinya, mereka tidak mungkin membawa hasil panen mereka ke bukit, tapi ke arah pasar yang letaknya pasti di bawah,” jelas si sulung begitu argumentatif.

“Menurutmu gimana, Nak?” tanya sang ayah ke anak yang tengah. Ia tampak berpikir sebentar, dan kemudian mengangguk-angguk. “Aku setuju dengan yang arah kanan!” ucapnya kemudian. Mereka pun berjalan menuju arah kanan.

Tiba-tiba, si bungsu berucap dalam sela-sela perjalanan mereka yang tampak begitu mengasyikkan. “Yah, kenapa sih tidak ayah kasih tahu aja. Kan ini bukan yang pertama kali ayah menuju bukit itu?”

Tiba-tiba langkah sang ayah berhenti, yang kemudian diikuti oleh ketiga anaknya. Ia menarik nafas dalam untuk selanjutnya menatap ketiga anaknya dengan senyum. “Anakku,” ucap sang ayah. “Ayah menginginkan kalian kelak menjadi pemimpin yang baik, bukan sekedar pengikut yang baik,” ucap singkat ayah yang kemudian diiringi dengan langkahnya.

Dalam dinamika organisasi yang sehat, dalam bentuk apa pun sebuah organisasi, seorang pemimpin yang baik bukan berarti orang yang piawai menelorkan pengikut-pengikut yang setia (taqlid).

Seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mampu menyiapkan pemimpin-pemimpin baru yang akan menggantikannya esok.

Kodok

“Kadang, karena ego diri, sudut pandang jatuh tidak pas pada posisinya. Biarkan yang lain bersuara beda. Karena boleh jadi, itulah tasbih mereka.”


Di sebuah tempat di tepian hutan, seorang santri tengah menyiapkan tempat untuk salat malam. Ia sapu debu dan dedaunan kering yang tercecer di sekitar ruangan salat. Sesaat kemudian, sajadah pun terhampar mengarah kiblat. Hujan yang mulai reda menambah keheningan malam.

"Bismillah," suara sang santri mengawali salat. Tapi, "Kung…kung…kung!" Suara nyaring bersahut-sahutan seperti mengoyak kekhusyukan si santri. Ia pun menoleh ke arah jendela. "Ah, suara kodok itu lagi!" ucapnya membatin.

Sudah beberapa kali ia ingin memulai salat malam, selalu saja suara kodok meng-kungkung bersahut-sahutan. Tentu saja, itu sangat mengganggu. Masak, salat malam yang mestinya begitu khusyuk, yang tertangkap selalu wajah kodok. Mata yang bulat, leher dan kepala menyatu dan meruncing di mulut, serta gelembung di bagian leher yang menghasilkan nada begitu tinggi: kung!

"Astaghfirullah! Gimana bisa khusyuk," ucap sang santri sambil membuka jendela kamarnya. Ia menjulurkan kepalanya keluar jendela sambil menatap tajam ke arah genangan air persis di samping jendela. Tapi, beberapa kodok tetap saja berteriak-teriak. Mereka seperti tak peduli dengan sindiran ‘halus’ si santri.

Hingga akhirnya, "Diaaaam!!!" Si santri berteriak keras. Lebih keras dari teriakan kodok. Benar saja. Teriakan santri membuat kodok tak lagi bersuara. Mereka diam. Mungkin, kodok-kodok tersadar kalau mereka sedang tidak disukai. Bahkan mungkin, terancam. "Nah, begitu lebih baik," ucap si santri sambil menutup jendela.

Ia pun kembali mengkhusyukkan hatinya tertuju hanya pada salat. Kuhadapkan wajahku hanya kepada Allah, Pencipta langit dan bumi. Tapi, "Kung…kung…kung!" Kodok-kodok itu kembali berteriak bersahut-sahutan. Spontan, sang santri kembali menghentikan salatnya.

Kali ini, ia tidak segera beranjak ke arah jendela. Ia cuma menatap jendela yang tertutup rapat. Sang santri seperti menekuri sesuatu. Lama…, ia tidak melakukan apa pun kecuali terpekur dalam diamnya.

"Astaghfirullah," suara sang santri kemudian. "Kenapa kuanggap teriakan kodok-kodok itu sebagai gangguan. Boleh jadi, mereka sedang bernyanyi mengiringi malam yang sejuk ini. Atau bahkan, kodok-kodok itu pun sedang bertasbih seperti tasbihku dalam salat malam.

Astaghfirullah," ucap sang santri sambil menarik nafas dalam. Dan, ia pun memulai salatnya dengan begitu khusyuk. Khusyuuuk…sekali. Begitu pun dengan kodok-kodok: "Kung…kung…kung!"

Kadang, karena ego diri, sudut pandang jatuh tidak pas pada posisinya. Biarkan yang lain bersuara beda. Karena boleh jadi, itulah tasbih mereka.

6 Pertanyaan Imam al-Ghazali

“Yang paling tajam adalah “lidah manusia”. Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.”


Suatu hari, Imam al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu ia bertanya kepada mereka, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi menurut Imam Ghazali yang paling dekat dengan manusia adalah “mati”. Sebab itu sudah janji Allah subhanahu wa ta’ala bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Lihat QS. Ali Imran ayat 185)

Lalu Imam Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “masa lalu”. Bagaimanapun kita, apapun kenderaan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?” Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghazali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “nafsu” (Lihat QS. al-A’Raf ayat 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?” Ada yang menjawab dengan jawaban, baja, besi, dan gajah. “Semua jawaban hampir benar,” kata Imam Ghazali, “tapi yang paling berat adalah “memegang Amanah” sebagaimana firman Allah dalam surat  al-Ahzab ayat 72.

Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah subhanahu wa ta’ala meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.

Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?” Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghazali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan sholat. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan solat, gara-gara meeting kita tinggalkan sholat.

Lantas pertanyaan ke enam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang… Benar kata Imam Ghazali, tapi yang paling tajam adalah “lidah manusia”. Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Jihad Fii Sabilillah

“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah [9] : 41)


Jihad adalah suatu perkara yang sangat besar serta penting dan merupakan puncak dari keislaman seseorang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ فِـي سَبِيْلِ اللهِ

“Pokoknya perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. Ahmad V/231, 236, 237, 245-246, At-Tirmidzi no. 2616, ‘Abdurrazzaq no. 20303, Ibnu Majah no. 3973, dan yang lainnya)

Kedudukan jihad sangatlah penting dan senantiasa terjaga. Syari'at jihad akan tetap ada hingga hari kiamat.

Jihad adalah amal kebaikan yang telah Allah subhanahu wa ta'ala syari'atkan kepada umat islam dimana ketika umat islam bersedia untuk menunaikannya maka islam akan tegak kokoh serta mulia. Akan tetapi sebaliknya, jika umat Islam meninggalkan jihad di Jalan Allah, maka niscaya yang akan di dapatkan oleh umat Islam adalah kehinaan dan kerendahan. Sebagaimana sebuah riwayat yang shahih dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, mengambil ekor sapi dan telah senang dengan pertanian serta meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kalian kerendahan (kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3003 dan Ahmad 2/28)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa jihad melawan orang yang menyelisihi para rasul  dan mengarahkan pedang syariat kepada mereka serta melaksanakan kewajiban-kewajiban disebabkan pernyataan mereka untuk menolong para nabi dan rasul, dan untuk menjadi pelajaran berharga bagi yang mengambilnya sehingga dengan demikian orang-orang yang menyimpang menjadi kapok, termasuk amalan yang paling utama yang Allah perintahkan kepada kita untuk menjadikannya ibadah mendekatkan diri kepadaNya”(Ar-Radd ‘ala Al-Akhna’I, hal. 326-329)

Pengertian Jihad

Secara etimologi, kata jihad diambil dari kata جَهَدَ : اَلْـجَهْدُ، اَلْـجُهْدُ yang berarti kekuatan, usaha, susah payah dan kemampuan. (Lisaanul ‘Arab, Jilid 2 hal. 395-396)

Sedangkan secara istilah, Jihad adalah:

مُـحَارَبَةُ الْكُفَّارِ وَهُوَ الْمُغَالَبَةُ وَاسْتِفْرَاغُ مَا فِـيْ الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ

“Memerangi orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan, baik berupa perkataan atau perbuatan.” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, Jilid 1 hal. 319)

Beberapa ulama pun mendefiniskan pengertian jihad ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Jihad hakikatnya adalah bersungguh-sungguh mencapai sesuatu yang Allah cintai berupa iman dan amal sholeh dan menolak sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan” (Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 10 hal. 191)

Di tempat lainnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menyatakan, “Jihad artinya mengerahkan seluruh kemampuan yaitu kemampuan mendapatkan yang dicintai Allah dan menolak yang dibenci Allah” (Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 10 hal. 192-193)

Sedangkan Ibnu Rusyd rahimahullah menyatakan, “Jihad dengan pedang adalah memerangi kaum musyrikin atas agama, sehingga semua orang yang menyusahkan dirinya untuk dzat Allah maka ia telah berjihad di jalan Allah. Namun kata jihad fi sabilillah bila disebut begitu saja maka tidak dipahami selain untuk makna memerangi orang kafir dengan pedang sampai masuk islam atau memberikan upeti dalam keadaan rendah dan hina” (Muqaddimah Ibnu Rusyd 1/369)

Hukum Jihad

Jihad adalah perkara fardhu (wajib) yang disyari’atkan kepada umat islam sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 216)

Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah dalam kitabnya Risalah Al-Irsyad ila Bayanil Haqq fi Hukmil Jihad menjelaskan mengenai hukum jihad. Hukum jihad memerangi orang kafir adalah fardhu kifayah berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur-an dan Al-Hadits yang shahih serta penjelasan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur kewajiban atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya, maka berdosa semuanya.

Beliau rahimahullah pun menjelaskan bahwa para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain pada tiga kondisi:

Pertama. Apabila pasukan Muslimin dan pasukan orang-orang kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu berbalik membelakangi mereka (mundur). Dan barangsiapa mundur pada waktu itu, kecuali untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka jahanam dan seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Anfal [8] : 15-16)

Kedua. Apabila musuh menyerang dan mengepung suatu negeri kaum Muslimin yang aman, maka wajib bagi penduduk negeri tersebut untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak.

Ketiga. Apabila Imam meminta suatu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Allah subahanhu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الأرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ. إِلا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلا تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Taubah [9] : 38-39)

Tujuan Disyari’atkannya Jihad

Jihad merupakan suatu perkara yang agung. Tujuan disyari’atkannya jihad adalah untuk menegakkan agama Islam di muka bumi ini dan bukan untuk dendam pribadi atau golongan sehingga dibutuhkan sekali pengetahuan tentang konsep islam dalam jihad baik secara hukum, cara berjihad dan ketentuan harta rampasan perang sebagai satu konsekwensi dari pelaksanaan jihad.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

“Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zhalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 193)

Dalam kitab tafsirnya, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan kepada Allah, tidak ada penyembahan kepada berhala, kemusyrikan dan ilah-ilah lain. Sehingga, ibadah dan ketaatan hanya ditujukan kepada Allah saja, tidak kepada yang lain.” (Tafsir Ath-Thabari, Jilid 2 hal. 200)

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah.” (HR. Al-Bukhari, no. 25 dan Muslim, no. 22)

Dalam kitab tafsirnya, mengenai ayat dan hadits di atas Imam Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa sebab qital (perang) adalah kekufuran.” (Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 2 hal. 236)

Para ulama pun menjelaskan mengenai tujuan disyari’atkannya jihad dalam islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, ”Maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk Allah.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 15 hal. 170) Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Tujuan disyari’atkannya jihad agar (manusia dan jin meyakini bahwa) tidak ada yang disembah dengan benar kecuali hanya Allah, tidak berdo’a kepada selain Allah, tidak shalat kepada selain Allah, tidak sujud kepada selain Allah, tidak puasa kepada selain-Nya, tidak ‘umrah dan haji kecuali ke Baitullah, tidak boleh ada penyembelihan (Qurban) melainkan hanya karena Allah, tidak bernadzar melainkan karena Allah, tidak bersumpah melainkan dengan nama Allah saja, tidak bertawakkal melainkan hanya kepada-Nya, tidah takut melainkan hanya kepada-Nya, tidak bertakwa melainkan hanya kepada-Nya, tidak ada yang mendatangkan semua kebaikan melainkan hanya Allah, tidak ada yang dapat menolak semua kejelekan melainkan hanya Allah, tidak ada yang menunjuki (ke jalan lurus) melainkan hanya Allah, tidak ada yang menolong mereka kecuali hanya Allah, tidak ada yang memberikan rezeki kepada mereka kecuali hanya Allah, tidak ada yang memberi kecukupan kepada mereka kecuali hanya Allah dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa mereka kecuali hanya Allah.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 35 hal. 368)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Maksud dan tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah orang kafir dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam ini tegak karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan (mengenyahkan) semua bentuk kemusyrikan yang menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan fitnah (syirik). Apabila fitnah (kesyirikan) itu sudah hilang, tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan perang.” (Taisiirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, hal. 76)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan, “Jihad terbagi menjadi dua yaitu jihad Ath-Thalab (menyerang) dan jihad Ad-Daf’u (bertahan). Maksud tujuan keduanya adalah menyampaikan agama Allah dan mengajak orang mengikutinya, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya islam dan meninggikan agama Allah di muka bumi serta menjadikan agama ini hanya untuk Allah semata.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawi’ah, Jilid 18 hal. 70)

Keutamaan Jihad fi Sabilillah

Banyak sekali dalil dari Al-Quran maupun Al-Hadits serta Atsar-astar sahabat yang menjelaskan mengenai keutamaan jihad fi sabilillah.

1 – Orang yang berjihad dijanjikan surga oleh Allah

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 142)

Juga dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfiman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَأُخْرَىٰ تُحِبُّونَهَا ۖ نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam Surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin.” (QS. Ash-Shaff [61] : 13)

2 – Jihad merupakan salah satu pintu surga

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim An-Naisaburi rahimahullah dalam Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam Al-Musnad, dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –تَبَارَكَ وَتَعَالَى-، فَإِنَّ الْـجِهَادَ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ ، يُذْهِبُ اللهُ بِهِ مِنَ الْهَمِّ وَالْغَمِّ

“Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah tabaraka wa ta’ala, karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu Surga, Allah akan menghilangkan dengannya dari kesedihan dan kesusahan.” (HR. Al-Hakim, Jilid 2 hal. 74-75 dan Ahmad, Jilid 5 hal. 314, 316, dan 319)

3 – Jihad merupakan ibadah paling utama setelah shalat

Dalam sebuah atsar yang shahih, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:

إِنَّ أَفْضَلَ الْعَمَلِ بَعْدَ الصَّلَاةِ اَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى

“Sesungguhnya seutama-utama amal sesudah shalat adalah jihad di jalan Allah ta’ala.” (HR. Ahmad, Jilid 2 hal. 32 no. 4873)

4 – Orang yang berjihad itu seperti beribadah tanpa henti

Diriwayatkan oleh banyak Imam Hadits dalam sebuah hadits shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ قَالَ : لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ. قَالَ : فَأَعَادُوْا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا. كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ : لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ. وَقَالَ فِيْ الثَّالِثَةِ : مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللهِ. لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى

Dikatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Amalan apa yang setara dengan jihad fii sabiilillah? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Para sahabat mengulangi pertanyaan tersebut dua kali atau tiga kali, dan Nabi tetap menjawab: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada kali yang ketiga : “Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah itu seperti orang yang berpuasa, shalat, dan khusyu’ dengan (membaca) ayat-ayat Allah. Dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya sampai orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala itu kembali.” (HR. Muslim no. 1878, Ibnu Abi Syaibah no. 19542, Ibnu Hibban no. 4608, At-Tirmidzi no. 1619 dan lainnya)

5 – Dilindungi dari siksa dan fitnah kubur

Diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dalam kitabnya Shahih Muslim. Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِيْ كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ.

“Orang yang menjaga di tapal batas sehari semalam lebih baik dari puasa dan shalat malam selama sebulan. Dan jika ia mati, maka mengalirlah (pahala) amal yang biasa ia kerjakan, diberikan rizkinya, dan dia dilindungi dari adzab (siksa) kubur dan fitnahnya.” (HR. Muslim no. 1913)

Tujuan Disyari’atkannya Jihad

Jihad merupakan suatu perkara yang agung. Tujuan disyari’atkannya jihad adalah untuk menegakkan agama Islam di muka bumi ini dan bukan untuk dendam pribadi atau golongan sehingga dibutuhkan sekali pengetahuan tentang konsep islam dalam jihad baik secara hukum, cara berjihad dan ketentuan harta rampasan perang sebagai satu konsekwensi dari pelaksanaan jihad.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

“Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zhalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 193)

Dalam kitab tafsirnya, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan kepada Allah, tidak ada penyembahan kepada berhala, kemusyrikan dan ilah-ilah lain. Sehingga, ibadah dan ketaatan hanya ditujukan kepada Allah saja, tidak kepada yang lain.” (Tafsir Ath-Thabari, Jilid 2 hal. 200)

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah.” (HR. Al-Bukhari, no. 25 dan Muslim, no. 22)

Dalam kitab tafsirnya, mengenai ayat dan hadits di atas Imam Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa sebab qital (perang) adalah kekufuran.” (Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 2 hal. 236)

Para ulama pun menjelaskan mengenai tujuan disyari’atkannya jihad dalam islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, ”Maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk Allah.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 15 hal. 170) Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Tujuan disyari’atkannya jihad agar (manusia dan jin meyakini bahwa) tidak ada yang disembah dengan benar kecuali hanya Allah, tidak berdo’a kepada selain Allah, tidak shalat kepada selain Allah, tidak sujud kepada selain Allah, tidak puasa kepada selain-Nya, tidak ‘umrah dan haji kecuali ke Baitullah, tidak boleh ada penyembelihan (Qurban) melainkan hanya karena Allah, tidak bernadzar melainkan karena Allah, tidak bersumpah melainkan dengan nama Allah saja, tidak bertawakkal melainkan hanya kepada-Nya, tidah takut melainkan hanya kepada-Nya, tidak bertakwa melainkan hanya kepada-Nya, tidak ada yang mendatangkan semua kebaikan melainkan hanya Allah, tidak ada yang dapat menolak semua kejelekan melainkan hanya Allah, tidak ada yang menunjuki (ke jalan lurus) melainkan hanya Allah, tidak ada yang menolong mereka kecuali hanya Allah, tidak ada yang memberikan rezeki kepada mereka kecuali hanya Allah, tidak ada yang memberi kecukupan kepada mereka kecuali hanya Allah dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa mereka kecuali hanya Allah.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 35 hal. 368)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Maksud dan tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah orang kafir dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam ini tegak karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan (mengenyahkan) semua bentuk kemusyrikan yang menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan fitnah (syirik). Apabila fitnah (kesyirikan) itu sudah hilang, tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan perang.” (Taisiirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, hal. 76)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan, “Jihad terbagi menjadi dua yaitu jihad Ath-Thalab (menyerang) dan jihad Ad-Daf’u (bertahan). Maksud tujuan keduanya adalah menyampaikan agama Allah dan mengajak orang mengikutinya, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya islam dan meninggikan agama Allah di muka bumi serta menjadikan agama ini hanya untuk Allah semata.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawi’ah, Jilid 18 hal. 70)

Jenis-Jenis Jihad dan Tingkatannya

Ketika masyarakat awam mendengar mengenai jihad, maka konotasinya bahwa jihad adalah memerangi orang kafir. Padahal hal ini hanyalah salah satu dari bentuk atau jenis jihad karena definisi jihad sendiri lebih luas dari itu. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan bahwa jihad ditinjau dari objeknya memiliki empat tingkatan, yaitu jihad memerangi hawa nafsu, jihad memerangi setan, jihad memerangi orang kafir dan jihad memerangi orang munafik. Namun dalam keterangan selanjutnya Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menambah dengan jihad melawan kezhaliman, bid'ah dan kemungkaran. (Zadul Ma'ad fi Hadyi Khairil 'Ibad, Jilid 3 hal. 9-10)

Berdasarkan penjelasan dari Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah, beberapa ulama pun menyimpulkan bahwa jenis-jenis Jihad sendiri hanya terbagi menjadi 3 macam saja, yaitu jihad memerangi hawa nafsu, jihad memerangi setan dan jihad memerangi musuh yang nyata termasuk di dalamnya orang kafir, orang munafik, orang yang zhalim, pelaku bid’ah dan kemungkaran. Tiga macam jihad ini termaktub di dalam Al-Quran, di antaranya:

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ ۖ فَنِعْمَ الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ النَّصِيرُ

“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Quran) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dia-lah Pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS. Al-Hajj [22] : 78)

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah [9] : 41)

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا ۚ وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Anfal [8] : 72) (Mufradat Alfazhil Quran, hal. 208)

Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan dari 4 jenis jihad, beliau membagi kembali 4 jenis jihad itu menjadi 13 tingkatan.

Pertama, Jihad memerangi nafsu memiliki empat tingkatan:

1. Jihad memeranginya untuk belajar petunjuk ilahi dan agama yang lurus yang menjadi sumber keberuntungan dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Siapa yang kehilangan ilmu petunjuk ini maka akan sengsara di dunia dan akhirat.
2. Jihad memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengilmuinya. Kalau tidak demikian, maka sekadar hanya mengilmuinya tanpa amal, jika tidak membahayakannya, maka tidak akan memberi manfaat.
3. Jihad memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat dan tidak menyelamatkannya dari adzab Allah.
4. Jihad memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar memanggulnya karena Allah.

Apabila telah sempurna empat martabat ini maka ia termasuk Rabbaniyyun. Hal ini karena para salaf sepakat menyatakan bahwa seorang alim (ulama) tidak berhak disebut Rabbani sampai ia mengenal kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya. Sehingga orang yang berilmu, beramal dan mengajarkannya sajalah yang dipanggil sebagai orang besar di alam langit.

Kedua, jihad memerangi setan memiliki dua tingkatan:

1. Memeranginya untuk menolak syubhat dan keraguan yang merusak iman yang syetan arahkan kepada hamba.
2. Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat yang syetan lemparkan kepadanya.

Jihad yang pertama (mengatasi syubhat) dilakukan dengan yakin dan jihad yang kedua (mengatasi syahwat) dengan kesabaran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah [32] : 24)

Allah menjelaskan bahwa kepemimpinan agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan yakin, lalu dengan kesabaran ia menolak syahwat dan keinginan rusak dan dengan yakin ia menolak keraguan dan syubhat.

Jihad melawan setan ini hukumnya fardhu ‘ain juga karena berhubungan langsung dengan setiap pribadi manusia, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً

“Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu).” (QS. Fathir [35] : 6)

Ketiga, jihad memerangi orang kafir dan munafik memiliki 4 tingkatan yaitu dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad memerangi orang kafir lebih khusus dengan tangan sedangkan jihad memerangi orang munafiq lebih khusus dengan lisan.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

“Perangilah kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2504, An-Nasai no. 3096 dan Ahmad 3/124)

Pengertian jihad dengan hati melawan orang kafir dan munafik adalah membenci mereka dan tidak memberikan loyalitas dan kecintaan serta senang dengan kerendahan dan kehinaan mereka dan sikap lainnya yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berhubungan dengan hati.

Pengertian jihad dengan lisan adalah dengan mejelaskan kebenaran, membantah kesesatan dan kebatilan-kebatilan mereka dengan hujjah dan bukti kongkrit.

Pengertian jihad dengan harta adalah dengan menafkahkan harta di jalan Allah dalam perkara jihad perang atau dakwah serta menolong dan membantu kaum muslimin. Adapun jihad dengan jiwa maksudnya adalah memerangi mereka dengan tangan dan senjata sampai mereka masuk islam atau kalah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2] : 193)

Dan juga firman-Nya:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah [9] : 29)

Kaum kafir dan munafik diperangi dengan keempat jihad di atas. Namun kaum kafir lebih khusus dihadapi dengan tangan karena permusuhannya terang-terangan. Sedangkan munafik khusus dihadapi dengan lisan karena permusuhannya tersembunyi dan gamang dalam keadaan mereka di bawah kekuasaan kaum muslimin, sehingga diperangi dengan hujjah dan dibongkar keadaan asli mereka serta dijelaskan sifat-sifat mereka, agar orang-orang tahu hal itu dan berhati-hati dari mereka dan dari terjerumus pada kemunafikan tersebut.

Keempat, jihad memerangi pelaku kezholiman, kebid’ahan dan kemungkaran memiliki 3 tingkatan yaitu dengan tangan bila mampu, apabila tidak mampu, berpindah pada lisan, bila juga tidak mampu maka diingkari dengan hati.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu juga maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.”(HR Muslim no. 49)

Setiap muslim dituntut berjihad menghadapi pelaku perbuatan zhalim, bid’ah dan mungkar sesuai dengan kemampuannya dan dengan memperhatikan kaedah-kaedah amar ma’ruf nahi mungkar. Setiap muslim pasti mampu melakukan jihad jenis ini minimal dengan hatinya dan itu dengan cara mengingkari dan membenci kebid’ahan, kezhaliman dan kemungkaran dengan hatinya dan berharap hilangnya hal-hal tersebut.

Inilah tiga belas martabat jihad dan barang siapa yang meninggal dan belum berperang dan tidak pernah membisikkan jiwanya untuk berperang maka meninggal diatas satu cabang kemunafiqan. Wallahu a’lam. Selesai dengan izin Allah Rabb Semesta Alam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top