Nabi Musa ‘Alaihis Salam Menentang Fir’aun

Nabi Musa ‘Alaihis Salam Menentang Fir’aun

“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A’raf [7] : 128)

Fir’aun adalah seorang yang kejam dan berlaku zalim terhadap Bani Israil. Fir’aun adalah gelar raja-raja Mesir, dan Fir’aun yang bermusuhan dengan Nabi Musa ‘alaihis salam adalah Menepthah atau Ramses III atau dikenal dengan Fir’aun IV yang hidup sekitar tahun 1232 SM hingga 1224 SM, pengganti dari Qabus bin Mushab atau Ramses I yang dikenal dengan Fir’aun III. Sedangkan Fir’aun I adalah Ar-Ra’yan bin Al-Walid. (Tarikh Ath-Thabari, Jilid I hal. 231-232)

Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Harun ‘alaihis salam di utus oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Fir’aun, mendakwahi dia agar dia meninggalkan sikap dia yang zalim kepada Bani Israil dan mengajaknya untuk menyembanh Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menyekutukannya. Namun, ada kekhawatiran tersendiri pada diri Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Harun ‘alaihis salam, mereka khawatir Fir’aun melakukan kezaliman pada mereka sehingga mereka tidak bisa berdakwah kepadanya. Maka Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Harun ‘alaihis salam berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar menyelamatkan keduanya dari tindakan aniaya dari Fir’aun, lalu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

لا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى فَأْتِيَاهُ فَقُولا إِنَّا رَسُولا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلا تُعَذِّبْهُمْ قَدْ جِئْنَاكَ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكَ وَالسَّلامُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى إِنَّا قَدْ أُوحِيَ إِلَيْنَا أَنَّ الْعَذَابَ عَلَى مَنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى

“Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.  Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan Katakanlah, “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan Kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk. Sesungguhnya telah diwahyukan kepada Kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (QS. Thaha [20] : 46-48)

Maka ketika Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Harun ‘alaihis salam berangkat, mulailah keduanya mengajak mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan berusaha membawa Bani Israil dari penindasan Fir’aun, akan tetapi Fir’aun mengejek keduanya dan mengolok-olok apa yang mereka berdua bawa serta mengingatkan Nabi Musa ‘alaihis salam, bahwa dirinyalah yang mengurus Nabi Musa ‘alaihis salam di istananya dan terus membesarkannya hingga ketika dewasa Nabi Musa ‘alaihis salam membunuh orang Mesir dan pergi melarikan diri. Maka Nabi Musa ‘alaihis salam berkata:

فَعَلْتُهَا إِذًا وَأَنَا مِنَ الضَّالِّينَ فَفَرَرْتُ مِنْكُمْ لَمَّا خِفْتُكُمْ فَوَهَبَ لِي رَبِّي حُكْمًا وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُرْسَلِينَ وَتِلْكَ نِعْمَةٌ تَمُنُّهَا عَلَيَّ أَنْ عَبَّدْتَ بَنِي إِسْرَائِيلَ

“Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi baik yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 20-22)

Kemudian Fir’aun pun bertanya:

وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Siapa Tuhan semesta alam itu?” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 23)

Nabi Musa ‘alaihis salam menjawab:

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ

“Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 24)

Lalu Fir’aun berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya:

لِمَنْ حَوْلَهُ أَلا تَسْتَمِعُونَ

“Apakah kamu tidak mendengarkan?” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 25)

Kemudian Nabi Musa ‘alaihis salam berkata pula pada orang-orang di sekililingnya:

رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الأوَّلِينَ

“Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 26)

Lalu Fir’aun berkata kembali:

إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ

“Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 27)

Nabi Musa ‘alaihis salam berkata:

رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Tuhan yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada di antara keduanya; (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 28)

Fir’aun berkata:

لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لأجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ

“Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selainku, aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 29)

Kemudian Nabi Musa ‘alaihis salam menawarkan kepadanya bukti yang membenarkan kerasulannya. Maka Fir’aun meminta ditunjukkan buktinya jika Nabi Musa ‘alaihis salam memang benar. Nabi Musa ‘alaihis salam pun melempar tongkatnya dan berubahlah tongkat itu menjadi ular yang besar sehingga orang-orang terkejut dan takut terhadap ular itu. Kemudian Nabi Musa ‘alaihis salam menjulurkan tangannya ke ular itu, maka ular itu kembali seperti biasa menjadi tongkat. Kemudian Musa memasukkan tangannya ke leher bajunya, lalu ia keluarkan, tiba-tiba tampak warna putih berkilau.

Ketika ditunjukkan bukti-bukti itu, Fir’aun malah menuduhnya sebagai penyihir, lalu ia meminta untuk dikumpulkan para penyihirnya dari segenap tempat untuk melawan Nabi Musa ‘alaihis salam. Maka  ditetapkanlah hari raya sebagai hari pertunjukan itu yang dimulai pada waktu dhuha di tempat yang lapang di hadapan Fir’aun. Fir’aun juga mengumumkan pertemuan itu kepada kaumnya agar mereka semua hadir menyaksikan.

Tibalah hari pertunjukan itu dalam keadaan ramai dihadiri oleh banyak manusia, mereka ingin melihat apakah Nabi Musa ‘alaihis salam yang menang ataukah para penyihir?

Sebelum Fir’aun keluar mendatangi Nabi Musa ‘alaihis salam, ia berkumpul terlebih dahulu dengan para penyihir dan memberikan dorongan kepada mereka, dimana jika mereka menang, maka ia akan memberikan berbagai kesenangan berupa harta dan kedudukan.

Sesaat kemudian, Fir’aun keluar menuju lapangan pertandingan, sedangkan di belakangnya terdapat para penyihir, lalu ia duduk di tempat khusus baginya dengan didampingi para pelayannya, kemudian para penyihir berdiri di hadapan Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Harun ‘alaihis salam.

Selanjutnya Fir’aun mengangkat tangannya untuk memberitahukan bahwa pertandingan siap dimulai, lalu para penyihir menawarkan dua hal kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, yaitu apakah Nabi Musa ‘alaihis salam yang pertama kali melempar tongkatnya ataukah merela lebih dulu? Maka Nabi Musa ‘alaihis salam membiarkan mereka dulu yang memulai.

Para penyihir pun melempar tali dan tongkat, sambil menyihir mata manusia sehingga menurut pandangan manusai bahwa tongkat dan tali tersebut berubah menjadi ular yang gesit dan bergerak di hadapan mereka, sehingga orang-orang takut terhadapnya, bahkan Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Harun ‘alaihis salam merasa takut terhadapnya, lalu Allah subhanahu wa ta’ala memberikan wahyu kepada Nabi Musa ‘alaihis salam agar ia tidak takut dan melempar tongkatnya, maka Nabi Musa ‘alaihis salam dan saudaranya yaitu Nabi Harun ‘alaihis salam tenang karena perintah Allah subhanahu wa ta’ala itu.

Nabi Musa pun ‘alaihis salam melempar tongkatnya, maka tongkat itu berubah menjadi ular yang besar yang menelan tali para penyihir dan tongkat mereka. Ketika para penyihir melihat apa yang ditunjukkan Nabi Musa ‘alaihis salam, maka mereka pun mengakui, bahwa itu adalah mukjizat dari Allah subhanahu wa ta’ala dan bukan sihir. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala melapangkan hati mereka untuk beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan membenarkan apa yang dibawa Nabi Musa ‘alaihis salam, mereka pun akhirnya hanya bersujud kepada Allah subhanahu wa ta’ala sambil menyatakan keimanan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mereka berkata:

فَتَوَلَّى فِرْعَوْنُ فَجَمَعَ كَيْدَهُ ثُمَّ أَتَى

“Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa.” (QS. Thaha [20] : 70)

Ketika itulah Fir’aun semakin geram dan mulai mengancam para penyihir, ia berkata kepada mereka:

آمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلأقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلافٍ وَلأصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ عَذَابًا وَأَبْقَى

“Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.” (QS. Thaha [20] : 71)

Meskipun begitu, para penyihir tidak takut terhadap ancaman itu setelah Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniakan keimanan kepada mereka, mereka berkata:

لَنْ نُؤْثِرَكَ عَلَى مَا جَاءَنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالَّذِي فَطَرَنَا فَاقْضِ مَا أَنْتَ قَاضٍ إِنَّمَا تَقْضِي هَذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا إِنَّا آمَنَّا بِرَبِّنَا لِيَغْفِرَ لَنَا خَطَايَانَا وَمَا أَكْرَهْتَنَا عَلَيْهِ مِنَ السِّحْرِ وَاللَّهُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat) yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami, maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja. Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya).” (QS. Thaha [20] : 72-73)

Mendengar kata-kata para penyihir itu Fir’aun pun semakin marah, dan orang-orang sesat dari kaumnya juga mendorong Fir’aun untuk menghukum Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Harun ‘alaihis salam. Ketika itulah, Fir’aun mengeluarkan ketetapannya, yaitu membunuh anak-anak orang-orang yang beriman dari kalangan Bani Israil dan membiarkan wanita. Dengan adanya keputusan ini, maka Fir’aun berhasil membuat takut kaum lemah Bani Israil dan mereka yang ada penyakit dalam hatinya, mereka tidak beriman kepada Nabi Musa ‘alaihis salam karena takut akan ancamannya, bahkan orang yang beriman saja sampai tidak masuk ke dalam Islam secara sempurna karena takut terhadap Fir’aun.

Ketika Nabi Musa ‘alaihis salam melihat kaumnya merasakan ketakutan yang sangat, maka Beliau berkata kepada kaumnya:

اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الأرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A’raf [7] : 128)

Maka Kaumnya Nabi Musa ‘alaihis salam berkata:

أُوذِينَا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَأْتِيَنَا وَمِنْ بَعْدِ مَا جِئْتَنَا

“Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada Kami dan setelah kamu datang.” (QS. Al-A’raf [7] : 129)

Nabi Musa ‘alaihis salam menjawab:

عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأرْضِ فَيَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ

“Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi-(Nya), Maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (QS. Al-A’raf [7] : 129)

Fir’aun juga mulai mencari cara untuk menyingkirkan Nabi Musa ‘alaihis salam, maka pada suatu hari ia mengumpulkan para pembantu dan keluarganya serta memberitahukan usulnya, yaitu membunuh Nabi Musa ‘alaihis salam. Namun di tengah-tengah mereka ada seorang yang menyembunyikan keimanannya dan berkata:

أَتَقْتُلُونَ رَجُلا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ وَإِنْ يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ

“Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena Dia menyatakan, “Tuhanku ialah Allah,” padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” (QS. Ghafir [40] : 28)

Lalu ia mengajak orang-orang Mesir untuk beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan memperingatkan mereka dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi Fir’aun berpaling darinya dan tidak mau mendengar nasihatnya.

Hari pun berlalu, Fir’aun dan para pembantunya terus menyiksa Bani Israil dan membebankan mereka dengan kerja-kerja yang berat, ia juga tidak mau mendengarkan nasihat Nabi Musa ‘alaihis salam untuk membiarkan dirinya dan kaumya pergi meninggalkan Mesir, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala menimpakan kepada mereka kemarau panjang dan kekurangan, dimana air sungai Nil surut, buah-buahan berkurang, dan manusia banyak yang kelaparan, sehingga mereka merasakan tidak sanggup menghadapi cobaan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala juga menimpakan kepada mereka berbagai macam adzab di samping yang disebutkan, seperti banjir yang menenggelamkan tanaman dan rumah-rumah mereka, mengirimkan belalang yang memakan sisa tanaman dan pepohonan mereka, demikian pula mengirimkan kutu atau ulat sehingga memakan makanan yang mereka simpan, mengirimkan katak sehingga membuat mereka sulit istirahat, serta menjadikan air yang datang kepada mereka dari sungai Nil, sumur dan mata air yang ada menjadi darah.

Semua musibah ini menimpa Fir’aun dan kaumnya, adapun Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Harun ‘alaihis salam serta orang-orang yang beriman bersamanya, maka tidak mendapatkannya. Hal ini merupakan bukti kebenaran apa yang dibawa Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Harun ‘alaihis salam.

Hari pun berlalu dan musibah itu terus belanjut, bahkan semakin hari semakin bertambah, maka orang-orang Mesir mendatangi Fir’aun mengusulkan kepadanya untuk melepaskan Bani Israil sambil meminta kepada Nabi Musa ‘alaihis salam agar ia berdoa kepada Tuhannya agar Tuhannya menghilangkan musibah itu dari mereka. Mereka berkata:

يَا مُوسَى ادْعُ لَنَا رَبَّكَ بِمَا عَهِدَ عِنْدَكَ لَئِنْ كَشَفْتَ عَنَّا الرِّجْزَ لَنُؤْمِنَنَّ لَكَ وَلَنُرْسِلَنَّ مَعَكَ بَنِي إِسْرَائِيلَ

“Wahai Musa! Mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan adzab itu dan pada Kami, pasti Kami akan beriman kepadamu dan akan Kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.” (QS. Al-A’raf [7] : 134)

Namun ketika Allah subhanahu wa ta’ala telah menghilangkan adzab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya.

Fir’aun juga semakin bertambah penentangannya dan kekafirannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan senantiasa mendustakan semua ayat yang dibawa oleh Nabi Musa ‘alaihis salam, hingga akhirnya Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia melepaskan Bani Israil dari cengkeraman Fir’an serta mengadzab orang-orang kafir dengan adzab yang pedih. Nabi Musa ‘alaihis salam berkata:

رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلأهُ زِينَةً وَأَمْوَالا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الألِيمَ

“Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Wahai Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Wahai Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (QS. Yunus [10] : 88)

Maka Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Nabi-Nya dan Rasul-Nya Musa ‘alaihis salam dan datanglah perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Musa ‘alaihis salam untuk membawa Bani Israil pergi di malam hari serta memberitahukan, bahwa Fir’aun akan menyusul mereka.

Maka Nabi Musa ‘alaihis salam membawa Bani Israil pada malam hari dan berangkatlah Nabi Musa ‘alaihis salam bersama Bani Israil ke arah laut, mereka berjalan kaki ke sana, namun berita kepergian Nabi Musa ‘alaihis salam dan Bani Isaril ternyata diketahui Fir’aun, maka Fir’aun marah besar dan mengirim orang untuk mengumpulkan tentaranya ke kota-kota. Fir’aun berkata:

إِنَّ هَؤُلاءِ لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ وَإِنَّهُمْ لَنَا لَغَائِظُونَ وَإِنَّا لَجَمِيعٌ حَاذِرُونَ

“Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil. Dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita. Dan sesungguhnya kita benar-benar golongan yang selalu waspada.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 54-56)

Maka keluarlah Fir’aun dan kaumnya dalam jumlah besar untuk mengejar Nabi Musa ‘alaihis salam dan Bani Israil, hingga akhirnya Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusul mereka di waktu matahari terbit. Kedua golongan itu pun saling melihat, dan saat itu pengikut-pengikut Nabi Musa ‘alaihis salam berkata:

إِنَّا لَمُدْرَكُونَ

“Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 61)

Tetapi Nabi Musa ‘alaihis salam menenangkan mereka dan mengingatkan mereka, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan menolong mereka, Beliau berkata:

“Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 62)

Selanjutnya, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Musa ‘alaihis salam untuk memukul tongkatnya ke laut, maka dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala laut pun terbelah, dimana  setiap belahan seperti gunung yang besar. Ketika itulah, Bani Israil segera melintasi laut hingga sampai di seberang, sedangkan Fir’aun berada di tepi sebelumnya, dan ketika Fir’aun melihat jalan-jalan di tengah laut senantiasa terbuka, maka ia bersama tentaranya pun melewati jalan itu untuk mengejar Bani Israil. Dan ketika mereka telah sampai di tengah laut, maka laut pun kembali seperti biasa sehingga mereka semua tenggelam. Dan saat Fir’aun telah merasakan dirinya akan tenggelam, ia pun berusaha menyelamatkan dirinya dengan berkata:

كَلا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ

“Saya percaya bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus [10] : 90)

Akan tetapi, saat untuk bertaubat tidak lagi berguna karena nyawa telah sampai di tenggorokan. Diriwayatkan pula bahwa ketika Fir’aun hendak bersyahadat dan menyatakan bahwa dia percaya pada Tuhannya Musa dan Harun, maka Malaikat Jibril ‘alaihis salam menyumpal tanah ke dalam mulut Fir’aun.

Setelah Fir’aun menghebuskan nafasnya, maka ombak laut membawa jasadnya dan melemparnya ke pinggir pantai agar dilihat oleh orang-orang Mesir, agar menjadi pelajaran bagi mereka, bahwa orang yang mereka sembah selama ini serta mereka taati tidak mampu menolak kematian sedikit pun dari dirinya serta menjadi pelajaran bagi setiap orang yang sombong lagi kejam.

Penenggalaman Fir’aun ini terjadi pada hari Asyura tanggal 10 Muharram. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ. فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, ”Hari yang kalian bepuasa ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lantas berkata, ”Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.”. Lalu setelah itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR. Muslim no. 1130)

            Setelah kematian Fir’aun, tidak berarti dakwah Nabi Musa ‘alaihis salam telah selesai masih banyak yang harus dikerjakannya untuk membawa umatnya kepada jalan yang benar. Dan beliau sendiri selalu memohon petunjuk kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk membimbing umatnya.

Pernikahan Nabi Musa ‘Alaihis Salam dan Pengangkatannya Menjadi Nabi dan Rasul

Pernikahan Nabi Musa ‘Alaihis Salam dan Pengangkatannya Menjadi Nabi dan Rasul

“Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha [20] : 25-28)

Setelah kejadian pemukulan Nabi Musa ‘alaihis salam kepada seorang penduduk Mesir yaitu orang Qibthi yang kafir sehingga orang itu meninggal, maka khawatirlah beliau. Apalagi setelah penduduk Mesir mengetahui jika pelaku pembunuhan orang Qibthi itu adalah Nabi Musa ‘alaihis salam.

Nabi Musa ‘alaihis salam pun pergi meninggalkan Mesir, namun ia tidak mengetahui ke mana ia harus pergi, ia berharap kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia mengarahkan ke tempat yang tepat, dan ia terus berjalan hingga sampai di sebuah kota bernama Madyan. Ketika tiba di kota Madyan, Nabi Musa ‘alaihis salam mendatangi sebuah pohon yang berada di dekat sumur lalu duduk di bawahnya. Ia pun mendapati dua orang wanita yang membawa kambing-kambing gembalaannya, dimana keduanya berdiri jauh dari sumur menunggu orang-orang selesai mengambil air.

Nabi Musa ‘alaihis salam mendekat kepada keduanya dan bertanya tentang sebab keduanya berdiri jauh dari keramaian orang, maka keduanya memberitahukan, bahwa keduanya tidak dapat memberi minum kambing-kambingnya melainkan  setelah orang-orang selesai memberi minum kambing-kambing mereka. Keduanya terpaksa melakukan demikian, karena orang tuanya sudah sangat tua dan tidak sanggup melakukan pekerjaan ini, maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun maju lalu mengangkat batu besar sendiri yang biasa diangkat oleh sepuluh orang yang menutupi sumur itu, kemudian memberi minum kambing-kambing milik keduanya.

Setelah itu, Nabi Musa ‘alaihis salam kembali ke tempat semula di bawah naungan pohon untuk dapat beristirahat setelah merasakan kelelahan perjalanan jauh. Lalu ia merasakan lapar dan berdoa:

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al-Qashasha [28] : 24)

Ketika kedua wanita itu kembali kepada orang tuanya, keduanya menceritakan kejadian yang mereka alami, sehingga orang tua itu heran dengan orang asing yang kuat dan memiliki sopan santun yang tinggi. Lalu orang tua ini menyuruh salah seorang anaknya untuk mendatanginya dan mengundangnya menemui ayahnya untuk diberikan balasan.

Lalu salah satu wanita itu mendatangi Nabi Musa ‘alaihis salam dengan rasa malu dan memberitahukan tentang undangan ayahnya, dia berkata:

إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا

“Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” (QS. Al-Qashash [28] : 25)

Maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun memenuhi undangan itu dan mendatangi ayah wanita itu dengan berjalan di depan, sedangkan wanita ini berjalan di belakang sambil mengisyaratkan jalannya dengan melempar batu kecil.

Ketika sampai di tempat orang tua itu, maka ia bertanya kepada Nabi Musa ‘alaihis salam tentang nama dan perihal yang terjadi pada dirinya, Nabi Musa ‘alaihis salam pun menceritakan kejadiannya, lalu orang tua itu menenangkannya dan beliau juga menjelaskan bahwa beliau adalah seorang nabi yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk kaum Madyan, beliau adalah Nabi Syu’aib ‘alaihis salam. Beliau berkata kepada Nabi musa ‘alaihis salam:

لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.” (QS. Al-Qashash [28] : 25)

Ketika itu, salah seorang dari kedua wanita itu meminta kepada ayahnya agar mengangkat Nabi Musa ‘alaihis salam sebagai pekerja untuk membantu keduanya karena keadaanya yang kuat lagi amanah. Maka Nabi Syu’aib ‘alaihis salam mengetahui bahwa salah satu anaknya jatuh cinta kepada Nabi Musa ‘alaihis salam. Nama kedua anak Nabi Syu’aib ‘alaihis salam adalah Shafuriyya dan Layya. (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3 hal. 511). Mengetahui hal itu maka Nabi Syu’aib ‘alaihis salam menawarkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam untuk menikahi salah satu putrinya itu yaitu Shafuriyya dengan mahar mau bekerja kepadanya selama delapan tahun atau sepuluh tahun jika Nabi Musa ‘alaihis salam mau. Nabi Syu’aib ‘alaihis salam berkata:

إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al-Qashash [28] : 27)

            Maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun menyetujui tawaran tersebut, beliau berkata:

ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الأجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ

“Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.” (QS. Al-Qashash [28] : 28)

Maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun akhirnya dinikahkan dengan Shafuriyya. Ia pun mulai menggembala kambing selama sepuluh tahun. Setelah itu, Nabi Musa ‘alaihis salam ingin pulang menemui keluarganya di Mesir, lalu Nabi Syu’aib ‘alaihis salam pun menyetujuinya dan memberinya bekal selama perjalanan pulangnya ke Mesir.

Maka berangkatlah Nabi Musa ‘alaihis salam menuju Mesir bersama keluarganya, sehingga ketika mereka merasakan kegelapan, mereka duduk beristirahat agar dapat melanjutkan perjalanan lagi. Ketika itu, cuaca sangat dingin sekali, maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun mencari sesuatu untuk dapat menghangatkan badannya, ia pun melihat api dari jauh, lalu meminta keluarganya menunggu di situ agar ia dapat mengambil sesuatu untuk menghangatkan badan. Maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun pergi mendatangi api itu dengan membawa tongkatnya.

Nabi Musa ‘alaihis salam pergi menuju api yang dilihatnya itu dan setelah sampai di sana, didapatinya api itu menyala-nyala di sebuah pohon hijau, yaitu pohon Ausaj (jenis pohon yang berduri), apinya semakin menyala, kehijaun pohon itu juga semakin bertambah, maka Nabi Musa ‘alaihis salam berdiri dalam keadaan takjub dan ketika itu pohon tersebut di kaki gunung di sebelah Barat dan berada di sebelah kanan Nabi Musa ‘alaihis salam. Saat itu Nabi Musa ‘alaihis salam berada di lembah yang bernama Thuwa, sambil menghadap kiblat, sedangkan pohon itu berada di kanannya di sebelah Barat, lalu Tuhannya memanggilnya:

يَا مُوسَى إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى فَلا يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لا يُؤْمِنُ بِهَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَتَرْدَى

“Wahai Musa! Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, maka lepaskanlah kedua sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Segungguhnya hari kiamat itu akan datang, Aku merahasiakan (waktunya) agar setiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu menjadi binasa.” (QS. Thaha [20] : 11-16)

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala bertanya kepadanya tentang tongkat yang dipegangnya, Maka Nabi Musa ‘alaihis salam menjawab:

هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى

“Ini adalah tongkatku, aku bersandar kepadanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” (QS. Thaha [20] : 18)

Maka Allah subhanahu wa ta’ala menyuruhnya untuk melempar tongkatnya. Nabi Musa ‘alaihis salam pun melemparnya, maka tongkat itu berubah menjadi ular yang besar dan bergerak dengan cepat, lalu Nabi Musa ‘alaihis salam berpaling lari karena takut, lalu Allah subhanahu wa ta’ala menyuruhnya kembali dan tidak takut, karena  ular itu akan kembali menjadi tongkat seperti sebelumnya, kemudian Nabi Musa ‘alaihis salam mengulurkan tangannya ke ular itu untuk mengambilnya, ternyata ular itu langsung berubah menjadi tongkat.

Nabi Musa ‘alaihis salam kulitnya berwarna coklat, lalu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepadanya untuk memasukkan tangannya ke dalam bajunya kemudian mengeluarkannya, Nabi Musa ‘alaihis salam pun melakukannya, lalu tampaklah warna putih yang jelas. Keduanya Allah subhanahu wa ta’ala jadikan sebagai mukjizat untuk Nabi Musa ‘alaihis salam di samping mukjizat-mukjizat yang lain untuk menguatkan kerasulannya ketika berhadapan dengan Fir’aun dan para pembesarnya.

Selanjutnya, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Musa ‘alaihis salam pergi mendatangi Fir’aun untuk mendakwahinya, maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun mau memenuhinya, akan tetapi sebelum ia berangkat, ia berdoa kepada Tuhannya meminta taufiq dan meminta kepada-Nya bantuan, Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa:

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي هَارُونَ أَخِي اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي كَيْ نُسَبِّحَكَ كَثِيرًا وَنَذْكُرَكَ كَثِيرًا إِنَّكَ كُنْتَ بِنَا بَصِيرًا

“Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengannya kekuatanku, dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku, agar kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha melihat (keadaan) kami.” (QS. Thaha [20] : 25-35)

Maka Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan permohonannya, lalu Nabi Musa ‘alaihis salam ingat bahwa ia pernah membunuh orang Mesir, ia takut kalau nanti mereka membunuhnya, beliau berkata:

رَبِّ إِنِّي قَتَلْتُ مِنْهُمْ نَفْسًا فَأَخَافُ أَنْ يَقْتُلُونِ

"Ya Tuhanku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.” (QS. Al-Qashash [28]  : 33)

Maka Allah subhanahu wa ta’ala menenangkannya, bahwa mereka tidak akan dapat menyakitinya sehingga Nabi Musa ‘alaihis salam pun tenang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيكَ وَنَجْعَلُ لَكُمَا سُلْطَانًا فَلَا يَصِلُونَ إِلَيْكُمَا بِآيَاتِنَا أَنْتُمَا وَمَنِ اتَّبَعَكُمَا الْغَالِبُونَ

“Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang akan menang.” (QS. Al-Qashash [28]  : 35)

Nabi Musa ‘alaihis salam pun melanjutkan perjalanannya ke Mesir dan memberitahukan kepada Nabi Harun ‘alaihis salam apa yang terjadi antara dirinya dengan Allah subhanahu wa ta’ala agar Nabi Harun ‘alaihis salam ikut serta menyampaikan risalah kepada Fir’aun dan kaumnya dan membantunya mengeluarkan Bani Israil dari Mesir, maka Nabi Harun ‘alaihis salam pun bergembira atas berita itu, ia pun ikut berdakwah bersama Nabi Musa ‘alaihis salam.

Nabi Musa ‘Alaihis Salam Menjadi Anak Angkat Fir'aun

Nabi Musa ‘Alaihis Salam Menjadi Anak Angkat Fir'aun

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash [28] : 7)

Nabi Musa ‘alaihis salam adalah seorang nabi yang diutus kepada Bani Israil yang menyampaikan Hukum Taurat dan menuliskannya dalam Pentateukh. Beliau hidup sekitar tahun 1527 SM hingga 1407 SM. Nabi Musa ‘alaihis salam adalah putra dari Imran bin Yashar bin Qahits bin Lawi bin Yaqub. Dan bersaudara dengan Nabi Harun ‘alaihis salam, juga bersaudara dengan Qarun bin Yashar bin Qahits yang merupakan pamannya. Ibunya adalah Yukabad. Nabi Harun ‘alaihis salam berusia beberapa tahun lebih tua darinya. (Tarikh Ath-Thabari, Jilid 1 hal. 231)

Nabi Musa ‘alaihis salam dilahirkan pada waktu zaman raja Fir’aun IV. Menurut sejarah, Fir’aun adalah gelar raja-raja Mesir, dan Fir’aun yang bermusuhan dengan Nabi Musa ‘alaihis salam adalah Menepthah atau Ramses III atau dikenal dengan Fir’aun IV yang hidup sekitar tahun 1232 SM hingga 1224 SM, pengganti dari Qabus bin Mushab atau Ramses I yang dikenal dengan Fir’aun III. Sedangkan Fir’aun I adalah Ar-Ra’yan bin Al-Walid. (Tarikh Ath-Thabari, Jilid I hal. 231-232)

            Diriwayatkan bahwa Suatu hari Fir’aun bermimpi, bahwa ada sebuah api yang datang dari Baitul Maqdis lalu membakar negeri Mesir selain rumah-rumah Bani Israil. Saat bangun, maka Fir’aun langsung terkejut, kemudian ia mengumpulkan para peramal dan pesihir untuk meminta takwil terhadap mimpinya itu, lalu mereka memberitahukan bahwa akan lahir seorang anak dari kalangan Bani Israil yang akan menjadi sebab binasanya penduduk Mesir. Maka Fir’aun merasa takut terhadap mimpi tersebut, ia pun memerintahkan untuk menyembelih anak-anak laki-laki Bani Israil karena takut terhadap kelahiran orang tersebut.

Hari pun berlalu, bulan dan tahun berganti sehingga penduduk asli Mesir melihat bahwa jumlah Bani Israil semakin sedikit karena dibunuhnya anak laki-laki yang masih kecil, mereka khawatir jika orang-orang dewasanya wafat, sedang anak-anaknya dibunuh nantinya tidak ada lagi yang mengurus tanah mereka, sehingga mereka pergi mendatangi Fir’aun dan memberitahukan masalah itu, lalu Fir’aun berpikir ulang, kemudian ia pun memerintahkan untuk membunuh laki-laki secara umum dan membiarkan mereka secara umum.

Nabi Harun ‘alaihis salam lahir pada tahun ketika anak-anak tidak dibunuh, sedangkan Nabi Musa ‘alaihis salam lahir pada tahun terjadinya pembunuhan, maka ibunya takut kalau anaknya dibunuh sehingga ia memilih untuk menaruh anaknya di tempat yang jauh dari jangkauan mata tentara Fir’aun yang senantiasa menanti anak-anak Bani Israil untuk dibunuhnya, maka Allah subhanahu wa ta’ala mengilhamkan kepadanya untuk menyusuinya dan meletakkannya ke dalam peti, lalu peti itu ditaruh ke sungai saat tentara Fir’aun datang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ أُمِّ مُوسَىٰ أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash [28] : 7)

Maka ia pun menyiapkan peti kecil yang terikat dengan tali dan menyusui anaknya, dan pada saat tentara Fir’aun datang, maka ia menaruhnya ke dalam peti dan meletakkannya ke dalam sungai Nil. Ketika tentara Fir’aun pergi, maka ia menarik kembali peti itu. Hingga suatu ketika, ibu Nabi Musa ‘alaihis salam lupa mengikat peti itu dengan tali, maka peti itu terbawa oleh air dan terus berjalan, sedangkan saudari Nabi Musa ‘alaihis salam diperintahkan untuk memperhatikannya dan berjalan di sampingnya sambil melihat ke mana peti ini berhenti. Peti tersebut tetap mengambang di atas sungai bergoyang ke kanan dan ke kiri dan digerakkan oleh ombaknya, hingga kemudian peti itu terbawa ke arah istana Fir’aun yang berada di dekat sungai Nil. Ketika saudari Nabi Musa ‘alaihis salam melihat peti itu mengarah ke istana Fir’aun, maka ia segera menyampaikan kepada ibunya untuk memberitahukan perkara itu sehingga hati ibu Nabi Musa ‘alaihis salam menjadi kosong, hampir saja ia menyatakan keadaan yang sebenarnya bahwa Nabi Musa ‘alaihis salam adalah anaknya sendiri.

Ketika itu, Asiyah istri Fir’aun seperti biasa berjalan di kebun istana dan berjalan pula di belakangnya para pelayannya, lalu Asiyah melihat sebuah peti di pinggir sungai Nil di ujung istana, lalu ia menyuruh para pelayannya untuk membawanya dan mereka tidak berani membukanya sampai meletakkan peti itu di hadapan Asiyah. Kemudian Asiyah melihat peti itu dan dilihatnya ada seorang anak bayi yang manis dan Allah subhanahu wa ta’ala menanamkan dalam hatinya rasa cinta kepada anak itu.

Di samping itu, Asiyah adalah seorang wanita yang mandul, Asiyah adalah putri dari Muzahim bin Abid bin Rayyan bin Al-Walid. Melihat peti yang berisi bayi Nabi Musa ‘alaihis salam, Asiyah lalu mengambilnya dan memeluknya dan bertekad untuk menjaganya dari pembunuhan dan penyembelihan, lalu ia membawanya ke suaminya dan berkata dengan penuh rasa kasihan:

قُرَّتُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَىٰ أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

“(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak.” (QS. Al-Qashash [28] : 9)

Yang diucapkan Asiyah sungguh benar, karena keberadaan Nabi Musa ‘alaihis salam memberikan manfaat baginya, di dunia ia memperoleh hidayah dengannya dan di akhirat ia masuk surga dengan sebabnya.

Ketika Fir’aun melihat istrinya begitu kuat menjaga anak bayi ini, maka Fir’aun menyetujui permintaannya dan tidak menyuruh dibunuh dan diangkatlah ia sebagai anak.

Setelah berlalu beberapa saat, sedang Asiyah menggendong bayi Nabi Musa ‘alaihis salam dengan penuh kegembiraan, namun ibu Nabi Musa ‘alaihis salam menangis dengan sedihnya, hatinya kosong terhadap urusan dunia selain urusan Nabi Musa‘ alaihis salam, maka Asiyah merasakan perlunya anak ini disusukan, ia pun segera menghadirkan ibu susu untuk menyusukannya dan mengurusnya, sehingga datanglah sejumlah ibu susu ke istana untuk menyusukannya, tetapi bayi Nabi Musa ‘alaihis salam menolak semuanya. Hal ini membuat penghuni istana sibuk memikirkannya dan berita ini tersebar di kalangan manusia, sehingga saudari Nabi Musa ‘alaihis salam mengetahui hal itu, ia pun pergi ke istana dan menemui Asiyah istri Fir’aun dan memberitahukan, bahwa ia mengetahui ibu susu yang cocok untuk anak ini, maka Asiyah bergembira sekali dan meminta kepadanya agar ibu susu itu dibawa segera ke hadapannya.

Saudari Nabi Musa ‘alaihis salam pun pulang dan menemui ibunya yang sedang dalam keadaan menangis karena kehilangan anaknya, lalu saudari Musa memberitahukan hal yang terjadi antara dirinya dengan istri Fir’aun sehingga tenanglah ibu Nabi Musa ‘alaihis salam dan lega hatinya.

Ibu Nabi Musa ‘alaihis salam pun pergi bersama putrinya ke istana Fir’aun. Ketika telah masuk ke istana dan menemui istri Fir’au, maka ibu Nabi Musa ‘alaihis salam segera menyodorkan teteknya, bayi Nabi Musa ‘alaihis salam segera menyusu hingga kenyang. Lalu Asiyah meminta Ibu Nabi Musa ‘alaihis salam untuk tinggal di istana, tetapi ia menolak karena ia mempunyai suami dan anak-anak yang perlu dilayaninya, maka Asiyah pun melepas bayi Nabi Musa ‘alaihis salam itu bersama ibu itu yang tidak lain adalah ibu Nabi Musa ‘alaihis salam sendiri.

Ibunya membawa bayinya ke rumah tempat Nabi Musa ‘alaihis salam dilahirkan dengan hati yang penuh kebahagiaan, di samping ia memperoleh upah dari istana, demikian pula nafkah dan pemberian lainnya, sehingga hiduplah Nabi Musa ‘alaihis salam dengan ibu dan ayahnya serta saudarinya. Saat Nabi Musa ‘alaihis salam telah kembali ke istana Fir’aun, maka keluarga Nabi Musa ‘alaihis salam telah mendidiknya dengan pendidikan yang baik, sehingga Nabi Musa ‘alaihis salam tumbuh seperti anak raja dan pemerintah, yaitu sebagai orang yang kuat, pemberani dan berpendidikan. Ketika itu, Bani Israil menjadi lebih terhormat, karena dari kalangan mereka yang menyusukan Nabi Musa ‘alaihis salam.

Demikianlah Nabi Musa ‘alaihis salam menjadi dewasa sebagai seorang yang kuat dan pemberani. Maka pada suatu hari, Nabi Musa ‘alaihis salam berjalan di kota Memphis dan dilihatnya ada dua orang yang bertikai, yang satu dari kalangan kaumnya Bani Israil, sedangkan yang satu lagi dari penduduk asli Mesir, yaitu orang Qibthi yang kafir. Lalu orang Bani Israil meminta bantuan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, kemudian Nabi Musa ‘alaihis salam pun datang dan hendak mencegah orang Mesir itu melakukan kezaliman, ia pun memukulnya dengan tangannya sehingga orang Qibthi itu langsung tersungkur ke tanah dan mati.

Nabi Musa ‘alaihis salam pun merasakan bahwa dirinya dalam kesulitan, padahal maksud Beliau bukanlah untuk membunuhnya tetapi untuk membela orang yang terzalimi, maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun bersedih, bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kembali kepada-Nya serta meminta ampunan-Nya. Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa:

رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.” (QS. Al-Qashash [28] : 16)

Akan tetapi, berita itu ternyata sudah tersebar luas di kota itu dan orang-orang Mesir mencari-cari siapa pembunuhnya untuk menghukumnya, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Hari pun berlalu dan saat Nabi Musa ‘alaihis salam berjalan di kota itu, ia pun menemukan orang Bani Israil yang pernah dibelanya bertengkar lagi dengan orang Mesir dan meminta bantuan lagi kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, namun Nabi Musa ‘alaihis salam marah terhadap permintaannya itu, ia pun maju untuk melerai pertikaian, tetapi orang Bani Israil itu mengira bahwa Nabi Musa ‘alaihis salam hendak mendatanginya untuk memukulnya karena marah kepadanya, ia pun berkata:

يَا مُوسَى أَتُرِيدُ أَنْ تَقْتُلَنِي كَمَا قَتَلْتَ نَفْسًا بِالأمْسِ إِنْ تُرِيدُ إِلا أَنْ تَكُونَ جَبَّارًا فِي الأرْضِ وَمَا تُرِيدُ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْمُصْلِحِينَ

“Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.” (QS. Al-Qashash [28] : 19)

Mendengar kata-kata itu, maka orang-orang Mesir pun mengetahui bahwa yang membunuh orang Qibthi itu adalah Nabi Musa ‘alaihis salam. Maka tentara Fir’aun mulai berpikir tentang hukuman yang harus ditimpakan kepadanya, lalu ada seorang yang datang kepada Nabi Musa ‘alaihis salam menasihatinya agar ia pergi dari Mesir, orang itu berkata:

يَا مُوسَى إِنَّ الْمَلأ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ

“Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu.” (QS. Al-Qashash [28] : 20)

Maka setelah mendengar nasihat itu, Nabi Musa ‘alaihis salam keluar dari Mesir dalam keadaan takut kalau ada yang menangkapnya sambil berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diselamatkan dari orang-orang yang zalim, Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa:

رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.” (QS. Al-Qashash [21] : 21)

Maka terasinglah Nabi Musa ‘alaihis salam, berjalan di tengah padang pasir hingga akhirnya beliau bertemu dengan Nabi Syu’aib ‘alaihis salam dan menikahi kedua anaknya di negeri Madyan.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top