Perdebatan Imam Abu Hanifah Rahimahullah dengan Kaum Atheis Sumaniyah

“Tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am [6] : 59)


Di zaman Imam Abu Hanifah rahimahullah terdapat sekelompok kaum Sumaniyah yang atheis. Mereka mengingkari keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala dan menyatakan alam tercipta secara kebetulan. Langit, bumi, gunung dan lautan menurut mereka juga ada secara kebetulan.

Suatu hari mereka berdebat dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah soal keyakinan ini. Karena perdebatan berlangsung lama dan tak kunjung selesai, Imam Abu Hanifah rahimahullah minta debat ditunda beberapa hari. Mereka pun menentukan hari dan waktu debat berikutnya.

Tiba jam yang disepakati, Imam Abu Hanifah rahimahullah belum tiba di lokasi. “Mana Abu Hanifah? Ia terlambat, tak menepati janji?” kata orang-orang Sumaniyah kepada kaum muslimin yang hendak menyaksikan perdebatan itu.

“Mengapa kamu terlambat? Kemarin kamu mengatakan Allah itu ada dan memperhitungkan semua amalmu, mana bukti semua kata-katamu?” seorang tokoh Sumaniyah segera mencerca dengan serentetan pertanyaan begitu Imam Abu Hanifah rahimahullah datang.

“Wahai semuanya,” jawab Imam Abu Hanifah rahimahullah yang ternyata sengaja datang terlambat, “Jangan terburu-buru menilaiku. Saat aku hendak menyeberangi sungai, aku tidak mendapatkan perahu. Tak ada satu pun perahu di sana.”

“Lalu bagaimana kau bisa kemari?”

“Ada sesuatu yang aneh terjadi”

“Aneh? Apa itu?”

“Aku berdiri di tepi sungai. Menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari barangkali ada perahu, sambil berharap semoga Allah memudahkanku datang kemari. Tiba-tiba, secara kebetulan ada angin berhembus kencang. Lalu ada petir besar menyambar. Jika ia menyambar rumah, mungkin rumah itu akan roboh. Tapi secara kebetulan petir itu menyambar sebuah pohon besar, lalu pohon tersebut terbelah menjadi dua. Secara kebetulan, robohnya ke sungai. Lalu secara kebetulan datanglah potongan besi dan ada dahan yang masuk ke sana membentuk kapak. Secara kebetulan kapak itu bergerak-gerak menghantam potongan pohon tersebut dan jadilah sebuah perahu. Tak berhenti di situ, ada dua ranting yang jatuh ke sungai dan menempel di sisi kanan dan sisi perahu, setelah itu perahu tersebut mendekat padaku dan aku naik. Begitu aku di atasnya, perahu itu mendayung sendiri dengan cepat hingga aku bisa tiba di sini. Nah, begitu ceritanya. Sekarang, mari kita lanjutkan diskusi kita, apakah alam semesta ini tercipta secara kebetulan atau tidak?”

“Tunggu sebentar! Kau ini waras atau tidak?” tanya mereka yang masih terheran-heran dengan cerita Imam Abu Hanifah rahimahullah.

“Waras”

“Tapi ceritamu itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sebuah perahu bisa tercipta dari petir yang menyambar secara kebetulan lalu terpotong secara kebetulan dari pohon dan ranting jatuh menempel di sisi kanan dan kiri perahu. Tidak mungkin. Untuk membuat perahu dibutuhkan orang yang mengerjakannya, memotong kayunya, memasang tali, membuat sampan dan seterusnya.”

“Subhanallah,” jawab Imam Abu Hanifah rahimahullah, “Kalian mengatakan bahwa langit, bumi, gunung, laut, manusia, hewan, matahari, bulan dan bintang semuanya da secara kebetulan; tapi mengapa kalian tak percaya bahwa ada satu perahu yang tercipta secara kebetulan?” jawaban itu membuat orang-orang atheis Sumaniyah terbungkam. Mereka tak berkutik.

Kisah diatas disarikan dari Kitab Rihlah Al-Hayah karya DR. Muhammad Al-Arifi hafizhahullah.

            Sesungguhnya segala sesuatu tidaklah terjadi secara kebetulan, segala hal yang ada di langit dan bumi, baik itu perkara ghaib maupun zhahir, semua telah ditetukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui semua yang terjadi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am [6] : 59)

Obat Tatkala Cinta Menyapa

“Jatuh cinta adalah penyakit dan obatnya adalah menikahi orang yang dicintainya.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziah)


Upaya preventif di masa sehat tidak sepatutnya ditinggalkan. Dan ketika sebab-sebab penyakit itu telah diketahui, maka wajib dijauhi. Ketika suatu penyakit sudah menimpa, maka kita harus segera pergi ke Dokter sebelum penyakitnya menjadi kronis.

Nah.... Bagaimankah cara mengobati diri, tatkala si cinta menyapa di dalam dada agar si cinta tidak menjadi petaka bagi yang merasakannya. Adapun cara-cara mengobatinya adalah sebagai berikut:

1. Nikah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Kami tidak pernah mendapatkan suatu ikatakan bagi orang yang saling mencintai yang serupa dengan ikatan pernikahan.” (HR. Abdurrazzaq, Ibnu Majah, Ath-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Ibnu Qayyim Al-Jauziah rahimahullah pernah berkata : “Jatuh cinta adalah penyakit dan obatnya adalah menikahi orang yang dicintainya.”

Inilah obat yang paling jitu bagi orang yang sedang di mabuk cinta, karena menikah dapat mengobati cinta yang menggelora. Tapi kalau belum mampu menikah, maka perbanyaklah berpuasa.

2. Jangan berdua-duaan

Tatkala seseorang tidak mampu merealisasikan cintanya dalam ikatan yang suci, maka dia harus berusaha mencari obat dari mabuk cinta tersebut agar dia tidak larut dalam kesengsaraan dan merana. Adapun salah satu caranya adalah tidak berdua-duaan atau berkhalwat dengan orang yang di cintai, karena apabila hal tersebut terjadi maka setan akan semakin memperkeruh masalah.

Sahabat Jabir radhiyallahu ’anhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah seseorang berduaan dengan seorang wanita tanpa disertai tanpa disertai mahramnya. Sebab, ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad 3/33 dan hadits ini Hasan dengan pendukung-pendukungnya. Lihat, Shahih Al-Jami’, no.6506)

3. Jaga pandangan

Ketahuilah bahwa permulaan cinta itu pada umumnya terjadi ketika memandang kepada rupa yang menawan. Diprolehnya cinta dengan pandangan ini ada tandanya. Yaitu ketika pandangan tertuju kepada sesuatu yang indah, maka hatinya berdebar-debar nyaris terbang kepadanya. Jika dia menarik pandangannya, maka hatinya gelisah sehingga kembali melihatnya. Ini adalah tanda cinta, betul tidak saudara-saudara? hahaha....

Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

"Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barangsiapa yang memalingkan pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai pada hari Kiamat." (HR. Ahmad)

4. Jaga ucapan

Pikirkan tentang perbincanganmu dengan kekasihmu. Sebab kamu akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang kamu katakan. Karena pembicaraan dapat menyalakan api cinta.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Seorang hamba berkata-kata dengan suatu perkataan yang dapat menggelincirkannya dalam api neraka, yang jaraknya sejauh antara timur dan barat.” (HR. Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 49)

5. Kembalilah kepada Allah

Wahai orang-orang yang lagi mabuk cinta, mari kita renungkan firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut ini:

“Sesunguhnya orang-orang yang beriman yaitu adalah orang-orang yang ketika disebut nama Allah maka bergetarlah hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatnya maka bertambahlah iman mereka karenanya. Dan kepada Rabbnya mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal : 2)

Bertanyalah pada diri kita masing-masing, hatimu bergetar saat disebut nama-Nya ataukah namanya? “Mintalah fatwa pada dirimu sendiri” begitulah kata Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Bukankah cinta ini yang menjadikan Handhalah radhiyallahu ’anhu meninggalkan malam pertamanya untuk pergi perang lalu meninggal dalam keadaan masih junub? Bukankah cinta ini yang menjadikan Bilal bin Rabah radhiallahu ’anhu mampu menahan derita yang tak terkira? begitu pulalah Ammar bin Yasir, Khalid bin Walid dan lainnya radhiyallahu ’anhum.

6. Sibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat

Karena cinta adalah pekerjaan orang yang menganggur. Ia membayangkan wajah orang yang dicintainya dalam sepi karena kerinduannya kepadanya. Tatkala seseorang menyibukkan hatinya dengan sesuatu hal yang bermanfaat baik dalam perkara agama maupun dunia, maka pelan-pelan dia akan bisa melupakan sang kekasih pujaan, dan cinta yang menggelora tersebut menjadi surut sehingga terlupakan.

7. Ingatlah aib-aib (kekurangan) orang yang di cintai

Di antara yang dapat meyembuhkan batin ialah kamu memikirkan sehingga kamu mengetahui orang yang kamu cintai tidak seperti yang terdapat dalam hatimu. Renungkanlah aib-aibnya, maka kamu akan terhibur.

8. Perbanyaklah berdo’a, berdzikir dan bersabarlah

Ya... Berdo’alah kepada Allah agar perasaan yang menggelora tersebut bisa hilang dan perbanyaklah dzikir kepada-Nya, karena dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang.

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram karena mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d : 28)

Iniliah urain singkat mengenai cinta dan cara mengaturnya, agar kita bisa merasakan cinta itu sebagai suatu anugerah dari Allah yang mendatangkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak. Dan agar kita terjaga, dari gelora cinta yang bisa menjerumuskan ke dalam lembah kesengsaraan.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya beserta orang yang mengikuti beliau dengan baik sampai hari kiamat Wa akhiru da’wana ‘anil hamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Siapa Itu Wahabi?

“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Yunus : 106)


Orang-orang biasa menuduh ‘Wahabi’ kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid'ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur'anul Karim dan hadits-hadits shahih. Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdo'a (memohon) hanya kepada Allah subhanahu wa ta'ala semata.

Pengertian Wahhabi

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama Wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang paling baik (Asmaa'ul Husnaa).

Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama'ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya Wahabi menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu Allah yang memberikan tauhid dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhid.

Muhammad bin Abdul Wahhab

Beliau dilahirkan di kota 'Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur'an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hambali, belajar hadits dan tafsir kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Perasaan beliau tersentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya Nejed dengan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan, khurafat dan bid'ah. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Ia mendengar banyak wanita di negerinya bertawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”

Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah shalallaahu alaihi wasallam, hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata.

Di Madinah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, serta berdo'a (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur'an dan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Al-Qur'an menegaskan:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Yunus : 106)

Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ،

“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdo'a (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.

1.       Penentangan Orang-Orang Batil Terhadapnya

Para ahli bid'ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad : 5)

Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah subhannahu wa ta'ala menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhid terbesar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.

Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima, padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hambali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang Wahabi tidak mencintai Rasulullah shalallaahu alaihi wasallam serta tidak bershalawat atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.

Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah telah menulis kitab “Mukhtashar Siiratur Rasuul Shalallaahu alaihi wasalam. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.

Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur'an, hadits dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.

Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.

2.       Dalam Sebuah Hadits Disebutkan:

اللَّهُمَ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنا، اللَّهُمَ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا، فَقَالَهَا مِرَارًا، فَلَمَّا كَانَ فِيْ الشَالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ، قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا؟ قَالَ : إِنَّ بِهَا الزَّلاَزِلَ وَالْفِتَنَ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

“Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, 'Dan di negeri Nejed.' Rasulullah berkata, 'Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar Al-'Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma dibunuh.

Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan seba-liknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.

3.       Sebagian Ulama Yang Adil Sesungguhnya Menyebutkan Bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Adalah Salah Seorang Mujaddid (Pembaharu) Abad 12H.

Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang "Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah", di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin 'Irfan.

Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, akidah tauhid sampai ke negeri India dan negeri-negeri lainnya melalui jama'ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, pemerintah Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi akidah tauhid tersebut.

Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa akidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka. Selanjutnya penjajah Inggris memerintahkan kepada kaum Murtaziqah (yaitu orang-orang bayaran) agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata Wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid'ah, sehingga memalingkan umat Islam dari akidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdo'a hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma'ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk Surga.

Hukum Musik dan Fatwa-Fatwa Ulama Madzhab Asy-Syafi'i Mengenai Musik

Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang akan menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)



Musik, sebuah kata yang sangat tidak asing ditelinga kita. Banyak sekali diantara manusia yang menyukai hal ini bahkan menjadikannya hobi bahkan perkerjaan. Dan tak sedikit pula menjadikan musik sebagai gaya hidup. Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai musik itu sendiri? Sebagian kita ada yang menyukai musik dan ada yang tidak. Karena hal ini disebabkan oleh adanya pro dan kontra akan hukum musik itu sendiri dan juga karena ketidaktahuan kita akan manfaat dan bahaya musik itu sendiri.

Pada kesempatan kali ini, mari kita simak bersama, apa sih sebenarnya hukum musik itu sendiri? Terkhusus lagi, jika musik itu dinisbatkan kepada Islam. Sebelum kita membahas bersama, ada kesepakatan yang harus kita patuhi. Karena kita adalah orang Islam, tentunya kita mengimani bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala adalah Tuhan kita dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi dan panutan kita. Maka konsekuensi dari itu, kita harus meyakini kebenaran yang datang dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala beberapa kali menjelaskan mengenai musik di dalam Al-Quran dan salah satu di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman [31] : 6)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwasanya setelah Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang keadaan orang-orang yang berbahagia dalam ayat 1-5, yaitu orang-orang yang mendapat petunjuk dari firman Allah  yaitu Al-Qur’an dan mereka merasa menikmati dan mendapatkan manfaat dari bacaan Al-Qur’an, lalu Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan dalam ayat 6 ini tentang orang-orang yang sengsara, yang mereka ini berpaling dari mendengarkan Al-Qur’an dan berbalik arah menuju nyanyian dan musik.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata ketika ditanya tentang maksud ayat ini, maka beliau menjawab bahwa itu adalah musik, seraya beliau bersumpah dan mengulangi perkataannya sebanyak tiga kali.

Begitu juga dengan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang dido’akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kelebihan kepada beliau dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga beliau dijuluki sebagai Turjumanul Qur’an, bahwasanya beliau juga mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nyanyian. (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 5 hal. 563)

Selain ayat diatas, masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang menjelaskan akan hal ini.

Lalu bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkabarkan kepada umatnya tentang musik? Termasuk mukjizat yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pengetahuan beliau tentang hal yang terjadi di masa mendatang. Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang akan menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)

            Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ

“Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku yang meminum minuman keras, mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

            Coba perhatikan dua hadits diatas, jika akan ada yang menghalalkan maka jelas pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hal tersebut adalah haram. Dan kita bisa simak pula bahwa alat-alat musik dalam hadits tersebut disejajarkan dengan zina, sutera dan minuman keras yang semua ‘ulama sudah sepakat akan keharamannya. Lalu lihatlah, bukankah apa yang telah dikabarkan oleh beliau itu telah terjadi pada zaman kita saat ini?

Dan juga dalam hadits lain, secara terang-terangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang musik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إني لم أنه عن البكاء ولكني نهيت عن صوتين أحمقين فاجرين : صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير الشيطان وصوت عند مصيبة لطم وجوه وشق جيوب ورنة شيطان

“Aku tidak melarang kalian menangis. Namun, yang aku larang adalah dua suara yang bodoh dan maksiat, suara di saat nyanyian kesenangan, permainan dan lagu-lagu setan, serta suara ketika terjadi musibah, menampar wajah, merobek baju, dan jeritan setan.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

            Selain tiga hadits di atas, sebenarmya masih banyak lagi hadits-hadits dan atsar-atsar sahabat yang sangat jelas dan rinci mengharamkan musik. Namun sesuai dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya mengenai konsekuensi mengimani bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala adalah Tuhan kita dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi dan panutan kita maka seharusnya cukup dengan beberapa dalil tersebut kita wajib menyatakan dengan tegas bahwa musik adalah haram.

Perkataan Ulama Mengenai Musik

Sebagian orang mengira bahwa musik itu haram karena klaim sebagian kalangan saja. Padahal sejak masa silam, ulama madzhab telah menyatakan haramnya. Musik yang dihasilkan haram didengar bahkan harus dijauhi. Alat musiknya pun haram dimanfaatkan. Jual beli dari alat musik itu pun tidak halal. Biasanya orang yang menghalalkan musik mengambil pendapat dari beberapa ulama mutaakhirin seperti Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah, Imam Al-Ghazali rahimahullah atau para tokoh Tasawuf yang menyimpang, padahal jumhur ulama justru mengharamkannya.

Berikut ini merupakan fatwa-fatwa Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah khusunya dari Madzhab Asy-Syafi’i secara khusus karena hal ini jarang disinggung oleh para Kyai dan Ulama di negeri kita. Padahal sudah ada di kitab-kitab pegangan mereka.

1.       Imam Asy-Syafi’i rahimahullah

Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah dalam kitab Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kabair berkata:

قد علم من غير شك أن الشافعي رضي الله عنه حرم سائر أنواع الزمر

“Dan telah diketahui tanpa keraguan bahwasanya Imam Asy-Syafi'i radhiyallahu ‘anhu mengharamkan seluruh jenis alat musik.” (Az-Zawajir 'an Iqtirafil Kabair, Jilid 2 hal. 907)

Imam Asy-Syafi'i rahimahullah dalam Kitab Al-Umm berkata mengenai hukuman potong tangan bagi pencuri:

فكل ما له ثمن هكذا يقطع فيه إذا بلغ قيمته ربع دينار مصحفا كان أو سيفا أو غيره مما يحل ثمنه فإن سرق خمرا أو خنزيرا لم يقطع ; لأن هذا حرام الثمن ولا يقطع في ثمن الطنبور ولا المزمار

“Maka setiap barang berharga menyebabkan si pencuri dipotong tangan, jika harga barang tersebut mencapai seperempat dinar. Barang tersebut dapat berupa mushaf (Al-Qur'an) atau pedang atau yang lainnya yang hasil penjualannya halal. Jika ia mencuri minuman keras atau babi maka tidaklah dipotong tangannya karena hasil penjualan minuman keras dan babi adalah haram. Dan juga tidak dipotong tangan si pencuri jika dia mencuri kecapi dan seruling.” (Al-Umm, Jilid 6 hal. 147)

Dalam fatwa Imam Asy-Syafi’i rahimahullah diatas, beliau menyamakan hukum kecapi dan seruling (alat-alat musik) dengan minuman keras dan babi yang haram hasil penjualannya, bahkan tak ada potong tangan bagi seseorang yang mencuri alat musik karena alat musik merupakan barang-barang haram sebagaimana minuman keras dan babi.

Imam Asy-Syafi'i rahimahullah juga berkata tentang hukum di antara orang-orang kafir ahlul jizyah:

ولو كـَسَـر له طنبورا أو مزمارا أو كبرا، فإن كان في هذا شيء يصلح لغير الملاهي فعليه ما نقص الكسر، وإن لم يكن يصلح إلا للملاهي فلا شيء عليه، وهكذا لو كسرها نصراني لمسلم أو نصراني، أو يهودي أو مستأمن، أو كسرها مسلم لواحد من هؤلاء، أبطلت ذلك كله

“Jika seandainya dia (kafir ahlul jizyah) menghancurkan kecapi atau seruling atau gendang, maka seandainya benda-benda ini tidak bisa digunakan kecuali sebagai alat musik maka tidak ada sesuatu yang harus ia ganti rugi. Dan demikian pula jika seorang muslim yang merusak (kecapi dan seruling) milik seorang muslim atau yang merusak adalah orang nasrani atau orang yahudi atau orang kafir musta'man, atau orang muslim yang lain yang telah merusak salah satu dari benda-benda tersebut maka aku anggap semuanya batil (tidak perlu diganti rugi).” (Al-Umm, Jilid 4 hal. 212)

Dalam fatwa diatas, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa jika ada seorang kafir melakukan pengrusakan terhadap alat-alat musik milik seorang muslim, maka orang kafir tersebut tidak perlu menanggung biaya ganti rugi pengrusakan tersebut.

2.       Imam Al-Ghazali rahimahullah

Imam Al-Ghazali rahimahullah dalam Ihya’ ‘Ulumuddin memang berpendapat bahwa alat musik adalah halal karena beliau mengqiyaskan suara alat musik dengan suara burung dan hewan-hewan, namun qiyas ini tidaklah tepat. Bahkan dalam fatwa beliau yang lain, Imam Al-Ghazali rahimahullah berkata:

المعازف والأوتار حرام لأنها تشوق إلى الشرب وهو شعار الشرب فحرم التشبه بهم

“Alat-alat musik dan senar-senar adalah haram, karena menimbulkan hasrat untuk meminum (minuman haram), dan ini adalah syi'arnya para peminum khomr, maka diharamkan meniru-niru mereka.” (Al-Washith, Jilid 7 hal. 350)

            Dan fatwa beliau inilah yang tepat karena sesuai dengan jumhur ulama Ahlussunnah.

3.       Imam An-Nawawi rahimahullah

Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi rahimahullah, ulama besar Madzhab Asy-Syafi’i berkata:

أن يغني ببعض آلات الغناء مما هو من شعار شاربي الخمر وهو مطرب كالطنبور والعود والصنج وسائر المعازف والأوتار يحرم استعماله واستماعه

“Bernyanyi dengan alat-alat musik. Ini merupakan syi’ar para peminum khamr. Yaitu alat musik yang dipukul seperti tunbur, banjo, simbal dan alat-alat musik yang lainnya dan juga alat musik dengan senar, semuanya diharamkan menggunakannya dan mendengarkannya.” (Raudhatut Thalibin, Jilid 11 hal. 228)

4.       Imam Taqiyuddin As-Subki rahimahullah

Imam Al-Khathib Asy-Syarbini rahimahullah mengutip perkataan Imam Taqiyuddin As-Subki rahimahullah dalam kitabnya, Imam Taqiyuddin As-Subki rahimahullah berkata:

السماع على الصورة المعهودة منكر وضلالة وهو من أفعال الجهلة والشياطين ومن زعم أن ذلك قربة فقد كذب وافترى على الله ومن قال إنه يزيد في الذوق فهو جاهل أو شيطان ومن نسب السماع إلى رسول الله يؤدب أدبا شديدا ويدخل في زمرة الكاذبين عليه صلى الله عليه وسلم ومن كذب عليه متعمدا فليتبوأ مقعده من النار وليس هذا طريقة أولياء الله تعالى وحزبه وأتباع رسول الله صلى الله عليه وسلم بل طريقة أهل اللهو واللعب والباطل وينكر على هذا باللسان واليد والقلب.  ومن قال من العلماء بإباحة السماع فذاك حيث لا يجتمع فيه دف وشبابة ولا رجال ونساء ولا من يحرم النظر إليه

“As-Sama' (mendengarkan nyanyian yang terkadang disertai sebagian alat musik dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah karena bisa menenteramkan hati) dengan model yang dikenal adalah kemungkaran dan kesesatan. Ia merupakan perbuatan orang-orang jahil dan para setan. Barangsiapa yang menyangka bahwa hal ini adalah qurbah (ibadah yang mendekatkan kepada Allah) maka ia telah berdusta atas nama Allah. Barangsiapa yang mengatakan bahwa perbuatan ini menambah rasa maka ia adalah seorang yang jahil atau setan. Barangsiapa yang menyandarkan perbuatan ini (As-Sama') kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya ia diberi pelajaran yang keras, dan ia masuk dalam golongan para pendusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.” Ini (As-Sama') bukanlah tarekatnya para wali-wali Allah, bukanlah golongan pengikut Allah subhanahu wa ta’ala serta bukan jalan para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ini merupakan jalannya para tukang lalai dan bermain-main serta ahlul batil. Hendaknya hal ini diingkari dengan lisan, tangan, dan hati. Jika ada di antara para ulama yang menyatakan bolehnya As-Sama’ maka hal itu jika tidak disertai dengan rebana, seruling, ikhtilat lelaki dan perempuan, serta orang yang haram untuk dipandang.” (Mughni Al-Muhtaj, Jilid 4 hal. 429)

            Fatwa Imam Taqiyuddin As-Subki rahimahullah diatas sangatlah keras, beliau menyatakan bahwa mendengarkan nyanyian yang terkadang disertai sebagian alat musik dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena bisa menenteramkan hati dengan model yang dikenal mirip seperti yang dilakukan oleh Kaum Sufi adalah kemungkaran dan kesesatan. Ia merupakan perbuatan orang-orang jahil dan para setan.

5.       Syaikh Ibnu Shalah Asy-Syahrazuri rahimahullah

Syaikh Ibnu Shalah Asy-Syahrazuri rahimahullah, ulama besar di bidang hadits beliau berkata:

وَأما اباحة هَذَا السماع وتحليله فَليعلم أَن الدُّف والشبابة والغناء إِذا اجْتمعت فاستماع ذَلِك حرَام عِنْد أَئِمَّة الْمذَاهب وَغَيرهم من عُلَمَاء الْمُسلمين وَلم يثبت عَن أحد مِمَّن يعْتد بقوله فِي الْإِجْمَاع والاخلاف أَنه أَبَاحَ هَذَا السماع

“Mengenai adanya anggapan bahwa nyanyian untuk mubah dan halal maka ketahuilah bahwa rebana, gitar dan nyanyian jika bercampur menjadi satu maka hukum mendengarkannya adalah haram menurut para imam madzhab dan seluruh ulama umat Islam selain mereka. Tidaklah benar ada ulama, yang pendapatnya yang diakui dalam ijma dan khilaf, yang membolehkan nyanyian semisal ini.” (Fatawa Ibnu Shalah, Jilid 2 hal. 500)

6.       Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari rahimahullah

Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وأما الغناء على الآلة المطربة كالطنبور والعود وسائر المعازف أي الملاهي والأوتار وما يضرب به والمزمار العراقي وهو الذي يضرب به مع الأوتار وكذا اليراع وهو الشبابة فحرام استعماله واستماعه، وكما يحرم ذلك يحرم استعمال هذه الآلات، واتخاذها لأنها من شعار الشربة وهي مطربة

“Adapun nyanyian dengan menggunakan alat-alat musik seperti kecapi dan gitar dan seluruh alat-alat musik, yaitu alat-alat musik dan senar-senar, dan apa yang dipukul-pukul serta seruling Iraq, yaitu yang dipukul-pukul dengan disertai senar, demikian pula yaroo' yaitu seruling maka hukumnya haram digunakan dan didengarkan. Sebagaimana diharamkan hal itu maka diharamkan pula memainkan alat-alat ini dan menggunakannya karena alat-alat ini merupakan syi'arnya para peminum minuman haram.” (Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib, Jilid 4 hal. 344-345)

7.       Imam Al-Khathib Asy-Syarbini rahimahullah

Dalam kitab Mughni Al-Muhtaj, Imam Al-Khathib Asy-Syarbini Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

(ويحرم استعمال) أو اتخاذ (آلة من شعار الشربة) جمع شارب، وهم القوم المجتمعون على الشراب الحرام، واستعمال الآلة هو الضرب بها (كطُنبور) بضم الطاء ويقال الطنبار (وعود وصنج) وهو كما قال الجوهري صفر يضرب بعضها على بعض وتسمى الصفاقتين لأنهما من عادة المخنثين (ومزمار عراقي ) بكسر الميم وهو ما يضرب به مع الأوتار (و) يحرم (استماعها) أي الآلة المذكورة لأنه يطرب ولقوله صلى الله عليه وسلم: «ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف»

“(Dan diharamkan memainkan) atau menggunakan (alat yang merupakan syi'arnya para peminum), yaitu kaum yang berkumpul untuk meminum minuman haram, dan memainkan alat yaitu memukulnya (seperti kecapi), (dan gitar dan shonj) sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Jauhari yaitu dua piringan tembaga yang saling dibenturkan sehingga menimbulkan suara, dan dinamakan juga Ash-Shaffaqataini, karena keduanya merupakan tradisi orang-orang banci. (Dan juga seruling Iraqi) yaitu seruling yang dimainkan dengan senar-senar. (Dan) diharamkan (mendengarkannya) yaitu alat-alat tersebut karena membuat melayang dan karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang akan menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik .” (Mughni Al-Muhtaj, Jilid 4 hal. 429)

8.       Imam Al-Juwaini rahimahullah

Imam Al-Haramain Abu Ma’ali Al-Juwaini Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

والبداية في هذا الفن بتحريم المعازف والأوتار، وكلها حرام، وهي ذرائع إلى كبائر الذنوب

“Permulaan dalam pembahasan ini adalah dengan mengharamkan alat-alat musik dan senar-senar, dan semuanya adalah haram, dan merupakan dzari'ah (yang mengantarkan) kepada dosa-dosa besar.” (Nihayatul Mathlab bi Dirayatil Madzhab, Jilid 19 hal. 22)

9.       Syaikh Taqiyuddin Al-Hushni rahimahullah

Dalam kitab Kifayatul Akhyar Syarah Matan Al-Ghayah wat Taqrib (Matan Abi Syuja’) halaman 330 karya Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushni Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i rahimahullah ketika menjelaskan perkataan Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah bahwa di antara jual beli yang tidak sah (terlarang) adalah jual beli barang yang tidak ada manfaatnya. Syaikh Taqiyuddin Al-Hushni rahimahullah memaparkan bahwa jika seseorang mengambil harta dari jual beli seperti ini, maka itu sama saja mengambil harta dengan jalan yang batil. Dalam perkataan selanjutnya, dijelaskan sebagai berikut:

وأما آلات اللهو المشغلة عن ذكر الله، فإن كانت بعد كسرها لا تعد مالاً كالمتخذة من الخشب ونحوه فبيعها باطل لأن منفعتها معدومة شرعاً، ولا يفعل ذلك إلا أهل المعاصي

“Adapun alat musik yang biasa melalaikan dari dzikirullah jika telah dihancurkan, maka tidak dianggap lagi harta berharga seperti yang telah hancur tadi berupa kayu dan selainnya, maka jual belinya tetap batil (tidak sah) karena saat itu tidak ada manfaatnya secara syar’i. Tidaklah yang melakukan demikian kecuali ahli maksiat.” (Kifayatul Akhyar, hal. 330)

10.   Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah

Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:

الكبيرة السادسة والسابعة والثامنة والتاسعة والأربعون، والخمسون والحادية والخمسون بعد الأربعمائة: ضرب وتر واستماعه، وزمر بمزمار واستماعه وضرب بكوبة واستماعه

“Dosa besar yang ke 446, 447, 448, 449, 450, 451 adalah memainkan nada-nada, mendengarkannya, meniup seruling, mendengarkannya, menabuh gendang, dan mendengarkannya.” (Hukmul Ghina wal Ma’azif, hal. 1)

            Dalam riwayat yang lain, beliau juga berkata dengan sangat tegas:

الأَوتار والمعازف كالطُّنْبُور والعُود والصَّنْج أي: ذي الأوتار والرباب والجَنْك والكمنجة والسنطير والدِّرِّيجُ، وغير ذلك من الآلات المشهورة عند أهل اللهو والسَّفاهة والفُسوق، وهذه كلُّها محرَّمة بلا خِلاف، ومَن حكى فيه خلافًا فقد غلط أو غلب عليه هَواه، حتى أصمَّه وأعماه، ومنعه هداه، وزلَّ به عن سنن تَقواه

“Senar-senar dan alat-alat musik seperti kecapi, gitar, Ash-Shanj yaitu yang ada senarnya, rebab, jank (semacam gitar), kamanjah (alat musik yang memiliki kayu berbentuk busr dengan empat senar), sinthir (semacam alat musik yang senarnya dari tembaga), dan dirriij (semacam kecapi), serta alat-alat musik lainnya yang dikenal oleh para pemain dan orang-orang bodoh dan para pelaku kefasikan. Ini semuanya hukumnya haram tanpa ada khilaf (perselisihan). Barang siapa yang menyebutkan adanya khilaf dalam hal ini maka ia telah keliru atau hawa nafsunya telah mendominasinya sehingga membuatnya tuli dan buta serta mencegahnya dari petunjuk dan juga menggelincirkannya dari jalan ketakwaannya.” (Kaff Ar-Ri’aa’ ‘an Muharramat Al-Lahwi wa As-Sama’, hal 118)

11.   Syaikh Abu Bakar Ad-Dimyathi rahimahullah

Syaikh Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi Asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

بخلاف الصوت الحاصل من آلات اللهو والطرب المحرمة – كالوتر – فهو حرام يجب كف النفس من سماعه

“Berbeda halnya dengan suara yang dihasilkan dari alat musik dan alat pukul yang haram seperti ‘watr’, nyanyian seperti itu haram. Wajib menahan diri untuk tidak mendengarnya.” (I’anatuth Thalibin, Jilid 2 hal. 280)

12.   Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah

Terakhir, tak lengkap rasanya jika kita tak melihat bagaimana ulama besar Nusantara berfatwa mengenai hukum musik ini. Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani Asy-Syafi’i rahimahullah, ulama besar Madzhab Asy-Syafi’i Nusantara dalam Kitab Mirqah Shu’ud At-Tashdiq menyatakan:

فصل: في المنهيات من البيوع
(و) يحرم بيع كل (محرم كالطنبور) قال عطية: هو بضم الطاء كما في المختار أي و كالمزمار بكسر الميم. فلا يشتري لابنه زمارة أو صفارة، و إذا راى ذلك وجب كسره. اهــ. ذلك لأنه لا نفع بذلك نفعا مقصودا في الشرع. قال ابن حجر : و لو كان ذلك من ذهب، فيكون بذل المال في مقابلته سفها. و إنما صح بيع إناء النقد لأنه يحل استعماله لحاجة، بخلاف آلات الملاهي. اهـ. أي فلا نظر إلى إنظار رضاضها، لأنها بهيئتها لا يقصد منها غير المعصية، كما نبه على ذلك شيخ الإسلام

Pasal: Larangan-larangan dalam Berjual-Beli.
(Dan) Diharamkan berjual-beli segala sesuatu (yang haram seperti gitar). ‘Athiyyah berkata: “Artinya sepemacam seruling. Maka tidak boleh membelikan seruling untuk anaknya atau peluit. Jika ia melihat ada barang-barang tersebut, ia wajib memusnahkannya, yang demikian itu karena tidak adanya manfaat yang dimaksudkan menurut syari’at.” Ibnu Hajar berkata: “Meskipun barang-barang tersebut terbuat dari emas. Maka membuang harta untuk membeli barang-barang tersebut adalah tindakan bodoh! Dibolehkan berjual-beli bejana emas atau perak, karena ia boleh dipakai untuk keperluan (yang mendesak). Lain halnya dengan alat-alat musik. Tidak lagi dianggap pecahan-pecahannya. Karena barang-barang itu tidak dimanfaatkan kecuali untuk sarana kemaksiatan. Demikian Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari mengingatkan.” (Mirqah Shu’ud At-Tashdiq, hal. 94)

Ditempat yang lain, Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah juga menyatakan:

فصل : في بعض معاصي الأذن
(و من معاصي الأذن : الإستماع إلى المزمار) بكسر الميم و هو : ما يضرب به مع الأوتار، و هو مزمار عراقي كما قال شيخ الإسلام في الفتح. (و الطنبور) بضم الطاء و في الحديث : من استمع آلة الملاهي في الدنيا لم يسمع قراء أهل الجنة، و منهم يوسف و محمد صلى الله عليه و سلم. (و سائر الأصوات المحرمة) كطبل كوبة

Pasal: Berbagai Maksiat Telinga
(Dan di antara maksiat telinga ialah mendengarkan gitar) yaitu yang dipetik dengan benang-benang. Itulah gitar Iraq, sebagaimana kata Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari dalam Fathul Wahhab. (Dan juga seruling) Dalam sebuah hadits dinyatakan: “Barangsiapa yang mendengarkan alat musik di dunia, maka ia tidak akan mendengar pembaca-pembaca penduduk surga. Diantaranya adalah Yusuf dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Dan pula haram mendengarkan seluruh suara yang haram) seperti bedug kubah.” (Mirqah Shu’ud At-Tashdiq, hal. 127)

            Dalam fatwa ini memang disandarkan kepada hadits yang tidak ditemukan sanadnya dalam kitab hadits mana pun yaitu hadits “Barangsiapa yang mendengarkan alat musik di dunia, maka ia tidak akan mendengar pembaca-pembaca penduduk surga. Diantaranya adalah Yusuf dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Akan tetapi hal ini tidak menafikan fatwa beliau, bahwa beliau pun menyatakan haram terhadap semua alat musik bahkan termasuk bedug kubah diantaranya.

            Demikianlah perkataan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah terlebih lagi perkataan ulama-ulama Madzhab Asy-Syafi’i yang tercantum dalam kitab-kitab fiqih Madzhab Asy-Syafi’i yang sangat jarang sekali disinggung oleh para Kyai dan Ulama di negeri kita. Intinya, musik itu haram. Alat musik juga adalah alat yang haram. Pemanfaatannya termasuk diperjualbelikan adalah haram. Artinya, upah yang dihasilkan adalah upah yang haram. Penjelasan ini pun dapat menjawab bagaimana hukum shalawatan dan nasyid dengan menggunakan alat musik.

Sebuah Perenungan

            Ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan sesuatu pasti Dia pun akan memberikan gantinya. Tak lain dan tak bukan, pengganti nyanyian dan musik adalah Al-Quran. Dengan membaca, merenungi, dan mendengarkan lantunan Al-Quran, hati kita akan hidup dan tertata karena inilah yang disyari’atkan.

Ingatlah bahwa Al-Quran dan musik sama sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa memperhatikan perkataan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah. Beliau berkata: “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al-Quran. Ingatlah, Al-Quran dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang. Al-Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al-Quran memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa. Al-Quran memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.” (Ighatsatul Lahfan, Jilid 1 hal. 248-249)

Dari sini, pantaskah Al-Quran ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah subhanahu wa ta’ala akan memberi ganti dengan yang lebih baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Ahmad)

Tatkala Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan manfaat di balik itu semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al-Quran, niscaya perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan ditinggalkan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top