“Katakanlah
tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib
kecuali Allah.” (QS. An-Naml [27] : 65)
Sufi, selama ini
banyak dipahami sebagai gambaran kesederhanaan, kezuhudan ataupun kehidupan
yang nyaris tak tersentuh ‘peradaban’. Menilik sejarahnya, nama sufi sebenarnya
nisbat dari sekelompok manusia yang beribadah secara berlebihan, dengan
berbagai tata cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Sejarah Munculnya
Tasawuf dan Sufi
Tasawuf (تَصَوُّف) diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud
dan wara’ terhadap dunia. Penganutnya disebut Shufi (صُوْفِيٌّ) (selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, red), dan
jamaknya adalah Sufiyyah (صُوْفِيَّةٌ).
Istilah ini
sesungguhnya tidak masyhur di jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Adapun lafadz Sufiyyah bukanlah lafadz yang
masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya
menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 11 hal. 5)
Bashrah, sebuah
kota di Irak, merupakan tempat kelahiran Tasawuf dan Sufi. Di mana sebagian
ahli ibadahnya mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap
dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam), hingga akhirnya memilih untuk mengenakan pakaian yang
terbuat dari bulu domba (Shuf/صُوْفٌ).
Meski kelompok ini
tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah
mereka disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuf (صُوْفٌ). Jadi, lafadz Sufi bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang
ada di jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena nisbat
kepadanya adalah Shuffi (صُفِّيٌ). Bukan pula nisbat
kepada shaf terdepan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, karena nisbat
kepadanya adalah Shaffi (صَفِّيٌ).
Demikian juga bukan
nisbat kepada makhluk pilihan Allah karena nisbatnya adalah Shafawi (صَفَوِيٌّ). Dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu
suku Arab) meski secara lafadz bisa dibenarkan. Namun secara makna sangatlah
lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama
sekali.
Para ulama Bashrah
yang mengalami masa kemunculan kelompok sufi ini, tidaklah tinggal diam.
Sebagaimana diriwayatkan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani rahimahullah dengan
sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwa telah sampai
kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat
dari bulu domba. Maka beliau berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang
mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk
meneladani Al-Masih bin Maryam! Maka petunjuk Nabi kita lebih kita cintai,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengenakan pakaian yang
terbuat dari bahan katun dan yang selainnya.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 11 hal. 5,
6, 16)
Asy-Syaikh Muhammad
Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Demikianlah munculnya
jahiliyyah Tasawuf, dan dari kota inilah (Bashrah) ia tersebar.” (At-Tashawwuf
Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 5)
Siapakah Peletak
Tasawuf?
Ibnu ‘Ajibah,
seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwa peletak Tasawuf adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
menurut Ibnu ‘Ajibah, mendapatkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala
melalui wahyu dan ilham.
Kemudian Ibnu
‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang hal ini dengan sekian banyak bumbu
keanehan dan kedustaan, yaitu: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan membawa ilmu syariat. Ketika ilmu itu telah
mantap, turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khusus
saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu, dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menimba darinya.”
(Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal. 5 dinukil dari At-Tashawwuf Min Shuwaril
Jahiliyyah, hal. 8)
Asy-Syaikh Muhammad
Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Perkataan Ibnu
‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dengan kedustaan, ia menuduh bahwa beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh
Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan
berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu. Karena Allah subhanahu
wa ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya:
يَٰأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغ مَآ أُنزِلَ إِلَيكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن
لَّم تَفعَل فَمَا بَلَّغتَ رِسَالَتَهُۥ
“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang
telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu. Dan jika engkau tidak melakukannya, maka
engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (QS. Al-Maidah [5] : 67)
Beliau juga
berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama,
maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi orang-orang Sufi dari
pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah).”
Benar-benar ‘Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri yang membantahnya, sebagaimana
diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail ‘Amir
bin Watsilah rahimahullah. Ia berkata: “Suatu saat aku pernah berada di
sisi ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Maka datanglah seorang
laki-laki seraya berkata: ‘Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepadamu?’
Maka ‘Ali pun marah
lalu mengatakan: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah
merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia! Hanya saja
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitahukan kepadaku
tentang empat perkara.’
Abu Thufail rahimahullah
berkata: ‘Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin?’
Beliau menjawab:
‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘(Artinya) Allah
melaknat seseorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang
yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi
pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah’.”
(At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8)
Hakikat Tasawuf
Dari bahasan di
atas, jelaslah bahwa Tasawuf bukan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan bukan pula ilmu warisan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu. Lalu dari manakah ajaran Tasawuf ini?
Asy-Syaikh Ihsan
Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Ketika kita telusuri ajaran
Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik
yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan
terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As
Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam
sejarah pemimpin umat manusia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk
pilihan Allah subhanahu wa ta’ala di alam semesta ini. Bahkan
sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.”
(At-Tashawwuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28)
Asy-Syaikh
Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya
Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk
menggiring hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala di dalam memerangi
Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai
seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam
memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan
mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah,
Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan
Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)
Keterangan para
ulama di atas menunjukkan bahwa ajaran Tasawuf bukan dari Islam. Bahkan ajaran
ini merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke
tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.
Kesesatan-Kesesatan
Ajaran Tasawuf
Di antara sekian
banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah :
1. Wihdatul Wujud
Wihdatul
Wujud,yakni keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menyatu dengan
segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni
keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala dapat masuk ke dalam makhluk-Nya.
Al-Hallaj, seorang
dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada
makhluk-Nya dalam bentuk orang (yang sedang) makan dan minum.” (Dinukil dari
Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, Jilid 2 hal. 600)
Ibnu ‘Arabi, tokoh
sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai
kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba,
maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi
kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)
Muhammad Sayyid
At-Tijani meriwayatkan (secara dusta) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwasanya beliau bersabda:
رَأَيْتُ رَبِّي فِي صُوْرَةِ شَابٍ
“Aku melihat Rabbku dalam bentuk
seorang pemuda.” (Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, Jilid 1 hal. 197,
dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)
Padahal Allah subhanahu
wa ta’ala telah berfirman:
لَيسَ كَمِثلِهِۦ شَيء وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura [42] : 11)
قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُر إِلَيكَ قَالَ لَن تَرَىٰنِي
“Berkatalah Musa: ‘Wahai Rabbku
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.’ Allah
berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku’.” (QS. Al-A’raf [7] : 143)
2. Bersetubuh dengan istri sama dengan
bersetubuh dengan Allah??
Seorang yang
menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah subhanahu wa ta’ala.
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak
lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam)
Betapa kufurnya
kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?
3. Allah adalah makhluk dan makhluk adalah
Allah??
Keyakinan kafir
bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah makhluk dan makhluk adalah Allah subhanahu
wa ta’ala, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya.
Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dia
menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah)
Padahal Allah subhanahu
wa ta’ala telah berfirman:
وَمَا خَلَقتُ ٱلجِنَّ وَٱلإِنسَ إِلَّا لِيَعبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51] : 56)
إِن كُلُّ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلأَرضِ إِلَّآ ءَاتِي ٱلرَّحمَٰنِ
عَبدا
“Tidak ada seorang pun di langit dan
di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan
sebagai hamba.” (QS. Maryam [19] : 93)
4. Keyakinan
bahwa tidak ada perbedaan di antara agama-agama yang ada.
Ibnu ‘Arabi
berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun
kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja
pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al
Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah)
Jalaluddin Ar-Rumi,
seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku
juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah
sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”
Padahal Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَمَن يَبتَغِ غَيرَ ٱلإِسلَٰمِ دِينا فَلَن يُقبَلَ مِنهُ وَهُوَ فِي
ٱلأخِرَةِ مِنَ ٱلخَٰسِرِينَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya.
Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran [3] : 85)
5. Bolehnya
menolak hadits yang jelas-jelas shahih.
Ibnu ‘Arabi
berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawinya,
tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu
ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?”
Maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingkari seraya berkata: “Aku belum pernah
mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.”
Maka diketahui dari
sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan
dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkan berdasarkan isnadnya yang shahih.”
(Al-Futuhat Al-Makkiyah)
6. Pembagian
ilmu menjadi syariat dan hakikat.
Di mana bila
seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai
martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh
karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan
dalam agama ini.
Mereka berdalil
dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr
ayat 99:
وَٱعبُد رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأتِيَكَ ٱليَقِينُ
yang mana mereka
terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu
keyakinan.”
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi
dan iman, bahwa perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang
paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi
dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya.
Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka
berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat tidak lagi terkait dengan
kewajiban dan larangan dalam agama ini).” (Majmu’ Fatawa, jilid 11 hal. 401)
Beliau juga
berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan
bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
‘Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan batas akhir
beramal bagi orang-orang beriman selain kematian’, kemudian beliau membaca Al
Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu
hingga datang kepadamu kematian’.”
Beliau melanjutkan:
“Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan
kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, Jilid 11 hal. 418)
7. Keyakinan bahwa ibadah hanya karena Cinta
bukan karena takut neraka maupun mengharap surga
Keyakinan bahwa
ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala itu bukan karena takut dari
adzab Allah subhanahu wa ta’ala (an-naar/neraka) dan bukan pula
mengharap jannah Allah subhanahu wa ta’ala.
Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَٱتَّقُواْ ٱلنَّارَ ٱلَّتِي أُعِدَّت لِلكَفِرِينَ
“Dan peliharalah diri kalian dari
an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS. ‘Ali Imran [3] : 131)
وَسَارِعُواْ إِلَىٰ مَغفِرَة مِّن رَّبِّكُم وَجَنَّةٍ عَرضُهَا ٱلسَّمَوَتُ
وَٱلأَرضُ أُعِدَّت لِلمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kalian kepada
ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit
dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. ‘Ali Imran [3] : 133)
8. Dzikir hanya dengan Huu atau Ahh saja !!!
Sufi berkeyakinan bahwa dzikirnya orang-orang awam adalah Laa ilaha illallah, sedangkan
dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah الله Allah”, هُوَ huwa (dibaca: huu)”,
dan آه aah” saja.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلَهِ إِلاَّ اللهُ
“Sebaik-baik dzikir adalah Laa ilaha
illallah.” (HR. At-Tirmidzi)
Syaikhul Islam rahimahullah
berkata: “Barangsiapa beranggapan bahwa Laa ilaha illallah adalah dzikirnya
orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah هُو/Huwa, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah
Al-’Ubudiyah, hal. 117-118)
9. Keyakinan Kasyaf
Keyakinan bahwa
orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang
tersembunyi) dan ilmu ghaib.
Allah subhanahu wa ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya :
قُل لَّا يَعلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَوَتِ وَٱلأَرضِ ٱلغَيبَ إِلَّا ٱللَّهُ
“Katakanlah tidak ada seorang pun di
langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml [27] : 65)
10. Keyakinan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tercipta dari Nur Allah??
Keyakinan bahwa
Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dari nur/cahaya-Nya, dan Allah subhanahu wa ta’ala
ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Padahal Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
قُل إِنَّمَآ أَنَا بَشَر مِّثلُكُم يُوحَىٰ إِلَيَّ
“Katakanlah (Wahai Muhammad),
sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan
kepadaku …” (QS. Al-Kahfi [18] : 110).
إِذ قَالَ رَبُّكَ لِلمَلَئِكَةِ إِنِّي خَلِقُ بَشَرا مِّن طِين
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman
kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.”
(QS. Shad [38] : 71)
11. Keyakinan
bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia ini karena Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sufi memiliki keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia
ini karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak diciptakan, maka dunia ini pun tidak
akan diciptakan. Padahal Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقتُ ٱلجِنَّ وَٱلإِنسَ إِلَّا لِيَعبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51] : 56)
Demikianlah
beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas
kesesatannya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita dari
kesesatan-kesesatan tersebut.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ