Hadits Palsu Mengenai Keutamaan Mencari Nafkah

“Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain. Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1229)


Bismillah, Telah beredar hadits di dunia maya, khususnya Blackberry dan Facebook, hadits tentang keutamaan mencari nafkah. Hadits tersebut adalah sebagai berikut:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada dosa yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat." Maka para sahabat pun bertanya: "Apakah yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah ?" Beliau menjawab: "Bersusah payah dalam mencari nafkah." (HR. Al-Bukhari)

Benarkah hadits diatas adalah riwayat Imam Al-Bukhari rahimahullah?

Inilah hadits tersebut selengkapnya:

قال الطبراني: حدثنا أحمد بن يحيى بن خالد قال حدثنا محمد بن سلام المصري قال حدثنا يحيى بن عبد الله بن بكير قال حدثنا مالك بن أنس عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال قال رسول الله: إِنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ ذُنُوْبًا لاَ يُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَ لاَ الصِّيَامُ وَ لاَ الْحَجُّ وَ لاَ اْلعُمْرَةُ. قَالَ: فَمَا يُكَفِّرُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: اَلْهُمُوْمُ فِيْ طَلَبِ الْمَعِيْشَةِ

“Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ahmad bin Yahya bin Kholid, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam Al-Mishri, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abdullah bin Bukair, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas, dari Muhammad bin ‘Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, puasa, haji atau umroh (atau jihad, sebagaimana dalam riwayat lain), namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah."

Takhrij Hadits

Hadits ini Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani rahimahullah di dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, Jilid 1 hal. 38 no.102, Abu Nu'aim Al-Ashbahani rahimahullah dalam Hilyatul Auliya', Jilid 6 hal. 235 dan Al-Haitsami rahimahullah dalam Majma' Az-Zawa-id, Jilid 4 hal. 75 no.6239.

Derajat Hadits

Hadits ini derajatnya PALSU (maudhu’).

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Hadits ini Maudhu’. (Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, Jilid 2 hal. 324 no.924 dan Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no.1994)

Di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Salam Al-Mishri.

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya: “Dia meriwayatkan dari Yahya bin Bukair dari Malik sebuah riwayat yang Palsu.”

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata tentangnya: “Dia meriwayatkan dari Yahya bin Bukair sebuah hadits yang munkar.”

Jadi kesimpulannya adalah bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu yang secara dusta disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinisbatkan kepada Imam Al-Bukhari rahimahullah. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melaknat penyebar hadits palsu ini serta penyebar fitnah ini karena menyandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menisbatkan hadits palsu kepada Imam Al-Bukhari rahimahullah sang syaikhul hadits. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain. Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1229)

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Kedudukan 12 Imam Syi'ah dalam Pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia”. (QS. Ali Imran [3] : 110)


Rafidhah atau Imamiyah atau (Syi’ah) dua belas merupakan salah satu kelompok pada Syi’ah. Mereka dinamakan dengan Rafidhah karena mereka menolak mayoritas para sahabat dan menolak kepemimpinan kedua Syeikh yaitu Abu Bakar dan Umar, atau karena mereka menolak kepemimpinan Zaid bin Ali dan memisahkan diri dari beliau.

Mereka dinamakan Imamiyah karena fokus perhatian mereka dalam masalah kepemimpinan (imamah) dan menjadikannya sebagai dasar dalam agama, atau karena mereka mengklaim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan dengan tekstual akan kepemimpinan Ali dan anak-anaknya.

Dinamakan Dua Belas karena mereka mengatakan dan meyakini kepemimpinan dua belas orang dari ahli bait, yang pertama adalah Ali radhiyallahu ‘anhu dan yang terakhir adalah Muhammad bin Hasan Al-Askary yang menghilang menurut mereka, mereka mengklaim bahwa dia telah masuk ke “Sirdab” (ruang bawah tanah) Samira’ pada pertengahan abad 13 H, dan dia diyakini masih hidup di dalam sana, dan mereka menunggu keluarnya.

Mereka juga mempunyai keyakinan dan dasar-dasar yang menyimpang dari ajaran Islam, di antaranya adalah:

1. Mereka bersikap berlebihan kepada para imam mereka, dengan mengklaim bahwa semua mereka adalah maksum (terjaga dari dosa), mereka juga banyak memperuntukkan ibadah kepada para imam tersebut, seperi: do’a, istigatsah (meminta pertolongan), menyembelih (atas nama mereka) dan thawaf, ini merupakan syirik besar yang telah Allah subhanahu wa ta’ala nyatakan tidak diampuni. Kesyirikan ini dilakukan oleh para ulama dan orang-orang awam mereka.

2. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an telah mengalami perubahan, dengan dikurangi atau ditambah. Dalam masalah ini mereka mempunyai banyak karangan buku yang diketahui oleh para ulama mereka dan mayoritas masyarakat mereka, sehingga pernyataan bahwa Al-Qur’an telah dirubah menjadi salah satu dasar penting pada madzhab mereka.

3. Mengkafirkan mayoritas para sahabat radhiyalllahu ‘anhum dan berlepas diri dari mereka, mendekat diri kepada Allah dengan melaknat dan memaki mereka, mereka juga mengklaim bahwa para sahabat telah menjadi murtad setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia kecuali hanya segelintir orang saja (hanya tujuh orang), ini bentuk pendustaan terhadap Al-Qur’an yang telah menjelaskan keutamaan mereka dan mengabarkan bahwa Allah telah meridhoi mereka dan telah memilih mereka untuk menemani (perjuangan) Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini juga berarti mencela Al-Qur’an karena Al-Qu’an diriwayatkan melalui para sahabat, jika mereka kafir maka tidak ada jaminan mereka tidak akan merubah Al-Qur’an, inilah akidah mereka orang-orang Rafidhah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وأما من جاوز ذلك إلى أن زعم أنهم ارتدوا بعد رسول الله عليه الصلاة والسلام إلا نفراً قليلاً لا يبلغون بضعة عشر نفساً، أو أنهم فسقوا عامتهم، فهذا لا ريب أيضاً في كفره، لأنه كذب لما نصه القرآن في غير موضع: من الرضى عنهم والثناء عليهم، بل من يشك في كفره مثل هذا فإن كفره متعين، فإن مضمون هذه المقالة أن نقلة الكتاب والسنة كفار أو فساق، وأن هذه الآية التي هي: ( كنتم خير أمة أخرجت للناس ) وخيرها هو القرن الأول، كان عامتهم كفاراً أو فساقاُ، ومضمونها أن هذه الأمة شر الأمم، وأن سابقي هذه الأمة هم شرارها، وكفر هذا مما يعلم بالاضطرار من دين الإسلام

“Sedangkan barang siapa yang telah melampaui batas dan mengklaim bahwa para sahabat telah menjadi murtad kembali sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya belasan orang saja atau mayoritas mereka telah berlaku fasik, maka orang ini tidak diragukan lagi akan kekafirannya, karena dia telah mendustakan teks Al-Qur’an yang tidak hanya pada satu masalah saja, dari mulai keridhoan Allah terhadap para sahabat dan pujian-Nya kepada mereka, bahkan barang siapa yang meragukan kekafirannya dalam kondisi seperti ini, maka dia pun bisa menjadi kafir, karena kandungan dari makalah ini bahwa para perawi Al-Qur’an dan sunnah adalah orang-orang kafir atau fasik dan bahwa ayat ini:

كنتم خير أمة أخرجت للناس

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia”. (QS. Ali Imran [3] : 110)

Sebaik-baik umat tersebut adalah generasi awal, jika mayoritas mereka adalah kafir dan fasik, maka konsekuensinya adalah bahwa umat ini menjadi seburuk-buruk umat dan umat yang terdahulu adalah yang paling buruk. Kekafiran orang yang menyatakan hal itu termasuk yang mudah dikenali di dalam Islam”. (Ash-Sharim Al-Maslul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hal. 590)

4. Menisbatkan bida’ kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maksudnya adalah munculnya pendapat baru yang sebelumnya tidak ada. Hal ini berarti menisbatkan ketidaktahuan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

5. Mereka meyakini taqiyyah, yaitu: menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang disembunyikannya. Sejatinya hal ini adalah bentuk kedustaan, kefasikan dan kecerdikan untuk menipu orang lain, bagi mereka hal itu tidak hanya dilakukan pada saat berada dalam ketakutan saja, bahkan mereka berpendapat menggunakan taqiyyah menjadi bagian dari agama, baik dalam masalah kecil maupun besar, dalam keadaan takut maupun aman, dan semua yang menjadi hak dari salah seorang imam dari para imam mereka, seperti memuji para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menyetujui ahlus sunnah wal jama’ah meskipun dalam masalah-masalah thaharah, makanan dan minuman, orang-orang syi’ah menolaknya dan mereka mengatakan: “Bahwa imam (mereka) mengatakan itu karena dia bertaqiyyah”.

6. Mereka meyakin “Ar-Raj’ah” yaitu; keyakinan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ahli baitnya (Ali, Hasan dan Husain dan para imam lainnya) mereka semua akan kembali lagi. Dan pada sisi yang lain Abu Bakar, Umar, Utsman dan Mu’awiyah, Yazin bin Dzi al Jausyan dan semua yang telah menyakiti ahli bait menurut pendapat mereka.

Menurutnya mereka semua akan kembali lagi ke dunia sebelum datangnya hari kiamat, pada saat kembalinya imam Mahdi dan menampakkan dirinya -sebagaimana yang telah dinyatakan kepada mereka oleh musuh Allah Ibnu Saba’- mereka akan kembali untuk membalas mereka sebagaimana mereka telah menyakiti ahli bait dan memusuhi mereka dan mencegah hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, maka mereka menjatuhkan siksa yang berat kemudian mereka mati lagi, kemudian baru hidup kembali pada hari kiamat untuk pembalasan yang terakhir sekali lagi, beginilah yang mereka tuduhkan.

Dan lain-lain dari keyakinan rusak mereka yang memungkinkan untuk diketahui rincian dan batilnya keyakinan mereka melalui kitab: “Al-Khuthuth Al-‘Aridhah” karangan Muhibbud Diin Al-Khatib, atau “Ushul Madzhab Syi’ah Imamiyah” karangan DR. Nashir al Fiqari, atau “Firaq Mu’ashirah Tantasibu ila al Islam” karangan DR. Ghalib bin Ali ‘Iwaji, Jilid 1 hal. 127-269, atau “Al-Mausu’ah Al-Muyassarah fil Adyan wal Madzahib wal Ahzaab al Mu’ashirah, Jilid 1 hal. 51-57

Ulama Lajnah Daimah lil Ifta’ pernah ditanya:

هل الطريقة الشيعة الإمامية من الإسلام؟ ومن الذي اخترعها؟ لأنهم أي الشيعة ينسبون مذهبهم لسيدنا علي كرم الله وجهه؟

“Apakah cara-cara Syi’ah Imamiyah menjadi bagian dari Islam? siapa yang mencetuskannya? karena Syi’ah menisbatkan madzhab mereka kepada sayyidina Ali karramallahu wajhahu?

Mereka menjawab:

مذهب الشيعة الإمامية مذهب مبتدع في الإسلام أصوله وفروعه، ونوصيك بمراجعة كتاب الخطوط العريضة و مختصر التحفة الإثني عشرية ومنهاج السنة لشيخ الإسلام، وفيها بيان الكثير من بدعهم

“Madzhab Syi’ah Imamiyah adalah madzhab bid’ah (yang baru) di dalam Islam, dasar-dasar dan masalah cabangnya. Maka kami sarankan anda untuk membaca kitab “Al-Khuthuth Al-‘Aridhah”, Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsnai ‘Asyriyah”, Minhajus Sunnah karangan Syiakhul Islam, di dalam buku-buku tersebut dijelaskan banyak hal tentang bid’ah-bid’ah mereka. (Fatawa Lajnah Daimah, Jilid 2 hal. 377)

Telah dijelaskan sebelumnya akan kebatilan madzhab ini dan penyimpangannya dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan tidak diterima keyakinan seseorang kepadanya, tidak juga dari para ulama maupun orang-orang awamnya.

Sedangkan para imam yang dinisbatkan kepada mereka, maka mereka terbebas dari kebohongan dan kebatilan tersebut, di antara nama-nama para imam tersebut adalah:

1. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu meninggal syahid pada tahun 40 H.
2. Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma ( 3-50 H)
3. Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma (4-61 H)
4. Ali Zainal Abidin bin Husain rahimahullah ( 38-95 H) yang diberi gelar As-Sajjad.
5. Muhammad bin Ali Zainal Abidin rahimahullah (57-114 H) yang diberi gelar Al-Baqir
6. Ja’far bin Muhammad Al-Baqir rahimahullah (83-148 H) yang diberi gelar Ash-Shadiq
7. Musa bin Ja’far Ash-Shadiq rahimahullah (128-183 H) yang diberi gelar Al-Kadzim
8. Ali bin Musa Al-Kadzim rahimahullah (148-203 H) yang diberi gelar Ar-Ridha
9. Muhammad Al-Jawwad bin Ali Ar-Ridha rahimahullah (195-220 H) yang diberi gelar At-Taqi
10. Ali Al-Hadi bin Muhammad Al-Jawwad rahimahullah (212-254 H) yang diberi gelar An-Naqi
11. Hasan Al-Askari bin Ali Al-Hadi rahimahullah (232-260 H) yang diberi gelar Az-Zaki
12. Muhammad Al-Mahdi bin Al-Hasan Al-Askari, yang diberi gelar Al-Hujjah Al-Qaim Al-Muntazhar.

Mereka mengklaim bahwa imam yang terakhir telah memasuki sirdab (ruang bawah tanah) di Samra’. Banyak peneliti yang menyatakan bahwa dia itu aslinya tidak ada dan merupakan hasil rekayasa Syi’ah. (Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, Jilid 1 hal. 51)

Al-Hafizh Ibnu Kastir rahimahullah berkata:

وأما ما يعتقدونه بسرداب سامرا فذاك هوس في الرؤوس، وهذيان في النفوس، لا حقيقة له، ولا عين، ولا أثر انتهى

“Adapun apa yang mereka yakini tentang sirdab (ruang bawah tanah) di Samra’ merupakan bentuk stres di kepala, gangguan pada jiwa, tidak nyata, tidak ada dzat dan jejaknya.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, Jilid 1 hal. 177)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah membagi 12 imam menjadi empat bagian:

Pertama, Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhum mereka adalah para sahabat yang agung, tidak diragukan akan keutamaan dan kepemimpinan mereka, namun yang menyertai keutamaan sebagai sahabat banyak yang lainnya, dan di antara para sahabat ada yang lebih utama dari mereka dengan dalil-dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali Al-Baqir, Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq dan Musa bin Ja’far, mereka adalah termasuk ulama yang terpercaya yang diakui. (Minhajus Sunnah, Jilid 2 hal. 243-244)

Ketiga, Ali bin Musa Ar-Ridha, Muhammad bin Ali bin Musa Al-Jawwad, Ali bin Muhammad bin Ali Al-Askari dan Hasan bin Ali bin Muhammad Al-Askari, mereka semua sebagaimana yang katakan oleh Ibnu Taimiyah: “Mereka semua tidak nampak keilmuwannya yang bermanfaat bagi umat, mereka juga tidak ringan tangan untuk membantu umat, akan tetapi mereka sama saja seperti Bani Hasyim lainnya, mereka mempunyai kehormatan dan kedudukan, di antara mereka juga yang mengetahui ajaran Islam yang umum sama dengan orang-orang yang lainnya, adapun yang rinciannya ajaran Islam yang diketahui oleh para ulama maka dalam hal ini mereka tidak dikenal demikian, oleh karena itu para ulama tidak mengambil pendapat mereka sebagaimana mereka telah mengambil pendapat tiga orang pertama, kalau saja mereka mendapatkan dari mereka sesuatu yang bermanfaat maka mereka pasti mengambilnya, akan tetapi seorang pencari ilmu mengetahui tujuannya.” (Minhajus Sunnah, Jilid 6 hal. 387)

Keempat, Muhammad bin Hasan Al-Askari Al-Muntazhar, maka orang ini tidak nyata sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Tepuk Tangan Dalam Perspektif Islam

“Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS. Al-Anfal [8] : 35)


Tepuk tangan saat ini nampaknya sudah menjadi lumrah bagi masyarakat di seluruh penjuru dunia. Tepuk tangan dijadikan suatu tanda penghormatan, pengaguman kepada seseorang, juga bisa menjadi sebuah motivasi atau applause. Namun, bagaimana sebenarnya hukum tepuk tangan dalam perspektif Islam?

Telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang hukum bertepuk tangan (At-Tashfiq atau At-Tashfih). Umumnya mereka mencelanya dan menyebutnya sebagai perbuatan haram minimal makruh. Namun ada pula yang membolehkan jika untuk menyemangati anak-anak. Akan tetapi, pada dasarnya bertepuk tangan merupakan perilaku jahiliyah sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً

“Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS. Al-Anfal [8] : 35)

            Mengenai bertepuk tangan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa itu adalah cara kaum wanita dalam mengingatkan atau meluruskan kesalahan imam. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ

“Barangsiapa yang terganggu dalam shalatnya oleh suatu hal maka bertasbihlah, sesungguhnya jika dia bertasbih hendaknya menengok kepadanya, dan bertepuk tangan hanyalah untuk kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 652, Muslim no. 421, Abu Dawud no. 940, Ibnu Hibban no. 2260, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3147, 5089, Ibnu Khuzaimah no. 1623 dan Malik no. 390)

            Mengenai hal ini, Syeikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata:

يجوز التسبيح للرجال والتصفيق للنساء إذا عرض أمر من الامور، كتنبيه الامام إذا أخطأ وكالاذن للداخل أو الارشاد للاعمى أو نحو ذلك

“Dibolehkan bagi laki-laki bertasbih dan bertepuk tangan bagi wanita, jika ada hal yang membuatnya tidak nyaman seperti: mengingatkan imam ketika berbuat kesalahan, memberi izin kepada orang yang akan masuk, atau memandu orang buta atau yang semisalnya.” (Fiqh As-Sunnah, Jilid 1 hal. 264)

            Lalu bagaimana jika tepuk tangan dilakukan di luar shalat? Para ulama menjelaskan bahwa tepuk tangan di luar shalat tanpa kebutuhan maka hal ini merupakan suatu kefasikan, bahkan beberapa ulama mengharamkan secara mutlak bertepuk tangan jika tanpa kebutuhan. Maka jika seorang muslim ingin memberikan motivasi, applause, memberikan penghargaan maka yang terbaik adalah dengan bertakbir.

Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata:

وَأَمَّا الرَّقْصُ وَالتَّصْفِيقُ فَشَأْنُ أَهْلِ الْفِسْقِ

“Ada pun menari dan bertepuk tangan, itu adalah perbuatan ahli kefasikan.” (Subulus Salam, Jilid 2 hal. 192)

Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:

القول بمشروعية التصفيق للنساء هو الصحيح خبراً ونظراً؛ لأنها مأمورة بخفض صوتها مطلقاً لما يخشى من الإفتان، ومن ثم منعت من الأذان مطلقاً، ومن الإقامة للرجال، ومنع الرجال من التصفيق؛ لأنه من شأن النساء.

“Pendapat yang sesuai syariat adalah bertepuk tangan bagi kaum wanita adalah benar, baik secara khabar (berita) maupun pemahaman, karena mereka diperintahkan untuk menundukkan suaranya secara mutlak karena dikhawatiri terjadi fitnah, begitu pula terlarangnya bagi mereka untuk adzan secara mutlak, mengiqamatkan shalatnya kaum laki-laki, dan terlarang bagi kaum laki-laki untuk bertepuk tangan karena itu adalah perbuatan wanita.” (Mir’ah Al-Mafatih, Jilid 3 hal. 358)

Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim rahimahullah mengatakan:

وَكَانَ مَنْعُ النِّسَاءِ مِنَ التَّسْبِيحِ لِأَنَّهَا مَأْمُورَةٌ بِخَفْضِ صَوْتِهَا فِي الصَّلَاةِ مُطْلَقًا لِمَا يُخْشَى مِنَ الِافْتِتَانِ وَمُنِعَ الرِّجَالُ مِنَ التَّصْفِيقِ لِأَنَّهُ مِنْ شَأْنِ النِّسَاءِ

“Wanita dilarang bertasbih karena mereka diperintahkan untuk merendahkan suaranya dalam shalat secara mutlak sebab dikhawatiri terjadi fitnah, sedangkan dilarang bagi kaum laki-laki untuk melakukan tepuk tangan karena itu adalah perbuatan kaum wanita.” (‘Aunul Ma’bud, Jilid 3 hal. 152)

Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata:

قَوْلُهُ: إنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِ الرِّجَالِ مِنْهُ مُطْلَقًا

“Sabdanya ‘tepuk tangan untuk kaum wanita’ menunjukkan terlarangnya secara mutlak (umum) hal tersebut bagi kaum laki-laki.” (Nailul Authar, Jilid 3 hal. 178)

            Seperti uraian di atas yang menjelaskan keharaman atau kemakruhan bertepuk tangan karena bertepuk tangan tanpa ada kebutuhan merupakan bentuk kefasikan dan merupakan bentuk tasyabuh dengan orang kafir. Lalu bagaimana jika bertepuk tangan akan tetapi ada kebutuhan, misalnya bertepuk tangan ketika memanggil seseorang. Para ulama menghukumi hal ini dengan makruh, berikut fatwa-fatwa ulama mengenai hal ini:

            Imam Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:

وَفِي فَتَاوَى م ر سُئِلَ عَنْ التَّصْفِيقِ خَارِجَ الصَّلَاةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَأَجَابَ إنْ قَصَدَ الرَّجُلُ بِذَلِكَ اللَّهْوَ أَوْ التَّشَبُّهَ بِالنِّسَاءِ حَرُمَ وَإِلَّا كُرِهَ انْتَهَى

“Dalam fatwa-fatwa Imam Ar-Ramli, Beliau ditanya tentang bertepuk tangan di luar shalat tanpa adanya kebutuhan. Beliau menjawab: “Jika seorang laki-laki bermaksud dengan tepuk tangannya itu adalah untuk senda gurau atau menyerupai wanita maka itu diharamkan, jika bukan karena itu, maka itu makruh.” (Tuhfatul Muhtaj, Jilid 2 hal. 150)

            Dalam kitab Nihayatul Muhtaj terdapat sebuah keterangan mengenai hal ini:

وَفِي فَتَاوَى م ر سُئِلَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ قَوْلِ الزَّرْكَشِيّ إنَّ التَّصْفِيقَ بِالْيَدِ لِلرِّجَالِ لِلَّهْوِ حَرَامٌ لِمَا فِيهِ مِنْ التَّشَبُّهِ بِالنِّسَاءِ هَلْ هُوَ مُسَلَّمٌ أَمْ لَا، وَهَلْ الْحُرْمَةُ مُقَيَّدَةٌ بِمَا إذَا قُصِدَ التَّشَبُّهُ أَوْ يُقَالُ مَا اخْتَصَّ بِهِ النِّسَاءُ يَحْرُمُ عَلَى الرِّجَالِ فِعْلُهُ، وَإِنْ لَمْ يُقْصَدْ بِهِ التَّشَبُّهُ بِالنِّسَاءِ فَأَجَابَ هُوَ مُسَلَّمٌ حَيْثُ كَانَ لِلَّهْوِ، وَإِنْ لَمْ يُقْصَدْ بِهِ التَّشَبُّهُ بِالنِّسَاءِ. وَسُئِلَ عَنْ التَّصْفِيقِ خَارِجَ الصَّلَاةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ هَلْ هُوَ حَرَامٌ أَمْ لَا؟ فَأَجَابَ إنْ قَصَدَ الرَّجُلُ بِذَلِكَ التَّشَبُّهَ بِالنِّسَاءِ حَرُمَ، وَإِلَّا كُرِهَ. اه

“Imam Ar-Ramli radhiyallahu ‘anhu dalam fatwa-fatwanya ditanya tentang perkataan Az-Zarkasyi ‘bertepuk tangan bagi kaum laki-laki untuk hiburan adalah haram’ karena di dalamnya mengandung penyerupaan terhadap wanita, apakah pendapat ini bisa diterima atau tidak , dan apakah keharaman itu terikat dengan sebab penyerupaan dengan wanita ataukah dikatakan itu khusus wanita dan haram bagi laki-laki melakukannya walau pun dia tidak bermaksud menyerupai wanita. Beliau (Imam Ar-Ramli) menjawab: “Pendapat itu bisa diterima jika bertepuk tangan dilakukan untuk hiburan walau pun dia tidak bermaksud menyerupai kaum wanita.” Dia juga ditanya tentang bertepuk tangan di luar shalat tanpa ada keperluan, apakah itu haram atau tidak? Beliau menjawab: “Jika seorang laki-laki bertepuk tangan bermaksud menyerupai wanita maka itu diharamkan, jika tidak bermaksud demikian, maka itu dimakruhkan.” (Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Jilid 2 hal. 47)

Namun ada juga beberapa ulama yang membolehkan (menghukumi mubah) bertepuk tangan, mereka beranggapan bahwa bertepuk tangan yang dilakukan oleh umat Muslim saat ini bukanlah bentuk ibadah seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Quraisy pada saat itu.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya mengenai hukum bertepuk tangan yang dilakukan oleh umat Muslim diberbagai acara, beliau menjawab:

التصفيق في الحفلات ليس من عادة السلف الصالح وإنما كانوا إذا أعجبهم شيء سبحوا أحيانا أو كبروا أحيانا لكنهم لا يكبرون تكبيرا جماعيا ولا يسبحون تسبيحا جماعيا بل كل واحد يكبر لنفسه أو يسبح لنفسه بدون أن يكون هناك رفع صوت بحيث يسمعه من بقربه فالأولى الكف عن التصفيق ولكننا لا نقول بأنه حرام لأنه قد شاع بين المسلمين اليوم والناس لا يتخذونه عبادة ولهذا لا يصح الاستدلال على تحريمه بقوله تعالي عن المشركين (وَمَا كَانَ صَلاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاءً وَتَصْدِيَةً) فإن المشركين يتخذون التصفيق عند البيت عبادة وهؤلاء الذين يصفقون عند سماع ما يعجبهم أو رؤية ما يعجبهم لا يريدون بذلك العبادة وخلاصة القول أن ترك هذا التصفيق أولى وأحسن ولكنه ليس بحرام.

“Bertepuk tangan dalam berbagai acara bukanlah kebiasaan salafush shalih. Jika ada hal-hal yang mengagumkan kadang mereka bertasbih kadang mereka bertakbir. Tapi mereka tidak bertakbir dan bertasbih bersama-sama, melainkan mereka lakukan sendiri-sendiri, tanpa meninggikan suara yang bisa didengar oleh orang yang di dekatnya. Maka, yang lebih utama adalah menahan diri dari bertepuk tangan. Tetapi kami tidak mengatakan bahwa itu haram, karena hal itu sudah terjadi di antara kaum muslimin sampai hari ini dan mereka tidak menjadikannya sebagai sarana beribadah. Oleh karena itu, tidak benar berdalil atas pengharamannya itu dengan firman Allah ta’ala tentang kaum musyrikin: Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Kaum musyrikin menjadikan bertepuk tangan adalah cara ibadah di Baitullah. Sedangkan mereka yang bertepuk tangan ketika mendengarkan atau melihat sesuatu yang mengagumkan tidaklah memaksudkan hal itu sebagai ibadah. Kesimpulannya, bahwa meninggalkan tepuk tangan adalah lebih utama dan lebih baik, tetapi dia tidaklah haram.” (Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Jilid 24 hal. 2)

            Demikianlah penjelasan mengenai hal ini, umumnya para imam kaum muslimin berpendapat mengharamkan jika hal itu untuk menyerupai wanita, hiburan, dan permainan. Adapun jika ada kebutuhan untuk bertepuk tangan mereka memakruhkan, bahkan ada yang membolehkan. Pembolehan ini selama tidak ada perkara lain yang terlarang, karena hukum dasar semua urusan dunia adalah mubah selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Kebobrokan dan Kesesatan Sufi

“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml [27] : 65)


Sufi, selama ini banyak dipahami sebagai gambaran kesederhanaan, kezuhudan ataupun kehidupan yang nyaris tak tersentuh ‘peradaban’. Menilik sejarahnya, nama sufi sebenarnya nisbat dari sekelompok manusia yang beribadah secara berlebihan, dengan berbagai tata cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sejarah Munculnya Tasawuf dan Sufi

Tasawuf (تَصَوُّف) diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Penganutnya disebut Shufi  (صُوْفِيٌّ) (selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, red), dan jamaknya adalah Sufiyyah (صُوْفِيَّةٌ).

Istilah ini sesungguhnya tidak masyhur di jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Adapun lafadz Sufiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 11 hal. 5)

Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan tempat kelahiran Tasawuf dan Sufi. Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), hingga akhirnya memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuf/صُوْفٌ).

Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuf (صُوْفٌ). Jadi, lafadz Sufi bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena nisbat kepadanya adalah Shuffi (صُفِّيٌ). Bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, karena nisbat kepadanya adalah Shaffi (صَفِّيٌ).

Demikian juga bukan nisbat kepada makhluk pilihan Allah karena nisbatnya adalah Shafawi (صَفَوِيٌّ). Dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab) meski secara lafadz bisa dibenarkan. Namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.

Para ulama Bashrah yang mengalami masa kemunculan kelompok sufi ini, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana diriwayatkan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwa telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Maka beliau berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al-Masih bin Maryam! Maka petunjuk Nabi kita lebih kita cintai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun dan yang selainnya.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 11 hal. 5, 6, 16)

Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Demikianlah munculnya jahiliyyah Tasawuf, dan dari kota inilah (Bashrah) ia tersebar.” (At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 5)

Siapakah Peletak Tasawuf?

Ibnu ‘Ajibah, seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwa peletak Tasawuf adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurut Ibnu ‘Ajibah, mendapatkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala melalui wahyu dan ilham.

Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang hal ini dengan sekian banyak bumbu keanehan dan kedustaan, yaitu: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa ilmu syariat. Ketika ilmu itu telah mantap, turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khusus saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal. 5 dinukil dari At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 8)

Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah  berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kedustaan, ia  menuduh bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu. Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya:

يَٰأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغ مَآ أُنزِلَ إِلَيكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّم تَفعَل فَمَا بَلَّغتَ رِسَالَتَهُۥ

“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu. Dan jika engkau tidak melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (QS. Al-Maidah [5] : 67)

Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah).

Benar-benar ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri yang membantahnya, sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah rahimahullah. Ia berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: ‘Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadamu?’

Maka ‘Ali pun marah lalu mengatakan: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia! Hanya saja beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara.’

Abu Thufail rahimahullah berkata: ‘Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin?’

Beliau menjawab: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘(Artinya) Allah melaknat seseorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah’.” (At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8)

Hakikat Tasawuf

Dari bahasan di atas, jelaslah bahwa Tasawuf bukan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan pula ilmu warisan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Lalu dari manakah ajaran Tasawuf ini?

Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah  berkata: “Ketika kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah subhanahu wa ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tashawwuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28)

Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah   berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala di dalam memerangi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)

Keterangan para ulama di atas menunjukkan bahwa ajaran Tasawuf bukan dari Islam. Bahkan ajaran ini merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.

Kesesatan-Kesesatan Ajaran Tasawuf

Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah :

1.       Wihdatul Wujud

Wihdatul Wujud,yakni keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala dapat masuk ke dalam makhluk-Nya.

Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang (yang sedang) makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, Jilid 2 hal. 600)

Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)

Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

رَأَيْتُ رَبِّي فِي صُوْرَةِ شَابٍ

“Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.” (Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, Jilid 1 hal. 197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

لَيسَ كَمِثلِهِۦ شَيء وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura [42] : 11)

قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُر إِلَيكَ قَالَ لَن تَرَىٰنِي

“Berkatalah Musa: ‘Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.’ Allah berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku’.” (QS. Al-A’raf [7] : 143)

2.       Bersetubuh dengan istri sama dengan bersetubuh dengan Allah??

Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah subhanahu wa ta’ala. Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam)

Betapa kufurnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?

3.       Allah adalah makhluk dan makhluk adalah Allah??

Keyakinan kafir bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah makhluk dan makhluk adalah Allah subhanahu wa ta’ala, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya. Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah)

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

وَمَا خَلَقتُ ٱلجِنَّ وَٱلإِنسَ إِلَّا لِيَعبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51] : 56)

إِن كُلُّ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلأَرضِ إِلَّآ ءَاتِي ٱلرَّحمَٰنِ عَبدا

“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (QS. Maryam [19] : 93)

4.       Keyakinan bahwa tidak ada perbedaan di antara agama-agama yang ada.

Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah)

Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَن يَبتَغِ غَيرَ ٱلإِسلَٰمِ دِينا فَلَن يُقبَلَ مِنهُ وَهُوَ فِي ٱلأخِرَةِ مِنَ ٱلخَٰسِرِينَ

“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran [3] : 85)

5.       Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih.

Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?”

Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.”

Maka diketahui dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkan berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah)

6.       Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat.

Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Mereka berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99:

وَٱعبُد رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأتِيَكَ ٱليَقِينُ

yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwa perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini).” (Majmu’ Fatawa, jilid 11 hal. 401)

Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: ‘Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian’, kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian’.”

Beliau melanjutkan: “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, Jilid 11 hal. 418)

7.       Keyakinan bahwa ibadah hanya karena Cinta bukan karena takut neraka maupun mengharap surga

Keyakinan bahwa ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala itu bukan karena takut dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala (an-naar/neraka) dan bukan pula mengharap jannah Allah subhanahu wa ta’ala. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَٱتَّقُواْ ٱلنَّارَ ٱلَّتِي أُعِدَّت لِلكَفِرِينَ

“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS. ‘Ali Imran [3] : 131)

وَسَارِعُواْ إِلَىٰ مَغفِرَة مِّن رَّبِّكُم وَجَنَّةٍ عَرضُهَا ٱلسَّمَوَتُ وَٱلأَرضُ أُعِدَّت لِلمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. ‘Ali Imran [3] : 133)

8.       Dzikir hanya dengan Huu atau Ahh saja !!!

Sufi berkeyakinan bahwa dzikirnya orang-orang awam adalah Laa ilaha illallah, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah  الله Allah”, هُوَ huwa (dibaca: huu)”, dan آه aah” saja. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلَهِ إِلاَّ اللهُ

“Sebaik-baik dzikir adalah Laa ilaha illallah.” (HR. At-Tirmidzi)

Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Barangsiapa beranggapan bahwa Laa ilaha illallah adalah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah هُو/Huwa, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al-’Ubudiyah, hal. 117-118)

9.       Keyakinan Kasyaf

Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah subhanahu wa ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya :

قُل لَّا يَعلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَوَتِ وَٱلأَرضِ ٱلغَيبَ إِلَّا ٱللَّهُ

“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml [27] : 65)

10.   Keyakinan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tercipta dari Nur Allah??

Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari nur/cahaya-Nya, dan Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قُل إِنَّمَآ أَنَا بَشَر مِّثلُكُم يُوحَىٰ إِلَيَّ

“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (QS. Al-Kahfi [18] : 110).

إِذ قَالَ رَبُّكَ لِلمَلَئِكَةِ إِنِّي خَلِقُ بَشَرا مِّن طِين

“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (QS. Shad [38] : 71)

11.   Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia ini karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sufi memiliki keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia ini karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diciptakan, maka dunia ini pun tidak akan diciptakan. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقتُ ٱلجِنَّ وَٱلإِنسَ إِلَّا لِيَعبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51] : 56)

Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan tersebut.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top