Olahraga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Para Sahabat

“Kalian akan menaklukkan banyak negeri dan Allah akan menyempurnakan (janji-Nya) kepada kalian, karena itu janganlah kalian bosan berlatih memanah.” (HR. Muslim no. 1918)


Saat ini negeri kita Indonesia sedang mengalami demam olahraga, hal ini tidaklah mengherankan, sebab hal ini merupakan dampak dari pelaksanaan even olahraga Asian Games 2018 yang kebetulan tahun ini dilaksanakan di negeri kita. Jika kita perhatikan, maka sudah menjadi suatu tabiat manusia bahwa manusia itu menyukai hiburan. Hiburan sendiri merupakan upaya relaksasi untuk melepas kepenatan atas rutinitas dan kehidupan sehari-hari. Karena alasan itulah, siapapun orang yang mencoba melakukan penelitian terhadap tingkah laku suatu kelompok masyarakat dimanapun dan kapanpun pasti akan memenukan sarana hiburan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat tersebut. Salah satu bentuk sarana hiburan ini adalah dengan berolahraga. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa olahraga adalah gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh.[1] Jika kita lihat dari definisi olahraga tersebut maka kita fahami bahwa tujuan olahraga adalah untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Jelas ini selaras dengan ajaran Islam bahwa seorang muslim selain wajib kuat dan sehat ruhaninya juga harus kuat dan sehat jasmaninya pula. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah.”[2]

Jika kita melihat sejarah maka sangat tepat bahwa olahraga merupakan salah satu hiburan yang cukup menarik, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat pun melakukan hal ini. Banyak sekali riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum pun berolahraga, tentu saja olahraga yang mereka lakukan adalah dalam rangka keta’atan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan bukan sekedar sarana hiburan yang sia-sia saja. Ada beberapa olahraga yang tercatat dalam berbagai riwayat yang shahih yang pernah dilakukan bahkan beberapa olahraga tersebut dianjurkan, diantara lain:

1.      Panahan

Panahan atau Archery merupakan olahraga yang menggunakan busur panah sebagai media untuk menembakan anak panah kepada sasaran tembak. Bukti-bukti menunjukkan bahwa sejarah panahan telah dimulai sejak 5.000 tahun yang lalu yang awalnya digunakan untuk berburu dan kemudian berkembang sebagai senjata dalam pertempuran dan kemudian sebagai olahraga ketepatan. Panahan merupakan salah satu olahraga yang disunnahkan untuk ditekuni. Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَتُفْتَحُ عَلَيْكُمْ أَرَضُونَ وَيَكْفِيكُمْ اللَّهُ فَلَا يَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَلْهُوَ بِأَسْهُمِهِ

“Kalian akan menaklukkan banyak negeri dan Allah akan menyempurnakan (janji-Nya) kepada kalian, karena itu janganlah kalian bosan berlatih memanah.”[3]

Diriwayatkan pula dari Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالرَّمْيِ ، فَإِنَّهُ خَيْرٌ لَعِبِكُمْ

“Hendaklah kalian belajar memanah, karena sesungguhnya memanah itu sebaik-baik permainan bagi kalian.”[4]

Panahan bukanlah sekedar hiburan dan permainan semata, namun ini menjadi salah satu cara untuk mempersiapkan kekuatan dalam jihad fii sabilillah sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

“Dan persiapkanlah bagi mereka  kekuatan yang kalian mampu.”[5]

Mengenai ayat diatas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ

“Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah kemampuan memanah, Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah kemampuan memanah, Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah kemampuan memanah.”[6]

Namun perlu diperhatikan pula bahwa dalam panahan selain pada medan perang dan juga berburu, maka diharamkan menjadikan makhluk hidup sebagai sasaran tembak. Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah melihat dua orang pemuda yang menjadikan seekor burung sebagai sasaran memanah. Maka beliau melaknat perbuatan itu sambil menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran tembak. Beliau berkata:

لا تَتَّخِذُوا شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا

“Janganlah kalian menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran tembak.”[7]

2.     Berkuda

Berkuda merupakan olahraga yang mengacu kepada keterampilan menunggangi, mengendarai, melompat atau berlari menggunakan kuda. Berkuda sendiri merupakan permainan yang disunnahkan untuk ditekuni oleh seorang muslim. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ شَئْ ٍلَيْسَ فِيْهِ ذِكْرُ اللهِ فَهُوَ لَهْوٌ وَلَعِبٌ إِلاَّ أَرْبَعٌ مُلاَعَبَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَتَأْدِيْبُ الرَّجُلِ فَرَسَهُ وَمَشْيُهُ بَيْنَ الْغَرْضَيْنِ وَتَعْلِيْمُ الرَّجُلِ السِّبَاحَةَ

“Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, senda gurau, dan permainan, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.”[8]

Diriwayatkan pula bahwa pada masanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyelenggarakan lomba pacuan kuda. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata”

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَابَقَ بَيْنَ الْخَيْلِ الَّتِي لَمْ تُضَمَّرْ وَكَانَ أَمَدُهَا مِنْ الثَّنِيَّةِ إِلَى مَسْجِدِ بَنِي زُرَيْقٍ وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ سَابَقَ بِهَا

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlomba pacuan kuda dengan kuda yang tidak disiapkan sebagai kuda pacuan yang jaraknya antara Tsaniyatul Wada’ sampai ke masjid Bani Zurai’. Dan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma termasuk orang yang ikut dalam pacuan tersebut.”[9]

3.     Pacuan Unta

Selain berkuda, pacuan unta pun menjadi salah satu olahraga yang digemari bangsa Arab hingga saat ini. Sama seperti berkuda, pacuan unta merupakan olahraga yang mengacu pada keterampilan menunggangi, mengendarai, melompat serta berlari menggunakan unta. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki unta yang biasa beliau pergunakan untuk pacuan unta yang beliau beri nama unta itu al-‘Adhba’. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاقَةٌ تُسَمَّى الْعَضْبَاءَ لَا تُسْبَقُ قَالَ حُمَيْدٌ أَوْ لَا تَكَادُ تُسْبَقُ فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ عَلَى قَعُودٍ فَسَبَقَهَا فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ حَتَّى عَرَفَهُ فَقَالَ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يَرْتَفِعَ شَيْءٌ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا وَضَعَهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki unta yang dinamakan dengan al-‘Adhba’ yang tidak terkalahkan. Berkata Humaid: “Atau tidak pernah terkalahkan.” Kemudian datang seorang Arab Baduy dengan menunggang unta lalu mengalahkan unta Beliau. Kejadian ini menggusarkan Kaum Muslimin hingga Beliau mengerti benar apa yang sedang terjadi. Maka kemudian Beliau bersabda: “Sudah menjadi kemestian bagi Allah dimana tidak ada sesuatu yang tinggi dalam perkara dunia melainkan Dia pasti akan merendahkannya.”[10]

Perlombaan pacuan unta sendiri adalah lomba yang diperbolehkan bahkan diperbolehkan mengambil hadiah dari pendaftarannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Huraihah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ

“Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda.”[11]

4.     Berenang

Berenang adalah olahraga air yang sudah dipelajari sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Dikutip dari Wikipedia, manusia sudah dapat berenang sejak zaman prasejarah, bukti tertua mengenai berenang adalah lukisan-lukisan tentang perenang dari Zaman Batu telah ditemukan di “gua perenang” yang berdekatan dengan Wadi Sora di Gilf Kebir, Mesir barat daya. Catatan tertua mengenai berenang berasal dari 2000 SM. Beberapa di antara dokumen tertua yang menyebut tentang berenang adalah Epos Gilgamesh, Iliad, Odyssey, dan Alkitab (Kitab Yehezkiel [47] : 5, Kisah Para Rasul [27] : 42, Kitab Yesaya [25] : 11), serta Beowulf dan hikayat-hikayat lain. Pada 1538, Nikolaus Wynmann seorang profesor bahasa dari Jerman menulis buku mengenai renang yang pertama, Perenang atau Dialog mengenai Seni Berenang (Der Schwimmer oder ein Zwiegespräch über die Schwimmkunst).[12]

Berenang sendiri dianjurkan untuk dipelajari oleh seorang muslim khususnya semenjak usia anak-anak. Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ شَئْ ٍلَيْسَ فِيْهِ ذِكْرُ اللهِ فَهُوَ لَهْوٌ وَلَعِبٌ إِلاَّ أَرْبَعٌ مُلاَعَبَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَتَأْدِيْبُ الرَّجُلِ فَرَسَهُ وَمَشْيُهُ بَيْنَ الْغَرْضَيْنِ وَتَعْلِيْمُ الرَّجُلِ السِّبَاحَةَ

“Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, senda gurau, dan permainan, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.”[13]

‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata:

عَلِّمُوا أَوْلادَكُمُ الْعَوْمَ وَالرِّمَايَةَ وَنِعْمَ لَهْوُ الْمَرْأَةِ الْمِغْزَلُ

“Ajarkanlah anak-anakmu berenang dan memanah dan ajarkanlah kaum wanita memintal.”[14]

Dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللهِ أَلِلْوَلَدِ عَلَيْنَا حَقٌّ كَحَقِّناَ عَلَيْهِمْ ؟ قاَلَ : نَعَمْ حَقُّ الوَلَدِ عَلىَ الوَالِدِ أَنْ يُعَلِّمَهُ الكِتَابَةَ وَالسِّبَاحَةَ وَالرَّمْيَ

“Ya Rasulullah, apakah ada kewajiban atas kita terhadap anak kita, sebagaimana kewajiban anak kepada kita?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya, hak anak atas ayahnya adalah diajarkan membaca, berenang dan memanah.”[15]

5.     Gulat

Gulat adalah olahraga beladiri yang melibatkan kontak fisik antara dua orang, di mana salah seorang pegulat harus menjatuhkan atau dapat mengontrol musuh mereka. Olahraga gulat dikatakan sebagai olahraga tertua di dunia yang pernah dikompetisikan. Olahraga gulat telah muncul sekitar tahun 3000 SM, hal ini ini dapat diketahui dari lukisan-lukisan Mesir kuno yang berusia sekitar 5000 tahun yang menggambarkan mengenai olahraga gulat ini. Gulat pun telah menjadi mata pelajaran di Tiongkok sejak 2050 SM. Maka tidak mengherankan jika adu gulat ini sering diadegankan dalam film-film yang bertemakan kerajaan atau kehidupan zaman dahulu dimana para ksatria unjuk gigi untuk menunjukan kekuatan mereka.

Olaharga gulat pun cukup populer pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan bahwa pada masa itu terdapat seorang pegulat yang dikenal sangat sulit untuk ditaklukan dan dikenal sebagai jawara gulat pada masanya. Beliau adalah Rukanah bin Abu Yazid al-Muththalibi radhiyallahu ‘anhu. Dikisahkan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menantang Rukanah bin Abu Yazid al-Muththalibi radhiyallahu ‘anhu yang saat itu belum memeluk Islam untuk bergulat dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengalahkannya.

أَنَّ رُكَانَةَ، صَارَعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَصَرَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ رُكَانَةُ وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَقُولُ ‏‏ فَرْقُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُشْرِكِينَ الْعَمَائِمُ عَلَى الْقَلاَنِسِ ‏

“Sesungguhnya Rukanah bergulat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengalahkannya (membantingnya), kemudian Rukanah berkata: “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbedaan antara kita dan orang-orang musyrik adalah sorban di atas peci.”[16]

Olahraga gulat ini diperbolehkan selama memenuhi beberapa syarat yaitu tidak terdapat bahaya bagi pelakunya, tidak bertujuan unutk mencederai lawan dan juga menutup aurat.

6.     Lari

Olahraga lari merupakan olahraga yang telah dikenal sejak peradaban-peradaban manusia kuno. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berlomba lari dengan istrinya yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan:

أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى سَفَرٍ قَالَتْ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ

“Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.”[17]

7.     Anggar

Anggar adalah olahraga beladiri serta ketangkasan dengan menggunakan senjata baik pedang, tombak maupun lainnya yang menekankan pada kemampuan menusuk, memotong dan menangkis senjata lawan. Olahraga ini pun telah ada sejak zaman dahulu. Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, olahraga anggar ini diminati oleh orang-orang Habasyah dan Sudan, diriwayatkan bahwa pada hari ‘Ied orang-orang Habasyah bermain anggar di dalam Masjid Nabawi. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

كَانَ الْحَبَشُ يَلْعَبُونَ بِحِرَابِهِمْ، فَسَتَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَنْظُرُ، فَمَا زِلْتُ أَنْظُرُ

“Orang-orang Habasyah pernah bermain-main anggar dengan tombak mereka. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menutupiku agar aku dapat melihat mereka.”[18]

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

كَانَ يَوْمَ عِيدٍ يَلْعَبُ السُّودَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ فَإِمَّا سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِمَّا قَالَ تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ خَدِّي عَلَى خَدِّهِ وَهُوَ يَقُولُ دُونَكُمْ يَا بَنِي أَرْفِدَةَ حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ قَالَ حَسْبُكِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَاذْهَبِي

“Saat Hari Raya 'Ied, biasanya ada dua budak Sudan yang memperlihatkan kebolehannya bermain anggar dengan tombak dan perisai. Maka adakalanya aku sendiri yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau beliau yang menawarkan kepadaku: “Apakah kamu mau melihatnya?” Maka aku menjawab: “Ya, mau.” Maka beliau menempatkan aku berdiri di belakangnya, sementara pipiku bertemu dengan pipinya sambil beliau berkata: “Teruskan hai Bani Arfadah!” Demikianlah seterusnya sampai aku merasa bosan lalu beliau berkata: “Apakah kamu merasa sudah cukup?” Aku menjawab: “Ya, sudah.” Beliau lalu bersabda: “Kalau begitu pergilah.”[19]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

بَيْنَا الْحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِرَابِهِمْ دَخَلَ عُمَرُ فَأَهْوَى إِلَى الْحَصَى فَحَصَبَهُمْ بِهَا فَقَالَ دَعْهُمْ يَا عُمَرُ

“Ketika para budak Habasyah sedang bermain menunjukkan kebolehannya menggunakan alat perang mereka di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba ‘Umar masuk lalu mengambil kerikil kemudian melemparkannya kepada mereka. Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Biarkanlah mereka wahai ‘Umar.”[20]

8.    Lempar Lembing

Lempar lembing merupakan salah satu olahraga yang cukup popular pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Olahraga ini cukup popular khususnya dikalangan orang-orang Habasyah. Diriwayatkan pula pada masa itu terdapat seorang pelempar lembing yang sangat handal, beliau adalah Wahsyi bin Harb radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah seorang budak yang dijanjikan kemerdekaan oleh Hindun jika berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu. Dalam perang Uhud, Wahsyi berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu dengan tombaknya. Setelah beliau bertaubat dan masuk Islam, beliau turut berperang menghadapi Musailamah al-Kadzdzab dan berhasil membunuhnya dengan tombak yang sama ketika beliau membunuh Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu. Wahsyi menceritakan rangkaian peristiwa tersebut sebagai berikut:

إِنَّ حَمْزَةَ قَتَلَ طُعَيْمَةَ بْنَ عَدِىٍّ بِبَدْرٍ فَقَالَ لِى مَوْلاَىَ جُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ ِإِنْ قَتَلْتَ حَمْزَةَ بِعَمِّى فَأَنْتَ حُرٌّ. فَلَمَّا خَرَجَ النَّاسُ يَوْمَ عِينِينَ خَرَجْتُ مَعَ النَّاسِ إِلَى الْقِتَالِ فَلَمَّا أَنِ اصْطَفُّوا لِلْقِتَالِ – قَالَ – خَرَجَ سِبَاعٌ فقال : مَنْ مُبَارِزٌ؟، قَالَ فَخَرَجَ إِلَيْهِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ يَا سِبَاعُ يَا ابْنَ أُمِّ أَنْمَارٍ يَا ابْنَ مُقَطِّعَةِ الْبُظُورِ أَتُحَادُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ثُمَّ شَدَّ عَلَيْهِ فَكَانَ كَأَمْسِ الذَّاهِبِ وَكَمَنْتُ لِحَمْزَةَ تَحْتَ صَخْرَةٍ فَلَمَّا دَنَا مِنِّى رَمَيْتُهُ بِحِرْبَتِي فَأَضَعُهَا فِى ثُنَّتِهِ حَتَّى خَرَجَتْ مِنْ بَيْنِ وَرِكَيْهِ، فَكَانَ ذَلِكَ الْعَهْدُ بِهِ فَلَمَّا رَجَعَ النَّاسُ رَجَعْتُ مَعَهُمْ فَأَقَمْتُ بِمَكَّةَ حَتَّى فَشَا فِيهَا الإِسْلاَمُ  ثُمَّ خَرَجْتُ إِلَى الطَّائِفِ فَأَرْسَلوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رُسُلاً فقيل لي إِنَّهُ لاَ يَهِيجُ لِلرُّسُلِ. قَالَ َخَرَجْتُ مَعَهُمْ حَتَّى قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا رَآنِى قَالَ « أَنْتَ وَحْشِىٌّ ». قُلْتُ نَعَمْ. قَالَ « أَنْتَ قَتَلْتَ حَمْزَةَ ». قُلْتُ قَدْ كَانَ مِنَ الأَمْرِ مَا بَلَغَكَ  قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُغَيِّبَ عَنِّى وَجْهَكَ ». فَرَجَعْتُ فَلَمَّا تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَخَرَجَ مُسَيْلِمَةُ الْكَذَّابُ قُلْتُ لأَخْرُجَنَّ إِلَى مُسَيْلِمَةَ لَعَلِّى أَقْتُلُهُ فَأُكَافِئَ بِهِ حَمْزَةَ. فَخَرَجْتُ مَعَ النَّاسِ فَكَانَ مِنْ أَمْرِهِمْ مَا كَانَ فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِى ثَلْمَةِ جِدَارٍ كَأَنَّهُ جَمَلٌ أَوْرَقٌ ثَائِرٌ رَأْسُهُ فَأَرْمِيهِ بِحَرْبَتِى فَأَضَعُهَا بَيْنَ ثَدْيَيْهِ حَتَّى خَرَجَتْ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ وَدَبَّ إِلَيْهِ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَضَرَبَهُ بِالسَّيْفِ عَلَى هَامَتِهِ.

“Sesungguhnya Hamzah telah membunuh Thu’aimah bin ‘Adi di perang Badar, maka Tuanku Jubair bin Muth’im berkata kepadaku: “Jika engkau membunuh Hamzah sebagai balasan terhadap pamanku maka engkau bebas merdeka.” Maka tatkala orang-orang (kaum kafir Mekkah) keluar untuk perang Uhud maka akupun keluar bersama mereka untuk berperang. Maka tatkala mereka telah berbaris  untuk bertempur maka keluarlah Siba’ dan berkata: “Siapa yang siap berduel melawanku?” Maka tantangan inipun disambut oleh Hamzah bin Abdul Muththalib, lalu ia berkata: “Wahai Siba’, wahai putra Ummu Anmar, Wahai putra Tukang sunatnya para wanita, apakah engkau menentang Allah dan Rasul-Nya?” Lalu Hamzah pun memeranginya dengan sengit sehingga tewaslah Siba’ seakan-akan ia tidak pernah ada. Aku pun bersembunyi di belakang sebuah batu untuk membunuh Hamzah. Tatkala Hamzah sudah dekat denganku maka aku pun melemparnya dengan tombakku hingga mengenai bagian bawah pusarnya hingga keluar kebagian panggul belakangnya. Itulah kematian Hamzah. Tatkala orang-orang kembali ke Mekkah aku pun pulang bersama mereka lalu aku tinggal di Mekkah hingga islam pun tersebar. Lalu akupun pergi ke Tha’if. Lalu penduduk Tha’if mengirim para utusan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Islam, dan dikatakan kepadaku bahwasanya para utusan tersebut sama sekali tidak akan terganggu. Maka aku pun pergi bersama mereka (para utusan tersebut) hingga aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku maka ia bersabda: “Apakah engkau Wahsyi?” Aku menjawab: “Iya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau yang telah membunuh Hamzah?” Aku menjawab: “Perkaranya sebagaimana berita yang sampai kepadamu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau mampu agar tidak menampakan wajahmu di hadapanku?” Aku lalu kembali ke Tha’if dan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kemudian munculah Musailamah al-Kadzdzab maka aku berkata: “Sungguh aku akan keluar untuk membunuh Musailamah, semoga aku membayar kesalahanku membunuh Hamzah.” Lalu aku pun keluar bersama orang-orang dan ternyata kejadiannya sebagaimana yang terjadi. Tiba-tiba Musailamah berdiri di sela-sela dinding, seakan-akan ia adalah seekor unta yang abu-abu, rambutnya berdiri. Maka aku pun melemparnya dengan tombakku maka mengenai dadanya hingga tembus ke belakang dan keluar diantara dua punggungnya. Lalu datanglah salah seorang dari kaum Anshar lalu memukulkan pedangnya ke kepala Musailamah.”[21]

Diriwayatkan pula bahwa tombak yang digunakan Wahsyi radhiyallahu ‘anhu untuk membunuh Musailamah al-Kadzdzab itu adalah tombak yang telah ia gunakan untuk membunuh Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu. Wahsyi radhiyallahu ‘anhu berkata:

فربك أعلم أينا قتله، فإن كنت قتلته فقد قتلت خير الناس بعد رَسُول الله يَةِ، وشرّ الناس

“Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang telah membunuh Musailamah. Sesungguhnya jika aku yang telah membunuh Musailamah, maka sungguh aku telah membunuh manusia terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu Hamzah bin ‘Abdul Muththalib) dan juga telah membunuh manusia terburuk (yaitu Musailamah al-Kadzdzab).”[22]

Jika kita perhatikan riwayat-riwayat yang menjelaskan mengenai olahraganya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, maka sebenarnya kehidupan seorang muslim bukanlah kehidupan yang hanya dipenuhi dengan permainan dan senda gurau saja, akan tetapi kehidupan seorang muslim adalah kehidupan yang serius meski tidak berarti tidak boleh diselingi dengan senda gurau. Kekhawatiran justru muncul ketika olahraga yang sebenarnya merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala berubah menjadi suatu jeratan setan yang dapat melalaikan seorang muslim dari dzikrullah.

Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan berenang, berkuda ataupun memanah juga olahraga lain yang pernah dilakukan oleh para sahabat sebenarnya memiliki dua konteks: pertama, olahraga tersebut bertujuan untuk menjaga kesehatan serta kebugaran dan kedua, olahraga tersebut sebagai persiapan fisik untuk berjihad di jalan Allah. Maka sunnahnya kita berolahraga adalah hanya dalam dua konteks ini dan tidak lebih dari itu. Maka jika tujuan seseorang berolahraga tidak mengikuti dua konteks tersebut, maka hakikatnya olahraga yang dilakukan olehnya adalah suatu permainan yang sia-sia. Karena hal ini, olahraga sendiri bukanlah sarana seseorang untuk bersombong diri atas kemampuan yang dimiliki serta sikap arogansi yang merupakan implikasi dari sifat sombong tersebut sebagaimana yang kita perhatikan dari para atlet saat ini. Namun olahraga hakikatnya adalah salah satu sarana yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] https://kbbi.web.id/olahraga
[2] HR. Muslim no.  2664
[3] HR. Muslim no. 1918
[4] HR. ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Ausath no. 2049
[5] QS. al-Anfal [8] : 60
[6] HR. Muslim no. 1917
[7] HR. Muslim no. 1957
[8] HR. an-Nasa'i dalam as-Sunan al-Kubra no. 8889
[9] HR. al-Bukhari no. 421 dan Muslim no. 1870
[10] HR. al-Bukhari no. 2872
[11] HR. at-Tirmidzi no. 1700, an-Nasa’i no. 3585, Abu Dawud no. 2574 dan Ibnu Majah no. 2878
[12] https://id.wikipedia.org/wiki/Berenang
[13] HR. an-Nasa'I dalam as-Sunan al-Kubra no. 8889
[14] al-‘Iyal, Juz 2 hal. 579
[15] HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 19742
[16] HR. Abu Dawud no. 4078
[17] HR. Abu Dawud no. 2578
[18] HR. al-Bukhari no. 5190
[19] HR. Muslim no. 892
[20] HR. al-Bukhari no. 2901
[21] HR al-Bukhari no. 4072
[22] Tarikh Madinah Dimasyq, Juz 62 hal. 410


Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ism’ail al-Ju’fi al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah al-Qazwaini. Sunan Ibnu Majah. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali an-Nasa’i. al-Mujtaba min as-Sunan (Sunan an-Nasa’i). Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali an-Nasa’i. as-Sunan al-Kubra. 1421 H. Mu'asasah ar-Risalah Beirut.
  • al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu al-Qasim ‘Ali bin al-Hasan bin Hibatillah bin ‘Abdullah asy-Syafi'i al-Ma'ruf bi Ibn ‘Asakir. Tarikh Madinah Dimasyq. 1415 H. Dar al-Fikr Beirut.
  • al-Imam Abu al-Qasim Sulaiman bin Muhammad ath-Thabrani. al-Mu’jam al-Ausath. 1415 H. Dar al-Haramain Kairo.
  • al-Imam Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ubaid Ibnu Abi ad-Dunya al-Baghdadi. al-‘Iyal. 1410 H. Dar Ibn al-Qayyim Riyadh.
  • al-Imam Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali al-Baihaqi. as-Sunan al-Kubra. 1424 H. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah Beirut.
  • al-Imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at-Tirmidzi. Jami’ at-Tirmidzi. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats as-Sijistani. Sunan Abu Dawud. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • https://kbbi.web.id
  • https://id.wikipedia.org

Takbir Mursal dan Takbir Muqayyad

“‘Ali bertakbir setelah shalat Shubuh di hari ‘Arafah, lalu ia tidak menghentikannya hingga imam shalat di akhir hari-hari tasyriq, kemudian ia bertakbir setelah Ashar.” (HR. al-Hakim no. 1114)


Di antara ibadah yang disyari’atkan dan dianjurkan untuk diperbanyak ketika memasuki bulan Dzulhijjah adalah memperbanyak dzikir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَاذْكُرُوا اللهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.”[1]

Mengenai ayat di atas, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menfasirkan:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang yaitu 10  hari pertama Dzulhijjah dan juga pada hari-hari tasyriq.”[2]

Dan termasuk kedalam bentuk dzikir adalah bertakbir. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ

“Tidak ada hari-hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah dalam melaksanakan amalan di dalamnya dibandingkan pada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyak di dalamnya dengan tahlil, takbir dan tahmid.”[3]

Takbir yang dilakukan pada awal bulan Dzulhijjah ini terus dilaksanakan hingga berakhirnya hari-hari tasyriq. Para ulama membagi takbir ini menjadi dua yaitu takbir mursal dan takbir muqayyad.

1.      Takbir Mursal

Takbir mursal atau takbir muthlaq adalah takbir hari raya yang tidak terikat dengan waktu dan dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun kecuali di tempat yang tidak dihormati seperti kamar mandi, selama masih berada dalam rentang waktu yang diperbolehkan yaitu sejak memasuki bulan Dzulhijjah hingga berakhirnya hari tasyriq pada 13 Dzulhijjah. Takbir mursal ini dapat dilakukan dalam keadaan berjalan, berkendara, berdiri, duduk maupun berbaring. Dan juga dapat dilakukan di rumah, jalan-jalan, pasar, kantor, lapangan, masjid, sekolah dan lainnya kecuali tempat yang tidak dihormati seperti kamar mandi. Dalil yang melandasi akan hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَاذْكُرُوا اللهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.”[4]

Mengenai ayat di atas, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menfasirkan:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang yaitu 10  hari pertama Dzulhijjah dan juga pada hari-hari tasyriq.”[5]

Dan juga sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ

“Tidak ada hari-hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah dalam melaksanakan amalan di dalamnya dibandingkan pada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyak di dalamnya dengan tahlil, takbir dan tahmid.”[6]

Para salafus shalih pun mengamalkan takbir mursal ini dalam berbagai keadaan mereka, diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya secara mu’allaq:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ

“Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah.”[7]

Dari Mujahid bin Jabr rahimahullah, beliau berkata:

كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَخْرُجَانِ أَيَّامَ الْعَشْرِ إِلَى السُّوقِ فَيُكَبِّرَانِ فَيُكَبِّرُ النَّاسُ مَعَهُمَا لا يَأْتِيَانِ السُّوقَ إِلا لِذَلِكَ

“Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, mereka berdua pernah pergi keluar pada waktu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah menuju pasar. Kemudian mereka bertakbir, maka bertakbirlah orang-orang bersama mereka berdua. Keduanya tidak mendatangi pasar kecuali untuk hal tersebut (bertakbir).”[8]

al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya meriwayatkan secara mu’allaq:

وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُكبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنىً فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ اْلمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ وَيُكبِّرُ أَهْلُ اْلأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنىً تَكْبِيراً . وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُكَبِّرُ بِمِنىً تِلْكَ اْلأَيَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ وَعَلَى فِرَاشِهِ وَفِي فُسْطَاطِهِ وَمَجْلِسِهِ وَمَمْشَاهُ تِلْكَ اْلأَيَّامَ جَمِيْعاً . وَكَانَتْ مَيْمُونَةُ تُكَبِّرُ يَوْمَ النَّحْرِ ، وَكَانَ النِّسَاءُ يُكَبِّرْنَ خَلْفَ أََبَانَ بْنِ عُثْمَانَ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ لَيَالِيَ التَّشْرِيقِ مَعَ الرِّجَالِ فِي اْلمَسْجِدِ

“Bahwasanya ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bertakbir di dalam kubahnya di Mina kemudian orang-orang di dalam masjid pun mendengarnya, maka mereka pun bertakbir, dan bertakbir pula orang-orang di pasar hingga Mina berguncang karena takbir. Dan juga Ibnu ‘Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu, baik setelah shalatnya, di atas dipannya, di serambi rumahnya, di majelisnya dan orang-orang pun bertakbir di jalan-jalan pada hari itu. Maimunah pun bertakbir pada hari raya nahr (10 Dzulhijjah). Para perempuan juga bertakbir mengkuti Aban bin ‘Utsman dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pada malam hari-hari tasyriq bersama para laki-laki di dalam masjid.”[9]

Dari Nafi’ rahimahullah:

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُكَبِّرُ تِلْكَ الْأَيَّامَ بِمِنًى فِي دُبُرِ الصَّلَوَاتِ وَفِي فُسْطَاطِهِ وَفِي مَمْشَاهُ وَفِي طَرِيقِهِ تِلْكَ الْأَيَّامَ جَمِيعًا

“Bahwasannya Ibnu ‘Umar bertakbir pada hari-hari tersebut di Mina pada akhir shalat-shalatnya, di kemahnya dan di jalan-jalannya pada hari-hari itu semuanya.”[10]

Dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخرُجَ يَوْمَ اْلعِيْدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكَرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحَيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيْرِهِمْ وَيَدْعُوْنَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُوْنَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ

“Kami diperintahkan keluar pergi menuju shalat ‘Ied, bahkan anak-anak gadis pergi keluar dari pingitannya. Begitu juga wanita-wanita yang sedang haidh, tetapi mereka hanya berdiri di belakang orang banyak, turut bertakbir dan berdo’a bersama-sama. Mereka mengharapkan berkah dan kesucian pada hari itu.”[11]

Dari Abu al-Ahwash rahimahullah:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ

“Bahwasannya ‘Abdullah (bin Mas’ud) bertakbir pada hari-hari tasyriq.”[12]

2.     Takbir Muqayyad

Takbir muqayyad adalah takbir hari raya yang dikaitkan dengan waktu tertentu yaitu setelah melaksanakan shalat wajib berjamaa’ah. Takbir muqayyad dilakukan sejak fajar pada hari ‘Arafah (setelah pelaksanaan shalat shubuh) bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji, sedangkan bagi mereka yang berhaji dimulai pada waktu zhuhur di hari Nahr (‘Iedul Adha) tanggal 10 Dzulhijjah. Pelaksanaan takbir muqayyad berakhir pada hari tasyriq yang terakhir yaitu pada tanggal 13 Dzulhijjah setelah shalat Ashar. Dalil-dalil yang melandasi akan hal ini antara lain dari ‘Ubaid bin ‘Umair rahimahullah, beliau berkata:

كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى صَلاةِ الظُّهْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ

“‘Umar bin al-Khaththab bertakbir setelah shalat Shubuh pada hari ‘Arafah hingga shalat Zhuhur pada akhir hari-hari tasyriq.[13]

Dari Syaqiq bin Salamah al-Asadi rahimahullah, beliau berkata:

كَانَ عَلِيٌّ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ غَدَاةَ عَرَفَةَ ثُمَّ لا يَقْطَعُ حَتَّى يُصَلِّيَ الإِمَامُ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ثُمَّ يُكَبِّرُ بَعْدَ الْعَصْرِ

“‘Ali bertakbir setelah shalat Shubuh di hari ‘Arafah, lalu ia tidak menghentikannya hingga imam shalat di akhir hari-hari tasyriq, kemudian ia bertakbir setelah ‘Ashar.”[14]

Dari Salamah bin Nubaith rahimahullah:

أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ

“Bahwasannya adh-Dhahhak biasa bertakbir mulai shalat Shubuh pada hari ‘Arafah hingga shalat ‘Ashar pada akhir hari-hari tasyriq.”[15]

Dari ‘Ikrimah rahimahullah:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ لَا يُكَبِّرُ فِي الْمَغْرِبِ

“Bahwasannya Ibnu ‘Abbas bertakbir mulai shalat Shubuh pada hari ‘Arafah hingga akhir hari-hari tasyriq, namun tidak bertakbir pada shalat Maghrib.”[16]

Pada awal-awal bulan Dzulhijjah, di masyarakat ada beberapa orang yang mengamalkan sunnah takbiran ini di masjid-masjid maupun di tempat lainnya, namun sebagian dari mereka tidak mengetahui landasan dalil mengenai hal tersebut. Kebanyakan mereka bertakbir hanya karena mengikuti kebiasaan yang terjadi di wilayahnya. Bahkan ada pula beberapa orang yang sampai ekstrim menganggap hal ini sebagai Bid’ah karena ketidaktahuannya mengenai amalan serta dalil-dalil yang melandasi akan hal ini. Semoga dengan risalah ini dapat membuka wawasan keislaman kita dan menjadi motivasi serta pegangan atau landasan dalil bagi kita semua dalam beramal. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] QS. al-Baqarah [2] : 203
[2] Shahih al-Bukhari, hal. 193
[3] HR. Ahmad no. 5446
[4] QS. al-Baqarah [2] : 203
[5] Shahih al-Bukhari, hal. 193
[6] HR. Ahmad no. 5446
[7] Shahih al-Bukhari, hal. 193
[8] Akhbar Makkah no. 1704
[9] Shahih al-Bukhari, hal. 193
[10] Masa’il al-Imam Ahmad no. 799
[11] HR. al-Bukhari no. 971
[12] HR. Ibnu Abi Syaibah no. 5697
[13] HR. al-Hakim no. 1113
[14] HR. al-Hakim no. 1114
[15] HR. Ibnu Abi Syaibah no. 5691
[16] HR. Ibnu Abi Syaibah no. 5692



Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. al-Musnad. 1416 H. Dar al-Hadits Kairo.
  • al-Imam Abu ‘Abdillah al-Hakim an-Naisaburi. al-Mustadrak ‘alaa ash-Shahihain. 1417 H. Dar al-Haramain Kairo.
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaq bin ‘Abbas al-Fakihi al-Maliki. Akhbar Makkah fii Qadim ad-Dahr wa Haditsih. 1414 H. Dar Khazhar Beirut.
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ism’ail al-Ju’fi al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-‘Absi al-Kufi. al-Mushannaf. 1427 H. Dar Qurthubah Beirut.
  • al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats as-Sijistani. Masa’il al-Imam Ahmad Riwayah Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats as-Sijistani. 1420 H. Maktabah Ibn Taimiyyah.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top