8 Jenis Rezeki dari Allah

“Dan tidak ada suatu bintang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud [11] : 6)


Rezeki adalah segala sesuatu yang bermanfaat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala halalkan untuk hamba-hamba-Nya, baik berupa sandang, pangan dan papan. Termasuk di dalamnya yaitu anak dan istri juga kesehatan jiwa serta raga. Maka rezeki tidak selalu identik dengan harta kekayaan atau uang, walaupun tidak bisa dinafikan bahwa harta kekayaan atau uang merupakan rezeki dari Allah subhanahu wa ta’ala jika seseorang mendapatkannya secara halal. Rezeki sendiri merupakan bagian dari takdir Allah subhanahu wa ta’ala dan takdir seluruh makhluk sesungguhnya telah dituliskan 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”[1]

 Allah subhanahu wa ta’ala adalah sang Maha pemberi rezeki. Allah subhanahu wa ta’ala memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya melalui banyak jalan. Setidaknya dalam hal rezeki, ada 8 jenis rezeki yang Allah subhanahu wa ta’ala telah sediakan bagi hamba-hamba-Nya, yaitu:

1.      Rezeki yang telah dijamin

Rezeki yang telah dijamin maksudnya adalah rezeki yang sudah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada makhluk-Nya baik mereka beriman maupun mereka kafir, baik dari kalangan manusia, jin maupun hewan-hewan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

“Dan tidak ada suatu bintang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.”[2]

Rezeki jenis ini tidak perlu ikhtiar untuk mendapatkannya karena Allah subhanahu wa ta’ala langsung memberikannya kepada hamba-Nya, bahkan tidak jarang hamba-hamba-Nya tidak menyadari bahwa mereka menerima rezeki ini. Contoh rezeki yang telah dijamin oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah rezeki bagi janin. Fikirkanlah, bagaimana janin makan? Makanan datang kepada janin tanpa perlu ikhtiar dari janin sama sekali. Contoh lain adalah bernafas, bayangkanlah oleh kita, seandainya bernafas itu perlu diikhtiarkan secara terus-menerus siang dan malam, maka repot sekali hidup ini. Namun Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan sistem pernafasan kita dengan sistem yang sangat luar biasa, dimana rezeki bernafas baru kita sadari ketika kita diingatkan mengenai nafas ini.

2.     Rezeki karena ikhtiar

Hakikatnya rezeki adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala dan Dia berhak untuk memberikan rezeki itu kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Namun adakalanya seorang hamba diperintahkan berikhtiar untuk mendapatkan rezeki tersebut. Tentu saja dengan dibarengi do’a dan juga ketawakalan. Selain itu, rezeki yang akan diperoleh seorang hamba pastilah akan berjalan lurus dengan ikhtiar yang telah dia lakukan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Tidaklah manusia mendapatkan apa-apa kecuali apa yang dikerjakannya.”[3]

Contoh jenis rezeki ini adalah kecerdasan. Dalam upaya memperoleh kecerdasan, maka seseorang diperintahkan untuk belajar, maka jika seseorang enggan dan tidak mau berikhtiar untuk belajar maka dia tidak akan pernah bisa mendapatkan kecerdasan.

3.     Rezeki karena bersyukur

Syukur yaitu menunjukan adanya nikmat Allah subhanahu wa ta’ala pada dirinya. Aplikasi dari syukur terbagi menjadi aplikasi lisan, hati dan anggota badan. Aplikasi lisan berupa pujian bagi Sang pemberi nikmat serta ungkapan bahwa dia telah diberikan nikmat tersebut, aplikasi hati berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan aplikasi anggota badan adalah dengan keta’atan. Syukur sendiri merupakan hasil refleksi dari tawakal dan qana’ah. Jika seseorang bersyukur terhadap segala rezeki yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menambahkan rezeki kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

‎لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.”[4]

4.     Rezeki yang tidak diduga

Seringkali kita melihat seseorang yang secara tiba-tiba mendapatkan rezeki yang luar biasa yang tidak pernah diduga sebelumnya datang menghampirinya. Misalnya seperti seseorang yang tiba-tiba diberikan hadiah haji dan umrah secara gratis. Rezeki yang datang dari arah yang tidak diduga ini merupakan salah satu nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.”[5]

Rezeki yang tidak diduga ini hanya diberikan kepada hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang bertaqwa, yaitu hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang senantiasa berusaha untuk menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.

5.     Rezeki karena istighfar

Istighfar adalah memohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala dosa yang pernah diperbuat. Selain merupakan pembuka pintu maghfirah atau pengampunan Allah subhanahu wa ta’ala, istighfar pun menjadi salah satu pembuka pintu rezeki. Apabila seorang hamba di dalam dirinya terdapat rasa butuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka dirinya tidak akan bisa sampai kepada-Nya melainkan dengan istighfar sebagai pembukanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

‎فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا

“Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, pasti Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta.”[6]

6.     Rezki karena menikah

Banyak sekali kalangan remaja saat ini yang enggan segera melangsungkan pernikahan padahal dari segi kematangan usia dan mental mereka sudah mencukupi, mereka lebih memilih berpacaran, bahkan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya jatuh kepada perzinahan. Mereka beralasan belum siap, atau khawatir tidak bisa memberikan nafkah kepada pasangannya jika mereka menikah dikarenakan alasan pekerjaan dan penghasilan yang belum mapan. Padahal itu bukanlah alasan yang bisa diterima, mengapa? Karena justru dengan menikahlah seseorang akan dibukakan pintu rezekinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

‎وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak dari hamba sahayamu baik laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan kurnia-Nya.”[7]

Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kecukupan, dan ini adalah janji Allah subhanahu wa ta’ala, dan janji Allah subhanahu wa ta’ala adalah benar, kita bisa perhatikan fakta di lapangan, banyak sekali bukti yang menunjukan hal ini, tidak sedikit orang yang tadinya berpenghasilan pas-pasan ketika melajang, justru menerima rezeki yang banyak dan melimpah ruah setelah dia menikah. Maka bagi para pemuda, segeralah menikah!

7.     Rezeki karena anak

Pepatah lama mengatakan, “banyak anak banyak rezeki”. Anak merupakan karunia dan nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Anak juga merupakan rezeki. Banyak sekali diantara kita yang sangat mendambakan rezeki yang satu ini, namun Allah subhanahu wa ta’ala belum memberikan kepercayaan dan amanah tersebut kepada mereka. Allah subhanahu wa ta’ala sendiri telah menjanjikan bahwa setiap anak yang terlahir telah dijamin rezekinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.”[8]

Namun perlu diperhatikan, bahwa anak adalah suatu amanah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Maka wajib bagi orang tua untuk mengemban amanah tersebut. Wajib bagi orang tua untuk mendidik mereka menjadi hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang shalih dan bertaqwa. Karena anak-anak yang shalih sendiri merupakan rezeki yang tidak ternilai bagi orang tua dan merupakan aset berharga untuk kehidupannya di dunia maupun di akhirat.

8.    Rezeki karena shadaqah

Dan yang terakhir adalah shadaqah. Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan kepada hamba-hamba-Nya yang bershadaqah berupa kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan akan melipatgandakan rezeki seorang yang bershadaqah di dunia, dan di akhirat Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan surga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

‎مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (yaitu infaq dan shadaqah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipatan yang banyak.”[9]

Tujuan sekunder dari shadaqah yaitu berupa rezeki yang berlipatganda di dunia adalah dibenarkan. Seseorang diperkenankan memiliki harapan rezekinya di dunia bertambah dengan shadaqah. Namun tidak diragukan lagi bahwa tujuan primer yaitu pahala dan surga di akhirat adalah lebih utama. Maka jadikanlah shadaqah kita berorientasi akhirat. Barangsiapa mengejar akhirat, maka dunia pasti akan dia raih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ، وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أَضَرَّ بِدُنْيَاهُ، فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى

“Barangsiapa yang mencintai dunianya, maka itu akan memudharatkan akhiratnya. Barangsiapa yang mencintai akhiratnya, maka itu akan mengurangi kecintaannya pada dunia. Maka utamakanlah apa yang kekal abadi (akhirat) atas apa yang fana (dunia).”[10]

Demikianlah penjelasan mengenai 8 jenis rezeki yang Allah subhanahu wa ta’ala telah sediakan bagi hamba-hamba-Nya. Semoga dapat menambah wawasan serta keimana kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] HR. Muslim no. 2653
[2] QS. Hud [11] : 6
[3] QS. an-Najm [53] : 39
[4] QS. Ibrahim [14] : 7
[5] QS. at-Thalaq [65] : 2-3
[6] QS. Nuh [71] : 10-11
[7] QS. an-Nur [24] : 32
[8] QS. al-An’am [6] : 151
[9] QS. al-Baqarah [2] : 245
[10] HR. Ahmad no. 19586



Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. al-Musnad. 1416 H. Dar al-Hadits Kairo.
  • al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.

8 Kelelahan Yang Disukai Allah dan Rasul-Nya

“Siapakah yang lebih baik perkataannya, daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh, dan berkata: 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Fushilat [41] : 33)


Apakah kita pernah merasa kelelahan? Ya pasti pernah, kelelahan adalah sifat alami manusia, karena manusia adalah makhluk yang lemah. Kelelahan terjadi karena seseorang terkuras tenaganya baik tenaga secara fisik maupun pikiran.

Kita bisa perhatikan orang tua kita, ayah kita pulang dari bekerja kemudian beliau duduk di kursi sambil menghela nafas menandakan betapa lelahnya dia bekerja seharian walaupun lidahnya tak mengatakan bahwa dia lelah sama sekali. Begitupula ibu kita, perhatikanlah wajahnya setelah selesai mengerjakan urusan rumah tangga seperti mencuci atau memasak, peluh tercucur dari dahinya tanda kelelahan namun beliau tetap tegar. Dan juga perhatikanlah diri kita sendiri, kadang ketika kita selesai bekerja bagi yang telah bekerja atau selesai belajar bagi yang masih sekolah atau kuliah, saat kita pulang kita merasa kelelahan. Kita menarik nafas dalam-dalam, kadang meminum air yang banyak untuk mengembalikan kekuatan kita. Bahkan tak jarang yang langsung beristirahat dengan cara tidur.

Sekarang coba kita bayangkan, seandainya kelelahan yang kita rasakan tak berarti apa-apa dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala, tentu sangatlah merugi kita. Bahkan jika ternyata kelelahan yang kita rasakan mengakibatkan murka Allah subhanahu wa ta’ala maka sungguh akan binasalah kita. Coba kita perhatikan, mereka yang menuntut ilmu agama, mereka yang beribadah, mereka yang berdakwah, mereka yang berjihad, mereka semua merasa kelelahan. Namun perhatikan pula orang-orang yang bermaksiat, mereka yang berzina, mereka yang pacaran, mereka yang berjudi, mereka yang mencuri, mereka semua pun merasakan kelelahan. Baik yang taat maupun yang maksiat sama-sama merasakan kelelahan. Namun hasil yang akan diperoleh kelak di Yaumul Hisab sangatlah jauh berbeda. Derajat mereka berbeda di hadapan Allah subhanahu wa ta’la.

Pada kesempatan kali ini, penulis akan menjelaskan mengenai 8 kelelahan yang paling disukai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Semoga dengan penjabaran penulis, kita semua bisa lebih semangat lagi dalam beramal shalih dan lebih bersikap wara’ dalam mengarungi samudera kehidupan.

1.       Lelah dalam berjihad di jalan-Nya

Lelah dalam berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala adalah kelelahan yang paling tinggi karena balasan dari kelelahan ini adalah Surga yang luasnya lebih luas dari langit dan bumi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah [9] : 111)

Namun sebelumnya harus dipahami mengenai makna jihad ini sendiri, karena banyak yang salah pemahaman mengenai jihad ini. Kebanyakan kita berfikir yang disebut jihad itu ya beperang, angkat senjata, membunuh musuh-musuh islam. Namun perspektif jihad dalam hal ini adalah terlalu sempit. Betul jihad dengan senjata dan berperang melawan orang kafir adalah jihad yang paling tinggi akan tetapi masih banyak jihad-jihad lain. Menuntut ilmu itu jihad, berdakwah itu jihad, mencari nafkah bagi keluarga itu pun jihad, mengurus keluarga itu juga jihad. Bahkan jika kita mengetahui, menolak dengan hati terhadap perkara-perkara maksiat pun itu termasuk jihad.

2. Lelah dalam mengajak kepada kebaikan

Kelelahan selanjutnya yang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya adalah lelah dalam mengajak kepada kebaikan atau berdakwah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya, daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh, dan berkata: 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Fushilat [41] : 33)

3. Lelah dalam beribadah dan beramal shalih

Kelelahan dalam beribadah dan beramal shalih pun merupakan kelelahan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, karena dengan beribadah dan beramal shalih maka seorang hamba menjadi lebih dekat kepada Rabbnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut [29] : 69)

4. Lelah mengandung, melahirkan, menyusui, merawat dan mendidik anak-anaknya

Jika kita perhatikan, seorang ibu yang sedang mengandung membawa beban berat dalam rahimnya, berkorban nyawa ketika dia melahirkan, menyusui anaknya walaupun sampai bela-belain begadang semalam suntuk agar anaknya tidak menangis, merawat anaknya dengan penuh kasih saying dan juga mendidik putra dan putrinya agar menjadi insan yang baik dan taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya serta berguna bagi perjuangan umat, maka tak salahlah jika kelelahan seorang ibu sangatlah dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia, (untuk berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (QS. Luqman [31] : 14)

Derajat seorang ibu sangat tinggi sekali, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanyai mengenai siapa orang yang paling harus di hormati maka beliau menjawab ibu sebanyak tiga kali kemudian ayah. Karena begitu mulianya seorang ibu, maka hendaklah kita menyayangi ibu kita dengan semampu kita walaupun berbaktinya kita kepada ibu kita mustahil akan terbalas. Seperti sebuah pepatah “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galang.”

5. Lelah dalam mencari nafkah halal

Setelah kelelahan ibu, sekarang kita bepindah kepada kelelahan ayah dalam mencari nafkah. Mungkin sering kita mendengar celotehan “cari duit yang haram aja susah apalagi yang halal”. Melihat realita tersebut, terlebih lagi pada masa ini dimana fitnah akhir zaman semakin banyak, maka jika seseorang mampu mencari nafkah yang halal maka jelaslah kelelahannya sangat disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Bagi yang sudah bekerja pasti merasakan sulitnya mencari uang dengan halal, banyak sentilan-sentilun yang mengajak kita untuk bermaksiat kepada Allah, terlebih lagi jika kita ditempatkan pada posisi yang ‘basah’ seperti pada bagian keuangan, jelas kita pasti harus benar-benar bersabar. Atau bagi yang belum bekerja, maka lihatlah orang tua, ayah kita yang rela banting tulang dari pagi sampai malam hanya agar kita bisa tetap makan, bisa tetap sekolah atau kuliah. Maka dari itu janganlah sampai kita mengecewakan orang tua kita khususnya ayah kita yang telah berusaha bekerja mencari nafkah. Belajarlah dengan sungguh-sungguh dan raihlah cita-cita sahabat dan jangan lupa dibarengi dengan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Mengenai kelelahan dalam mencari nafkah yang halal, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak, supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu'ah [62] : 10)

6. Lelah mengurus keluarga

Seorang kepala keluarga yang senantiasa ikhlas dalam mengurus keluarga, maka kelelahannya disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Apalagi jika kelelahan itu adalah dalam rangka mendidik anggota keluarganya untuk kenantiasa taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memelihara dirinya dan keluarganya dari api neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66] : 6)

7. Lelah dalam belajar/menuntut ilmu

Bagi yang sedang menuntut ilmu, bersemangatlah dalam belajar. Karena kelelahan yang akan kita rasakan akan dibalas dengan manis di dunia maupun di akhirat. Di dunia, kita akan dinaikan derajatnya oleh Allah subhanahu wa ta’ala, saat kita meninggal dan di alam kubur, kita akan diberikan pahala yang terus mengalir dan ketika dibangkitkan dan dihisab oleh Allah subhanahu wa ta’ala, kita akan diberikan surga. Sungguh tak ada yang sia-sia dalam menuntut ilmu terlebih lagi dalam ilmu agama.

Dalam hal menuntut ilmu ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

“Tidak wajar bagi seseorang manusia, yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: 'Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah'. Akan tetapi (dia berkata): 'Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab, dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya'.” (QS. Ali Imran [3] : 79)

8. Lelah dalam kesusahan, kekurangan dan sakit

Dan lelah yang terakhir yang disukai Allah dan Rasul-Nya adalah kelelahan dalam kesusahan, kekurangan dan sakit. Barangsiapa yang sabar dan senantiasa berharap pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya dia akan mendapatkan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala dan senantiasa mendapatkan petunjuk. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ  أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira, kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: 'Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun'. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-nya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah [2] : 155-157)

Semoga kelelahan dan kepayahan yang kita rasakan menjadi bagian yang disukai Allah dan Rasul-Nya dan menjadi washilah bagi kita untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Amiin. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Pembatal-Pembatal Puasa

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah [2] : 187)


Seperti telah kita ketahui, bahwa puasa adalah salah satu bentuk ibadah mahdhah (ritual) yang dimana dalam pelaksanaannya wajiblah berittiba’ kepada syari’at Allah subhanahu wa ta’ala yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitupula dalam masalah pembatal-pembatal puasa, maka wajiblah kita berittiba’ dan tidaklah boleh kita mengada-ada dalam masalah ini.

Mungkin kita sering mendengar celotehan-celotehan seperti “buang angin di dalam air membatalkan puasa” atau kata-kata “jangan marah-marah, batal puasamu”  atau masih banyak lagi yang semisal. Namun benarkah hal demikian?? Apakah perkataan-perkataan itu dilandasi oleh nash yang shahih?? Maka dari itu untuk dapat meluruskan pemahaman di masyarakat mengenai pembatal-pembatal puasa, marilah kita merujuk kedalam Al-Quran, As-Sunnah serta pemahaman para Sahabat dan juga perkataan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai hal ini.

Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah dalam Matan Safiinatun Najah fi Ushulid Dini wal Fiqhi menjelaskan bahwa hal yang dapat membatalkan puasa seseorang setidaknya ada tujuh perkara, Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata:

يبطل الصوم: بردة وحيض ونفاس أو ولادة وجنون ولو لحظة وبإغماء وسكر تعدى به إن عمَّا جميع النهار

Pembatal puasa: 1) Murtad, 2) Haidh, 3) Nifas, 4) Melahirkan, 5) Gila sekalipun sebentar, 6) dan 7) Pingsan dan mabuk yang disengaja jika terjadi sepanjang siang.

Sedangkan Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Al-Ghayah wa At-Taqrib atau yang lebih dikenal dengan Matan Abu Syuja’ membagi pembatal puasa kepada sepuluh perkara, dimana ketika seseorang mengalami salah satu dari perkara ini maka telah batalah puasa dia dan dia diwajibkan untuk mengqadha, membayar kafarah atau membayar fidyah sesuai dengan yang telah disyaria’tkan dalam Islam. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata:

والذي يفطر به الصائم عشرة أشياء: ما وصل عمدا إلى الجوف أو الرأس والحقنة في أحد السبيلين والقيء عمدا والوطء عمدا في الفرج والإنزال عن مباشرة والحيض والنفاس والجنون والإغماء كل اليوم والردة

Yang membatalkan puasa ada sepuluh hal, yaitu: 1) Segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), 2) Segala sesuatu yang masuk lewat kepala, 3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur, 4) muntah dengan sengaja, 5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan, 6) keluar mani karena bercumbu, 7) haidh, 8) nifas, 9) gila dan 10) keluar dari Islam (murtad).

            Sedangkan para ulama telah berijma’ bahwa setidaknya ada 7 hal yang dapat membatalkan puasa seseorang, 7 hal tersebut adalah:

1Masuknya segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh)

Masuknya benda ke dalam rongga badan (jauf) dengan sengaja yang dapat membatalkan puasa meliputi makan, minum, segala sesuatu yang masuk lewat kepala, injeksi atau suntikan di seluruh bagian tubuh. Ini merupakan pendapat terkuat dari madzhab Syafi’i. Dalil yang digunakan mengenai hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah [2] : 187)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah seorang ulama madzhab Hanbali berkata, “Orang yang berpuasa menjadi batal karena makan dan minum dengan sepakat ulama, dan berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah.” (Al-Mughni, Jilid 3 hal. 119)

Dalam Kifayatul Akhyar dijelaskan: “Patokan makan atau minum bisa jadi pembatal: jika ada yang masuk dari luar ke dalam perut lewat saluran yang terbuka dan dilakukan dengan sengaja dalam keadaan berpuasa. Yang dimaksud jauf di sini adalah berupa rongga. Sehingga menurut ulama Syafi’iyah contoh yang jadi pembatal adalah tetes telinga karena tetes tersebut masuk dari luar ke perut melalui rongga terbuka. Sedangkan menggunakan celak tidaklah termasuk pembatal karena mata bukanlah saluran yang sampai ke rongga perut. Sedangkan menelan ludah tidak membatalkan puasa karena berasal dari dalam tubuh.” (Kifayatul Akhyar, hal. 249)

Jika seseorang yang berpuasa makan dan minum karena lupa, keliru atau dipaksa maka puasanya tidak batal. Hal ini berdasarkan suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah dalam kedua kitab Shahih mereka. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155)

Dan juga dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045)

2. Berjima’ di Siang Hari

Berjima’ dengan pasangan di siang hari membatalkan puasa dan wajib mengqadha’ dan menunaikan kafarah. Dalil yang melandasi hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 87)

Dari ayat diatas bisa kita simpulkan bahwa berjima’ pada malam hari saat bulan Ramadhan atau saat berpuasa adalah halal, maka jika jima’ di lakukan pada siang hari maka hukumnya haram dan membatalkan puasa. Sehingga wajib qadha’ dan juga membayar kafarah. Sedangkan untuk kafarah, dalil yang menjadi landasannya adalah suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Imam Muslim rahimahullah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ. قَالَ مَا لَكَ. قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا. قَالَ لاَ. قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ. قَالَ لاَ. فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا. قَالَ لاَ. قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ. فَقَالَ أَنَا. قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ. فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى، فَضَحِكَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Al-Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di antara ulama bahwa orang yang melakukan hubungan badan sampai keluar mani, maupun tidak sampai keluar mani, atau di selain kemaluan kemudian keluar mani, maka puasanya batal.” (Al-Mughni, Jilid 3 hal. 134)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pun berkata, “Sesuatu yang bisa membatalkan puasa berdasarkan dalil dan sepakat ulama: makan, minum, dan hubungan badan.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 25 hal. 219)

Berjima’ dengan pasangan di siang yang dapat membatalkan puasa, wajib mengqadha’ dan menunaikan kafarah berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia berjima’ dengan istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qadha’ dan tidak ada kafarah

Sedangkan dalam masalah kafarah dijelaskan bahwa wanita yang diajak berjima’ di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafarah, yang menanggung kafarah adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas (hadits mengenai kafarah), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintah wanita yang berjima’ di siang hari untuk membayar kafarah sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kafarah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafarah adalah hak harta. Oleh karena itu, kafarah dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, Jilid 2 hal. 957 dan Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 2 hal. 108)

Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengenai kafarah karena berjima’ di siang bulan Ramadhan, dapat dijelaskan bahwa urutan yang harus dikeluarkan untuk membayar kafarah adalah sebagai berikut:

1. Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat
2. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
3. Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud (0,75 kg) makanan.

Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafarah di atas, kafarah tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari Imam An-Nawawi rahimahullah. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Jilid 7 hal. 224)

Sedangkan untuk puasa-puasa lain selain puasa Ramadhan maka tidak ada kafarah.

3. Muntah dengan sengaja

Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.” (HR. Abu Dawud no. 2380)

Syaikh Ibrahim Al-Baijuri rahimahullah berkata, “Yang tidak membatalkan di sini adalah jika muntah menguasai diri artinya dalam keadaan seperti dipaksa oleh tubuh untuk muntah. Hal ini selama tidak ada muntahan yang kembali ke dalam perut atas pilihannya sendiri. Jika yang terakhir ini terjadi, maka puasanya batal.” (Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al-Baijuri, Jilid 1 hal. 556)

Sedangkan jumlah muntahan yang membatalkan puasa terdapat perselisihan pendapat dari para ulama fikih namun pendapat yang rajih adalah tanpa batasan sedikitnya, artinya jika muntah dengan sengaja walaupun sedikit tetap membatalkan puasa sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.

4. Keluar mani (istimna' ) dengan disengaja

Muhammad Al-Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk pembatal jika mengeluarkan mani baik dengan cara yang haram seperti mengeluarkan mani dengan tangan sendiri (onani) atau melakukan cara yang tidak haram seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.” Lalu beliau katakan bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan intim (jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan dan membuat puasa batal walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani seperti tadi lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga beliau menambahkan bahwa keluarnya mani dengan berpikir atau karena ihtilam (mimpi basah) tidak termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak berselisih dalam hal ini, bahkan ada yang mengatakan sebagai ijma’ (konsensus ulama). (Kifayatul Akhyar, hal. 251)

Dalil yang menjadi landasan dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku.” (HR. Al-Bukhari no. 1894)

Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.

Sedangkan dalam masalah berfikir atau berkhayal hingga mengeluarkan mani maka puasanya tidak batal, begitupula jika berihtilam atau mimpi basah. Hal ini berdasarkan suatu hadits shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya.” (HR. Bukhari no. 5269 dan Muslim no. 127)

Sedangkan dalam Syarhul Mumthi’ dijelaskan, “Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.” (Syarhul Mumthi’, Jilid 3 hal. 53-54)

5. Haidh dan Nifas

Diriwayatkan oleh Syaikhain, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

“Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Ulama sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak boleh berpuasa. Mereka harus berbuka ketika ramadhan dan mengqadha di hari yang lain. Dan jika ada wanita haid dan nifas yang nekat puasa maka puasanya tidak sah.” (Al-Mughni, Jilid 3 hal. 152)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Demikiann pula terdapat dalil sunah dan sepakat kaum muslimin, bahwa keluarnya darah haid, menyebabkan puasa batal. Karena itu, wanita haid tidak boleh puasa, namun wajib mengqadha puasanya.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 25 hal. 220)

Muhammad Al-Hishni rahimahullah berkata, “Telah ada nukilan ijma’ (sepakat ulama), puasa menjadi tidak sah jika mendapati haidh dan nifas. Jika haidh dan nifas didapati di pertengahan siang, puasanya batal.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251)

Syaikh Musthafa Al-Bugha rahimahullah berkata, “Jika seorang wanita mendapati haidh dan nifas, puasanya tidak sah. Jika ia mendapati haidh atau nifas di satu waktu dari siang, puasanya batal. Dan ia wajib mengqodho’ puasa pada hari tersebut.” (Al-Fiqhu Al-Manhaji, hal. 344)

6. Hilang akal (gila atau pingsan)

Jika hilang akal dikarenakan gila maka puasanya batal dan tidak sah karena orang gila tidak termasuk ‘ahliyatul ‘ibadah.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Al-Hishni rahimahullah, beliau berkata, “Jika datang gila atau ada yang murtad, maka batalah puasa karena tidak termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251)

Begitupula jika hilang akal dikarenakan pingsan, jika pingsannya terjadi selama masa 1 hari puasa yaitu dari sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari maka puasanya tidak sah dan wajib qadha, akan tetapi jika tersadar sebelum matahari terbenam maka puasanya sah.

Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Al-Hishni rahimahullah, beliau berkata, “Jika hilang kesadaran dalam keseluruhan hari (dari terbit fajar Shubuh hingga terbenam matahari), maka tidak sah puasanya. Jika tidak, yaitu masih sadar di sebagian waktu siang, puasanya sah. Demikian menurut pendapat terkuat dari perselisihan kuat yang terdapat pada perkataan Imam Syafi’i. (Kifayatul Akhyar, hal. 251)

Jika seseorang hilang akal karena tidur maka puasanya tetap sah, karena orang yang tertidur masih termasuk ahliyatul ‘ibadah. Akan tetapi jika menyengaja tidur secara terus-menerus maka hal ini adalah perkara yang sangat buruk dan mengurangi pahala puasa.

Muhammad Al-Hishni rahimahullah berkata, “Dari pendapat madzhab Syafi’i, tidur seharian tersebut tidak merusak puasa karena orang yang tidur masih termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251)

Akan tetapi ada pula ulama yang mengatakan puasanya tidak sah karena walaupun hanya sekedar tidur tapi itu sudah masuk kategori hilangnya akal sebagaimana gila dan pingsan. Wallahu a’lam.

7. Murtad

Orang yang murtad maka batal puasanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya (islam), lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 217)

Muhammad Al-Hishni rahimahullah berkata, “Jika datang gila atau ada yang murtad, maka batalah puasa karena tidak termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama bahwa orang yang murtad dari agama islam ketika sedang puasa maka puasanya batal, dan dia wajib mengqadha pusanya di hari itu, jika dia kembali masuk islam. Baik masuk islam di hari murtadnya atau di hari yang lain.” (Al-Mughni, Jilid 3 hal. 133)

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top