Puasa 6 Hari di Bulan Syawwal

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)


Ramadhan telah berlalu, sekarang kita sudah memasuki bulan yang baru yaitu bulan Syawwal. Pada bulan Syawwal ini terdapat amalan sunnah yang pahalanya sangat besar. Amalan tersebut adalah puasa Syawwal selama 6 hari yang keutamaannya jika kita melaksanakannya maka akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh.

Diriwayatkan oleh Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawwal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawwal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 8 hal. 51)

Mengapa puasa Syawwal bisa mendapat nilai berpuasa selama setahun penuh? Coba kita perhatikan sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah dalam kitab Sunan Ibnu Majah. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawwal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal.” (HR. Ibnu Majah no. 1715)

Jika kita perhatikan dari hadits shahih diatas, maka sekarang kita bisa mengetahui, khususnya yang jago hitung-hitungan bisa mengambil sebuah titik temu mengapa puasa Syawwal bisa bernilai 1 tahun. Kita sedikit bermatematika, dari hadits Tsauban dikatakan bahwa sebuah kebaikan akan dibalas sepuluh kebaikan semisal. Jika 1 bulan kita berpuasa Ramadhan, maka seakan-akan kita berpuasa 10 bulan dengan logika 1 kebaikan dibalas 10 kebaikan. Dan 6 hari puasa Syawwal, maka seakan-akan kita berpuasa 60 hari atau 2 bulan.

Puasa Ramadhan = 1 Bulan x 10 = 10 Bulan
Puasa Syawwal = 6 Hari x 10 = 60 Hari atau 2 Bulan
Puasa Ramadhan + Puasa Syawwal = 10 Bulan + 2 Bulan = 12 Bulan

Nah sekarang bisa dmengerti kan mengapa Puasa Syawwal bisa bernilai puasa setahun penuh.

Tata Cara Puasa Syawwal

Puasa sunnah Syawwal dilakukan selama 6 hari sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah.

Berlandaskan hadits dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, tidak dijelaskan secara rinci mengenai tata cara puasa Syawwal ini dan juga tidak ada nash yang menyebutkan pelaksanaanya secara terpisah-pisah. Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan pelaksanaannya secara berurutan ataupun terpisah-pisah. Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan pelaksanaannya langsung setelah hari raya ‘Idul Fithri. Maka, berdasarkan hal ini, siapa saja yang melakukan puasa tersebut setelah hari raya ‘Idul Fithri secara langsung atau sebelum akhir Syawwal, baik melaksanakannya dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, itu semua menunjukan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah puasa bulan Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk tsumma yang menunjukan arti tarakhi atau bisa ditunda.

Akan tetapi melaksanakannya secara berturut-turut selama 6 hari setelah hari raya ‘Idul Fithri maka itu lebih afdhal dan ini merupakan pendapat yang terkuat dari Madzhab Syafi’i. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, beliau berkata: “Para ulama Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhal (utama) melakukan puasa Syawwal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawwal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa Syawwal setelah sebelumnya melakukan puas Ramadhan.” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 8 hal. 56)

Puasa Syawwal sendiri dapat dilakukan pada hari Jum’at dan hari Sabtu sebagaimana perkataan Imam Nawawi rahimahullah, beliau berkata: “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Jilid 6 hal. 309)

Bagaimana Jika Memiliki Hutang Qadha Puasa Ramadhan?

Bagaimana jika kita memiliki hutang qadha Puasa Ramadhan? Dalam hal ini terjadi ikhtilaf dikalangan ulama. Sebagian ulama memperbolehkannya, namun sebagian ulama melarangnya bahkan menganggap puasa yang dilakukannya hanya terhitung puasa muthlaq.

Imam Abu Hanifah rahimahullah, Imam Asy-Syafi’I rahimahullah dan Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bolehnya melakukan puasa Syawwal walaupun masih memiliki hutang qadha puasa Ramadhan. Mereka mengqiyaskan dengan shalat thathawu’ sebelum pelaksanaan shalat fardhu. Selain itu, ulama yang membolehkan pun berpendapat jika hadits dari Tsauban mengenai puasa Syawwal ini bersifat mutlak tanpa penjelasan harus membayar hutang qadha atau belum yang artinya diperbolehkan melaksanakan puasa Syawwal dengan syarat telah melaksanakan puasa Ramadhan baik sempurna ataupun memiliki hutang qadha.

Akan tetapi, hal yang lebih baik adalah menunaikan hutang qadha puasa Ramadhan terlebih dahulu sebagaimana perkataan dari Syaikh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, beliau berkata: “Barangsiapa yang memulai qadha puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawwal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawwal setelah qadhanya sempurna, maka itu lebih baik.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 392)

Demikianlah sedikit penjelasan mengenai puasa 6 hari di bulan Syawwal. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita untuk menjalankan syariat agama Islam ini dan menghidupkan sunnah-sunnah Rasul-Nya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Redaksi Shalawat Yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

“Hina dan rugi serta kecewalah seorang yang disebut namaku disisinya, lalu ia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim)


Lafazh bacaan sholawat yang paling ringkas yang sesuai dalil-dalil yang shahih adalah:

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ

“Allahumma shallii wa sallim ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.”

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad.”  (HR. Ath-Thabrani melalui dua sanad, keduanya baik)

Kemudian terdapat riwayat-riwayat yang Shahih dalam delapan riwayat, yaitu:

1. Dari jalan Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

“Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shallaita ‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid, Allaahumma baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid.”

“Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya Allah, Berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Dari jalan Abu Humaid As-Sa’di radhiyallahu ‘anhu

اللهم صل على محمد وعلى أزواجه وذريته كما صليت على إبراهيم ، وبارك على محمد وعلى أزواجه وذريته كما باركت على إبراهيم ، إنك حميد مجيد

“Allaahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa shallaita ‘alaa ibraahiim, wa baarik ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa baarakta ‘alaa ibraahiim innaka hamiidum majiid.”

“Ya Allah,berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada isteri-isteri beliau dan keturunannya,sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim. Ya Allah, Berkahilah Muhammad dan isteri-isteri beliau dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim,Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dari jalan Abi Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على آل إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد

“Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shallaita ‘alaa aali ibraahiim ,wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa aali ibraahiim fil ‘aalamiina innaka hamiidum majiid.”

“Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim atas sekalian alam, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.” (HR Muslim)

4. Dari jalan Abi Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari (jalan kedua) radhiyallahu ‘anhu

للهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم وبارك على محمد النبي الأمي وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

“Allaahumma shalli ‘alaa Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shllaita ‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik ‘alaa Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid.”

“Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad yang ummi dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.Dan berkahilah Muhammad Nabi yang ummi dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.” (HR. Abu Dawud)

5. Dari jalan Abi Sa’id Al Khudriy radhiyallahu ‘anhu

اللهم صل على محمد عبدك ورسولك كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم

“Allaahumma shalli ‘alaa Muhammadin ‘abdika wa rasuulika kamaa shallaita ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa ibraahiim.”

“Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad hamba-Mu dan Rasul-Mu, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim.” (HR Al-Bukhari)

6. Dari jalan seorang laki-laki radhiyallahu ‘anhu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

اللهم صل على محمد وعلى أهل بيته وعلى أزواجه وذريته كما صليت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد وبارك على محمد وعلى أهل بيته وعلى أزواجه وذريته كما باركت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد

“Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ahli baitihi wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa shallaita ‘alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid , wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ahli baitihi wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa baarakta ‘alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid.”

“Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada ahli baitnya dan istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Dan berkahilah Muhammad dan kepada ahli baitnya dan istri-istrinya dan keturunannya, sebagimana Engkau telah memberkahi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.” (HR. Ahmad)

7. Dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

اللهم صل على محمد و على آل محمد وبارك على محمد و على آل محمد كما صليت وباركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

“Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa shallaita wa baarakta ‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid.”

“Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad,sebagaimana Engkau telah bershalawat dan memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.” (HR Ath-Thawawi)

8. Dari jalan Thalhah bin ‘Ubaidullah radhiyallahu ‘anhu

اللهم صل على محمد و على آل محمد كما صليت على إبراهيم و على آل إبراهيم إنك حميد مجيد وبارك على محمد و على آل محمد كما باركت على إبراهيم و آل إبراهيم إنك حميد مجيد

“Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shallaita ‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid, wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa ibraahiim wa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid.”

“Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim,sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)

Tentang Ucapan صلى ا لله عليه وسلم

Di sunnahkan (sebagian ulama mewajibkannya) mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan :

صلى ا لله عليه وسلم

“Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Riwayat-riwayat yang datang tentang ini banyak sekali, diantaranya dari dua hadits shahih di bawah ini:

1. Dari jalan Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Orang yang bakhil (pelit) itu ialah orang yang apabila namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku (dengan ucapan)صلى ا لله عليه وسلم (shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (HR. At-Tirmidzi Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Ath-Thabrani)

2. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

“Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hina dan rugi serta kecewalah seorang yang disebut namaku disisinya, lalu ia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim)

Carilah Yang Halal

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]  : 188)


Allah telah banyak menurunkan rizqi yang halal sebanyak makhluk-Nya yang ada di bumi bahkan berlipat-lipat. Allah sudah menentukan rizqi dan usia kita lalu kenapa kita harus mencarinya dengan menerobos rambu-rambu-Nya. Allah tidaklah menciptakan makhluk kecuali telah menurunkan rizqi untuknya lalu kenapa kita takut lapar sehingga memaksakan diri mencari yang haram.

Bekerja dan bertawakkallah niscaya Allah akan menjamin rizqi kita, rizqi tidak akan pernah tertukar

Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan soal ini dalam firman-Nya:

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2] : 188)

Berikanlah yang terbaik, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian menafkahkannya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS. al-Baqarah [2] : 267)
Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhuma Senantiasa Menginfakkan Apa Yang Ia Kagumi

Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhuma Senantiasa Menginfakkan Apa Yang Ia Kagumi

“Tatkala Ibnu Umar telah menyukai sesuatu niscaya dia tinggalkan hal itu untuk Allah sebagai suatu sedekah.”

Dari Nafi’ pelayan Ibnu Umar berkata, “Apabila Ibnu Umar sangat mengagumi sesuatu dari hartanya, niscaya ia akan mempersembahkannya kepada Allah Ta’ala.” Nafi’ berkata, “Dan hamba sahayanya mengetahui akan hal itu lalu ada salah seorang dari budak-budaknya bersemangat untuk beribadah di masjid, dan ketika Ibnu Umar melihat keadaan dirinya yang bagus tersebut, maka dia memerdekakan hamba tersebut, namun para sahabatnya berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Abdurrahman, demi Allah, tidaklah mereka itu kecuali hanya membohongimu.’ Ibnu Umar menjawab, ‘Barangsiapa yang berdusta terhadap kami karena Allah niscaya kami tertipu karenaNya’.” (HR. Abu Nuaim dalam al-Hilyah, 1/294)

Ayyub bin Wa’il berkata, “Ibnu Umar diberikan sepuluh ribu riyal lalu ia membagi-bagikan harta tersebut, lalu keesokan harinya ia meminta makanan untuk binatang yang dikendarainya dengan harga satu dirham utang,” (Shifat ash-Shafwah)

Dan dari Nafi’ ia berkata, “Apabila Ibnu Umar membagi-bagikan tiga puluh ribu dalam suatu majelis, kemudian tiba bulan baru, pastilah ia tidak makan sepotong daging pun.” (Hayat ash-Shahabah)

Abu Nuaim meriwayatkan dari Muhammad bin Qais, ia berkata, “Tidaklah Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma makan kecuali bersama orang-orang miskin, hingga hal tersebut mempengaruhi kesehatan tubuhnya.”

Dan dari Abu Bakar bin Hafsh, “Bahwasanya tidaklah Abdullah bin Umar makan dengan suatu makanan kecuali bersama seorang anak yatim.”

Dari Said bin Hilal berkata, “Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma sangat menginginkan makan ikan, namun orang-orang tidak menemukan ikan tersebut kecuali satu ekor saja, lalu istrinya menghidangkannya untuk dirinya, namun setelah masakan ikan itu diletakkan di hadapannya, datanglah seorang miskin di depan pintu, lalu Ibnu Umar berkata, ‘Berikanlah ikan tersebut kepadanya,’ istrinya pun berkata, ‘Subhanallah, kita dapat memberinya satu dirham, sedangkan engkau, makan saja ikan tersebut.’ Dia berkata, ‘Tidak, karena Abdullah bin Umar (maksudnya adalah dirinya) menyukai ikan tersebut, dan tatkala Ibnu Umar telah menyukai sesuatu niscaya dia tinggalkan hal itu untuk Allah sebagai suatu sedekah’.”

Sumber: “Keajaiban Sedekah dan Istighfar”, karya Hasan bin Ahmad bin Hasan Hammam, edisi terjemah cetakan Pustaka Darul Haq (alsofwah.or.id)
Hidup Yang Panjang Bagi Umair Bin Al-Hammam Radhiallahu 'Anhu

Hidup Yang Panjang Bagi Umair Bin Al-Hammam Radhiallahu 'Anhu

“Sekiranya aku masih hidup sehingga menghabiskan kurma ini, sungguh ini merupakan kehidupan yang sangat panjang.” (HR. Muslim no. 1901)

Pada perang Badar ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bangkitlah kalian menuju Surga yang lebarnya seluas langit dan bumi.” Umair bertanya, “Wahai Rasulullah, Lebar Surga seluas langit dan bumi?” Beliau menjawab, “Benar,” Umair berkata, “Bah-bah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang menyebabkan kamu mengatakan Bah-bah?” Umair menjawab, “Demi Allah, Tidak wahai Rasulullah, aku hanya berharap, mudah-mudahan aku termasuk penghuninya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, engkau termasuk penghuni Surga.”

Umair lalu mengambil beberapa biji kurma dari tempat makanannya lalu menyuapnya. Kemudian berkata, “Sekiranya aku masih hidup sehingga menghabiskan kurma ini, sungguh ini merupakan kehidupan yang sangat panjang.” Selanjutnya ia melemparkan kurma yang masih tersisa untuk maju berperang sebentar kemudian ia terbunuh dalam peperangan ini. (HR. Muslim no. 1901)

Sumber: 99 Kisah Orang Shalih

Bolehkah Puasa Senin Saja Atau Puasa Kamis Saja?

“Janganlah kalian khususkan malam jumat dengan shalat tahajud sementara di malam-malam lain tidak, dan jangan khususkan hari jumat dengan puasa, sementara di hari-hari lainnya tidak puasa.” (HR. Muslim)


Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merutinkan puasa hari senin dan kamis. Lalu apakah ini satu kesatuan atau dua ibadah puasa yang berbeda?

Para ulama menegaskan, puasa di dua hari ini bukan satu kesatuan. Artinya, orang boleh puasa senin saja atau kamis saja. Karena tidak ada perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bahwa dua hari itu harus dipasangkan, demikian pula tidak ada larangan dari beliau untuk puasa senin saja atau kamis saja.

Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan:

ويستحب صيام الخميس من كل أسبوع في المحرم وغيره، وليس استحباب صيامه مرتبطا بصيام الاثنين قبله , بل يشرع لك أن تصومه وإن لم تصم الاثنين؛ لأن الأعمال تعرض يوم الخميس، وقد روى أبو داود في سننه: أن نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، وَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: إِنَّ أَعْمَالَ الْعِبَادِ تُعْرَضُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ . اهــ

Dianjurkan untuk berpuasa sunah hari kamis di setiap pekan, baik ketika bulan muharram maupun di luar muharram. Dan anjuran puasa hari kamis tidak ada kaitannya dengan puasa senin sebelumnya. Bahkan anda dianjurkan untuk puasa hari kamis, sekalipun anda tidak puasa hari senin. Karena amal manusia dilaporkan di hari kamis. Diriwayatkan Abu Daud dalam sunannya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, “Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 192137)

Keterangan lain juga disampaikan asy-Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi:

لا بأس يفرد الاثنين أو الخميس، فالمنهي عن إفراده الجمعة لقول النبي صلى الله عليه وسلم: “لا تخصوا ليلة الجمعة بقيام من بين الليالي ولا يومها بصيام من بين الأيام” رواه مسلم

Tidak masalah puasa senin saja atau kamis saja. Karena yang dilarang adalah puasa hari jumat saja, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kalian khususkan malam jumat dengan shalat tahajud sementara di malam-malam lain tidak, dan jangan khususkan hari jumat dengan puasa, sementara di hari-hari lainnya tidak puasa.” (HR. Muslim)

Selanjutnya beliau kembali menegaskan:


أما الاثنين لا بأس تفرد الاثنين تفرد الخميس تفرد الأربع لا بأس، هذا إنما خص بالجمعة

“Adapun hari senin, tidak masalah senin saja atau kamis saja, puasa empat hari saja tidak masalah. Larangan ini hanya khusus untuk puasa hari jumat saja.”

Hukum Niat Puasa Sunnah Di Pagi Hari

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari. Lalu beliau bertanya, “Apakah kamu memiliki makanan?” Kami jawab, ‘Tidak.’ Lalu beliau mengatakan, “Jika demikian, saya puasa saja.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 28/88)


Ada dua pendapat ulama terkait niat posisi niat puasa sunah, apakah wajib dilakukan sebelum subuh, ataukah boleh baru dihadirkan di siang hari.

Kita simak keteragan di Ensiklopedi Fiqh:

ذهب جمهور الفقهاء – الحنفية والشافعية والحنابلة – إلى أنه لا يشترط تبييت النية في صوم التطوع، لحديث عائشة رضي الله تعالى عنها قالت: دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال: هل عندكم شيء؟ فقلنا: لا، فقال: فإني إذا صائم . وذهب المالكية إلى أنه يشترط في نية صوم التطوع التبييت كالفرض. لقول النبي صلى الله عليه وسلم: من لم يبيت الصيام من الليل فلا صيام له. فلا تكفي النية بعد الفجر، لأن النية القصد، وقصد الماضي محال عقلا

Mayoritas ulama – Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hambali – berpendapat bahwa tidak disyaratkan, niat puasa sunah harus dihadirkan sebelum subuh. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari. Lalu beliau bertanya, “Apakah kamu memiliki makanan?” Kami jawab, ‘Tidak.’ Lalu beliau mengatakan, “Jika demikian, saya puasa saja.” Sementara Malikiyah berpendapat bahwa dalam puasa sunah disyaratkan harus diniatkan sejak sebelum subuh, sebagaimana puasa wajib. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa yang tidak berniat puasa di malam hari (sebelum subuh) maka tidak ada puasa baginya.” Sehingga tidak boleh niat setelah subuh. Karena inti niat adalah keinginan untuk beramal. Sementara menghadirkan keinginan amal yang sudah lewat itu mustahil. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 28/88)

Namun pendapat yang paling kuat menurut jumhur ulama untuk puasa sunnah ada keringanan boleh berniat di pagi hari, asal sebelumnya belum menyantap makanan apa pun atau belum melakukan pembatal-pembatal puasa.

Hadits no. 657 dari kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar disebutkan hadits:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ

Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim no. 1154)

Sebagai contoh kasus, ketika hari senin, si A tidak ada keinginan untuk puasa. Sehingga dia tidak sahur. Namun sampai jam 7.00, dia belum mengkonsumsi makanan maupun minuman apapun. Ketika melihat istrinya puasa, si A ingin puasa. Bolehkah si A puasa?

Jawab: Jika kita mengambil pendapat jumhur, si A boleh puasa. Karena sejak subuh dia belum mengkonsumsi apapun. Wallahu a’lam.

Keutamaan Puasa Senin Kamis

“Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Dawud no. 2436)


Kita pastinya sering sekali mendengar puasa sunnah senin kami. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menghidupkan puasa sunnah pada hari Senin dan Kamis. Inilah beberapa keutamaan dan keberkahan berpuasa pada hari Senin dan Kamis:

1. Pintu-pintu surga di buka pada dua hari tersebut, yaitu Senin dan Kamis. Pada saat inilah orang-orang Mukmin diampuni, kecuali dua orang Mukmin yang sedang bermusuhan.

Dalil yang menguatkan hal ini adalah hadits yang termaktub dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Pintu-pintu Surga di buka pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun akan diampuni dosa-dosanya, kecuali seseorang yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan. Lalu dikatakan, ‘Tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap orang ini sampai keduanya berdamai.” (HR. Muslim)

Keutamaan dan keberkahan berikutnya, bahwa amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah pada kedua hari ini. Sebagaimana yang terdapat dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda:

“Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah dalam setiap pekan (Jumu’ah) dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang beriman terampuni dosanya, kecuali seorang hambayang di antaradia dan saudaranyaterjadi permusuhan.” (HR. Muslim)

Karena itu, selayaknya bagi seorang Muslim untuk menjauhkan diri dari memusuhi saudaranya sesame Muslim, atau memutuskan hubungan dengannya, ataupun tidak memperdulikannya dan sifat-sifat tercela lainnya, sehingga kebaikan yang besar dari Allah Ta’ala ini tidak luput darinya.

2. Keutamaan hari Senin dan Kamis yang lainnya, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sangat antusias berpuasa pada kedua hari ini.

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia mengatakan:

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sangat antusias dan bersungguh-sungguh dalam melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan alasan puasanya pada kedua hari ini dengan sabdanya:

“Amal-amal manusia diperiksa pada setiap hari senin dan Kamis, makaaku menyukai amal perbuatanku diperiksa sedangkanaku dalam keadaan berpuasa.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya)

Dalam shahih Muslim dari hadits Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa hari Senin, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

“Hari tersebut merupakan hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkannya Al-Qur’an kepadaku pada hari tersebut.” (HR. Muslim)

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Tidak ada kontradiksi antara dua alasan tersebut.” (Subulus Salam)

Berdasarkan hadits-hadits di atas maka di sunnahkan bagi seorang Muslim untuk berpuasa pada dua hari ini, sebagai puasa tathawwu’ (sunnah).

3. Keutamaan lain yang dimiliki hari Kamis, bahwa kebanyakan perjalanan (safar) Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam terjadi pada hari Kamis ini.

Beliau menyukai keluar untuk bepergian pada hari Kamis. Sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukhari bahwa Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan:

“Sangat jarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar (untuk melakukan perjalanan) kecuali pada hari Kamis.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam riwayat lain juga dari Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu:

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada hari Kamis di peperangan Tabuk,dan (menang) beliau suka keluar (untuk melakukan perjalanan) pada hari Kamis,” (HR. Al-Bukhari)

Puasa senin kamis, termasuk puasa sunah yang menjadi kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالخَمِيسِ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa melakukan puasa di hari senin dan kamis.” (HR. At-Tirmidzi no. 745)

Kemudian disebutkan dalam hadis dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda:

إِنَّ أَعْمَالَ الْعِبَادِ تُعْرَضُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ

“Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Dawud no. 2436)
 
Inilah yang menjadi alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merutinkan puasa senin dan kamis. Beliau ingin, ketika amal beliau dilaporkan, beliau dalam kondisi puasa.
Kisah Ashim bin Tsabit Radhiallahu 'Anhu Yang Jenazahnya Dilindungi Lebah

Kisah Ashim bin Tsabit Radhiallahu 'Anhu Yang Jenazahnya Dilindungi Lebah

“Allah melindungi jenazah Ashim dengan mengirim sejenis sekawanan lebah yang melindungi jenazah Ashim, sehingga orang-orang itu tidak berhasil memotong bagian tubuh jenazah Ashim sedikit pun.” (HR. Al-Bukhari, no. 3989 dan Abu Dawud, no. 2660)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus 10 mata-mata yang dipimpin Ashim bin Tsabit al-Anshari kakek Ashim bin al-Khaththab. Ketika mereka tiba di daerah Huddah antara Asafan dan Makkah mereka berhenti di sebuah kampung suku Hudhail yang biasa disebut sebagai Bani Luhayan.

Kemudian Bani Luhayan mengirim sekitar 100 orang ahli panah untuk mengejar para mata-mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berhasil menemukan sisa makanan berupa biji kurma yang mereka makan di tempat istirahat itu. Mereka berkata, ‘Ini adalah biji kurma Madinah, kita harus mengikuti jejak mereka.’

Ashim merasa rombongannya diikuti Bani Luhayan, kemudian mereka berlindung di sebuah kebun. Bani Luhayan berkata, ‘Turun dan menyerahlah, kami akan membuat perjanjian dan tidak akan membunuh salah seorang di antara kalian.’ Ashim bin Tsabit berkata, ‘Aku tidak akan menyerahkan diri pada orang kafir.’ Lalu memanjatkan doa, ‘Ya Allah, beritakan kondisi kami ini kepada Nabi-Mu shallallahu ‘alaihi wa sallam.’

Rombongan Bani Luhayan melempari utusan Rasulullah dengan tombak, sehingga Ashim pun terbunuh. Utusan Rasulullah tinggal tiga orang, mereka setuju untuk membuat perjanjian. Mereka itu adalah Hubaib, Zaid bin Dasnah dan seorang lelaki yang kemudian ditombak pula setelah mengikatnya. Laki-laki yang ketiga itu berkata, ‘Ini adalah penghianatan pertama. Demi Allah, aku tidak akan berkompromi kepadamu karena aku telah memiliki teladan (sahabat-sahabatku yang terbunuh).’

Kemudian rombongan Bani Hudhail membawa pergi Hubaib dan Zaid bin Dasnah, mereka berdua dijual. Ini terjadi setelah peperangan Badar. Adalah Bani Harits bin Amr bin Nufail yang membeli Hubaib. Karena Hubaib adalah orang yang membunuh al-Harits bin Amir pada peperangan Badar. Kini Hubaib menjadi tawanan Bani al-Harits yang telah bersepakat untuk membunuhnya.

Pada suatu hari Hubaib meminjam pisau silet dari salah seorang anak perempuan al-Harits untuk mencukur kumisnya, perempuan itu meminjaminya. Tiba-tiba anak laki-laki perempuan itu mendekati Hubaib bahkan duduk dipangkuannya tanpa sepengetahuan ibunya. Sementara tangan kanan Hubaib memegang silet. Wanita itu berkata, ‘Aku sangat kaget.’ Hubaib pun mengetahui yang kualami. Hubaib berkata, ‘Apakah kamu khawatir aku akan membunuh anakmu? Aku tidak mungkin membunuhnya.’

Wanita itu berkata, ‘Demi Allah aku tidak pernah melihat tawanan sebaik Hubaib. Dan demi Allah pada suatu hari, aku melihat Hubaib makan setangkai anggur dari tangannya padahal kedua tangannya dibelenggu dengan besi, sementara di Makkah sedang tidak musim buah. Sungguh itu merupakan rizki yang dianugrahkan Allah kepada Hubaib.’

Ketika Bani al-Harits membawa keluar Hubaib dari tanah haram untuk membunuhnya, Hubaib berkata, ‘Berilah aku kesempatan untuk mengerjakan shalat dua rakaat.’ Mereka mengizinkan shalat dua rakaat. Hubaib berkata, ‘Demi Allah, sekiranya kalian tidak menuduhku berputus asa pasti aku menambah shalatku.’ Lalu Hubaib memanjatkan doa, ‘Ya Allah, susutkanlah jumlah bilangan mereka, musnahkanlah mereka, sehingga tidak ada seorang pun dari keturunannya yang hidup,’ lalu mengucapkan syair:

Mati bagiku bukan masalah, selama aku mati dalam keadaan Islam
Dengan cara apa saja Allahlah tempat kembaliku
Semua itu aku kurbankan demi Engkau Ya Allah
Jika Engkau berkenan,
berkahilah aku berada dalam tembolok burung karena lukaku (syahid)

Lalu Abu Sirwa’ah Uqbah bin Harits tampil untuk membunuh Hubaib. Hubaib adalah orang Islam pertama yang dibunuh dan sebelum dibunuh melakukan shalat.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu para sahabat pada hari disiksanya Hubaib, bahwa kaum Quraisy mengutus beberapa orang untuk mencari bukti bahwa Ashim bin Tsabit telah terbunuh dalam peristiwa itu, mereka mencari potongan tubuh Ashim. Karena Ashim adalah yang membunuh salah seorang pembesar Quraisy. Tetapi Allah melindungi jenazah Ashim dengan mengirim sejenis sekawanan lebah yang melindungi jenazah Ashim, sehingga orang-orang itu tidak berhasil memotong bagian tubuh jenazah Ashim sedikit pun.” (HR. Al-Bukhari, no. 3989; Abu Dawud, no. 2660.)

Sumber: 99 Kisah Orang Shalih (alsofwah.or.id)

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top