Menunggu

Tak ada kegiatan yang paling membosankan selain menunggu. Padahal, hidup adalah kegiatan menunggu. Orang tua menunggu tumbuh kembang anak-anaknya. Rakyat menunggu kebijakan pemerintahnya. Para gadis menunggu jodohnya. Pegawai menunggu akhir bulannya. Semua menunggu.


Di suatu tempat di tepian sungai, seorang pemuda memandangi seorang pemancing tua. Sambil duduk beralas daun pisang, Pak Tua begitu menikmati kegiatan memancing. Ia pegang gagang pancingan dengan begitu mantap. Sesekali, tangannya membenahi posisi topi agar wajahnya tak tersorot terik sinar matahari. Sambil bersiul, ia sapu hijaunya pemandangan sekitar sungai.

Sang pemuda terus memandangi si pemancing tua. “Aneh?” ucapnya membatin. Tanpa sadar, satu jam sudah perhatiannya tersita buat Pak Tua. Tujuannya ke pasar nyaris terlupakan. “Bagaimana mungkin orang setua dia bisa tahan berjam-jam hanya karena satu dua ikan?” gumamnya kemudian.

“Belum dapat, Pak?” ucap si pemuda sambil melangkah menghampiri Pak Tua. Yang disapa menoleh, dan langsung senyum. “Belum,” jawabnya pendek. Pandangannya beralih ke si pemuda sesaat, kemudian kembali lagi ke arah genangan sungai. Air berwarna kecoklatan itu seperti kumpulan bunga-bunga yang begitu indah di mata Pak Tua. Ia tetap tak beranjak.

“Sudah berapa lama Bapak menunggu?” tanya si pemuda sambil ikut memandang ke aliran sungai. Pelampung yang menjadi tanda Pak Tua terlihat tak memberikan tanda-tanda apa pun. Tetap tenang.

“Baru tiga jam,” jawab Pak Tua ringan. Sesekali, siulannya menendangkan nada-nada tertentu. “Ada apa, Anak Muda?” tiba-tiba Pak Tua balik tanya. Si Pemuda berusaha tenang. “Bagaimana Bapak bisa sesabar itu menunggu ikan?” tanyanya agak hati-hati.

“Anak Muda,” suara Pak Tua agak parau. “Dalam memancing, jangan melulu menatap pelampung. Karena kau akan cepat jenuh. Pandangi alam sekitar sini. Dengarkan dendang burung yang membentuk irama begitu merdu. Rasakan belaian angin sepoi-sepoi yang bertiup dari sela-sela pepohonan. Nikmatilah, kau akan nyaman menunggu!” ucap Pak Tua tenang. Dan ia pun kembali bersiul.

Tak ada kegiatan yang paling membosankan selain menunggu. Padahal, hidup adalah kegiatan menunggu. Orang tua menunggu tumbuh kembang anak-anaknya. Rakyat menunggu kebijakan pemerintahnya. Para gadis menunggu jodohnya. Pegawai menunggu akhir bulannya. Semua menunggu.

Namun, jangan terlalu serius menatap ‘pelampung’ yang ditunggu. Karena energi kesabaran akan cepat terkuras habis. Kenapa tidak mencoba untuk menikmati suara merdu pergantian detak jarum penantian, angin sepoi-sepoi pergantian siang dan malam, dan permainan seribu satu pengharapan.

Nikmatilah! Insya Allah, menunggu menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan. Seperti memandang taman indah di tepian sungai.

Kesabaran Abdullah Bin Hudzafah Radhiallahu 'Anhu

Maka, berkatalah Umar, “Wajib bagi setiap muslim untuk mencium kening Abdullah bin Hudzafah. Aku yang akan memulainya.” Kemudian Umar mencium keningnya. (Siyaru A’lami An-Nubalaa’, 2/14  dan Al-Ishabah fi Tamyizi Ash-Shahabah, 2/269)


Apabila manusia melihat keadaan Abdullah bin Hudzafah bin Qais radhiyallahu ‘anhu ketika Raja Romawi hendak menghalanginya dari agamanya, niscaya mereka kan melihat kedudukan yang mulia dan laki-laki yang agung.

Umar bin Khattab radhiayallahu ‘anhu memberangkatkan tentaranya menuju Romawi. Kemudian tentara Romawi berhasil menawan Abdullah bin Hudzafah dan membawanya pulang ke negeri mereka. Kemudian mereka berkata, “Sesungguhnya ia adalah salah seorang sahabat Muhammad.” Raja Romawi berkata, “Apakah kamu mau memeluk agama Nashrani dan aku hadiahkan kepadamu setengah dari kerajaanku?” Abdullah bin Hudzafah menjawab, “Seandainya engkau serahkan seluruh kerajaanmu dan seluruh kerajaan Arab, aku tidak akan meninggalkan agama Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sekejap mata pun.” Raja Romawi berkata, “Kalau begitu, aku akan membunuhmu.” Ia menjawab, “Silahkan saja!”

Maka Raja memerintahkan prajuritnya untuk menyalibnya dan berseru kepada pasukan pemanah, “Panahlah ia, arahkan sasarannya pada tempat-tempat yang terdekat dengan badannya.” Sementara dia tetap berpaling, enggan, dan tidak takut. Maka raja Romawi pun menurunkannya dari tiang salib. Dia perintahkan kepada pengawalnya untuk menyiapkan belanga (kuali) yang diisi dengan air dan direbus hingga mendidih. Kemudian ia perintahkan untuk memanggil tawanan-tawanan dari kaum muslimin. Kemudian ia lemparkan salah seorang dari mereka ke dalam belanga tadi hingga tinggal tulang belulangnya. Namun, Abdullah bin Hudzafah tetap berpaling dan enggan untuk masuk agama Nashrani. Kemudian Raja memerintahkan pengawalnya untuk melemparkan Abdullah bin Hudzafah ke dalam belanga jika ia tidak mau memeluk agama Nashrani. Ketika mereka hendak melemparkannya beliau menangis. Kemudian mereka melapor kepada Raja, “Sesungguhnya dia menangis.” Raja mengira bahwasanya beliau takut, maka ia berkata, “Bawa dia kemari!” Lalu berkata, “Mengapa engkau menangis?” Jawabnya, “Aku menangisi nyawaku yang hanya satu yang jika engkau lemparkan ke dalamnya maka akan segera pergi. Aku berharap seandainya nyawaku sebanyak rambut yang ada di kepalaku kemudian engkau lemparkan satu per satu ke dalam api karena Allah.” Maka, Raja tersebut heran dengan jawabannya. Kemudian ia berkata, “Apakah engkau mau mencium keningku, kemudian akan kubebaskan engkau?” Abdullah menjawab, “Beserta seluruh tawanan kaum muslimin ?” Ia menjawab, “Ya.” Maka ia pun mencium kening raja tersebut dan bebaslah ia beserta seluruh tawanan kaum Muslimin. Para tawanan menceritakan kejadian ini kepada Umar bin Khattab. Maka, berkatalah Umar, “Wajib bagi setiap muslim untuk mencium kening Abdullah bin Hudzafah. Aku yang akan memulainya.” Kemudian Umar mencium keningnya. (Siyaru A’lami An-Nubalaa’, 2/14  dan Al-Ishabah fi Tamyizi Ash-Shahabah, 2/269)


Ini adalah kedudukan yang agung lagi mulia karena Abdullah bin Hudzafah tetap teguh memegang agamanya dan tidak menerima agama selainnya walaupun ia diiming-imingi dengan kerajaan Kisra dan yang semisalnya untuk diberikan kepadanya dan seluruh kerajaan Arab. Kemudian ia tetap membenarkan atas Allah tidak takut terhadap para pemanah yang hendak memanahnya dalam keadaan tubuh sedang disalib. Ia juga tidak takut terhadap belanga yang berisi air yang mendidih ketika ia melihat salah seorang tawanan dilemparkan ke dalamnya hingga nampak tulang belulangnya. Bersamaan dengan itu ia berharap jika nyawanya sejumlah rambut di kepalanya yang disiksa di jalan Allah karena Allah semata. Maka ketika ia melihat kemashlahatan umum yaitu dibebaskannnya para tawanan, ia pun mau untuk mencium kening raja tersebut. Hal ini adalah merupakan suatu kebijakan yang amat agung. Maka, Allah pun ridha terhadap Abdullah bin Hudzafah dan ia pun ridha kepada-Nya.

Kesiangan Shalat Shubuh

“Laki-laki itu telah dikencingi oleh setan pada kedua telinganya.” (HR. Al-Bukhari no. 3270 dan Muslim no. 774)


Inilah kondisi sebagian kaum muslimin saat ini. Sedih sekali hati ini melihat sebagian saudara kita sudah terbiasa dengan aktivitas semacam ini. Sudah jadi kebiasaan memang, bangun di pagi hari pada saat matahari sudah meninggi. Setelah bangun langsung bergegas mandi dan mulailah dia bersiap-siap ke kantor, ke kampus atau ke tempat kuliah, luputlah shalat shubuh darinya. Ini bukanlah kita temui pada satu atau dua orang saja, namun kebanyakan kaum muslimin seperti ini. Mungkin ada yang lebih parah lagi, tidak mengerjakan shalat sama sekali selama hidupnya (dia mengaku beragama Islam dalam KTP) atau dalam mayoritas waktu yang Allah berikan, dia lalai atau meninggalkan shalat lima waktu.

Rasanya air mata ini mau menetes melihat sebagian saudara kita seperti ini. Semua orang pasti sudah tahu bahwa shalat lima waktu itu wajib, bahkan orang kafir pun tahu bahwa umat Islam memiliki kewajiban semacam ini. Kita tidak mungkin menegur langsung satu per satu orang yang lalai dari shalat shubuh setiap harinya atau yang lalai dari shalat 5 waktu yang lain. Karena ada juga yang tidak kita kenal. Kita hanya berharap agar setiap orang yang membaca tulisan ini bisa menyampaikan kepada kerabat, sahabat atau saudara muslim lainnya.

Shalat ini mesti terus dijaga karena keutamaannya, sehingga jangan sampai telat Shalat Shubuh. Kita sering perhatikan bagaimana keadaan jama’ah Shubuh di masjid-masjid begitu sepi. Juga tidak sedikit yang telat shalat Shubuh bahkan dikerjakan saat matahari telah meninggi. Padahal shalat lima waktu sudah ditetapkan waktunya, namun demikianlah shalat Shubuh yang terasa cukup berat, mata terasa sulit untuk dibuka ketika fajar.

Sudah kita ketahui bagaimana keutamaan shalat Shubuh. Shalat tersebut adalah shalat yang sangat utama. Lebih-lebih Allah memberikan penjaminan rasa aman bagi yang rutin menjaganya. Jika seseorang meninggalkan shalat Shubuh dengan sengaja bahkan dijadikan rutinitas, yang jelas seperti itu adalah dosa besar. Karena meninggalkan satu shalat saja lebih parah daripada dosa besar. Sehingga jika ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh saja dan masih mengerjakan shalat lainnya, maka ia tetap terjerumus dalam dosa besar. Kewajibannya adalah bertaubat, beristighfar, menyesali yang telah lalu, dan harus menjaga kembali shalat lima waktu.

Telat Shalat Shubuh dan Dikencingi Setan

Ini bahayanya jika seseorang terus tidur di malam hari hingga lalai shalat Shubuh. Sungguh bahaya karena orang ini disebut dikencingi oleh setan.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia pernah berkata, “Di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan tentang seorang laki-laki yang tidur semalaman sampai datang pagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

ذَاكَ رَجُلٌ بَالَ الشَّيْطَانُ فِى أُذُنَيْهِ

“Laki-laki itu telah dikencingi oleh setan pada kedua telinganya” (HR. Al-Bukhari no. 3270 dan Muslim no. 774)

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah memahami hadits ini secara tekstual. Demikianlah yang benar. Lalu dikhususkan kata telinga yang dikencingi karena telingalah pusat pendengaran untuk diingatkan. (Syarh Shahih Muslim, Jilid 6 hal. 58)

Ada ulama yang menafsirkan hadits di atas dengan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang tidur hingga pagi hari sampai-sampai luput dari shalat Shubuh (Syarh Riyadhus Shalihin,Jilid  5 hal. 194). Ini menunjukkan jeleknya orang yang tidak bangun Shubuh sampai-sampai dikencingi oleh setan. Setan saja sudah tidak kita sukai, apalagi jika sampai dikencingi oleh makhluk tersebut. Wallahul musta’an, kita berlindung pada Allah dari kejelekan semacam itu.

Telat Shalat Shubuh Karena Ketiduran

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى

“Jika salah seorang di antara kalian tertidur atau lalai dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya), “Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (HR. Al-Bukhari no. 597 dan Muslim no. 684)

Dalam riwayat lain disebutkan, Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا ، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ

“Barangsiapa yang lupa shalat, hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Tidak ada kewajiban baginya selain itu.” (HR. Al-Bukhari no. 597)

Selain itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barangsiapa yang lupa shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah ia shalat ketika ia ingat.” (HR. Muslim no. 684)

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa kewajiban orang yang lupa saat itu adalah mengerjakan shalat semisal yang ia tinggalkan dan tidak ada kewajiban tambahan selain itu. (Syarh Shahih Muslim, Jilid 5 hal. 172)

Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan, “Jika engkau ketiduran atau lupa sehingga luput dari waktu shalat, maka hendaklah engkau shalat ketika engkau terbangun dari tidur atau ketika ingat walaupun ketika itu saat terbit atau tenggelamnya matahari.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, Fatwa nomor 6196, Jilid 6 hal. 10)

Dijelaskan pula dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 5545 bahwa jika seseorang tertidur sehingga luput dari shalat shubuh, dia terbangun ketika matahari terbit atau beberapa saat sebelum matahari terbit atau beberapa saat sesudah matahari terbit; maka wajib baginya mengerjakan shalat shubuh ketika dia terbangun, baik matahari terbit ketika dia sedang shalat atau ketika mau memulai shalat matahari sedang terbit atau pun memulai shalat ketika matahari sudah terbit, dalam kondisi ini hendaklah dia sempurnakan shalatnya sebelum matahari memanas. Dan tidak boleh seseorang menunda shalat shubuh hingga matahari meninggi atau memanas. Adapun hadits yang menyatakan larangan shalat ketika matahari terbit karena pada waktu itu matahari terbit pada dua tanduk setan, maka larangan yang dimaksudkan adalah jika kita mau mengerjakan shalat sunnah yang tidak memiliki sebab atau mau mengerjakan shalat wajib yang tidak disebabkan karena lupa atau karena tertidur.

Sengaja Mengatur Jadwal Bangun Pagi

Diharamkan bagi seseorang mengakhirkan shalat hingga ke luar waktunya. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ [4] : 103)

Wajib bagi setiap muslim yang telah dibebani syari’at untuk menjaga shalat di waktunya termasuk shalat shubuh. Jika ada yang sengaja mengatur bangun Shubuh hingga keluar dari waktu Shubuh, maka ia sama saja dengan orang yang meninggalkan shalat Shubuh. Ia harus bertaubat dan kembali mengerjakan Shalat Shubuh di waktunya. Wallahu a’lam. Hanya Allah yang memberi taufik.
Cara Menahan Pandangan Buruk

Cara Menahan Pandangan Buruk

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka segeralah menikah.” (HR. Bukhari dan Muslim)


1 – Menikah

2 – Puasa

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka segeralah menikah, karena nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan.” (HR. Bukhari, Muslim)

3 – Ingatlah kejelekannya

قال ابن مسعود رضي الله عنه: “إذا أعجبت أحدكم امرأة فليذكر مناتنها

Ibnu Mas’ud berkata: “apabila ada wanita yang menarik perhatian kalian, maka ingatlah hal-hal buruk darinya”

4 – Mendatangi Isterinya

“Bila engkau melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu! Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal yang dimiliki oleh wanita yang engkau lihat itu.” (HR. At-Tirmidzi)

5 – Berdoa

اللهم إني أعوذ بك من شر سمعي، ومن شر بصري، ومن شر لساني، ومن شر قلبي


“ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keburukan pendengaranku, penglihatanku, lisanku dan keburukan hatiku”

Hamzah Bin Abdul Muthalib Radhiallahu 'Anhu, Sang ''Asadullah'' Singa Allah

”Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (QS. An-Nahl : 126)


Nama sebenarnya Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim, seorang paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua kenabian, Ia Ikut Hijrah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan ikut dalam perang Badar, dan meninggal pada saat perang Uhud, Rasulullah menjulukinya dengan “Asadullah” (Singa Allah) dan menamainya sebagai “Sayidus Syuhada”.

Ibnu Atsir berkata dalam kitab ‘Usud al Ghabah”, Dalam perang Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy, sampai pada suatu saat beliau tergelincir sehingga ia terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya . lalu hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya hati Hamzah tetapi tidak tertelan dan segera dimuntahkannya.

Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau sangat marah dan Allah menurunkan firmannya ,”Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (QS. An-Nahl : 126)

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq didalam kitab,” Sirah Ibnu Ishaq” dari Abdurahman bin Auf bahwa Ummayyah bin Khalaf berkata kepadanya “ Siapakah salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?”, aku menjawab “Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib”. Lalu Umayyah dberkata Dialah yang membuat kekalahan kepada kami”.

Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang disamping Rasulullah dengan memegang 2 bilah pedang.

Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah shallallahu alaihi wassalam melihat Hamzah terbunuh, maka beliau menagis.

Ia wafat pada tahun 3 H, dan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dengan “Sayidus Syuhada”.

Disalin dari riwayat Hamzah bin Abul Muthalib dalam Usud al Ghabah Ibn Atsir, Sirah Ibn Ishaq / ahlulhadist.

Wortel

“Dalam hidup kekinian yang kian mengungkung siapa pun dalam pengapnya racun materialisme, orang kerap tertipu dalam bahasa-bahasa permisif yang menghalalkan segala cara.”


Dua anak kelinci tampak berlari ceria. Mereka begitu gembira karena masing-masing berhasil membawa sebatang wortel segar dari ladang petani. Dalam kegembiraan itu, tiba-tiba seekor kelinci besar menghentikan tingkah riang mereka.

“Ayah?” ucap salah satu dari dua anak kelinci itu agak gugup. Mereka berusaha untuk menyembunyikan wortel yang mereka bawa, tapi tidak berhasil.

“Kamu mencuri lagi anak-anakku?” tanya kelinci besar yang ternyata ayah mereka. Sang ayah pun menggamit tangan-tangan anak kelinci itu. “Kamu harus dihukum!” ucap sang ayah kemudian.

“Tapi ayah, kami tidak mencuri!” ucap salah satu dari anak kelinci itu.

“Apa kamu sudah minta dengan baik-baik ke kakek petani?” tanya sang ayah kemudian.

“Belum!” jawab sang anak kelinci serempak. Dan, sang ayah kelinci pun memperlihatkan kebingungannya.

“Anakku, bagaimana mungkin kamu tidak mencuri sementara wortel yang kamu ambil tidak dengan izin kakek petani?” ucap sang ayah mengungkapkan kebingungannya.

“Begini ayah, kami sama sekali tidak bermaksud mencuri. Kami hanya ingin menyelamatkan wortel-wortel ini dari pencurian tikus-tikus di malam hari. Dan biasanya, tikus-tikus hanya menjadikan wortel-wortel curian mereka untuk bersenang-senang, bukan untuk dimanfaatkan semestinya,” jelas salah satu anak kelinci begitu argumentatif.

“Anakku, tikus-tikus mengambil wortel kakek petani tanpa izin, dan itu kamu sebut mencuri. Kamu pun mengambil wortel yang juga tanpa izin, tapi tidak mau disebut mencuri. Apa kalau yang mengambil wortel memang untuk dimakan tidak disebut mencuri?” ucap sang ayah kelinci.

“Tapi ayah…,” sergah salah satu anak kelinci itu.

“Anakku,” tegur sang ayah kelinci kemudian. “Siapa pun dan dengan alasan apa pun mengambil hak milik orang lain tanpa izin si pemilik, juga disebut mencuri! Dan itu sama-sama merugikan kakek petani!” jelas sang ayah kelinci lagi. Dan, kedua anak kelinci itu pun mengangguk pelan.

Sang ayah kelinci pun mengambil dua batang wortel itu untuk meminta kedua anaknya mengembalikannya ke petani.

Dalam hidup kekinian yang kian mengungkung siapa pun dalam pengapnya racun materialisme, orang kerap tertipu dalam bahasa-bahasa permisif yang menghalalkan segala cara. Pelacuran menjadi pekerja seks komersial, perzinahan menjadi hubungan gelap atau selingkuh, pencurian uang negara menjadi penyimpangan atau penyelewengan anggaran negara.

Dan siapa pun akan bersepakat bahwa pencurian tidak akan hilang hukumnya sebagai pencurian hanya karena niat mencurinya berbeda, atau karena tujuan mencurinya karena sesuatu maksud yang dianggap mulia, atau karena yang mencurinya orang saleh dengan tujuan mulia.

Obrolan Anjing dan Kuda

“Aku merasa bahagia karena selalu berpikir apa yang bisa kuberikan. Bukan, apa yang bisa kudapatkan.”


Seekor anjing tampak menatapi tingkah seekor kuda yang berlari-lari tak jauh dari hadapannya. Sang kuda begitu ceria. Sesekali, kuda menggoyangkan kepalanya seperti sedang berdendang riang. Anjing pun mengubah wajah cemberutnya dengan bersuara ke arah kuda.

“Kamu begitu bahagia, kuda?” tanya sang anjing menampakkan wajah penasaran. Padahal, di masa kering seperti ini, sebagian besar penghuni padang rumput terjebak kehidupan yang begitu sulit.

“Ya, aku bahagia!” ucap kuda sambil terus berlari kecil seraya tetap mengungkapkan keceriaannya.

“Kamu tidak merasa susah di masa kering seperti ini?” tanya anjing dengan wajah masih muram.

“Tidak!” jawab kuda singkat. Gerakan larinya makin melambat. Dan, sang kuda pun menghentikan langkahnya di depan sang anjing.

“Apa kamu sudah kaya, temanku?” tanya si anjing serius. Yang ditanya tidak memberikan reaksi istimewa. Kuda cuma menjawab pelan, “Tidak!”

“Mungkin kamu sudah punya rumah baru seperti kura-kura, keong, atau yang lainnya?” tanya anjing tetap menunjukkan rasa penasaran. Kuda hanya menggeleng.

“Mungkin kamu sudah bisa menghasilkan mutiara seperti para kerang di laut?” tanya sang anjing lagi. Lagi-lagi, kuda menggeleng. “Lalu? Kenapa kamu begitu bahagia?” sergah anjing lebih serius.

“Entahlah,” jawab kuda sambil tetap menunjukkan wajah cerianya. “Aku bahagia bukan karena punya apa-apa. Aku bahagia karena bisa memberi apa yang kupunya: tenaga, kecerdasan, bahkan keceriaan,” jelas kuda begitu panjang.

“Itukah yang membuatmu bahagia dibanding aku?” tanya anjing mulai menemukan jawaban menarik.

“Aku merasa bahagia dan kaya karena selalu berpikir apa yang bisa kuberikan. Dan bukan, apa yang bisa kudapatkan,” tambah si kuda yang mulai beranjak untuk kembali berlari.

Manis pahit kehidupan kadang bergantung pada bagaimana kita memandang. Dari situlah sikap diri akan menemukan cermin. Kalau hidup dipandang dengan wajah muram, maka cermin akan memantulkan sikap susah, suram, dan tidak mengenakkan.

Cobalah letakkan mata hati kita di tempat yang nyaman untuk memandang hidup ini secara positif. Maka, kita akan menemukan energi baru tentang bagaimana mengarungi hidup.

Dari situlah, sikap yang muncul persis seperti diungkapkan sang kuda, “Aku merasa bahagia karena selalu berpikir apa yang bisa kuberikan. Bukan, apa yang bisa kudapatkan.” 

Balon

“Dalam dunia pendidikan dan organisasi di sekitar kita, tidak jarang didapati cara instan ’menerbangkan’ para murid dan kader ke puncak prestasi.”


Seorang anak lima tahunan tampak dikelilingi balon-balon yang berserakan di lantai. Sesekali ia berusaha melempar salah satu balon ke atas, tapi balon itu tak mau terbang. Setelah sampai di puncak ketinggian, balon pun balik lagi ke lantai.

Mendapati kekecewaan itu, sang kakak pun menghampiri. “Kamu ingin balon-balonmu itu terbang?” ucap sang kakak kepada adiknya.

Sang adik pun mengangguk penuh semangat. “Tapi, bagaimana caranya, Kak?” tanya sang adik kemudian.

Sang kakak mengambil sehelai kain yang terbuat dari wol. Ia menggosok-gosok balon sebentar, dan di luar dugaan sang adik, balon yang digosok itu pun terbang menuju langit-langit rumah. Begitu seterusnya, hingga tak satu pun balon yang berada di lantai.

“Apa balon-balon itu akan lama di atas sana, Kak?” tanya sang adik sambil mendongak menatapi balon-balonnya.

“Tidak. Ia hanya sebentar menempel di langit-langit, kemudian turun lagi ke lantai,” jawab sang kakak.

“Apa balon-balon itu bisa terbang jika di luar sana?” tanya sang adik lagi.

”Adikku, balon-balon itu hanya terbang dan menempl di langit-langit rumah kita, untuk kemudian turun lagi,” jawab sang kakak sambil senyum.

”Kenapa begitu, Kak?” sergah sang adik memperlihatkan rasa ingin tahunya.

”Karena kakak hanya menggosok-gosok saja, bukan mengisinya dengan gas yang bisa menerbangkannya di luar sana,” jelas sang kakak yang mengundang anggukan kepala sang adik.

Dalam dunia pendidikan dan organisasi di sekitar kita, tidak jarang didapati cara instan ’menerbangkan’ para murid dan kader ke puncak prestasi. Dengan sedikit menggosok-gosok, mereka pun melesat ke atas.

Sayangnya, puncak prestasi yang mereka capai hanya sebatas menempel di langit-langit rumah. Bukan di udara lepas nan luas.

Seperti yang diucapkan sang kakak kepada adiknya, untuk bisa menerbangkan balon prestasi murid dan kader ke langit luas, tidak cukup hanya digosok-gosok. Tapi, mesti benar-benar diisi.

Biarkanlah Hari-Hari Berbuat Sesukanya

Biarkanlah hari demi hari berbuat sesukanya
Tegarkan dan lapangkan jiwa tatkala takdir menjatuhkan ketentuan
Janganlah engkau terhenyak dengan musibah malam yang terjadi
Karena musibah di dunia ini tak satu pun yang bertahan abadi


Syair-syair Imam Syafi’i berikut ini saya terjemahkan secara bebas. Tujuan utamanya adalah menyampaikan makna dan pesan-pesan positif yang dibawanya agar semudah mungkin sampai pada pemahaman pembaca. Jadi terjemahan yang anda baca, tidak sepenuhnya, bahkan pada bagian tertentu sama sekali tidak mewakili makna-makna akar setiap kosakata Arab secara bahasa. Ini penting untuk dicatat, agar tidak menjadikan terjemahan ini sebagai sandaran dalam memaknai kata perkata yang dituliskan oleh penyair.

Dinukil dari kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i hal. 10. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bersyair:

دَعِ الأَيَّامَ تَفْعَل مَا تَشَاءُ
وَطِبْ نَفْساً إذَا حَكَمَ الْقَضَاءُ
وَلا تَجْزَعْ لِنَازِلَةِ اللَّيَالِـي
فَمَا لِـحَوَادِثِ الدُّنْيَا بَقَاءُ
وكُنْ رَجُلاً عَلَى الْأَهْوَالِ جَلْدًا
وَشِيْمَتُكَ السَّمَاحَةُ وَالْوَفَاءُ
وإنْ كَثُرَتْ عُيُوْبُكَ فِيْ الْبَرَايَا
وسَرّكَ أَنْ يَكُونَ لَها غِطَاءُ
تَسَتَّرْ بِالسَّخَاء فَكُلُّ عَيْبٍ
يُغَطِّيْهِ كَمَا قِيْلَ السَّخَاءُ
وَلَا تُرِ لِلْأَعَادِيْ قَطُّ ذُلًّا
فَإِنَّ شَمَاتَةَ الْأَعْدَا بَلَاءُ
وَلَا تَرْجُ السَّمَاحَةَ مِنْ بَخِيْلٍ
فَما فِي النَّارِ لِلظْمآنِ مَاءُ
وَرِزْقُكَ لَيْسَ يُنْقِصُهُ التَأَنِّي
وليسَ يزيدُ في الرزقِ العناءُ
وَلاَ حُزْنٌ يَدُومُ وَلاَ سُرورٌ
ولاَ بؤسٌ عَلَيْكَ وَلاَ رَخَاءُ
إذَا مَا كُنْتَ ذَا قَلْبٍ قَنُوْعٍ
فَأَنْتَ وَمَالِكُ الدُّنْيَا سَوَاءُ
وَمَنْ نَزَلَتْ بِسَاحَتِهِ الْمَنَايَا
فلا أرضٌ تقيهِ ولا سماءُ
وَأَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً وَلَكِنْ
إذَا نَزَلَ الْقَضَا ضَاقَ الْفَضَاءُ
دَعِ الأَيَّامَ تَغْدرُ كُلَّ حِينٍ
فَمَا يُغْنِيْ عَنِ الْمَوْتِ الدَّوَاءُ

Biarkanlah hari demi hari berbuat sesukanya
Tegarkan dan lapangkan jiwa tatkala takdir menjatuhkan ketentuan
Janganlah engkau terhenyak dengan musibah malam yang terjadi
Karena musibah di dunia ini tak satu pun yang bertahan abadi

Jadilah engkau lelaki sejati tatkala ketakutan menimpa
Dengan akhlakmu; kelapangan dada, kesetiaan dan integritas
Betapapun aibmu bertebaran di mata makhluk
Dan engkau ingin ada tirai yang menutupinya

Maka tutupilah dengan tirai kedermawanan, karena segenap aib
Akan tertutupi dengan apa yang disebut orang sebagai kedermawanan
Jangan sedikitpun memperlihatkan kehinaan di hadapan musuh
Itu akan menjadikan mereka merasa di atas kebenaran disebabkan berjayanya mereka
Sungguh itulah malapetaka yang sebenarnya

Jangan pernah kau berharap pemberian dari Si Bakhil
Karena pada api, tidak ada air bagi mereka yang haus
Rizkimu tidak akan berkurang hanya karena sifat tenang dan tidak tergesa-gesa
Tidak pula rizkimu itu bertambah dengan ambisi dan keletihan dalam bekerja

Tak ada kesedihan yang kekal, tak ada kebahagiaan yang abadi
Tak ada kesengsaraan yang bertahan selamanya, pun demikian halnya dengan kemakmuran.
Manakala sifat Qana’ah senantiasa ada pada dirimu
Maka antara engkau dan raja dunia, sama saja

Siapapun yang dihampiri oleh janji kematian
Maka tak ada bumi dan tak ada langit yang bisa melindunginya
Bumi Allah itu teramat luas, namun
Tatakala takdir turun, maka tempat manapun niscaya kan terasa sempit

Biarkanlah hari demi hari melakukan pengkhianatan setiap saat
Toh, tak satu pun obat yang bisa menangkal kematian

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top