Tidak Bisa Ibadah Tapi Dapat Pahala Ibadah

“Wahai para manusia, beramal-lah sesuai dengan kemampuan kalian. Karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan sampai kalian bosan. Sesungguhnya amal yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang paling rutin dikerjakan meskipun sedikit.” (HR. Al-Bukhari no. 5861)


Ketika anda memiliki kebiasaan amalan sunnah tertentu, baik bentuknya shalat, puasa, atau amal sunnah lainnya, dan anda tidak bisa melakukannya karena udzur sakit atau safar, maka anda akan tetap mendapatkan pahala dari rutinitas amal sunnah yang anda kerjakan.

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang hamba itu sakit atau bepergian maka dicatat untuknya (pahala) sebagaimana (pahala) amalnya yang pernah dia lakukan ketika di rumah atau ketika sehat.” (HR. Al-Bukhari no. 2996)

Al-Hafidz Badruddin Al-‘Aini rahimahullah, seorang ulama besar Madzhab Hanafi mengatakan:

هذا فيمن كان يعمل طاعة فمنع منها، وكانت نيته لولا المانع أن يدوم عليها

“Hadits ini bercerita tentang orang yang terbiasa melakukan amal ketaatan kemudian terhalangi (tidak bisa) mengamalkannya karena udzur, sementara niatnya ingin tetap merutinkan amal tersebut seandainya tidak ada penghalang.” (Umdatul Qari, Jilid 14 hal. 247)

Dan itulah keistimewaan orang yang beriman. Pahala rutinitas amal baiknya diabadikan oleh Allah.

Imam Al-Muhallab bin Abu Shafrah Al-Azdi rahimahullah mengatakan: “Hadis ini sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

”Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh mereka mendapatkan pahala yang tidak pernah terputus.” (QS. At-Tin [95] : 6) maksudnya mereka (orang-orang yang beriman) mendapatkan pahala ketika mereka sudah tua dan lemah sesuai dengan amal yang dulu pernah mereka kerjakan ketika masih sehat, tanpa terputus. Oleh karena itu, setiap sakit yang menimpa, selain yang akut dan setiap kesulitan yang dialami ketika safar dan sebab lainnya, yang menghalangi seseorang untuk melakukan amal yang menjadi kebiasaannya, maka Allah telah memberikan kemurahannya dengan tetap memberikan pahala kepada orang yang tidak bisa melakukan amal tersebut karena kondisi yang dialaminya.” (Syarh Shahih Al-Bukhari, Jilid 3 hal. 146)


Untuk itu, carilah amal sunnah yang ringan, yang memungkinkan untuk anda lakukan secara istiqamah sampai akhir hayat, selama fisik masih mampu menanggungnya. Karena amal yang istiqamah meskipun sedikit, lebih dicintai Allah, dari pada banyak namun hanya dilakukan sekali dua kali.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ ، فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا ، وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ

“Wahai para manusia, beramal-lah sesuai dengan kemampuan kalian. Karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan sampai kalian bosan. Sesungguhnya amal yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang paling rutin dikerjakan meskipun sedikit.” (HR. Al-Bukhari no. 5861)

Wallahu a’lam, Semoga Bermanfaat.

Shalawat Nariyah

“Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf [7] : 188)


Shalawat Nariyah cukup populer di banyak kalangan khususnya di negeri ini. Biasanya pengamal shalawat nariyah membaca shalawat ini ketika acara kenduri kematian hampir selesai atau membacanya ketika selesai membaca surat Yasin khusunya di malam jum’at. Ada juga yang meyakini bahwa orang yang bisa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat menghilangkan kesulitan-kesulitan atau demi menunaikan hajat maka kebutuhannya pasti akan terpenuhi. Ini merupakan persangkaan yang keliru dan tidak ada dalilnya sama sekali. Terlebih lagi apabila anda mengetahui isinya dan menyaksikan adanya kesyirikan secara terang-terangan di dalamnya. Berikut ini adalah bunyi shalawat tersebut :

اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج وتنال به الرغائب وحسن الخواتيم ويستسقى الغمام بوجهه الكريم وعلى آله وصحبه عدد كل معلوم لك

“Allahumma shalli shalaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghamaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka.”

“Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, Kepada pemimpin kami Muhammad, Yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, Berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, Berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, Dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, Begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, Berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, Semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”

Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al-Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang di serunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat dengan Allah. Al-Qur’an ini telah mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala baik kepada para rasul ataupun para wali. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Bahkan sesembahan yang mereka seru (selain Allah) itu justru mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan menempuh ketaatan supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka pun berharap kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (QS. Al-Isra’ [17] : 57)

Para ulama tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang berdoa kepada Isa Al-Masih ‘alaihis salam atau memuja malaikat atau jin-jin yang saleh sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya.

Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa merasa ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang bisa melepaskan ikatan-ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal Al-Qur’an saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya:

قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf [7] : 188)


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Menikah Dengan Jin

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum [30] : 21)


Kita mungkin pernah mendengar bahwa ada laki-laki yang kawin dengan jin perempuan atau sebaliknya perempuan yang kawin dengan jin laki-laki. Imam As-Suyuthi rahimahullah pernah menyebutkan beberapa atsar dan berita dari para salaf tentang hal tersebut yaitu perkawinan antara jin dan manusia. Ada juga perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam hal ini:

وَقَدْ يَتَنَاكَحُ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ وَيُولَدُ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ وَهَذَا كَثِيرٌ مَعْرُوفٌ وَقَدْ ذَكَرَ الْعُلَمَاءُ ذَلِكَ وَتَكَلَّمُوا عَلَيْهِ وَكَرِهَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ مُنَاكَحَةَ الْجِنِّ

“Bisa jadi ada perkawinan antara manusia dan jin, lalu akan ada anak keturunannya. Kisah semacam ini banyak sekali. Para ulama juga telah menyebutkan hal tersebut dan membicarakan hukumnya. Kebanyakan ulama melarang (memakruhkan) pernikahan dengan jin.” (Majmu’ Al Fatawa, Jilid 19 hal. 39-40)

Hasan Al-Bashri, Qatadah, Al-Hakam dan Ishaq melarang bentuk pernikahan manusia dan jin. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada dalil yang melarang pernikahan dengan jin, namun hal tersebut tidak dianjurkan. Imam Malik pernah berkata, “Aku memakruhkan jika ada seorang wanita hamil lalu ditanya, siapa yang menghamilinya? Lalu ia menjawab, “Jin”. Ini menimbulkan kerusakan yang banyak.”

Dalil larangan pernikahan antara jin dan manusia adalah dalil yang menyebutkan bahwa manusia harusnya memiliki pasangan dari yang sejenis dengan mereka. Sebagaimana disebutkan dalam surat Ar-Rum :

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum [30] : 21)

Kalau di atas dikatakan dari pernikahan bisa timbul rasa tentram, lalu kasih sayang, ini sulit tercapai pada perkawinan dengan lawan jenis (antara jin dan manusia). Hikmah dari pernikahan jadinya sia-sia. Dan sulit digapai rumah tangga yang rukun dalam pernikahan semacam itu.

Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa mungkin saja terjadi perkawinan antara manusia dan jin adalah ayat yang disebutkan di atas:

لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ

“Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar-Rahman [55] : 56)

Ada kemungkinan dari ayat ini perkawinan antara jin dan manusia.

Apa hukumnya menikah dengan jin? Apakah ini diperbolehkan menurut Islam?

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai hal ini. Sebagian ulama membolehkannya, namun sebagian yang lain mengharamkannya. Masing-masing membawakan argumentasinya yang menurut mereka kuat. Akan tetapi, yang rajih dalam permasalahan ini adalah pendapat yang mengharamkannya.

Di antara dalil yang melandasinya adalah sebagai berikut :

1.       Al-Qur’an

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum [30] : 21)

فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الأنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu.” (QS. Asy-Syura [42] : 11)

Makna dari kalimat “dari jenis kamu sendiri” adalah dari jenis manusia. Bukan dari jenis jin, apalagi hewan. Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah saat menjelaskan QS. Ar-Rum [30] : 21 beliau berkata:

ولو أنه جعل بني آدم كلهم ذكورا وجعل إناثهم من جنس آخر إما من جان أو حيوان لما حصل هذا الإئتلاف بينهم وبين الأزواج بل كانت تحصل نفرة لو كانت الأزواج من غير الجنس ثم من تمام رحمته ببني آدم أن جعل أزواجهم من جنسهم

“Seandainya saja seluruh Allah ta’ala menjadikan seluruh anak Adam laki-laki, dan menjadikan perempuannya dari jenis yang lain, baik dari jenis jin ataupun hewan, maka tidak akan dapat mewujudkan rasa kasih-sayang antara mereka dan pasangannya. Bahkan yang terjadi keengganan jika saja pasangannya itu bukan berasal dari jenisnya. Termasuk dari kesempurnan rahmat-Nya kepada anak Adam adalah menjadikan pasangannya berasal dari jenis mereka sendiri.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 11 hal. 20)

Rasa kasih sayang antara suami istri sayang tidak akan terwujud jika dua pihak (yang menikah) berasal dari jenis yang berbeda. Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata:

أي: تألفوها وتميلوا إليها، فإن الجنسين المختلفين لا يسكن أحدهما إلى الآخر ولا يميل قلبه إليه

“Yaitu, agar kalian berkasih-sayang dan cenderung kepadanya. Apabila pasangan itu berasal dari jenis yang berbeda, maka tidak akan ada kasih-sayang satu dengan yang lainnya dan tidak pula akan condong kepadanya.” (Fathul Qadir, Jilid 4 hal. 219)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

انْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An-Nisa’ [4] : 3)

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’ [4] : 34)

Sisi pendalilan dari dua ayat ini adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan seseorang untuk menikahi seorang wanita (An-Nisa’ - اَلنِّسَاءُ). Lafazh An-Nisa’ dalam bahasa ’Arab hanya dipakai untuk menyebut wanita keturunan anak Adam (manusia). Penguasaan, pengendalian, dan kepemimpinan seorang laki-laki hanya terwujud apabila pasangannya (istri) berasal dari jenisnya (manusia). Ia tidak akan bisa melakukannya jika pasangannya berasal dari jin perempuan yang kadang nampak olehnya, kadang pula tidak nampak olehnya. Karena pada asalnya, jin adalah makhluk yang ghaib.

2.       As-Sunnah

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

إن بالمدينة جنا قد أسلموا فإذا رأيتم منهم شيئا فآذنوه ثلاثة أيام فإن بدا لكم بعد ذلك فاقتلوه فإنما هو شيطان

“Sesungguhnya di Madinah terdapat sekelompok jin yangtelah masuk Islam. Apabila kalian melihat mereka menampakkan diri pada kalian, maka berilah ia peringatan selama tiga hari. Jika mereka masih menampakkan diri kepada kalian setelah (tiga hari) itu, maka bunuhlah, karena ia adalah syaithan.” (HR. Muslim no. 2236)

Sisi pendalilannya adalah bahwa jika menampakkan diri lebih dari 3 hari saja Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuhnya, lantas bagaimana mereka menjadi pasangan hidup yang mewajibkannya pendampingan sepanjang waktu?

3.       Akal sehat

Akal sehat melarang kita untuk menikah dengan bangsa jin. Sebagaimana diketahui bahwa jin tidaklah dapat dinikahi kecuali jika ia menjelma menjadi sosok manusia juga. Jadi, wujud penjelmaan manusia itu bukanlah wujud aslinya, sebab wujud asli jin tidak dapat dilihat oleh manusia. Ini merupakan satu bentuk penipuan. Di lain sisi, bagaimana bisa seorang laki-laki –misalnya– bisa membedakan penjelmaan jin satu dengan yang lainnya, karena barangkali ada jin perempuan lain yang bisa menjelma dalam wujud manusia seperti penjelmaan jin perempuan istrinya; yang dengan itu dua jin perempuan itu bersekutu dalam hubungannya dengan si suami. Jelas ini merupakan perzinahan yang diharankan dalam Islam.

Terlarangnya pernikahan antara manusia dengan jin merupakan madzhab jumhur ulama

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وكره أكثر العلماء مناكحة الجن

“Kebanyakan ulama membenci pernikahan dengan jin.” (Majmuu’ Al-Fatawa, Jilid 19 hal. 39-40)

Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

وقد تكلم في نكاح الجن للإنس الإمام أحمد وغيره، والكلام فيه في أمرين: في وقوعه وحكمه.
فأما حكمه فمنع منه أحمد، ذكره القاضي أبو يعلى

“Al-Imam Ahmad dan yang lainnya telah membicarakan/membahas pernikahan manusia dengan jin. Pembicaraan itu ada dua perkara, yaitu kemungkinan terjadinya, dan hukumnya. Adapun hukum pernikahan tersebut, maka Ahmad telah melarangnya, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qadhi Abu Ya’la.” (Tahdzib As-Sunan, Jilid 10 hal. 14)

Dan Al-Hafizh As-Suyuthi rahimahullah mempunyai perkataan menarik tentang hal ini:

ويقويه أيضا أنه نهى عن إنزاء الحمر على الخيل، وعلة ذلك اختلاف الجنس، وكون المتولد منها يخرج عن جنس الخيل، فيلزم منه قلتها وإذا تقرر المنع فالمنع من نكاح الجني الإنسية أولى وأحرى

“(Larangan pernikahan antara manusia dengan jin) dikuatkan juga bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam melarang mengawinkan keledai dengan kuda. Alasannya adalah perbedaan jenis. Juga karena akan yang dilahirkan nanti bukan dari jenis kuda, sehingga berkonsekuensi menurunkan populasi kuda. Jika larangan ini berlaku, maka larangan menikahnya jin dengan manusia lebih kuat dan lebih pantas.” (Al-Asybah wan Nadhair, hal. 257)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:

ولكن أين الدليل الشرعي والعقلي على التوالد أولا، وعلى التزاوج الشرعي ثانياً؟ هيهات هيهات

“Akan tetapi, mana dalil syar’i dan ’aqli yang melandasi akan dihasilkannya keturunan (dari pernikahan antara manusia dengan jin), dan (dalil disebutkannya pernikahan tersebut adalah) pernikahan yang syar’i? Sungguh sangat jauh.” (Silsilah Adh-Dha’ifah, Jilid 12 hal. 608)

Terakhir, mari kita simak apa yang diceritakan oleh Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah:

ونقل رفيقنا أبو الفتح اليعمري وكان متثبثاً قال سمعت الإمام تقي الدين ابن دقيق العيد يقول: سمعت شيخنا أبا محمد بن عبد السلام السلمي يقول: وجرى ذكر أبي عبد الله بن العربي الطائي فقال: هو شيعي سوء كذاب، فقلت له: وكذاب أيضا؟ قال: نعم تذاكرنا بدمشق التزويج بالجن فقال: هذا محال لأن الإنس جسم كثيف والجن روح لطيف، ولن يعلق الجسم الكثيف الروح اللطيف، ثم بعد قليل رأيته وبه شجة فقال: تزوجت جنية فرزقت منها ثلاثة أولاد فاتفق يوما أن أغضبتها فضربتني بعظم حصلت منه هذه الشجة وانصرفت فلم أرها بعد هذا، أو معناه.

“Teman kami Abul Fath Al-Ya’muri –ia seorang yang kuat hapalannya– menukil, ia berkata : Aku mendengar Al-Imam Taqiyyuddin bin Daqiqil’Id berkata : Aku mendengar syaikh kami Abu Muhammad bin ’Abdissalam As-Sulami berkata bahwa ia pernah terlibat pembicaraan tentang diri Abu ’Abdillah bin Al-’Arabiy Ath-Tha’i, lalu berkata : ’Ia seorang Syi’i (penganut Syi’ah) yang jelek lagi pendusta’. Aku (Inu Daqiqil’Id) berkata kepadanya : ’Pendusta jugakah ia?’. Ia menjawab : ’Benar. Kami pernah berdiskusi di Damaskus sekitar permasalahan pernikahan dengan jin. Lalu ia berkata : ’Ini sesuatu yang mustahil, karena manusia adalah jasmani yang padat, sedangkan jin adalah ruh yang halus. Jasmani yang padat dengan ruh yang halus tidak dapat berhubungan’. Setelah itu, tiba-tiba aku melihatnya terluka. Ia berkata : ’Aku pernah menikah dengan jin perempuan hingga dikaruniai tiga orang anak. Hingga satu hari aku membuatnya marah, sehingga ia memukulku dengan tulang sampai membekas luka ini. Lalu jin perempuan itu kabur dan aku tidak pernah melihatnya lagi setelah itu’. Atau ucapan yang semakna dengan ini” (Mizan Al-I’tidal, Jilid 3 hal. 659)

Dari cerita tersebut dapat kita simak, seandainya pernikahan itu terjadi, maka jin lah yang lebih mengendalikan manusia, hingga ketika ia berbuat aniaya, suaminya tidak bisa berbuat apa-apa.

Terakhir, Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah memberikan nasihat:

إن بعض الجن يتصور للإنسي في صورة امرأة ثم يجامعها الإنسي، وكذا يتصور الجني بصورة رجل ويجامع المرأة من الإنس تجامع الرجل للمرأة وعلاج ذلك التحفظ منهم ذكوراً وإناثاً بالأدعية والأوراد المأثورة وقراءة الآيات التي تشتمل على الحفظ والحراسة منهم بإذن الله

“Sebagian jin (perempuan) menjelma di hdapan manusia menjadi seorang wanita, kemudian jin itu digauli oleh manusia. Demikian juga, ada jin yang menjelma menjadi seorang laki-laki yang kemudian menggauli wanita, seperti halnya seorang laki-laki menggauli istrinya. Obat dari hal itu adalah menjaga diri dari mereka –baik laki-laki maupun perempuan– dengan doa-doa dan wirid-wirid yang ma’tsur, serta membaca ayat-ayat (Al-Qur’an) yang mengandung penjagaan dan perlindungan dari mereka, dengan ijin Allah.” (Al-Fatawa Adz-Dzahabiyyah, hal. 196)

Hanya Allah yang memberikan taufiq. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Bisakah Manusia Melihat Jin?

“Sesungguhnya, ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-A’raf [7] : 27)


Beberapa kalangan mengaku bisa berkomunikasi dengan jin bahkan ada yang mengaku dapat melihat jin. Sebagian dari mereka berkata jin itu ada yang berupa wanita bergaun putih atau yang umum disebut kuntilanak oleh masyarakat kita, juga ada yang berkata jin itu berbentuk kerdil dan berkepala plontos atau yang umum disebut tuyul, juga masih banyak lagi rupa-rupa jin seperti yang berbentuk hewan-hewan bahkan ada yang menyerupai manusia. Kita pun bisa saksikan dalam beberapa acara ruqyah syar’i bahwa golongan jin ada yang beriman dan ada juga yang kafir. Untuk golongan jin yang muslim dan kafir memang benar adanya karena Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan hal tersebut dalam Al-Quran surat Al-Jinn, namun apakah jin itu bisa dilihat oleh manusia padahal bangsa mereka termasuk makhluk ghaib? Berikut ulasannya.

Manusia tidak dapat melihat jin dalam bentuk yang asli karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ

“Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surge, ia menanggalkan pakaiannya dari keduanya untuk memperlihatkan (kepada keduanya) auratnya. Sesungguhnya, ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-A’raf [7] : 27)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala pada ayat ini, “Sesungguhnya, ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka,” menunjukkan bahwa manusia tidak dapat melihat jin, yaitu pada bentuk mereka yang asli.

Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menangkap setan, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Setan terkadang menjelma dengan berbagai bentuk sehingga memungkinkan (bagi manusia) untuk melihatnya. Firman Allah ta’ala, ‘Sesungguhnya, ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka,’ dikhususkan pada kondisi bentuknya (yang asli) yang Allah telah ciptakan.” (Fathul Bari, penjelasan hadis no. 2311)

Dari sini, kita mengetahui bahwa setan terkadang menjelma dalam bentuk manusia, hewan, atau lainnya. Demikian juga, setan itu sangat pendusta. Jangan sampai manusia tertipu olehnya.

Maka kemungkinan yang dikatakan oleh beberapa orang yang pernah melihat jin adalah benar walau tak bisa dinafikan pula jika sebagian pun berdusta dengan berkata bahwa dia melihat jin, akan tetapi dari keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dapat kita simpulkan bahwa wujud-wujud jin yang umum diketahui oleh masyarakat misal saja seperti kuntilanak, tuyul, siluman harimau dan semacamnya adalah bisa jadi benar hanya saja itu bukanlah wujud jin yang sebenarnya. Dan sikap kita terhadap bangsa jin adalah tegas yaitu tidak diperbolehkan untuk bersekutu dengan jin karena kita tak tahu bagaimana dan apa yang jin itu inginkan dari kita dan bisa jadi mereka sengaja menjebak kita menuju kesyirikan. Hanya Allah yang memberi taufiq. Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Al-Ma'tsurat Syeikh Hasan Al-Banna, Bid'ah !!!

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Tidak ada seorang pun yang berpaling dari dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar'i menuju kepada dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang bid'ah melainkan (dialah) seorang yang jahil atau sembrono atau melampaui batas.” (Majmu' Fatawa, Jilid 22 hal. 510-511)


Kitab Al-Ma’tsurat oleh Syeikh Hasan Al-Banna  adalah kitab yang sangat populer di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Bahkan wirid-wirid yang terkandung di dalamnya dijadikan sebagai amalan harian wajib bagi para pengikut kelompok Ikhwanul Muslimin dan kebanyakan para aktivis pergerakan Islam di Indonesia.

Penulisnya adalah Syaikh Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna, pendiri jama'ah Ikhwanul Muslimin. Ia dilahirkan pada tahun 1906 M di Mahmudiyyah Buhairah Mesir, dan meninggal di Kairo Mesir tanggal12 Februari 1949 M.

Syeikh Hasan Al-Banna adalah pengikut tarikat shufiyyah Hashshafiyyah sejak usia muda. Dia mengenal tarikat Hashshofiyyah semenjak duduk di Madrasah Mu'allimin UIa di Damanhur. Dia kemudian berbai'at di hadapan Mursyid Tarikat Hashshafiyyah, Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashshafi, dan kemudian aktif dalam kepengurusan Jam'iyyah Hashshafiyyah Al-Khairiyyah.

Semasa hidupnya, Syeikh Hasan Al-Banna selalu mengamalkan ritual-ritual tarikat Hashshofiyyah tersebut seperti Wadhifah (wirid) Razuqiyyah tiap pagi dan petang. Nampaknya Wadhifah Razuqiyyah ini adalah asal dari Wadhifah Kubra (nama lain dari Al-Ma’tsurat sebagaimana tertera dalam judul cetakannya).

Syeikh Hasan Al-Banna tidak hanya mengamalkan Wadhifah Razuqiyyah saja, bahkan dia juga mengikuti ritual Hashshafiyyah di kuburan-kuburan dengan cara menghadap kepada sebuah kuburan yang terbuka dengan tujuan untuk mengingat kematian, kemudian ritual Hadhrah setelah sholat Jum'at, dan ritual Maulid Nabi.

Abul Hasan An-Nadwi berkata: "Hasan Al-Banna selalu mengamalkan wirid-wirid dan ritual-ritual ini hingga akhir hayatnya." (Tafsir Siyasi lil Islam hal. 83)

Adapun dalam segi aqidahnya, Hasan Al-Banna adalah Asy'ari Mufawwidhoh sebagaimana nampak dalam kitabnya, Aqo'id. (Mudzakkirot Da'wah wa Da'iyyah, Nazhorot fi Manhaj Ikhwanul Muslimin dan Thoriqoh Hasan Al-Hanna wa Ashumul Waritsin)

Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do'a termasuk di antara ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah wajib dilandaskan atas dalil yang tsabit (kuat) dan tidak boleh menetapkan suatu ibadah tanpa dalil atau dengan dalil yang dha'if (lemah). Maka tidak boleh seorang muslim mengamalkan suatu dzikir tertentu kecuali setelah meyakini bahwa dzikir tersebut dinukil dengan dalil yang tsabit dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Setelah kami meneliti do'a-do'a dan dzikir-dzikir dalam kitab Al-Ma’tsurat ini ternyata ada beberapa dzikir yang lemah dalilnya atau bahkan tidak ada asalnya sama sekali, di antara do'a-doa dan dzikir-dzikir tersebut ialah :

1. Wirid Pertama

أَصْبَحْنَا وَأَصْبحَ الْمُلْكُ لِلَّه لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَالْحَمْدُ كُلُّهُ لِلَّهِ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لاَ إِلاَّ اللَّهُ وَإِلَيْهِ النُّشُوْرُ

“Sesungguhnya kami terjaga di pagi hari dengan (kesadaran bahwa) kerajaan (bumi dan segala isinya) ini seluruhnya adalah milik Allah. Dan segala puji bagi Allah, tiada sekutu bagi-Nya, tiada Rabb selain Dia dan kepada-Nya kami akan dibangkitkan.”

Wirid ini datang dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 604 dan, Ibnu Sunni dalam Amal Yaum wa Lailah no. 74 dari jalan Abu Awanah dari Umar bin Abi Salamah dari bapaknya dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu.

Riwayat ini dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah: “Dha'if dengan lafazh ini, di dalam sanadnya terdapat Umar bin Abi Salamah Az-Zuhri Al-Qadhi, fihi dha'fun (padanya terdapat kelemahan).” ( Dha'if Adabul Mutrad hal. 60)

2. Wirid Kedua

اللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِيْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنْكَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ فَلَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُ

“Ya Allah nikmat apapun yang kuperoleh dan diperoleh seseorang di antara makhluk-Mu adalah dari-Mu, yang Esa dan tak bersekutu, maka bagi-Mu segala puji dan syukur.”

Wirid ini terdapat dalam hadits Abdullah bin Ghanam Al-Bayadhi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya Jilid 4 hal. 318, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya Jilid 3 hal. 143, An-Nasa'i dalam Sunan Al-Kubra Jilid 6 hal. 5, Abu Bakar Asy-Syaibani dalam Ahad wal Matsani Jilid 4 hal. 183, dan Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman Jilid 4 hal. 89 dari jalan Rabi'ah bin Abi Abdirrahman dari Abdullah bin Anbasah dari Abdullah bin Ghanam Al-Bayadhi.

Abdullah bin Anbasah dikatakan oleh Imam Adz-Dzahabi rahimahullah: “Hampir-hampir tidak dikenal.”

Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Takhrij Kalimu Thayyib hal. 73 dan Dha'if Jami' Shaghir no. 5730.

3. Wirid Ketiga

يَا رَيِّيْ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَلِعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ

Wirid ini terdapat dalam hadits Abdulloh bin Umar radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya Jilid 2 hal. 1249, Ath-Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath Jilid 9 hal. 101 dan Mu'jam Al-Kabir Jilid 12 hal. 343, dan Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman Jilid 4 hal. 94 dari jalan Shadaqah bin Basyir dari Qudamah bin Ibrahim Al-Jumahi dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu.

AI-Bushiri rahimahullah berkata: “Sanad ini, terdapat kritikan padanya.” (Mishbahu Zujajah 4/130)

Shadaqah bin Basyir dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Taqrib: “Maqbul (yaitu diterima haditsnya jika ada penguatnya, kalau tidak ada penguatnya maka haditsnya lemah).”

Qudamah bin Ibrahim dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Taqrib : “Maqbul.”

Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dha'if Sunan Ibnu Majah hal. 308 dan Dha'if Jami' Shoghir no. 1877.

4. Wirid Keempat

اللَّهُمَ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ ؤَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ اْلأُمِّيْ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ تَسْلِيْمًا عَدَدَ مَا أَحَاطَ بِهِ عِلْمُكَ وَخَطَّ بِهِ قَلَمُكَ وَأَحْصَاهُ كتَابُكَ

“Ya Alloh limpahkanlah sholawat atas junjungan kami Muhammad hamba-Mu, nabi-Mu, dan rasul-Mu, nabi yang ummi, dan atas keluarganya dan limpahkanlah salam sebanyak yang diliput oleh ilmu-Mu dan dituliskan oleh pena-Mu, dan dirangkum oleh kitab-Mu.”

Shalawat ini adalah shalawat yang bid'ah yang tidak ada asalnya, tidak ada di dalam kitab-kitab hadits yang mu'tabar sepanjang penelitian kami.

Wirid-wirid di atas (1 s/d 4) adalah yang lemah atau tidak ada asalnya. Di samping itu, di dalam kitab Al-Ma’tsurat ini banyak wirid-wirid lain yang shahih lafazhnya tetapi bid'ah dari segi kaifiyyat (tatacara)nya karena memberikan bilangan bacaan-bacaannya yang tidak pernah ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Do’a Rabithah yang Bid’ah

Pada akhir kitab Al-Ma’tsurat ini tercantum Do'a Rabithah yang berbunyi:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْقُلُوْ بَ قَدِاجْتَمَعَتْ عَلَى مَحَبَّتِكَ وَالْتَقَتْ عَلَى طَا عَتِكَ وَتَوَ حَّدَتْ عَلَى دَعْوَتِكَ وَتَعَاهَدَتْ عَلَى نُصْرَةِ شَرِيْعَتِكَ فَوَثِّقْ اللَّهُمَّ رَابِطَتَهَا وَأَدِمْ وُدَّهَا

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah (kecintaan) hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru di (jalan)-Mu, dan berjanji selia untuk membela syari'at-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya Ya Alloh, abadikan kasih sayangnya.”

Syaikh Ihsan bin Ayisy Al-Utaibi rahimahullah berkata: “Di akhir Al-Ma’tsurat terdapat wirid rabithah, ini adalah bid'ah shufiyyah yang diambil oleh Hasan Al-Banna dari tarikatnya, Hashshafiyyah.” (TarbiyatuI Aulad fil Islam Ii Abdullah Ulwan fi Mizani Naqd Ilmi hal. 126)

Hukum Wirid-Wirid Bid’ah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do'a termasuk di antara ibadah-ibadah yang paling afdhol (utama), dan ibadah dilandaskan alas tauqif dan ittiba', bukan atas hawa nafsu dan ibtida ', Maka do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah yang paling utarna untuk diamalkan oleh seorang yang hendak berdzikir dan berdo'a. Orang yang mengamalkan do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang berada di jalan yang aman dan selamat. Faedah dari hasil yang didapatkan dari mengamalkan do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam begitu banyak sehingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Adapun dzikir-dzikir dari selain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kadang-kadang diharamkan, kadang-kadang makruh, dan kadang-kadang di dalamnya terdapat kesyirikan yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Tidak diperkenankan bagi seorang pun membuat bagi manusia dzikir-dzikir dan do'a-do'a yang tidak disunnahkan, serta menjadikan dzikir-dzikir tersebut sebagi ibadah rutin seperti sholat lima waktu, bahkan ini termasuk agama bid'ah yang tidak diizinkan oleh Allah. Adapun menjadikan wirid yang tidak syar'I maka ini adalah hal yang terlarang, bersamaan dengan ini dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar'I sudah memenuhi puncak dan akhir dari tujuan yang mulia, tidak ada seorang pun yang berpaling dari dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar'i menuju kepada dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang bid'ah melainkan (dialah) seorang yang jahil atau sembrono atau melampaui batas." (Majmu' Fatawa, Jilid 22 hal. 510-511)

Beliau juga berkata: “Seseorang yang berpaling dari do'a yang syar'i kepada yang lainnya -walaupun itu adalah hizb-hizb- (wirid-wirid) sebagian masyayikh (para syaikh)- maka yang paling bagus baginya adalah hendaknya tidak meluputkan bagi dirinya do'a yang lebih afdhol dan yang lebih sempurna, yaitu do'a-do'a Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena dia yang lebih afdhol dan lebih sempurna dari do'a-do'a yang lainnya dengan kesepakatan kaum muslimin, meskipun do'a-do'a yang lain tersebut diucapkan oleh sebagian masyayikh, apalagi jika do'a-do'a tersebut di dalamnya terdapat kesalahan atau dosa atau yang lainnya? Di antara orang-orang yang paling tercela adalah orang yang menjadikan hizb (wirid) yang tidak ma'tsur (dinukil) dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam -walaupun itu adalah hizb-hizb sebagian masyayikh dan meninggalkan hizb-hizb Nabawiyyah yang diucapkan oleh Penghulu Bani Adam, Imam para makhluk, dan hujjah Allah atas para hamba-Nya.” (Majmu' Fatawa, Jilid 22 hal. 525)

Badal (Pengganti) Kitab Ini

Setelah melihat banyaknya hal-hal yang bid'ah dalam kitab Al-Ma’tsurat ini, kami memandang bahwa kitab ini tidak layak dijadikan pegangan di dalam wirid-wirid keseharian seorang muslim. Kami menganjurkan agar saudara-saudaraku kaum muslimin memilih kitab-kitab dzikir lainnya yang mengacu kepada do'a dan dzikir yang shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, di antara kitab-kitab yang kami anjurkan untuk dipakai adalah:

1. Al-Adzkar oleh Imam An-Nawawi bersama penjelasan derajat haditsnya dalam kitab Shahih wa Dha'if AI-Adzkar oleh Syaikh Salim bin Id Al-Hilali.
2. Al-Kalimu Thayyib oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan takhrij Syaikh Al-Albani.
3. Tuhfatul Akhyar oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
4. Shahih Kalimu Thayyib oleh Syaikh Al-Albani.
5. Hishnul Muslim oleh Syaikh Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top