Keutamaan Surat Al-Kahfi Pada Hari Jum'at

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum'at, maka dia akan diterangi dengan cahaya antara dia dan ke Bailul Atiq (Mekkah).” (HR. Ad-Darimi, no. 3407)


Hari jum’at adalah hari yang penuh berkah, sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at, karena pada hari ini bapak kita Nabi Adam ‘alaihis salam diciptakan, hari ini pula beliau dimasukkan ke dalam surga dan juga pada hari ini dikeluarkan darinya, dan tidaklah akan datang hari kiamat kecuali pada hari Jum’at.

Banyak hal yang disunnahkan pada hari Jum’at ini seperti shalawat, memperbanyak berdzikir dan memperbanyak do’a dan juga memperbanyak membaca Al-Quran. Namun ada satu amalan yang sangat utama yang mungkin sebagian dari kita belum mengetahui yaitu membaca surat Al-Kahfi.

Adapun hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai sunnah membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at diantaranya antara lain adalah:

1.       Dari Abu Sa'id Al-Khudri radliyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum'at, maka dia akan diterangi dengan cahaya antara dia dan ke Bailul Atiq (Mekkah).” (HR. Ad-Darimi, no. 3407)

2.       Dalam riwayat lain masih dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu:

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنْ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka dia akan diterangi dengan cahaya di antara dua Jum’at.” (HR. Hakim 2/399)

3.       Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ سَطَعَ لَهُ نُوْرٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءَ يُضِيْءُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَغُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ

“Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi di hari Jum’at, maka akan diterangi dari bawah kakinya sampai ke atas langit. Disinari baginya di hari kiamat, dan akan diampuni diantara dua Jum’at.” (At-Targhib wat Tarhib, Jilid 1 hal. 298)

Jika kita melihat dari berbagai redaksi hadits ini maka bisa disimpulkan jika membaca surat Al-Kahfi ini dapat dibaca selama hari Jum’at yaitu ketika mulai terbenamnya matahari pada malam Jum’at hingga terbenamnya matahari pada hari Jum’at. Yang lebih afdhal adalah langsung mengkhatamkan surat Al-Kahfi pada satu waktu yaitu pada malam Jum’at sesuai redaksi hadits yang khusus, namun tidak mengapa jika separuh-separuh mengingat hadits tentang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at bersifat umum yaitu hari Jum’at. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh beberapa ulama Ahlus Sunnah berikut:

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:

بلَغَنَا أَنَّ من قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ وُقِيَ فِتْنَةُ الدَّجَّالِ، وَأُحِبُّ كَثْرَةَ الصَّلَاةِ على النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم في كل حَالٍ وأنا في يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَتِهَا أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا، وَأُحِبُّ قِرَاءَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَهَا لِمَا جاء فيها

“Telah sampai dalil kepadaku bahwa orang yang membaca surat Al-Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Dan aku menyukai seseorang itu memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di setiap waktu dan di hari Jum’at serta malam Jum’at lebih ditekankan lagi anjurannya. Dan aku juga menyukai seseorang itu membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum’at dan pada hari Jum’at karena terdapat dalil mengenai hal ini.” (Al-Umm, Jilid 1 hal. 208)

Muhammad Abdurrauf Al-Manawi rahimahullah berkata:

فيندب قراءتها يوم الجمعة وكذا ليلتها كما نص عليه الشافعي رضي اللّه عنه

“Dianjurkan membacanya pada hari Jum'at begitu juga pada malamnya sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu.” (Faidhul Qadir, Jilid 6 hal. 198)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata:

كذا وقع في روايات يوم الجمعة وفي روايات ليلة الجمعة، ويجمع بأن المراد اليوم بليلته والليلة بيومها

“Demikian pula, terdapat riwayat Hari Jum'at dan dalam redaksi lain Malam Jum'at. Maka pemahamannya dapat digabungkan bahwa maksudnya adalah sehari dengan malamnya, atau malam dengan harinya." (Faidhul Qadir, Jilid 6 hal. 199)

Hari Jum'at merupakan hari yang mulia, hendaknya setiap muslim memuliakannya dengan amal-amal ketaatan. Namun menetapkan amal-amal tersebut tidak boleh hanya dengan anggapan semata, tapi harus didasarkan kepada tuntutan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang kita ketahui melalui sunnahnya. Karena dengan ittiba' kepada sunnah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sesudah ikhlash tentunya, seseorang akan diterima amal ibadahnya dan dicintai oleh Rabb-nya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Kisah Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu Menyampaikan Warisan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

“Sesungguhnya Para Nabi tidak mewariskan harta dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641 dan At-Tirmidzi no. 2682)


“Bahwasanya suatu ketika Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu melewati pasar di kota Madinah, lalu beliau berhenti di sana. Beliau berkata, “Wahai orang-orang yang di pasar, alangkah ruginya kalian!!” Mereka menjawab: “Ada apa wahai Abu Hurairah?”

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Di sana ada warisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dibagikan, kenapa kalian masih di sini? Kenapa kalian tidak pergi ke sana mengambil bagian kalian?”

Mereka menjawab: “Di mana itu?” Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Di Masjid.” Lalu orang-orang tadi langsung bergegas menuju ke masjid, sedangkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu masih tetap menunggu di pasar hingga orang-orang tadi kembali.

Ketika mereka kembali lagi ke pasar, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada mereka: “Kenapa kalian kembali ke pasar?” Mereka manjawab: “Wahai Abu Hurairah, Sungguh kami telah pergi ke masjid dan kami tidak melihat apapun dibagikan di sana.”

Kemudian Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada mereka: “Bukankah kalian melihat ada orang di sana?” Mereka menjawab: “Tentu saja, kami melihat ada sekelompok orang yang sedang shalat, sekelompok yang lain sedang membaca Al-Qur’an, dan sekelompok yang lain lagi sedang menyebutkan tentang perkara halal dan haram!”

Maka Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata kepada mereka: “Sesungguhnya itulah warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

            Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani rahimahullah dalam Al-Mu’jam Al-Kabir hadits nomor 402 dan Al-Mu’jam Al-Ausath hadits nomor 1429 dengan sanad hasan. Hadits ini dihasankan oleh Imam Al-Mundziri rahimahullah, Al-Haitsami rahimahullah dan Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya Para Nabi tidak mewariskan harta dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641 dan At-Tirmidzi no. 2682)

Shalat Rawatib

“Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah ikhlas karena Allah sebanyak dua belas rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)


Shalat Rawatib adalah salah satu shalat nafilah (tambahan) yang sangat dianjurkan dan dilaksanakan mengiringi shalat fardhu. Shalat rawatib yang dilakukan sebelum shalat fardhu dinamakan shalat qabliyah, sedangkan shalat yang dilakukan setelah shalat fardhu dinamakan shalat ba'diyah. Kata rawatib (رواتب) sendiri merupakan bentuk jamak dari kata ratib (راتِب) yang bermakna tsabata (ثَبَتَ), juga bermakna istaqarra (استقرَّ) yaitu tetap atau kokoh.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mendefinisikan shalat rawatib lebih luas lagi, beliau berkata:

السُّنَنُ التَّابِعَةُ لِغَيْرِهَا أَوِ الَّتِي تَتَوَقَّفُ عَلَى غَيْرِهَا أَوْ عَلَى مَا لَهُ وَقْتٌ مُعَيَّنٌ كَالْعِيدَيْنِ وَالضُّحَى وَالتَّرَاوِيحِ

“Shalat-shalat sunnah yang ikut pada shalat lainnya, atau bergantung pada shalat lainnya, atau pada shalat yang punya waktu tertentu, seperti shalat idul fithr, idul adha atau tarawih.” (Al-Qalyubi, jilid 2 hal. 210)

Jika dilihat dari definisi yang dijelaskan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah tersebut jelas terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai pembatasan shalat rawatib. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud dengan shalat rawatib itu hanya sebatas shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat fardhu lima waktu, atau qabliyah dan ba’diyah. Dan sebagian lainnya membuat batasan bahwa shalat rawatib itu termasuk juga di dalamnya shalat tarawih, dhuha dan Idul Fithri dan Idul Adha.

Shalat rawatib terbagi menjadi dua bagian, yaitu sunnah muakkad dan ghairu muakkad. Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah berkata:

فأما الراتبة فمنها السنن الراتبة مع الفرائض وأدنى الكمال فيها عشر والأكمل أن يصلي ثماني عشرة ركعة

“Shalat sunnah rawatib yang dilakukan berurutan dengan shalat fardhu minimal ada 10 rakaat dan shalat sunnah rawatib yang paling sempurna adalah 18 rakaat. (Al-Muhadzdzab, Jilid 1 hal. 156)

            Dari perkataan Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa shalat rawatib yang sunnah muakkad berjumlah 10 raka’at dan yang ghairu muakkad berjumlah 8 raka’at sehingga jumlah shalat rawatib dalam sehari semalam berjumlah 18 raka’at. Dalil yang menjelaskan mengenai jumlah 10 raka’at dalam shalat rawatib sunnah muakkad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ

“Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa shalat sunnat sepuluh raka’at yaitu: dua raka’at sebelum shalat zuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah shalat maghrib di rumah beliau, dua raka’at sesudah shalat isya’ di rumah beliau, dan dua raka’at sebelum shalat subuh.” (HR. Al-Bukhari no. 937 dan Muslim no. 729)

            Redaksi hadits diatas menjelaskan bahwa 10 raka’at shaat rawatib tersebut adalah 2 raka’at sebelum zhuhur, 2 raka’at setelah zhuhur, 2 raka’at sesudah shalat maghrib, 2 raka’at sesudah shalat isya’ dan 2 raka’at sebelum shalat shubuh. Sedangkan tambahan 8 raka’at lagi berasal dari berbagai hadits diantaranya hadits dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah ikhlas karena Allah sebanyak dua belas rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)

Dan dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dijelaskan mengenai rincian 12 raka’at tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

“Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya` dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. At-Tirmizi no. 379 dan An-Nasai no. 1772)

Pada hadits di atas ada tambahan 2 raka’at pada shalat qabliyah zhuhur, sehingga jumlah qabliyah zhuhur adalah 4 raka’at. Hadits lain yang menjelaskan pula bahwa shalat ba’diyah zhuhur pun berjumlah 4 raka’at yang berarti ditambah 2 raka’at dari shalat rawatib yang statusnya sunnah muakkad. Mengenai hal ini adalah hadits dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرُمَ عَلَى النَّارِ

“Barangsiapa yang memelihara empat raka’at sebelum zhuhur dan empat raka’at setelah zhuhur maka dia haram masuk neraka.” (HR. Abu Dawud no. 1077)

Selain itu, terdapat pula riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat rawatib sebelum ashar sebanyak 4 raka’at. Dalil yang dijadikan landasan dalam hal ini adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

“Semoga Allah merahmati seseorang yang mengerjakan shalat (sunnah) empat raka’at sebelum Ashar.” (HR. Abu Daud no. 1271 dan At-Tirmizi no. 430)

Selain itu, shalat rawatib juga dilaksanakan setelah shalat jum’at sebanyak 2 raka’at berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى الْجُمُعَةَ انْصَرَفَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصْنَعُ ذَلِكَ

“Jika Ibnu Umar melaksanakan shalat Jum’at, setelahnya ia melaksanakan shalat dua raka’at di rumahnya. Lalu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan seperti itu.” (HR. Muslim no. 882)

Dan boleh juga dilaksanakan sebanyak 4 raka’at sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا

“Jika salah seorang di antara kalian shalat Jum’at, maka lakukanlah shalat setelahnya empat raka’at.” (HR. Muslim no. 881)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits-hadits ini menunjukkan disunnahkannya shalat sunnah ba’diyah Jum’at dan dorongan untuk melakukannya, minimalnya adalah dua raka’at, sempurnanya adalah empat raka’at.” (Syarh Muslim, Jilid 6 hal. 169)

            Maka bisa disimpulkan bahwa pelaksanaan shalat sunnah rawatib adalah sebagaimana tabel di bawah ini:

Shalat
Qabliyah
Ba'diyah
Maghrib
-
2
Isya'
-
2
Shubuh
2
-
Dzuhur
2 atau 4
2 atau 4
Jum'at
-
2 dan 4
Ashar
4
-

            Lalu sebagian dari masyarakat pun ada yang sering melaksanakan shalat 2 raka’at sebelum shalat maghrib, 2 raka’at sebelum shalat isya’ dan 2 raka’at sebelum shalat jum’at, juga bahkan ada yang melaksanakan shalat setelah shubuh dan ashar. Adakah landasan mengenai hal ini?

            Mengenai 2 raka’at sebelum shalat maghrib dan 2 raka’at sebelum shalat isya’, maka ia tetap disunnahkan namun bukan merupakan shalat rawatib akan tetapi masuk dalam kategori shalat mutlak, hal ini berlandaskan dalil umum yang diriwayatkan oleh Ibnu Mughaffal Al-Muzani radhiyallhu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ قَالَهَا ثَلَاثًا قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ

“Di antara setiap dua adzan (azan dan iqamah) itu ada shalat (sunnah).” Beliau mengulanginya hingga tiga kali. Dan pada kali yang ketiga beliau bersabda, “Bagi siapa saja yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 588 dan Muslim no. 1384)

Adapun setelah shubuh dan ashar, maka tidak ada shalat sunnah rawatib saat itu. Bahkan terlarang untuk shalat sunnah mutlak pada waktu itu, karena kedua waktu itu termasuk dari lima waktu terlarang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:

شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Orang-orang yang di ridhai mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling aku ridhai adalah Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit, dan setelah Ashar sampai matahari terbenam.” (HR. Al-Bukhari no. 547 dan Muslim no. 1367)

            Sedangkan shalat rawatib sebelum Shalat Jum’at, maka tak ada dalil yang mensyari’atkannya. Hanya saja ada shalat mutlak yang dilakukan sebelum khathib naik ke mimbar yang disebut dengan shalat intizhar. Shalat intizhar ini sendiri dilakukan sebelum azan dikumandangkan sehingga tidak bisa dikategorikan shalat rawatib. Riwayat mengenai hal ini adalah hadits dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَتَطَهَّرَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ثُمَّ ادَّهَنَ أَوْ مَسَّ مِنْ طِيبٍ ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى

“Barangisapa yang mandi di hari Jum’at, lalu dia bersuci semampunya, kemudian memakai minyak rambut atau minyak wangi, kemudian pergi dan tidak memisahkan dua orang yang sedang duduk berdampingan, kemudian shalat sekehendaknya, kemudian apabila Imam keluar (dan naik mimbar) dia diam, maka akan diberikan ampunan untuk dia antara Jum’at itu sampai Jum’at mendatang.” (HR. Al-Bukhari no. 859)


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Hadits Palsu Sumpah Suami Saat Akad Untuk Menanggung Dosa Istrinya

“Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain. Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1229)


Bismillah, Telah beredar suatu broadcast berupa foto di masyarakat khususnya di Media Sosial seperti Facebook atau Instagram suatu perkataan dusta yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Isi foto tersebut adalah:

"Saya terima nikahnya si anu binti si anu dengan mas kawinnya bla bla di bayar tunai..."

Aku pernah baca bahwa ucapan yang singkat dan padat tersebut memiliki makna tersirat.

"Maka aku tanggung dosa-dosanya si dia dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yang telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan sholat. Semua yang berhubungan dengan si dia, aku tanggung dan bukan lagi orang tuanya yang menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa calon anak-anakku." Jika aku gagal, maka aku adalah suami yang fasik, ingkar dan aku rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku.” (HR. Muslim)

Penjelasan

Tidak ada satu pun dalam kitab hadits mana pun hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi seperti itu. Bahkan tak ada satu riwayat pun dari para sahabat, para salaf juga para ulama mengenai hal ini. Sungguh ini adalah sebuah kedustaan besar terhadap Imam Muslim rahimahullah karena menyandarkan pada periwayatan beliau dan juga terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlalu berani sang pemalsu hadits ini untuk membuat hadits yang jika dilihat dari matan (redaksi) haditsnya saja lebih cocok disebut script sinetron daripada disebut hadits. Sang pemalsu ini adalah orang yang terlampau jahil karena telah berani mempermainkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi ini mengenai syari’at yang berhubungan dengan sumpah. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain. Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1229)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menghentikan peredaran hadits palsu ini. Sungguh agama islam ini akan tetap murni jika umat Muslim ingin belajar lebih dalam mengenai ilmu agama khususnya Al-Quran dan Al-Hadits. Sehingga umat bisa dengan mudah membedakan Al-Haq dan Bathil. Hanya saja sayang, halaqah dan kajian Islam atau bahasa awamnya Ngaji itu tidak seramai konser Musik yang jelas-jelas Haram. Padahal demi Allah, Ngaji itu adalah sumber hidayah utama bagi kita, dengan mengaji maka akan bertambah keilmuan kita juga ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Apakah suami bertanggung jawab kepada Istri?

Iya tentu saja, tanggung jawab seorang suami kepada istri adalah dalam bentuk tanggung jawab kepemimpinan atas mereka. Seorang suami wajib untuk mendidik istrinya, menafkaninya, melindunginya dan kewajiban lain sebagai seorang suami. Namun bila ternyata istri tetap membangkang, padahal suami telah menunaikan kewajibannya dengn baik, seperti membangkangnya istri Nabi Nuh ‘alaihis salam atas beliau atau istri Nabi Luth ‘alaihis salam atas beliau, apakah seorang suami bertanggung jawab atas dosa-dosa istrinya tersebut?  Tentu tidak! Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

أَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Bahwa seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain, dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang sudah ia usahakannya.” (QS. An-Najm [53] : 38-39)

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Tanda-Tanda Baligh

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1423)


Baligh secara bahasa memiliki makna sampai, maksudnya telah sampainya seseorang pada tahap kedewasaan. Baligh sendiri adalah suatu masa dimana seseorang mulai dibebani dengan beberapa hukum syari’at atau taklif. Dan orang yang sudah dibebani hukum syari’at disebut dengan mukallaf. Akan tetapi perlu diperhatikan juga bahwa bahwa semua mukallaf adalah baligh, akan tetapi tidak semua baligh adalah mukallaf, karena ada beberapa golongan yang sudah masuk kategori baligh namun tidak mukallaf (tidak dibebani beban syari’at), yaitu contohnya orang gila. Maka dari hal inilah diambil istilah aqil baligh yang bermakna seseorang yang telah mencapai kondisi baligh dan berakal sehat atau mampu membedakan antara yang benar dan yang salah.

Artinya, bahwasanya seseorang yang mukallaf atau diberikan beban syari’at adalah jika dia telah baligh, berakal dan mengerti terhadap hukum syari’at tersebut. Jika tidak memenuhi hal ini maka tak ada beban syari’at bagi dirinya. Termasuk di dalamnya adalah orang yang hilang akal baik karena penyakit gila maupun tidur. Dalil yang digunakan adalah hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَشِبَّ وَعَنِ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1423)

Semua ulama fiqih sepakat bahwa aqil baligh menjadi syarat mutlak dalam ibadah dan muamalah. Dalam ibadah, berakal menjadi syarat wajib shalat, puasa, dan sebagainya. Dalam muamalah, terutama masalah pidana dan perdata. Karena begitu pentingnya mengenai aqil baligh ini, maka seseorang wajib mengetahui batasan antara baligh dan belum baligh, karena batasan ini menjadi patokan seseorang mulai dihitung amal kebaikannya dan keburukannya.

Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami rahimahullah dalam Matan Safiinatun Najah fi Ushulid Dini wal Fiqhi membagi tanda-tanda baligh menjadi tiga, dimana ketika seseorang sudah mengalami salah satu dari tanda ini maka telah balighlah ia dan wajiblah dia melaksanakan hukum-hukum syari’at, Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami rahimahullah berkata:

علامات البلوغ ثلاث : تمام خمس عشرة سنه في الذكروالأنثى والاحتلام في الذكر والأنثى لتسع سنين و الحيض في الأنثى لتسع

Tanda-tanda baligh ada tiga, yaitu: 1) Berusia seorang laki-laki atau wanita lima belas tahun, 2) Ihtilam bagi laki-laki dan wanita ketika melewati sembilan tahun dan 3) Keluar darah haidh sesudah berusia sembilan tahun.

1. Berusia seorang laki-laki atau wanita lima belas tahun

Jika seseorang telah berusia lima belas tahun baik bagi laki-laki maupun wanita, maka telah masuklah ia kedalam masa baligh walaupun dia belum pernah mengalami ihtilam maupun haidh bagi wanita. Masa lima belas tahun dihitung sejak kelahiran hingga seseorang berusia lima belas tahun dalam kalender hijriyah. Dalil yang dijadikan landasan penetapan usia 15 tahun sebagai batas usia baligh adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

عَرَضَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ فِي الْقِتَالِ، وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعَرَضَنِي يَوْمَ الْخَنْدَقِ، وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَنِي

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun.  Beliau pun memperbolehkanku.”

قَالَ نَافِعٌ: فَقَدِمْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَهُوَ يَوْمَئِذٍ خَلِيفَةٌ، فَحَدَّثْتُهُ هَذَا الْحَدِيثَ، فَقَالَ: إِنَّ هَذَا لَحَدٌّ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ

Nafi’ berkata: “Aku datang kepada Umar bin Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, lalu aku beri tahu tentang hadits tersebut. Kemudia ia berkata : “Sungguh ini adalah batasan antara kecil dan besar’.” (HR. Al-Bukhari no. 2664 dan Muslim no. 1868)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan dalil bahwa batasan baligh adalah usia lima belas tahun dan ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi'i, Imam Al-Auza'i, Imam Ibnu Wahab, Imam Ahmad dan yang lainnya. Mereka menjelaskan bahwa dengan sempurnanya usia lima belas tahun, seseorang sudah dihukumi mukallaf meskipun belum pernah mimpi basah, maka hukum-hukum menyangkut kewajiban ibadah dan lainnya mulai diberlakukan baginya.” (Syarah Muslim, Jilid 13 hal. 12)

            Namun perlu diperhatikan juga bahwa walaupun hadits ini shahih, akan tetapi belum menunjukan secara pasti bahwa usia lima belas tahun adalah batas usia baligh. Karena ada kemungkinan bahwa pelarangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bukan karena faktor baligh, namun bisa jadi karena masih kecilnya Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma kala itu sehingga dipandang belum mempunyai kecakapan untuk berperang. Hal ini pun dapat dilihat dari ijtihad Umar bin Abdul Aziz rahimahullah yang hanya menandakan usia tersebut sebagai batas besar dan kecil untuk ikut berperang. Bukan baligh dan tidak baligh.

            Akan tetapi mayoritas ulama khususnya dari Madzhab Syafi’i dan Hanbali serta sebagian kecil pendapat ulama dari madzhab Hanafi dan Maliki tetap menjadikan hadits ini sebagai patokan bahwa usia lima belas tahun adalah batasan baligh seseorang. Karena dari matan hadits di atas pun besar kemungkinan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma kala itu dilarang berperang oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam karena belum mencapai usia baligh.

Imam As-Subki rahimahullah menjelaskan hikmah ditetapkannya usia lima belas tahun sebagai batasan usia baligh karena pada usia itulah bangkit dan menguatnya syahwat seksual, begitu juga syahwat dalam hal-hal lain seperti makanan. Syahwat tersebutlah yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak patut dikerjakan. Syahwat-syahwat tersebut harus dikekang dan dikendalikan dengan tali ketakwaan agar seseorang tidak menuruti syahwatnya dengan diberikan perjanjian-perjanjian dan juga ancaman. Selain itu, pada usia inilah kesempurnaan akal seseorang dan juga kekuatan fisiknya, karena itu diperlukan pengarahan berupa hukum-hukum yang mengikat karena kuatnya dorongan syahwat dan pemikiran dan dirasa sudah mampu nenerima hukuman apabila menyimpang. (Al-Asybah wan Nadha'r, hal. 223)

2. Ihtilam bagi laki-laki dan wanita ketika melewati sembilan tahun.

Ihtilam adalah keluarnya mani baik karena bermimpi atau karena hal lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: “Para ulama telah berijma’ bahwasannya ihtilam pada laki-laki dan wanita mewajibkan dengannya (untuk diberlakukannya) ibadah, hudud, dan seluruh perkara hukum.” (Fathul Bari, Jilid 5 hal. 277)

Dalil yang menjadi landasan bahwa ihtilam merupakan tanda-tanda seseorang mencapai baligh adalah:

a.       Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum mencapai ”hulm” (ihtilam) di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai ”hulm” (ihtilam/usia baligh), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin.” (QS. An-Nur [24] : 58-59)

Dari ayat diatas bisa diambil suatu hukum bahwa ihtilam menjadi batas kewajiban bagi seorang anak untuk meminta izin di semua waktu ketika ia hendak masuk ke kamar orang tuanya. Sedangkan jika anak tersebut belum mencapai ihtilam maka ia hanya dibebankan untuk meminta izin di tiga waktu saja dan bahkan tidak mengapa baginya masuk tanpa izin selain di tiga waktu tersebut.

b.       Hadits dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu:

نَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ أَمَرَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارً

“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam mengutusnya ke Yaman dan memerintahnya untuk mengambil dari setiap orang yang telah ihtilam satu dinar.” (HR. An-Nasa’i no. 2450, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 19155 dan Ahmad no. 21532)

c.       Hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda:

غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ ، وَيَمَسُّ مِنَ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ

“Mandi pada hari Jum’at (sebelum menunaikan shalat Jum’at) adalah kewajiban bagi setiap orang yang telah ihtilam, demikian pula bersiwak dan memakai wewangian semampunya.” (HR. Al-Bukhari no. 880 dan Muslim no. 846)

3. Keluar darah haidh sesudah berusia sembilan tahun

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: “Para ulama telah berijma’ bahwasannya haidh merupakan tanda baligh bagi wanita.” (Fathul Bari, Jilid 5 hal. 277) Selain itu berkembangnya alat reproduksi pada wanita seperti membesarnya payu dara pun merupakan tanda-tanda seorang wanita telah memasuki masa baligh. Dalil yang melandasi hal ini adalah hadits dari Fathimah binti Abu Hubaisy radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا أَقبَلَتْ حَيضَتُكِ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي

“Apabila datang haidhmu maka tinggalkanlah shalat, dan bila telah berlalu mandilah kemudian shalatlah.” (HR. Al-Bukhari no. 228 dan Muslim no. 751)

Dari hadits diatas bisa diambil suatu hukum bahwa seorang wanita diharamkan untuk shalat ketika sedang haidh. Akan tetapi diwajibkan shalat ketika haidh itu telah selesai, artinya seorang wanita yang sudah mengalami haidh maka terbebanlah syari’at kepadanya sehingga hal ini menjadi landasan bahwa haidh adalah batasan seorang wanita memasuki usia baligh.

Sedangkan batasan usia sembilan tahun bagi wanita yang berada pada tanda baligh yang kedua dan ketiga merupakan batasan bahwa seorang wanita sudah dewasa dan boleh untuk dinikahi asalkan telah memenuhi syarat pernah mengalami ihtilam atau sudah keluar darah haidh, jika belum pernah ihtilam atau belum keluar darah haidh maka batasan usia balighnya adalah lima belas tahun sebagaimana tanda baligh yang pertama. Dalil pengambilan usia Sembilan tahun adalah sebagaimana keterangan dari Aisyah ‘radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku ketika aku berusia 6 tahun. Dan beliau kumpul bersamaku ketika aku berusia 9 tahun.” (HR. Al-Bukhari no. 3894 dan Muslim no. 1422)

Usia paling muda waktu keluar darah haidh bagi seorang anak wanita, ialah berumur 9 tahun Qamariyah Taqriban (kira-kira). Adapun pengertian taqriban atau kira-kira ialah, apabila seorang anak wanita yang cukup umur 9 tahun kurang 16 hari dan malamnya ke atas (waktu yang cukup digunakan paling sedikitnya haidh dan paling sedikitnya suci), mengeluarkan darah, maka tidak dihukumi haid, tetapi dihukumi darah istihadhah atau darah kotor. (Fathul Qarib pada Hamisy Al Bajuri, Jilid 1 hal. 112)

Adapun pada waktu mengeluarkan darah seorang wanita, sudah berusia 9 tahun kurang dibawahnya 16 hari dan malam (waktu yang tidak cukup untuk paling sedikitnya haidh serta paling sedikitnya suci) maka dihukumi darah haidh. Apabila seorang wanita mengeluarkan darah beberapa hari yang sebagian sebelum waktunya bisa haidh, dan yang sebagian lagi setelah waktunya bisa haidh, maka darah yang pertama dihukumi darah istihadhah dan darah yang akhir dihukumi darah haidh.

Contoh, seorang anak wanita cukupnya umur 9 tahun masih kurang 20 hari dan malam, lalu ia mengeluarkan darah lagi lamanya 10 hari dan malam, maka darah yang pertama selama 4 hari dan malam lebih sedikit, dihukumi darah istihadhah, karena kurangnya dari cukup umur 9 tahun masih cukup untuk haidh serta suci. Adapun darah yang tertinggal, yang lamanya 6 hari dan malam, kurang sedikit, dihukumi darah haidh, karena kurangnya dari cukup umur 9 tahun sudah tidak cukup untuk haidh serta suci (Hasyiyah Al-Jamal ‘ala Syarhi Al-Minhaj, Jilid 1 hal. 236)

Tumbuhnya Bulu Kemaluan

Ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, apakah tumbuhnya bulu kemaluan termasuk tanda-tanda baligh atau bukan. Madzhab Hanafi secara mutlak menyatakan bahwa tumbuhnya bulu kemaluan bukan merupan tanda-tanda baligh, sedangkan madzhab Maliki dan Hanbali menyatakan itu merupakan tanda-tanda baligh secara mutlak dan madzhab Asy-Syafi’I berpendapat bahwa tumbuhnya bulu kemaluan merupakan tanda-tanda baligh bagi orang kafir. Dalil yang diperbincangkan dalam hal ini adalah hadits dari Athiyyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

عُرِضْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظَةَ فَكَانَ مَنْ أَنْبَتَ قُتِلَ، وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ خُلِّيَ سَبِيلُهُ، فَكُنْتُ مِمَّنْ لَمْ يُنْبِتْ فَخُلِّيَ سَبِيلِي

“Kami dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Quraidhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah), di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1584 dan An-Nasa’i no. 3429)

            Juga hadits dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اقْتُلُوا شُيُوخَ الْمُشْرِكِينَ وَاسْتَبْقُوا شَرْخَهُمْ

“Bunuhlah orang-orang tua dari kalangan kaum musyrik dan biarkanlah syarkh.” (HR. Abu Dawud no. 2670  dan At-Tirmidzi no. 1583)

Syarkh adalah anak-anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya. Namun hadits ini adalah hadits dha’if sehingga tidak bisa dijadikan landasan.

            Jika diperhatikan dari hadits Athiyyah radhiyallahu ‘anhu maka pendapat yang mendekati kebenaran adalah bahwasanya tumbuhnya bulu kemaluan merupakan tanda baligh tapi hanya untuk orang kafir atau musyrik karena konteks hadits itu ditunjukan bagi orang kafir yaitu bagi para pengkhianat dari Bani Quraidhah. Begitupula dalam hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, jika seandainya hadits itu tidak dha’if maka jelaslah bahwa tumbuhnya bulu kemaluan merupakan tanda baligh bagi orang kafir atau musyrik. Wallahu a’lam.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top