Apakah Al-Quran Benar-Benar Asli? Ini Jawaban Syeikh Dr. Zakir Naik Al-Hindi

“Carilah kebenaran dan kebenaran akan membebaskanmu.” (Injil Yohanes 8 : 32)



Seorang mahasiswa Filsafat bernama Peter, bertanya kepada Syeikh Dr. Zakir Naik Al-Hindi hafizhahullah apakah Quran di zaman sekarang masih otentik? Pasalnya, di Zaman Utsman ada perintah pembakaran teks Quran selain Mushaf Utsmani.

Pertanyaan

“Namaku Peter, aku seorang mahasiswa filsafat. Pertanyaanku adalah tentang keotentikan teks Al-Quran. Ketika Abu Bakar memerintahkan Zaid mengumpulkan teks Quran bersama-sama, tertulis dalam Al Bukhari vol 5 hal 96: Abdullah bin Mas’ud adalah orang yang ditunjuk oleh Nabi Muhammad. Dia mengumpulkan teksnya. Kemudian Salim, budak yang dimerdekakan juga mengumpulkan teks Qurannya. Dan juga Ubay bin Ka’ab, seorang qari’ handal yang disebutkan Nabi Muhammad. Dan juga ada orang lain yangmengumpulkan teks mereka sendiri.

Tapi ketika Utsman menjadi khalifah, dia memerintahkan Zaid untuk membuat 7 replika dari teksnya dan menyebarkannya ke berbagai wilayah. Dia juga menyuruh membakar teks-teks Quran yang lain.

Jadi, jika seorang qari’ handal menyusun Quran sedangkan Utsman memerintahkan untuk membakar teks Quran tersebut, maka timbul pertanyaan apakah Quran otentik?”

Jawaban Syaikh Dr. Zakir Naik hafizhahullah

Masya Allah. Saudara ini tahu tentang Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Masya Allah. Banyak muslim yang tidak tahu nama-nama ini.

Kau tahu, sekarang mudah mengakses internet. Yesus Kristus berkata dalam Injil Yohanes 8 : 32, “Carilah kebenaran dan kebenaran akan membebaskanmu.”

Sekarang ada internat, banyak orang mengakses internet dan ada berbagai website yang menentang Islam, mereka punya banyak artikel yang menuduh. Tidak masalah saudara. Tidak masalah.

Saudara, berkenaan dengan pertanyaanmu, ada sejumlah sahabat Rasulullah yang mengumpulkan Quran. Kapan pun Rasulullah mendapat wahyu, beliau mengulangi wahyu itu kepada para penulis ini.

Misalnya, beliau mendapat wahyu, dan masya Allah, Nabi Muhammad punya ingatan yang sangat baik, Allah membuatnya memiliki memori luar biasa, beliau ulangi wahyu dari Allah. Ketika beliau mengulanginya, para penulis menuliskannya.

Selesai ditulis, Rasulullah memeriksanya. “Ah, itu benar.” Jadi Rasulullah sendiri yang mengecek ketika beliau masih hidup. Ayat Quran mana yang ditulis, beliau yang memeriksa apakah ayatnya sudah benar atau tidak. Dan para penulis ini dipilih sendiri oleh Rasulullah. Dan beginilah caranya ketika wahyu terus turun selama 22,5 tahun. Semuanya ditulis dan kemudian dikumpulkan menjadi satu kitab. Semuanya diawasi oleh Rasulullah, bahkan urutannya juga.

Dan di kemudian hari, ada banyak orang lain. Kapan pun Rasulullah mengucapkan sebuah ayat yang diwahyukan mereka menulis cacatan mereka sendiri. Banyak sahabat. Tapi catatan pribadi yang ditulis orang lain ini, tidak dicek oleh Rasulullah.

Misalnya seorang guru memberikan catatan, 100 muridnya menyalin. Bagaimana si guru tahu salinannya benar atau salah?

Jika aku memberikan ceramah, jika sebagian orang mencatatnya, surat kesekian ayat kesekian, seberapa akurat mereka menuliskannya? Dan jika tidak ada yang mengeceknya mereka berkata, “Dr. Zakir Naik mengatakan begini dan begini.” Kapan aku mengatakannya? Ini karena aku tidak mengecek catatan mereka.

Jadi yang terjadi, di kemudian hari banyak catatan-catatan orang lain yang terselip pada Quran. Artinya, orang-orang mengira bahwa catatan mereka adalah bagian dari Al-Quran. Jadi ketika Islam tersebar, orang-orang tidak tahu manakah yang merupakan Quran yang benar.

Jadi pada waktu itu, mushaf Al-Quran yang telah dicek Rasulullah diserahkan Abu Bakar kepada istri Rasulullah, Hafshah. Dan kemudian Ustman memerintahkan untuk menyalin teks tersebut dan direplikasi sehingga bisa dikirim ke berbagai belahan dunia dan kemudian dia berkata, “Salinan apapun yang kau miliki, entar benar atau salah, bakarlah.”

Ini karena salinan yang lain belum dicek. Jadi karena orang-orang punya catatan mereka sendiri, misalnya seseorang mencatat ceramahku, lihatlah banyak orang yang mencatatnya sekarang. Mungkin 80% benar, 90% benar, tapi 100% benar itu sulit. Benar? 100% benar itu sulit.

Bahkan meskipun ia 100% benar, jika aku memberikan kepadamu, “inilah buku dari ceramahku.” Kau tahu bahwa kau akan dapat buku dari ceramah ini: Quran and Modern Sciences, yang telah dicek kebenarannya olehku, buang saja catatanmu.

Kenapa kau butuh catatan? Karena kau telah kuberikan bukuku dan mungkin saja kau tidak mencatat keseluruhan ceramahku, kau hanya mendengar sebagian dari ceramahku.

Jadi kuberitahu padamu, “Saudara, buanglah catatanmu. Bukuku inilah yang benar. Sudah dicek olehku sendiri: Dr. Zakir Naik.”

Jadi begitu juga, apapun wahyu dari Allah yang telah dicek sendiri oleh Rasulullah. Utsman berkata, “semua salinan yang lain harus dibakar.”

Ini bukan berarti Quran berbeda-beda versinya. Hanya ada satu Quran yang diwahyukan. Tapi ketika orang-orang memasukkan catatan pribadi mereka, maka ada perbedaan. Jadi itulah mengapa sekarang, salah satu salinan Qurannya masih ada di Museum Topkapi di Istanbul.

Dan jika kamu mengecek kesamaannya dengan Quran zaman sekarang, ini 100 persen sama, baik kata demi kata, huruf demi huruf. Bahkan jika kau mencoba mengubahnya, kau tidak bisa karena di zaman sekarang ada jutaan orang yang telah menghafal Al-Quran. Dan di sini masya Allah banyak para hufadz. Bahkan jika kau membakar semua Quran, kau satukan hufadz bersama-sama, maka mereka bisa menuliskan kembali Quran yang sama, kata demi kata, huruf demi huruf. 

Berikut Video Selengkapnya :

 

Adab Sebelum Makan dan Minum

“Berkumpulah kalian dalam menyantap makanan kalian (bersama-sama), (karena) di dalam makan bersama itu akan memberikan berkah kepada kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3764)



            Islam adalah agama yang sangat komplek dimana segala sesuatu telah diatur di dalamnya dari mulai mengenai perkara yang luas seperti masalah pemerintahan yang berhubungan dengan orang banyak hingga masalah yang sangat kecil seperti makan dan minum pun telah di atur dalam islam. Pada kesempatan kali ini penulis ingin menjelaskan mengenai adab makan dan minum. Untuk mempermudah sahabat untuk mengambil faidah dari artikel penulis mengenai adab makan dan minum, maka penulis akan membagi adab makan dan minum ini menjadi 3 bagian yaitu adab sebelum makan dan minum, adab ketika makan dan minum dan adab setelah makan dan minum. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan.

Adab sebelum makan dan minum

1 – Hendaklah mencari atau mendapatkan makanan dan minuman yang halal baik secara dzatnya maupun cara mendapatkannya.

            Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 172)

2 – Meluruskan niat tujuan dalam makan dan minum hanya untuk menguatkan badan sehingga mampu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga makan dan minumnya tersebut akan tercatat sebagai pahala.

3 – Mencuci kedua tangan sebelum makan

            Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وَإِذَا َأرَادَ أَنْ يَأْكُلَ غَسَلَ يَدَيْهِ

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur sedangkan beliau dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’ terlebih dahulu dan apabila hendak makan, maka beliau mencuci kedua tangannya terlebih dahulu.” (HR. An-Nasai dan Ahmad. Lihat Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah no. 390)

4 – Meletakkan hidangan makanan di atas sufrah

            Sufrah adalah alas yang biasa di pakai untuk meletakkan makanan dapat berupa tikar maupun kain yang digelar di atas lantai dan tidak diletakkan di atas meja makan. Hal ini menunjukan sikap tawadhu’. Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا أَكَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلاَ فِيْ سُكُرُّجَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah makan di atas meja makan dan tidak pula di atas sukurrujah.” (HR. Al-Bukhari no. 5415)

            Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari Jilid 9, hal. 532 berkata: “Guru kami berkata dalam Syarah At-Tirmidzi, “Sukurrujah itu tidak digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya karena kebiasaan mereka makan bersama-sama dengan menggunakan shahfah yaitu piring besar untuk makan lima orang atau lebih. Dan alasan yang lainnya adalah karena makan dengan sukurrujah itu menjadikan mereka merasa tidak kenyang.”

5 – Duduk di atas kedua lututnya atau duduk di atas punggung kedua kaki atau berposisi dengan kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri.

            Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ

“Aku tidak pernah makan sambil bersandar, aku hanyalah seorang hamba, aku makan sebagaimana layaknya seorang hamba dan aku pun duduk sebagaimana layaknya seorang hamba.” (HR. Al-Bukhari no. 5399)

6 – Merasa ridha terhadap makanan dan minuman yang telah dihidangkan

            Bentuk keridhaannya adalah dengan bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak mencela makanan yang telah dihidangkan. Jika kita menyukai makanan itu maka makanlah dan jika tidak suka maka tinggalkanlah namun jangan mencelanya.

            Dalam sebuah riwayat yang shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا عَابَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعاَماً قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَ إِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mencela makanan, apabila beliau berselera, (menyukai makanan yang telah dihidangkan) beliau memakannya, sedangkan kalau tidak suka (tidak berselera), maka beliau meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3563, Muslim no. 2064 dan Abu Dawud no. 3764)

7 – Makan secara bersama-sama (berjama’ah)

            Sudah merupakan kepastian bahwa termasuk yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah makan bersama-sama (berjama’ah) karena makan dengan cara seperti ini akan menyebabkan turunnya barakah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Banyak hadits yang menyatakan tentang hal ini antara lain:

اِجْتَمِعُوْا عَلَى طَعاَمِكُمْ يُبَارِكْ لَكُمْ فِيْهِ

“Berkumpulah kalian dalam menyantap makanan kalian (bersama-sama), (karena) di dalam makan bersama itu akan memberikan berkah kepada kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3764. Lihat Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah no. 664)

أَحَبُّ الطَّعَامِ إِلَى اللهِ مَا كَثُرَتْ عَلَيْهِ اْلأَ يْدِي

“Makanan yang paling dicintai oleh Allah adalah bila banyak tangan.” (berjama’ah pada makanan tersebut).” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 895)

فَاجْتَمِعُوْا عَلَى طَعَا مِكُمْ وَاذْكُرُوْا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيْهِ

“Berjama’ahlah kalian pada makan kalian dan bacalah nama Allah, niscaya Allah akan menurunkan barakah.” (HR. Ibnu Majah)

            Demikianlah adab sebelum makan dan minum, semoga sahabat bisa mengambil faidah dari artikel ini. Wallahu ‘alam.

Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu an laa ilaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik.

Bantahan Syubhat Yang Menolak Bahwa Orangtua Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Adalah Kafir

“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.” (HR. Muslim no. 203)


Sebagian orang-orang yang datang belakangan menolak ’aqidah bahwa orangtua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kafir dan masuk neraka dimana mereka membuat khilaf setelah adanya ijma’ (tentang kekafiran kedua orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Mereka mengklaim bahwa kedua orang tua beliau termasuk ahli surga. Yang paling menonjol dalam membela pendapat ini adalah Al-Hafizh As-Suyuthi. Ia telah menulis beberapa judul khusus yang membahas tentang status kedua orang tua Nabi seperti : Masaalikul Hunafaa fii Waalidayal Musthafaa, At-Ta’dhiim wal Minnah fii Anna Abawai Rasuulillah fil Jannah, As-Subulul Jaliyyah fil Aabaail ’Aliyyah, dan lain-lain. Kemudian setelah itu muncul pula orang-orang jahil yang menolak dengan berbagai alasan dan dalih dan menolak serta mendustakan dalil-dalil yang matsur shahih dan sharih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Bantahan terhadap Syubuhat

1. Mereka menganggap bahwa kedua orang tua nabi termasuk ahli fatrah sehingga mereka dimaafkan.

Bantahan:

Definisi fatrah menurut bahasa kelemahan dan penurunan (Lisanul ’Arab oleh Ibnul Mandzur 5/43). Adapun secara istilah, maka fatrah bermakna tenggang waktu antara dua orang Rasul, dimana ia tidak mendapati Rasul pertama dan tidak pula menjumpai Rasul kedua” (Jam’ul Jawaami’ 1/63). Hal ini seperti selang waktu antara Nabi Nuh dan Idris ‘alaihimas salam serta seperti selang waktu antara Nabi ‘Isa ‘alaihis salam dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Definisi ini dikuatkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلا نَذِيرٍ

“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan: “Tidak datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” (QS. Al-Maidah : 19)

Ahli fatrah terbagi menjadi dua macam:

  1. Yang telah sampai kepadanya ajaran Nabi.

  1. Yang tidak sampai kepadanya ajaran/dakwah Nabi dan dia dalam keadaan lalai.

Golongan pertama di atas dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama, Yang sampai kepadanya dakwah dan dia bertauhid serta tidak berbuat syirik. Maka mereka dihukumi seperti ahlul-islam/ahlul-iman. Contohnya adalah Waraqah bin Naufal, Qus bin Saa’idah, Zaid bin ’Amr bin Naufal, dan yang lainnya. Kedua, Yang tidak sampai kepadanya dakwah namun ia merubah ajaran dan berbuat syirik. Golongan ini tidaklah disebut sebagai ahlul-islam/ahlul iman. Tidak ada perselisihan di antara ulama bahwa mereka merupakan ahli neraka. Contohnya adalah ’Amr bin Luhay, Abdullah bin Ja’dan, shahiibul mihjan, kedua orang tua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Thalib, dan yang lainnya. Golongan kedua, maka mereka akan diuji oleh Allah kelak di hari kiamat.

Kedua orang tua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memang termasuk ahli fatrah, namun telah sampai kepada mereka dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Maka, mereka tidaklah dimaafkan akan kekafiran mereka sehingga layak sebagai ahli neraka.

2. Hadits-hadits yang menceritakan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke dunia, lalu mereka beriman kepada ajaran beliau.

Bantahan:

Di antara hadits-hadits tersebut adalah:

عن عائشة رضي الله عنها قالت: حج بنا رسول الله حجة الوداع ، فمرّ بي على عقبة الحجون وهو باكٍ حزين مغتم فنزل فمكث عني طويلاً ثم عاد إلي وهو فرِحٌ مبتسم ، فقلت له فقال : ذهبت لقبر أمي فسألت الله أن يحييها فأحياها فآمنت بي وردها الله

“Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha ia berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan haji bersama kami dalam haji wada’. Beliau melewati satu tempat yang bernama Hajun dalam keadaan menangis dan sedih. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam turun dan menjauh lama dariku kemudian kembali kepadaku dalam keadaan gembira dan tersenyum. Maka akupun bertanya kepada beliau (tentang apa yang terjadi), dan beliau pun menjawab: ”Aku pergi ke kuburan ibuku untuk berdoa kepada Allah agar Ia menghidupkannya kembali. Maka Allah pun menghidupkannya dan mengembalikan ke dunia dan beriman kepadaku.” (HR. Ibnu Syahin dalam An-Nasikh wal-Mansukh no. 656, Al-Jauzaqani dalam Al-Abathil 1/222, dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’at 1/283-284)

Hadits ini tidak shahih karena perawi yang bernama Muhammad bin Yahya Az-Zuhri dan Abu Zinaad. Tentang Abu Zinaad, maka telah berkata Yahya bin Ma’in: Ia bukanlah orang yang dijadikan hujjah oleh Ashhaabul-Hadiits, tidak ada apapanya”. Ahmad berkata: “Orang yang goncang haditsnya (mudhtharibul hadits)”. Berkata Ibnul Madini: “Menurut para shahabat kami ia adalah seorang yang dla’if”. Ia juga berkata pula: “Aku melihat Abdurrahman bin Mahdi menulis haditsnya”. An-Nasa’i berkata: “Haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah”. Ibnu ’Adi berkata: “Ia termasuk orang yang ditulis haditsnya”. Ringkasnya, maka ia termasuk perawi yang ditulis haditsnya namun riwayatnya sangat lemah jika ia bersendirian.

Adapun Muhammad bin Yahya Az-Zuhri, maka Ad-Daruquthni berkata: “Matruk”. Ia juga berkata: “Munkarul-Hadits, ia dituduh memalsukan hadits.” (Lisanul Mizan, 4/234)

Dengan melihat kelemahan itu, maka para ahli hadits menyimpulkan sebagai berikut: Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’at (1/284) berkata: ”Palsu tanpa ragu lagi”. Ad-Daruquthni dalam Lisaanul Mizan (biografi ’Ali bin Ahmad Al-Ka’by): ”Munkar lagi bathil”. Ibnu ’Asakir dalam Lisanul Mizan (4/111): ”Hadits munkar”. Adz-Dzahabi berkata (dalam biografi ’Abdul Wahhab bin Musa): ”Hadits ini adalah dusta.”

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا كان يوم القيامة شفعت لأبي وأمي وعمي أبي طالب وأخ لي كان في الجاهلية

“Dari Ibnu ’Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ”Pada hari kiamat nanti aku akan memberi syafa’at kepada ayahku, ibuku, pamanku Abu Thalib, dan saudaraku di waktu Jahiliyyah.” (HR. Tamam Ar-Razi dalam Al-Fawaaid 2/45)

Hadits ini adalah palsu karena rawi yang bernama Al-Waliid bin Salamah. Ia adalah pemalsu lagi ditinggalkan haditsnya. (Al-Majruhiin oleh Ibnu Hibban 3/80 dan Mizaanul I’tidaal oleh Adz-Dzahabi 4/339). Pembahasan selengkapnya hadits ini dapat dibaca dalam Silsilah Al-Ahaadits Adh-Dha’iifah wal Ma’udhu’ah oleh Asy-Syaikh Al-Albani no. 322.

عن علي مرفوعاً : « هبط جبريل علي فقال إن الله يقرئك السلام ويقول إني حرمت النار على صلبٍ أنزلك وبطنٍ حملك وحجرٍ كفلك »

“Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu secara marfu’: ”Jibril turun kepadaku dan berkata: ’Sesungguhnya Allah mengucapkan salaam dan berfirman: Sesungguhnya Aku haramkan neraka bagi tulang rusuk yang telah mengeluarkanmu (yaitu Abdullah), perut yang mengandungmu (yaitu Aminah), dan pangkuan yang merawatmu (yaitu Abu Thalib).” (HR. Al-Jauzaqani dalam Al-Abaathil 1/222-223 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at 1/283)

Hadits ini adalah palsu (maudlu’) tanpa ada keraguan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (1/283) dan Adz-Dzahabi dalam Ahaadiitsul-Mukhtarah no. 67.

Dan hadits lain yang senada yang tidak lepas dari status sangat lemah, munkar, atau palsu.

3. Hadits-hadits yang menjelaskan tentang kafirnya kedua orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dinasakh (dihapus) oleh hadits-hadits yang menjelaskan tentang berimannya kedua orang tua beliau.

Bantahan:

Klaim nasakh hanyalah diterima bila nash naasikh (penghapus) berderajat shahih. Namun, kedudukan haditsnya yang dianggap naasikh adalah sebagaimana yang kita lihat (sangat lemah, munkar, atau palsu). Maka bagaimana bisa diterima hadits shahih di-nasakh oleh hadits yang kedudukannya sangat jauh di bawahnya ? Itu yang pertama. Adapun yang kedua, nasakh hanyalah ada dalam masalah-masalah hukum, bukan dalam masalah khabar. Walhasil, anggapan nasakh adalah anggapan yang sangat lemah.

Pada akhirnya, orang-orang yang menolak hal ini berhujjah dengan dalil-dalil yang sangat lemah. Penyelisihan dalam perkara ini bukan termasuk khilaf yang diterima dalam Islam (karena tidak didasari oleh hujjah yang kuat). Orang-orang Syi’ah berada pada barisan terdepan dalam memperjuangkan pendapat bathil ini. Di susul kemudian sebagian habaaib (orang yang mengaku keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) dimana mereka menginginkan atas pendapat itu agar orang berkeyakinan tentang kemuliaan kedudukan mereka sebagai keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hakekatnya, motif dua golongan ini adalah sama. Kultus individu.

Keturunan Nabi adalah nasab yang mulia dalam Islam. Akan tetapi hal itu bukanlah jaminan -sekali lagi- bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam surga dan selamat dari api neraka. Allah hanya akan menilai seseorang -termasuk mereka yang mengaku memiliki nasab mulia- dari amalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَنْ بَطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak bisa mempercepatnya”  (HR. Muslim, Lihat Arba’in An-Nawawiyyah, no. 36)

Kesimpulan: Kedua orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah meninggal dalam keadaan kafir. Wallahu a’lam.

Orangtua Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Adalah Kafir

“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.” (HR. Muslim no. 203)


Tidak dipungkiri bahwa kedudukan para Nabi dan Rasul itu tinggi di mata Allah. Namun hal itu bukanlah sebagai jaminan bahwa seluruh keluarga Nabi dan Rasul mendapatkan petunjuk dan keselamatan serta aman dari ancaman siksa neraka karena keterkaitan hubungan keluarga dan nasab. Allah telah berfirman tentang kekafiran anak Nabi Nuh ‘alaihis salam yang akhirnya termasuk orang-orang yang ditenggelamkan Allah bersama orang-orang kafir:

وَقِيلَ يَأَرْضُ ابْلَعِي مَآءَكِ وَيَسَمَآءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَآءُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيّ وَقِيلَ بُعْداً لّلْقَوْمِ الظّالِمِينَ * وَنَادَى نُوحٌ رّبّهُ فَقَالَ رَبّ إِنّ ابُنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنّ وَعْدَكَ الْحَقّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ *  قَالَ يَنُوحُ إِنّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِـي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنّيَ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim “. Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”. Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Hud : 44-46)

Allah juga berfirman tentang keingkaran Azar ayah Nabi Ibrahim ’alaihis salam:

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلاّ عَن مّوْعِدَةٍ وَعَدَهَآ إِيّاهُ فَلَمّا تَبَيّنَ لَهُ أَنّهُ عَدُوّ للّهِ تَبَرّأَ مِنْهُ إِنّ إِبْرَاهِيمَ لأوّاهٌ حَلِيمٌ

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” (QS. At-Taubah : 114)

Dan Allah pun berfirman tentang istri Nabi Luth sebagai orang yang dibinasakan oleh adzab Allah:

فَأَنجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلاّ امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ

“Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” (QS. Al-A’raf : 83)

Tidak terkecuali hal itu terjadi pada kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Mereka berdua –sesuai dengan kehendak kauni Allah subhanahu wa ta’ala– mati dalam keadaan kafir. Hal itu ditegaskan oleh beberapa nash di antaranya:

1. Al-Qur’an Al-Karim

مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (QS. At-Taubah : 113)

Sababun Nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah berkaitan dengan permohonan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam kepada Allah ta’ala untuk memintakan ampun ibunya (namun kemudian Allah tidak mengijinkannya) (Lihat Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir QS. At-Taubah : 113)

2. As-Sunnah Ash-Shahihah

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

“Dari Anas radliyallaahu ‘anhu: Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, dimanakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada ?”. Beliau menjawab : “Di neraka”. Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.” (HR. Muslim no. 203, Abu Dawud no. 4718, Ahmad no. 13861, Ibnu Hibban no. 578, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no. 13856, Abu ‘Awanah no. 289, dan Abu Ya’la no. 3516)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Di dalam hadits tersebut (yaitu hadits:  إن أبي وأباك في النار – ”Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”) terdapat pengertian bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan kafir, maka dia akan masuk neraka. Dan kedekatannya dengan orang-orang yang mendekatkan diri (dengan Allah) tidak memberikan manfaat kepadanya. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung makna bahwa orang yang meninggal dunia pada masa dimana bangsa Arab tenggelam dalam penyembahan berhala, maka diapun masuk penghuni neraka. Hal itu bukan termasuk pemberian siksaan terhadapnya sebelum penyampaian dakwah, karena kepada mereka telah disampaikan dakwah Ibrahim dan juga para Nabi yang lain shalawaatullaah wa salaamuhu ‘alaihim.” (Syarah Shahih Muslim,  3/79)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي

“Dari Abi Hurairah radliyallahu ’anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam : ”Sesungguhnya aku telah memohon ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku, dan Ia tidak mengijinkanku. Namun Ia mengijinkan aku untuk menziarahi kuburnya.” (HR. Muslim no. 976, Abu Dawud no. 3234, An-Nasa’i dalam Ash-Shughraa no. 2034, Ibnu Majah no. 1572, dan Ahmad no. 9686)

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata:

وأبواه كانا مشركين, بدليل ما أخبرنا

“Sesungguhnya kedua orang tua Nabi shallallahu ’alaihi wasallam adalah musyrik dengan dalil apa yang telah kami khabarkan….” Kemudian beliau membawakan dalil hadits dalam Shahih Muslim di atas (no. 203 dan 976) di atas (As-Sunan Al-Kubra juz 7 Bab Nikaahi Ahlisy-Syirk wa Thalaaqihim))

Al-’Allamah Syamsul-Haq ’Adhim ’Abadi berkata:

فلم يأذن لي :‏‏ لأنها كافرة والاستغفار للكافرين لا يجوز

“Sabda beliau shallallahu ’alaihi wasallam : “Dan Ia (Allah) tidak mengijinkanku”  adalah disebabkan Aminah adalah seorang yang kafir, sedangkan memintakan ampun terhadap orang yang kafir adalah tidak diperbolehkan.” (’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Kitaabul Janaaiz, Bab Fii Ziyaratil Qubur)

عن ابن مسعود رضي الله عنه قال “جاء ابنا مليكة – وهما من الأنصار – فقالا: يَا رَسولَ الله إنَ أمَنَا كَانَت تحفظ عَلَى البَعل وَتكرم الضَيف، وَقَد وئدت في الجَاهليَة فَأَينَ أمنَا؟ فَقَالَ: أمكمَا في النَار. فَقَامَا وَقَد شَق ذَلكَ عَلَيهمَا، فَدَعَاهمَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَرَجَعَا، فَقَالَ: أَلا أَنَ أمي مَعَ أمكمَا

“Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu ia berkata : Datang dua orang anak laki-laki Mulaikah –mereka berdua dari kalangan Anshar– lalu berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu kami semasa hidupnya memelihara onta dan memuliakan tamu. Dia dibunuh di jaman Jahiliyyah. Dimana ibu kami sekarang berada ?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Di neraka”. Lalu mereka berdiri dan merasa berat mendengar perkataan beliau. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggil keduanya lalu berkata : “Bukankah ibuku bersama ibu kalian berdua (di neraka)?” (HR. Ahmad no. 3787, Ah-Thabarani dalam Al-Kabir 10/98-99 no. 10017, Al-Bazzar 4/175 no. 3478, Tafsir Ad-Durrul Mantsur, 4/298)

3. Ijma’

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:

وأما عبد الله فإنه مات ورسول الله صلى الله عليه وسلم حمل ولا خلاف أنه مات كافراً، وكذلك آمنة ماتت ولرسول الله صلى الله عليه وسلم ست سنين

“Adapun ’Abdullah (ayah Nabi), ia mati ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam masih berada dalam kandungan, dan ia mati dalam keadaan kafir tanpa ada khilaf. Begitu pula Aminah (tentang kekafirannya tanpa ada khilaf), dimana ia mati ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berusia enam tahun.” (Al-Maudlu’aat, 1/283)

Al-’Allamah ’Ali bin Muhammad Sulthan Al-Qari telah menukil adanya ijma’ tentang kafirnya kedua orang tua Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dengan perkataannya:

وأما الإجماع فقد اتفق السلف والخلف من الصحابة والتابعين والأئمة الأربعة وسائر المجتهدين على ذلك من غير إظهار خلاف لما هنالك والخلاف من اللاحق لا يقدح في الإجماع السابق سواء يكون من جنس المخالف أو صنف الموافق

“Adapun ijma’, maka sungguh ulama salaf dan khalaf dari kalangan shahabat, tabi’in, imam empat, serta seluruh mujtahidin telah bersepakat tentang hal tersebut (kafirnya kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam) tanpa adanya khilaf. Jika memang terdapat khilaf setelah adanya ijma’, maka tidak mengurangi nilai ijma’ yang telah terjadi sebelumnya. Sama saja apakah hal itu terjadi pada orang-orang menyelisihi ijma’ (di era setelahnya) atau dari orang-orang yang telah bersepakat (yang kemudian ia berubah pendapat menyelisihi ijma’).” (Adilltaul Mu’taqad Abi Haniifah, 7)

Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:

ووالدا رسول الله مات على الكفر

“Dan kedua orang tua Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mati dalam keadaan kafir.” (Al-Adillatul Mu’taqad Abi Haniifah hal. 1)

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullah berkata dalam Tafsirnya ketika menjelaskan QS. Al-Baqarah : 119:

فإن فـي استـحالة الشكّ من الرسول علـيه السلام فـي أن أهل الشرك من أهل الـجحيـم, وأن أبويه كانا منهم

“Semua ini berdasar atas keyakinan dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bahwa orang-orang musyrik itu akan masuk Neraka Jahim dan kedua orang tua Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam termasuk bagian dari mereka.”

Al-Imam Ibnul Jauzi berkata ketika berhujjah dengan hadits “Sesungguhnya aku telah memohon ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku” ; yaitu berdasarkan kenyataan bahwa Aminah bukanlah seorang wanita mukminah” (Al-Maudlu’aat, 1/284)

Beberapa imam ahli hadits pun memasukkan hadits-hadits yang disebutkan di atas dalam Bab-Bab yang tegas menunjukkan fiqh (pemahaman) dan i’tiqad mereka tentang kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Misalnya, Al-Imam Muslim memasukkannya dalam Bab [بيان أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تناله شفاعة ولا تنفعه قرابة المقربين] “Penjelasan bahwasannya siapa saja meninggal dalam kekafiran maka ia berada di neraka dan ia akan memperoleh syafa’at dan tidak bermanfaat baginya hubungan kekerabatan”. Al-Imam Ibnu Majah memasukkannya dalam Bab [ما جاء في زيارة قبور المشركين] ”Apa-Apa yang Datang Mengenai Ziyarah ke Kubur Orang-Orang Musyrik”. Al-Imam An-Nasa’i memasukkannya dalam Bab [زيارة قبر المشرك]” Ziyarah ke Kubur Orang-Orang Musyrik. Dan yang lainnya.

Keterangan di atas adalah hujjah yang sangat jelas yang menunjukkan kekafiran kedua orang tua Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Namun, sebagian orang-orang yang datang belakangan menolak ’aqidah ini dimana mereka membuat khilaf setelah adanya ijma’ (tentang kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam). Mereka mengklaim bahwa kedua orang tua beliau termasuk ahli surga. Yang paling menonjol dalam membela pendapat ini adalah Al-Hafizh As-Suyuthi. Ia telah menulis beberapa judul khusus yang membahas tentang status kedua orang tua Nabi seperti : Masaalikul Hunafaa fii Waalidayal Musthafaa, At-Ta’dhiim wal Minnah fii Anna Abawai Rasuulillah fil Jannah, As-Subulul Jaliyyah fil Aabaail ’Aliyyah, dan lain-lain.

Cinta Al-Qur'an, Cinta Kekuatan Hati

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj : 46)

 

Gunung itu akan hancur lebur, tidak akan mampu memikulnya, Kitab itu amat dahsyat dan sangat agung, Maha Agung pula yang menurunkannya. Kitab itu adalah  Al-Qur’an yang tidak ada keraguan sedikitpun di depan maupun belakangnya, akan menyinari setiap Qolbu yang membacanya, menenangkan dan menguatkan jiwa yang menghayatinya.  Al-Qur’an memiliki keagungan dan kewibawaan dalam hati, pengaruhnya tidak pernah terbatas pada ruang dan waktu. Kalau gunung yang begitu besar dan kuat saja akan hancur karena takut pada Allah apalagi hati yang kecil dan lemah maka alangkah meruginya jika ada orang yang membaca Al-Qur’an namun hatinya tidak bergetar, jiwanya tidak tenang, perangainya tidak lembut.

Hati adalah sumber memahami dan menghayati Al-Qur’an, Allah berfirman:

إِنَّا جَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَن يَفْقَهُوهُ

“Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya.” (QS. Al-Kahfi : 57)

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj : 46)

مَّا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (QS. Al-Ahzab : 4)

Untuk memahami dan menghayati Al-Qur’an dibutuhkan hati yang suci dan cara yang benar dibarengi dengan usaha maksimal, namun kita juga harus sadar bahwa hati manusia ada di tangan Allah membolak-balikkannya sesuai dengan kehendaknya. Oleh karena itu tatkala kita bisa memahami dan menghayati Al-Qur’an kita harus bersyukur dan mengembalikannya kepada Allah, tidak boleh sombong dan congkak seakan-akan keberhasilan itu karena kerja keras kita semata. Allah berfirman:

وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ

“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (QS. Al-Anfaal : 24)

Cinta Al-Qur’an

Kekuatan jiwa dan raga akan memancar deras dari cinta yang bersumber di hati, semua rasa lelah akan sirna dengan panggilan cinta. Rasa kangen akan selalu menyelimuti segala dimensi waktu untuk selalu bertemu dengan kekasih hati. Kecintaan kita kepada Al-Qur’an akan selalu memanggil kita untuk berlama-lama duduk bersamanya, memangku mushaf, memandangi keindahannya, membaca setiap huruf dan kalimat pada setiap lembarnya dengan senandung cinta, menikmati  makna yang tersurat maupun yang tersirat, menghayati isi yang terkandung di dalamnya. Al-Qur’an obat segala penyakit jiwa, penenang setiap kegelisahan, di dalamnya air mata kehidupan bersumber dan darinya cahaya dan lentera hati memancar.

Ketika hati dipenuhi cinta pada Al-Qur’an maka dia akan suka membacanya, memahami dan menghayatinya, ingin selalu bertemu dengannya namun sebaliknya apabila tidak ada cinta di dalamnya dia gelisah apabila dekat dengannya bahkan akan lari menjauh darinya.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top