Kisah Seorang Yahudi Bertanya kepada Ibnu Hajar al-'Asqalani Rahimahullah Mengenai Makna Hadits Dunia itu Penjara Bagi Orang Beriman

“Dunia itu penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang orang kafir.” (HR. Muslim no. 2956)


Beberapa hari yang lalu, penulis melihat sebuah status Facebook yang cukup menggelitik untuk dikomentari. Dalam status facebook itu, shahibul status memajang foto seorang ustadz bersama 3 istrinya dengan kemewahan yang sedang mereka miliki. Kemudian shahibul status menulis, “katanya dunia itu neraka buat orang beriman, tapi kok saya tidak melihat neraka di foto ini, yang saya lihat justru surga dunia, lihat saja pakaian dan makanan mereka, serba mewah.. tolong perbaiki otak saya...!!!” Melihat status tersebut, penulis menjadi ingat suatu kisah yang bisa dibilang merupakan jawaban dari pertanyaan shahibul status dalam status Facebook tersebut. Sebuah kisah yang menceritakan mengenai pertanyaan seorang Yahudi kepada al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani رَحِمَهُ اللهُ.

Diriwayatkan oleh al-Imam al-Munawi رَحِمَهُ اللهُ dalam kitabnya Faidh al-Qadir, beliau menulis:

ذكروا أن الحافظ ابن حجر لما كان قاضي القضاة مر يوما بالسوق في موكب عظيم وهيئة جميلة فهجم عليه يهودي يبيع الزيت الحار وأثوابه ملطخة بالزيت وهو في غاية الرثاثة والشناعة فقبض على لجام بغلته وقال : يا شيخ الإسلام تزعم أن نبيكم قال الدنيا سجن المؤمن وجنة الكافر فأي سجن أنت فيه وأي جنة أنا فيها فقال : أنا بالنسبة لما أعد الله لي في الآخرة من النعيم كأني الآن في السجن وأنت بالنسبة لما أعد لك في الآخرة من العذاب الأليم كأنك في جنة فأسلم اليهودي .

“Dikisahkan bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar ketika ia menjadi seorang qadhi (hakim) terkemuka, pada suatu hari, dia pernah melewati sebuah pasar yang penuh dengan keramaian. Ibnu Hajar datang dengan pakaian yang begitu menawan. Kemudian datanglah seorang laki-laki Yahudi menyergapnya. Yahudi tersebut adalah seorang penjual minyak panas, tentu saja pakaiannya penuh dengan kotoran minyak. Tampilan Yahudi tersebut usang dan penuh keprihatinan. Sambil memegang kekang kuda, Yahudi tersebut berkata pada Ibnu Hajar, “Wahai Syaikhul Islam, engkau mengklaim bahwa Nabi kalian (Nabi Muhammad صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) bersabda:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ .

“Dunia itu penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang orang kafir.”[1]

Bagaimana keadaanmu saat ini bisa disebut penjara, lalu keadaanku di dunia seperti ini disebut surga?” Ibnu Hajar memberikan jawaban, “Aku dilihat dari berbagai nikmat yang Allah berikan untukku di akhirat, seakan-akan aku saat ini sedang di penjara. Sedangkan engkau dilihat dari balasan siksa yang pedih yang Allah berikan untukmu di akhirat, seakan-akan engkau saat ini berada di surga.” Mendengar jawaban itu maka orang Yahudi tersebut pun masuk Islam.[2]

Mengenai hadits yang ditanyakan oleh Yahudi tersebut, al-Imam an-Nawawi رَحِمَهُ اللهُ berkata:

معناه أن المؤمن مسجون ممنوع في الدنيا من الشهوات المحرمة والمكروهة ، مكلف بفعل الطاعات الشاقة ، فإذا مات استراح من هذا وانقلب إلى ما أعد الله تعالى له من النعيم الدائم والراحة الخالصة من النقصان ، وأما الكافر فإنما له من ذلك ما حصل في الدنيا مع قلته وتكديره بالمنغصات ، فإذا مات صار إلى العذاب الدائم وشقاء الأبد .

“Makna hadits itu adalah bahwasanya seorang mukmin itu terpenjara di dunia karena mereka harus menahan diri dari berbagai syahwat yang diharamkan dan dibenci. seorang mukmin pun dibebankan untuk melakukan ketaatan. Maka apabila dia telah meninggal dunia, barulah dia beristirahat dari semua perkara itu dan dia akan mendapatkan apa yang telah Allah ta’ala janjikan kepadanya dengan kenikmatan dunia yang kekal, mendapati peristirahatan yang jauh dari sifat kurang. Dan adapun orang kafir, maka sesungguhnya dunia yang dia peroleh baik itu sedikit maupun banyak, maka ketika dia telah meninggal dunia, dia akan mendapatkan adzab yang sangat pedih dan kekal abadi.”[3]

            Maka perhatikanlah wahai ikhwah fillah, janganlah kita sampai tertipu dengan gemerlapnya dunia karena sesungguhnya dunia ini nikmatnya tidak ada apa-apanya dengan nikmat di surga nanti. Walaupun orang-orang kafir bergelimang harta dan kemewahan, namun hakikatnya mereka akan merugi di akhirat nanti. Berlomba-lombalah dalam kebaikan, jangan jadikan dunia ini sebagai tujuan, namun jadikan dunia sebagai tempat untuk melaksanakan keta’atan, sesungguhnya penjara dunia ini hanyalah sementara namun surga adalah kekal abadi selamanya. al-Imam  al-Ghazali رَحِمَهُ اللهُ berkata:

الدنيا دار غرور لا دار سرور ، ومطية عمل لا مطية كسل ، ومنزل عبور لا متنزه حبور ، ومحل تجارة لا مسكن عمارة ، ومتجر بضاعتها الطاعة وربحها الفوز يوم تقوم الساعة .

Dunia adalah kampung bagi orang-orang yang tertipu bukan kampung bagi orang-orang yang berbahagia, tempat untuk beramal bukan tempat untuk bermalas-malasan, tempat persinggahan bukan taman kebahagiaan, tempat berjual beli dengan barang jual belinya adalah ketaatan dan keuntungannya adalah kemenangan pada hari kiamat.”[4]

Semoga kita diberikan kekuatan serta keistiqamahan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى agar kita senantiasa mampu menjalankan segala keta’atan kepada-Nya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Abu ‘Abdillah Supriyanto al-Indunisiy
Masjid Jami’ al-Marhamah Cibinong, 28 Muharram 1439 H


[1] HR. Muslim no. 2956, dari Abu Hurairah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.
[2] Faidh al-Qadir, Juz 3 hal. 546
[3] al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Juz 18 hal. 124
[4] al-Musthafa, hal. 2


Referensi

  • al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. al-Musthafa min ‘Ilm al-Ushul. al-Jami’ah al-Islamiyyah Kuliyyah asy-Syari’ah Madinah.
  • al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi. al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Muaasasah Qurthubah.
  • al-Imam Muhammad bin ‘Abdurra’uf al-Munawi. Faidh al-Qadir bi Syarh al-Jami’ ash-Shaghir. 1391 H. Dar al-Ma’rifah Beirut.

Jenderal Besar TNI (Purn.) A.H. Nasution, Jenderal yang Rajin Shalat

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-‘Ankabut [29] : 45)


Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 – meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean.

Nasution dilahirkan di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, dari keluarga Batak Muslim. Ia adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi, dan merupakan anggota dari organisasi Sarekat Islam. Ayahnya, yang sangat religius, ingin anaknya untuk belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin dia belajar kedokteran di Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.

Nasution merupakan konseptor Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada tahun 1958 yang kemudian diadopsi selama pemerintahan Soeharto. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut merupakan jalan agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali sipil, namun pada saat yang sama, tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.

Bersama Soeharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar yang dianugerahkan pada tanggal 5 Oktober 1997, saat ulang tahun ABRI.

Jenderal A.H. Nasution adalah seorang yang sangat religius. Beliau adalah seseorang yang sangat memperhatikan shalatnya. Kendati sedang menjalani rapat dengan Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia, namun jika telah tiba waktu shalat wajib, Jenderal Abdul Haris Nasution selalu minta ijin undur diri untuk mendirikan shalat terlebih dahulu.

Buku Pedoman Islam

Di masa Pak Nas menjabat KSAD disusun buku “Pedoman Agama Islam Untuk TNI”. Dalam surat keputusan KSAD dinyatakan, “Mewajibkan kepada setiap anggota AD yang beragama Islam memahami isi buku tersebut di atas dan mengamalkannya.”

Bahkan dalam setiap kesatuan TNI pada waktu itu diangkat “Imam tentara”. Pak Nas yang membangun mushalla di MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) tahun 1950 an dan kemudian di Hankam.

Sebuah anekdot di kalangan TNI masa itu, “Kalau mau naik pangkat, rajinlah shalat, dan diketahui oleh Jenderal Nasution”.

Shalat Saat Di Australia

Ketika berada di Camberra, yaitu sedang mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Australia, tiba-tiba seorang Kolonel Australia datang melapor dengan hormatnya, mempersilahkan Pak Nas untuk menunaikan shalat, sebab waktunya telah tiba, meski beliau menjamak shalat zuhur dengan ashar dalam satu waktu karena sedang musafir.

Jadwal Shalat Saat Di Cina

Dalam kunjungan ke negara Komunis Cina pun, protokol militer negara setempat harus menyesuaikan jadwal shalat dalam seluruh agenda kegiatan kunjungan Jenderal A.H. Nasution.

Shalat Jumat Di Soviet

Pada ceramah Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tahun 1965 di AAU sebagaimana dimuat di Majalah PEHAI (Perdjalanan Hadji Indonesia) No 1 Tahun 1965, Pak Nasution menceritakan pengalaman menarik saat kunjungan ke Moscow untuk membeli senjata bertepatan dengan hari Jum’at.

“Ketika perundingan dengan pihak Uni Soviet belum selesai, saya lihat arloji menunjukkan telah tiba saatnya untuk shalat Jum’at. Kepada sidang saya segera minta diri untuk shalat.”

Seorang perwira Soviet mengantarkan saya pergi ke mesjid. Saat dilihatnya saya membuka sepatu, ia pun membuka sepatunya. Ia terus mengikuti saya. Saya shalat ia pun turut shalat. Saya berdiri ia berdiri, saya rukuk ia rukuk. Saya sujud ia pun sujud demikian seterusnya. Sesudah salam saya tanyakan ke dia, “Apa yang dibacanya waktu mengikuti saya shalat?”

Perwira itu hanya menggelengkan kepala, tak suatu pun yang dibacanya. Habis ia bukan seorang Muslim. Jadi kenyataan ini menunjukkan bahwa dengan shalat kita dihormati dimana-mana.

Pesan Kepada Para Prajuritnya

“Hendaklah saudara-saudara senantiasa taat menunaikan kewajiban shalat lima waktu. Jangan sekali-kali saudara-saudara merasa malu karena menunaikan shalat. Apalagi karena shalat sama halnya dengan corp rapport yang biasa saudara-saudara lakukan terhadap komandan saudara. Bedanya shalat itu corp rapport kepada Tuhan Yang Maha Kuasa”, demikian pesan Jenderal A.H. Nasution kepada para prajuritnya.

Pak Nasution mengemukakan, “Sebagai seorang Muslim kita diperintahkan untuk melaksanakan ajaran Islam di mana pun kita berada. Kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa Islam adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki dunia maupun akhirat. Dalam menghadapi masalah, misalnya, kalau agama kita kuat maka semua problem bisa dibereskan.”

Karomah Nasution

Tak heran jika Jenderal A.H Nasution ini selamat dari target utama penculikan dan pembunuhan PKI, lantaran menurut pengakuan isterinya jika Allah subhanahu wa ta’ala membangunkan beliau sekitar 10 menit oleh gigitan nyamuk sebelum PKI mendobrak rumahnya, sehingga beliau siaga dan bisa kabur ke pagar belakang.


Sumber Artikel:

Perang Tabuk, Bagian 6

“Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu.” (QS. at-Taubah [9] : 117)


Orang-Orang yang Tidak Ikut Perang Tabuk

Selain orang-orang yang memang benar-benar berhalangan dan orang-orang munafik, ada tiga orang sahabat yang tidak berpartisipasi dalam Perang Tabuk tanpa alasan tertentu. Mereka adalah Ka’ab ibn Malik, Murarah ibn Rabi’ al-Amiri, dan Hilal ibn Umayyah al-Waaqifi. Mereka bertiga tidak ikut dalam Perang Tabuk karena suka menunda-nunda pekerjaan dan cenderung bermalas-malas. Ka’ab radhiyallahu ‘anhu menuturkan kisah tentang ketidakikutsertaan dirinya dalam sebuah hadits panjang yang disampaikan oleh al-Bukhari[1], Muslim[2] dan lain-lain sebagai berikut:

“Inilah kisahku. Sesungguhnya sangat kuat dan ringan bagiku untuk menyertai Rasulullah dalam Perang Tabuk itu. Bahkan aku berkali-kali sudah siap untuk pergi bersama kaum Muslimin, tetapi kemudian pulang lagi dan membatalkan niatku. Aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Sebenarnya aku mampu melakukannya jika menginginkan.’

Hal itu masih terngiang-ngiang ditelingaku sampai orang-orang sibuk, sementara aku sendiri belum mempersiapkan apa pun. Aku masih seperti itu sampai mereka berangkat meninggalkanku. Beberapa waktu kemudian, aku ingin pergi dan menyusul merekaa, tapi tidak segera melakukannya. Duhai, seandainya ketika itu aku melakukannya!

Hal itu tampaknya belum menjadi takdirku. Apabila aku keluar rumah, bertemu orang-orang setelah keberangkatan Rasulullah, dan pergi berkeliling, aku merasa sangat sedih karena tidak melihat kecualii orang-orang yang tenggelam dalam kemunafikan atau orang-orang dari kalangan miskin danlemah yang dimaafkan Allah. Ketika ku dengar kabar bahwa Rasulullah sedang dalam perjalanan pulang, yang membuat semangatku bangkit kembali, terbesitlah dalam benakku untuk berdusta kepada beliau, sebab aku berpikir, ‘Dengan apa aku bisa selamat dari murka Rasulullah besok?’

Aku pun minta pendapat dari orang-orang bijak bestari di keluargaku. Tatkala dikabarkan bahwa Rasulullah telah tiba, dusta luruh dari dalam diriku. Aku akan berkata jujur kepada beliau.

Aku datang menemui Rasulullah. Ketiak aku mengucapkan salam, beliau tersenyum sinis dan berkata, ‘Ke marilah.’

Aku berjalan mendekat dan duduk di hadapan Rasulullah. Beliau bertanya kepadaku. ‘Apa yang membuatmu berhalangan ikut? Bukankah engkau telah menjual untamu?’

Aku menjawab, ‘Benar. Sesungguhnya aku, demi Allah, bila berhadapan dengan orang selain Anda, yakin bisa terbebas dari amarahnya dikarenakan alasan yang akan kuajukan, bahkan aku akan berani mendebatnya. Akan tetapi, demi Allah, hari ini aku sadar sepenuhnya bahwa bila aku berbicara dusta kepada Anda, dan meskipun Anda menerima alasanku, niscaya hal itu akan tetap membuat Allah murka kepada Anda kerena aku. Dan apabila aku berkata jujur kepada Anda, pasti Anda temukan bahwa aku hanya mengharapkan ampunan Allah. Demi Allah, sesungguhnya aku saat itu tidak punya alasan untuk tidak ikut berjihad bersama Anda. Demi Allah, aku merasa berdosa ketika aku tidak pergi bersama Anda.’

Rasulullah pun berkata, ‘Orang ini berkata jujur. Maka tinggalkanlah kami hingga Allah menentukan hukuman untukmu.’

Aku pun pergi. Namun, beberapa orang dari Bani Salamah bangkit mengikutiku dan mempersalahkan kejujuranku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Apakah ada orang yang berbuat sama denganku?’

Mereka menyahut, ‘Ya. Ada dua orang yang berkata persis seperti perkataanmu. Juga dikatakan kepada mereka persis seperti apa yang dikatakan kepadamu.’

Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’

Orang-orang itu menjawab, ‘Murarah ibn Rabi’ dan Hilal ibn Umayyah.’

Mereka menyebutkan nama dua orang saleh yang ikut dalam Perang Badar.[3] Keduanya adalah panutan bagiku.

Tak lama kemudian, Rasulullah melarang khalayak untuk berbicara dengan kami bertiga. Maka orang-orang pun menjauhi kami dan sikap mereka terhadap kami berubah total. Bahkan seolah-olah seluruh isi bumi ini telah mengucilkan kami dan menentang kami, padahal aku tidak mengenal mereka. Kami lalui hal itu selama 50 malam. Kedua sahabatku tadinya hanya diam dan tinggal di rumah mereka seraya menangis. Aku sendiri mencaci orang-orang dan membentak mereka. Suatu ketika aku keluar rumah. Aku pergi untuk menunaikan shalat berjamaah bersama kaum Muslimin lainnya. Aku mengelilingi pasar-pasar. Namun, tetap saja tidak ada seorang pun yang mau berbicara kepadaku. Kemudian, aku mendatangi Rasulullah. Kuucapkan salam kepada beliau yang sedang duduk di tempatnya usai shalat. Aku bertanya-tanya dalam hati, ‘Apakah Rasulullah akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak?’

Lantas aku shalat di dekat Rasulullah. Aku mencuri-curi pandang kepada beliau. Ketika aku memulai shalatku, Rasulullah memandangku. Namun sewaktu aku menoleh ke arah Rasulullah, beliau memalingkan wajahnya dariku.

Ketika aku sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba datanglah seorang warga Syam membawa makanan yang dijualnya di Madinah. Orang ini berkata, ‘Siapa yang bisa menunjukkan kepadaku di mana Ka’ab ibn Malik?’

Orang-orang di pasar segera menunjukkan hingga orang Syam itu menemuiku dan menyerahkan sepucuk surat dari Raja Ghassan. Surat itu berbunyi, ‘Amma ba’du. Aku sudah mendengar bahwa sahabat-sahabatmu telah mengabaikanmu. Allah tidak memasukkanmu ke tempat yang hina dan sia-sia. Bergabunglah bersama kami, orang-orangmu.’

Selesai membaca, aku berkata, ‘Ini juga termasuk cobaan.’

Kucampakkan surat itu ke perapian dan membakarnya.

Akhirnya, stelah 40 hari dari 50 hari masa hukumanku, seorang utusan Rasulullah mendatangiku dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu.’

Aku bertanya, ‘Kuceraikan dia, atau apa yang harus kulakukan?’

Rasulullah menjawab, ‘Tidak. Jauhi saja dia dan jangan mendekatinya.’

Rasulullah juga mengutus orang untuk menyampaikan hal serupa kepada kedua sahabatku. Aku lalu berkata kepada istriku, ‘Pulanglah ke rumah orang tuamu. Tinggallah dulu bersama mereka sampai Allah memutuskan sesuatu dalam perkara ini.’

Setelah itu, kujalani sisa 10 malam terakhir hingga sempurnalah 50 malam sejak Rasulullah melarang orang-orang untuk berbicara dengan kami bertiga.

Usai menunaikan shalat Shubuh pada pagi hari setelah malam ke-50, aku duduk termenung di atap rumah kami sambil berdzikir kepada Allah. Jiwaku sesak kurasakan, begitu pula bumi telah menjadi sempit, padahal bumi itu luas.

Tiba-tiba aku mendengar teriakan seseorang dari atas gunung Sala’[4], ‘Hai Ka’ab ibn Malik, dengarlah berita gembira untukmu!’

Aku langsung bersujud. Aku tahu bahwa kemudahan dan ampunan sudah tiba. Rasulullah telah mengumumkan penerimaan Allah atas tobat kami usai menunaikan shalat Shubuh. Orang-orang berhamburan menyampaikan berita gembira ini kepada kami. Mereka juga menyampaikan hal ini kepada kedua sahabatku. Ketika orang yang kudengar teriakannya tadi menyampaikan kabar gembira ini kepadaku, aku segera meleepas kedua potong bajuku dan memakaikannya kepada orang itu karena kegembiraan yang kuterima dariinya. Demi Allah, hanya dua potong baju itulah yang kumiliki ketika itu. Maka selanjutnya aku meminjam dua potong baju lagi untuk kukenakan. Aku pun bergegas menemui Rasulullah.

Orang berbondong-bondong menemuiku untuk mengucapkan selamat atas diterimanya tobatku. Tatkala aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, dengan wajah berseri-seri karena bahagia beliau bersabda ‘Kuberikan kabar gembira kepadamu tentang satu hari paling baik yang pernah kau lalui sejak engkau dilahirkan.’

Aku bertanya, ‘Rasulullah, apakah berita gembira itu datang dari Anda, ataukah dari Allah?’

Beliau menjawab, ‘Bukan, berita itu datangnya dari Allah.’

Aku menyahut, ‘Rasulullah, di antara bentuk tobatku adalah aku akan melepaskan seluruh hartaku untuk kusedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.’

Rasulullah berkata, ‘Simpanlah sebagian hartamu. Yang demikian itu lebih baik untukmu.’

Aku berkata lagi, ‘Rasulullah, aku telah diselamatkan oleh kejujuran. Sesungguhnya di antara tobatku adalah bahwa aku tidak akan mengucapkan apapun kecuali kejujuran, selama aku hidup.’

Kemudian, Allah menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya, ‘Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hal orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.’[5]

Kami bertiga ketinggalan dari orang-orang yang diterima alasannya oleh Rasulullah ketika mereka bersumpah setia kepada beliau. Rasulullah membai’at orang-orang itu dan memohonkan ampunan Allah bagi mereka. Rasulullah juga menangguhkan perkara kami sampai Allah menentukan hukuman-Nya bagi kami. Oleh karena itulah Allah berfirman, ‘Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) kepada mereka...’

Firman Allah yang diturunkan ini bukanlah mengenai tidak ikut sertanya kami dalam Perang Tabuk, melainkan meenjelaskan penundaan tobat dan penangguhan perkara kami dari orang-orang yang telah bersumpah setia kepada Rasulullah, meminta maaf kepada Rasulullah, dan diterimanya maaf itu dari Rasulullah.”

Dalam hadits Ka’ab tersebut dituturkan pula bahwa mereka yang tidak ikut dalam perang ini berjumlah sekitar 89 orang. Mereka semua meminta maaf kepada Rasulullah akan ketidakikutsertaan mereka. Rasulullah memaafkan dan menerima keterusterangan mereka itu. Beliau kemudian membai’at meereeka, memohonkan ampunan untuk mereka, dan menyerahkan isi hati mereka kepada Allah. Jumlah ini sesuai dengan yang disebutkan oleh al-Waqidi[6]. Ia menambahkan bahwa jumlah orang Arab Badui yang tidak ikut serta dalam perang ini mencapai 82 orang. Mereka berasal dari Bani Ghifar dan kabilah-kabilah lainnya.

Adapun Abdullah ibn Ubay ibn Salul dan para pengikutnya belum termasuk jumlah itu. Jumlah orang munafik yang tidak ikut dalam Perang Tabuk sangatlah banyak. Al-Waqidi, Ibnu Sa’ad[7], dan Ibnu Ishaq[8] menuturkan bahwa Ibnu Ubay sempat ikut keluar sampai gunung Dzibab di Madinah. Ia diiringi oleh para pengikutnya yang terdiri dari kaum Yahudi dan orang-orang munafik. Dikatakan bahwa pasukan Ibnu Ubay bukanlah pasukan yang kecil. Ketika Rasulullah bergerak, Ibnu Ubay bersama orang-orangnya mundur dan tidak jadi ikut ke Tabuk. Sayangnya, semua kisah ini tidak dirriwayatkan melalui jalur-jalur riwayat shahih.

Orang-orang yang tidak ikut berjuang menyangka bahwa tidak akan ada orang yang mengetahui perbuatan mereka. Hal itu dikarenakan besarnya jumlah personil pasukan Muslimin. Akan tetapi, di perjalanan menuuju Tabuk, Rasulullah ingat kepada beberapa orang yang tidak menyertai beliau. Beliau bertanya kepada Abu Rahmin Kultsum ibn Hishn al-Ghifari tentang orang-orang Bani Ghifar dan kabilah Aslam yang tidak ikut ke Tabuk.[9] Setibanya di Tabuk, beliau menanyakan perihal Ka’ab ibn Malik.[10]

Wallahu’alam

Footnote:

  1. Al-Bukhari, al-Fath, 16, hh. 241-252, no. 4418.
  2. Muslim, 4, hh. 2120-2128, no. 6769.
  3. Ibnu Qayyim berkomentar di Zad al-Ma’ad, 3, hlm. 577, “Topik ini hanyalah prasangka az-Zuhri yang menuturkan riwayat ini. Ia tidak hafal dari satu pun ahli sirah dan maghazi penyebutan kedua orang ini sebagai peserta Badar.” Saya katakan, “Ibnu Hajar telah menyebutkan di al-Ishabah, 4, hlm. 207, bahwa Hilal ibn Umayyah ikut serta dalam Perang Badar, begitu pula dengan Murarah ibn ar-Rabi’, berdasarkan riwayat yang shahih. Lihat al-Ishabah, 4, hlm. 396, sedangkan Ibnu Hajar bukan seorang ahli sirah dan maghazi.”
  4. Sala’ adalah nama sebuah gunung di Madinah, berada di wilayah Bani Hudzail.
  5. QS. At-Taubah: 117-119
  6. Al-Maghazi, 3, hlm. 995. Pendapat al-Waqidi sering ditangguhkan (matruk) dalam hadits meskipun pengetahuannya luas. Oleh karena itu, jalur periwayatannya berada di tingkatan dha’if.
  7. Ath-Thabaqat, 2, hlm. 125. Riwayatnya berasal dari penuturan gurunya, al-Waqidi. Pendapat al-Waqidi sering ditinggalkan, maka dari itu jalur periwayatannya berada di tingakatan dha’if.
  8. Ibnu Hisyam, 4, hlm. 2199, dengan jalur periwayatan di tingkatan mursal. Ibnu Ishaq, al-Waqidi, dan Ibnu Sa’ad mengemukakan kisah ini dengan redaksi “konon”. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sendiri tidak menerima kisah tersebut. Mereka pantas ragu, khususnya dengan penyebutan orang-orang Yahudi dan jumlah bilangan yang tidak sejalan dengan fakta dari peristiwa-peristiwa yang terjadi antara kaum Muslimin dan Yahudi. Eksistensi mereka jauh dari kemungkinan untuk disebutkan di sini, apalagi dengan kekuatan yang mereka miliki, siikap permusuhan, dan tipu daya mereka. Ditambah lagi, riwayat ini tidak datang melalui jalur-jalur yang shahih.
  9. Dari riwayat Ibnu Ishaq yang berkualiitas maushul, dari hadits az-Zuhri. Ibnu Ishaq tidak mengakui menerima hadits ini darinya. Di jalur periwayatannya tercantum nama kemenakan Abu Rahmin yang tidak dikenal oleh al-Haitsami, sebagaimana dijelaskan di al-Majmu, 6, hlm. 192. Lihat Ibnuu Hisyam, 4, hh. 234-236. Riwayat ini dituturkan juga melalui jalur Ma’mar dari az-Zuhri, sesuai deengan keterangan di Mawwarid ash-Zham’an, hlm. 417. Oleh karena itu, riwayat ini meniingkat mutunya menjadi hasan li ghairih, seperti disampaikan oleh as-Sanadi di adz-Dzahab al-Masbuk, hlm. 245.
  10. Al-Bukhari, al-Fath, 16, hlm. 244, no. 4418.

Main scource: Biografi Rasulullah, Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber yang Otentik karya DR. Mahdi Rizqullah Ahmad

Perang Tabuk, Bagian 5

“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Dzar. Ia berjalan seorang diri, meninggal seorang diri, dan kelak dibangkitkan dari kuburnya seorang diri pula.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, Juz 3 hal. 50-51)


Sikap kaum Mukminin Terhadap Perang Tabuk

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengutarakan perintah yang berbeda dengan perintah beliau dalam perang-perang besar sebelumnya. Beliau hanya menyeru kaum Muslimin untuk bersiap pergi jihad.[1] Meski begitu, kaum Muslimin sangat bersemangat dan mereka tidak banyak tanya. Dengan semangat menggebu-gebu mereka menyatakan diri akan menyertai beliau sesulit apapun rintangan dan medan yang akan dihadapi nanti.

Simaklah kisah Ali bin Abi Thalib yang tak rela ditinggal di tengah keluarganya. Ali mengejar Rasulullah yang ketika itu sudah sampai di wilayah Jurf. Ia memperotes, “Rasulullah, anda tinggalkan aku bersama perempuan dan anak kecil ?”

Rasulullah berusaha membujuk Ali, “Tidakkah engkau bersedia mem-posisi-kan dirimu terhadapku seperti Musa dengan Harun, meskipun tidak ada nabi setelah aku?” [2]

Begitu pula dengan Abu Khaitsamah al-Anshari. Hatinya sempat bimbang dan dihadapkan pada pilihan antara tinggal di rumah atau pergi berperang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Namun, akhirnya ia dengan tegas memutuskan harus pergi bersama Rasulullah untuk semata-mata mengharap ridha Allah. Tentang hal ikhwalnya ini, Abu Khaitsamah menuturkan, “Aku tidak menyertai Rasulullah berjihad, melainkan pergi ke kebun kurma milikku. Disana kulihat kisi-kisi telah disemprot dengan air dan ada juga istriku. Tiba-tiba aku membatin, ’Sungguh, ini tidak adil! Rasulullah sedang berada di tengah terpaan angin panas dan terik matahari menyengat, sedangkan aku berada di tempat yang teduh dan sejuk begini.’

Aku bangkit sambil mengambil beberapa butir kurma matang, lalu pergi menyusul pasukan kaum Muslimin. Semakin dekat dengan mereka, orang-orang melihatku, kemudian Rasulullah berkata, “Itu Abu Khaitsamah!”
Ketika aku menjumpai beliau, beliau berdoa untukku.[3]

Diriwayatkan, ketika hendak menyusul pasukan kaum muslimin yang sudah berangkat ke Tabuk, unta Abu Dzar justru makin melambat jalannya. Tak sabar, Abu Dzar segera turun dari untanya lalu mengusung perbekalan di punggungnya. Dengan berjalan kaki dia mengikuti jejak pasukan. Beberapa waktu kemudian, ketika Rasulullah sedang beristirahat di salah satu tempat, seorang tentara Muslimin melihat sosok lelaki berjalan seorang diri. Tentara itu memberitahukan kepada Rasulullah perihal tersebut. Beliau berkata dengan tenang, “Itu adalah Abu Dzar.”

Ketika lelaki itu tiba, ternyata memang benar, ia Abu Dzar. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun berdoa untuk Abu Dzar, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Dzar. Ia berjalan seorang diri, meninggal seorang diri, dan kelak dibangkitkan dari kuburnya seorang diri pula.” [4]

Wallahu'alam

Footnote:
  1. Berasal dari riwayat al-Bukhari, al-Fath, 16, 242, hlm.4418.
  2. Al-Bukhari, alFath, 16, 242, no. 4416; Muslim, 4, hh. 1870-1871, no. 2404, dan sarjana lainnya. Al-Jurf disebutkan oleh Ibnu Ishaq dengan jalur periwayatan di tingkatan mursal di Ibnu Hisyam, 4, hlm. 221. Al-Jurf adalah nama sebuah tempat berjarak kurang lebih 3 mil dari Madinah menujuh arah Syam.Lihat Mu’jam al-Buldan, 2, hlm. 187.
  3. Dituturkan oleh Ath-Thabari, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Hajar di al-Fath, 16, hlm, 244; Ibnu Ishaq dengan kualitas riwayat di tingkat mursal (Ibnu Hisyam, 4, hlm.222); Ibnu Hajar, al-Fath, 16 hlm. 244; al-Waqidi, 3, hh. 998-999. Hadits yang melalui jalur-jalur ini di tingkatan dhoif. Akan tetapi, di persaksikan oleh penuturan sebagian kisahnya di shahih muslim di tengah-tengah tentang ka’ab, 4, 2122, 2769. Abu Khaitsamah adalah Abdullah ibn Khaitsamah as-Salimi, sebagaimana disebutkan oleh al-Waqidi, 3, hlm. 998. Adapun menurut az-Zuhri, Abu Khaitsamah adalah Malik ibn Qais, sebagaiman di sebutkan Ibnu Hajar di Alfath, 16, hlm. 244.
  4. Hadist ini dituturkan oleh al-Hakim di al-Mustadrak, 3, hh. 50-51. Al-Hakim menilai hadits ini sebagai hadits shahih. Pendapatnya ini disepakati oleh adz-Dzahabi. Ia kemudian mengatakan bahwa di hadits ini terdapat irsal. Al-Baihaqi juga meriwayatkannya di ad-Dala’il melalui jalur Ibnu Ishaq. Ia mengaku telah mendengar hadits ini. Di jalur periwayatannya terdapat nama Buraidah ibn Sufyan. Mengenai figur ini ada komentar. Lihat Mizan al-‘Itidal, 1, hlm. 306.Ibnu Katsir ikut meriwayatkannya di al-Bidayah, hh, 10-11, melalui jalur ini, dan menilainya sebagai hadit s Hasan. Ia bahkan menuturkan tentang unta Abu Dzar yang berjalan lambat dan khabar tentang kematiannya, dalam satu paparan riwayat. Di sirah Ibnu Hisyam, Ibnu Ishaq menyebutkan riwayat tentang unta itu di jalur periwayatan di tingkat muallaq, dan al-Baihaqi dan Ibnu Katsir. Riwayat kematian Abu Dzar di sampaikan oleh Ahmad di al-Musnad, al-Fath ar-Rabbani, 922, 374-375 tanpa melalui jalur Ibnu Ishaq, dengan sedikit perbedaan dengan riwayat penuturan al-Hakim.

Main scource: Biografi Rasulullah, Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber yang Otentik karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad

Perang Tabuk, Bagian 4

“Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (QS. at-Taubah [9] :38)


Sikap Kaum Munafikin terhadap Perang Tabuk

Tatkala Rasulullah mengumandangkan perang dan mendorong para sahabat untuk memberikan sumbangan bagi perbekalan pasukan, orang-orang munafik justru melancarkan isu-isu untuk meruntuhkan semangat kaum Muslimin. Mereka berkata, “Kalian tidak usah pergi berperang di tengah udara terik seperti ini.”

Allah lalu menurunkan firman-Nya berkenaan dengan tindakan orang-orang munafik ini, “Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)" jika mereka mengetahui.” [1][2]

Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, yang sedang mempersiapkan diri untuk Perang Tabuk, bertanya kepada Jadd bin Qais, “Hai Jadd, Pernahkah engkau mengalami pertempuran melawan Bani Ashfar (orang-orang Romawi)?”

Ia menjawab, “Ya Rasulullah, izinkanlah aku untuk tidak ikut berperang, dan jangan jerumuskan aku ke dalam fitnah. Demi Allah, kaumku sudah tahu bahwa tidak ada seorang lelaki pun yang sangat menyukai perempuan selain aku. Dan, aku khawatir tidak mampu menahan diri jika melihat perempuan-perempuan Bani Ashfar.”

Rasulullah berpaling darinya seraya berkata, “Kuizinkan engkau untuk tidak ikut berperang.”

Lalu Allah berfirman, “Di antara mereka ada orang yang berkata: "Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah." ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. dan Sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” [3][4]

Beberapa orang munafik datang menemui Rasulullah dan mengajukan alasan-alasan palsu agar diizinkan tidak ikut berperang. Rasulullah menerima alasan mereka dan mengizinkan mereka untuk tidak ikut berperang. Maka Allah menurunkan firman-Nya, “Semoga Allah mema'afkanmu. mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” [5][6]

Setelah turunnya ayat tesebut Rasulullah mendapat informasi bahwa sejumlah orang munafik berkumpul di rumah Suwailim, seorang Yahudi. Mereka hendak merusak semangat kaum Muslimin agar meninggalkan beliau. Akhirnya, beliau menugaskan seseorang untuk membakar rumah Suwailim.[7]

Tidak hanya itu, beberapa saat sebelum perang Tabuk ini, orang-orang munafik juga menentang Allah dan Rasul-Nya dengan membangun sebuah masjid untuk berkumpul dan merencanakan persekongkolan untuk menghancurkan kaum Muslimin. Bahkan, di masjid itu pula mereka mengharapkan kedatangan Abu Amir, seorang penjahat dari Romawi, ke Madinah dengan membawa pasukannya untuk menaklukkan kaum Muslimin. Mereka juga tanpa rasa bersalah mengklaim bahwa masjid itu mereka bangun untuk kepentingan dan kemudahan kaum fakir miskin, orang-orang lemah, dan yang tidak mampu berjalan ke masjid Nabi untuk melaksanakan shalat. Untuk menyamarkan niat dan tindakan busuk itu, mereka meminta Rasulullah untuk mendirikan shalat di masjid itu. Akan tetapi sebelum beliau memenuhi undangan mereka, Allah terlebih dahulu membongkar makar mereka dengan menurunkan firman-Nya,

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” [8][9]

Setelah menerima pemberitahuan ghaib ini, Rasulullah dengan tegas menolak undangan mereka untuk melakukan shalat di masjid tersebut. Bahkan, beliau akhirnya membakar masjid itu sepulangnya dari perang Tabuk. Allah juga melarang Rasulullah untuk menshalatkan jenazah orang-orang munafik. Larangan ini turun setelah beliau melakukannya atas jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul sepulang beliau dari Tabuk. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik.” [10][11]

Demikianlah, Rasulullah shallallahu alaihi wasllam telah berupaya keras untuk mengajak seluruh Muslimin untuk angkat senjata dalam Perang Tabuk. Hal ini pula ditunjukkan oleh ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” [12]

Jumlah terbanyak dari yang absen dari perang ini adalah golongan Arab Badui dan orang-orang munafik. Sementara itu, kelompok yang tidak ikut berperang karena halangan atau alasan yang dimaafkan Allah tercatat lebih sedikit dari kelompok pertama.

Wallahu'alam.

Footnote:

1.       QS. At-Taubah: 81.
2.      Dituturakan oleh Ibnu Ishaq dengan jalur periwayatan di tingkat mursal dari hadits keempat gurunya yang dinilai tsiqah. Lebih jauh, Anda dapat melihat Ibnu Hisyam, 4, 217. Ibnu Ishaq juga meriwayatkan teks ini melalui jalur-jalur laih yang shahih.
3.      QS. At-Taubah: 49
4.      Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan jalur periwayatan di tingkatan mu’allaq (Ibnu Hisyam, 4, hh. 216-217); ath-Thabari, at-Tafsir, 14, hh. 287-288.
5.      QS. At-Taubah: 43
6.      Ath-Thabari, at-Tafsir, 14, hlm. 273, asy-Syakir dari mursal Mujahid dengan jalur periwayatan yang dinilai shahih.
7.      Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam, dengan jalur periwayatan munqathi’, 4, hh. 217-218. Munqathi’ merupakan bagian dari hadits dhaif.
8.     QS. At-Taubah: 107-108.
9.      Dikutip dari riwayat ath-Thabari, at-Tafsir, 14, hlm. 470, no. 1787, asy-Syakir dengan jalur periwayatan yang dinilai shahih oleh as-Sanadi dalam adz-Dzahab al-Masbuk, hlm.316. ia menuturkan, “Hadits ini telah digunakan sebagai dasar argumentasi oleh para ulama tafsir. Para penuturnya memiliki kualifikasi yang terpercaya, kecuali al-Mutsanna dan Abdullah bin Shalih.”
10.  QS. At-Taubah: 84.
11.   Al-Bukhari, al-Fath, 6, hlm. 168, no. 1269; Muslim, 4, hlm. 2141, no.2774.
12.  QS. At-Taubah: 38

Main scource: Biografi Rasulullah, Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber yang Otentik karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top