“Sesungguhnya Allah telah menerima
tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi
dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling,
kemudian Allah menerima tobat mereka itu.” (QS. at-Taubah [9] : 117)
Orang-Orang yang Tidak Ikut Perang Tabuk
Selain
orang-orang yang memang benar-benar berhalangan dan orang-orang munafik, ada
tiga orang sahabat yang tidak berpartisipasi dalam Perang Tabuk tanpa alasan
tertentu. Mereka adalah Ka’ab ibn Malik, Murarah ibn Rabi’ al-Amiri, dan Hilal
ibn Umayyah al-Waaqifi. Mereka bertiga tidak ikut dalam Perang Tabuk karena
suka menunda-nunda pekerjaan dan cenderung bermalas-malas. Ka’ab radhiyallahu
‘anhu menuturkan kisah tentang ketidakikutsertaan dirinya dalam sebuah hadits
panjang yang disampaikan oleh al-Bukhari[1], Muslim[2] dan lain-lain sebagai
berikut:
“Inilah
kisahku. Sesungguhnya sangat kuat dan ringan bagiku untuk menyertai Rasulullah
dalam Perang Tabuk itu. Bahkan aku berkali-kali sudah siap untuk pergi bersama
kaum Muslimin, tetapi kemudian pulang lagi dan membatalkan niatku. Aku berkata
kepada diriku sendiri, ‘Sebenarnya aku mampu melakukannya jika menginginkan.’
Hal itu masih
terngiang-ngiang ditelingaku sampai orang-orang sibuk, sementara aku sendiri
belum mempersiapkan apa pun. Aku masih seperti itu sampai mereka berangkat
meninggalkanku. Beberapa waktu kemudian, aku ingin pergi dan menyusul merekaa,
tapi tidak segera melakukannya. Duhai, seandainya ketika itu aku melakukannya!
Hal itu
tampaknya belum menjadi takdirku. Apabila aku keluar rumah, bertemu orang-orang
setelah keberangkatan Rasulullah, dan pergi berkeliling, aku merasa sangat
sedih karena tidak melihat kecualii orang-orang yang tenggelam dalam
kemunafikan atau orang-orang dari kalangan miskin danlemah yang dimaafkan
Allah. Ketika ku dengar kabar bahwa Rasulullah sedang dalam perjalanan pulang,
yang membuat semangatku bangkit kembali, terbesitlah dalam benakku untuk
berdusta kepada beliau, sebab aku berpikir, ‘Dengan apa aku bisa selamat dari
murka Rasulullah besok?’
Aku pun minta
pendapat dari orang-orang bijak bestari di keluargaku. Tatkala dikabarkan bahwa
Rasulullah telah tiba, dusta luruh dari dalam diriku. Aku akan berkata jujur
kepada beliau.
Aku datang
menemui Rasulullah. Ketiak aku mengucapkan salam, beliau tersenyum sinis dan
berkata, ‘Ke marilah.’
Aku berjalan
mendekat dan duduk di hadapan Rasulullah. Beliau bertanya kepadaku. ‘Apa yang membuatmu
berhalangan ikut? Bukankah engkau telah menjual untamu?’
Aku menjawab,
‘Benar. Sesungguhnya aku, demi Allah, bila berhadapan dengan orang selain Anda,
yakin bisa terbebas dari amarahnya dikarenakan alasan yang akan kuajukan,
bahkan aku akan berani mendebatnya. Akan tetapi, demi Allah, hari ini aku sadar
sepenuhnya bahwa bila aku berbicara dusta kepada Anda, dan meskipun Anda
menerima alasanku, niscaya hal itu akan tetap membuat Allah murka kepada Anda
kerena aku. Dan apabila aku berkata jujur kepada Anda, pasti Anda temukan bahwa
aku hanya mengharapkan ampunan Allah. Demi Allah, sesungguhnya aku saat itu
tidak punya alasan untuk tidak ikut berjihad bersama Anda. Demi Allah, aku
merasa berdosa ketika aku tidak pergi bersama Anda.’
Rasulullah pun
berkata, ‘Orang ini berkata jujur. Maka tinggalkanlah kami hingga Allah
menentukan hukuman untukmu.’
Aku pun pergi.
Namun, beberapa orang dari Bani Salamah bangkit mengikutiku dan mempersalahkan
kejujuranku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Apakah ada orang yang berbuat sama
denganku?’
Mereka
menyahut, ‘Ya. Ada dua orang yang berkata persis seperti perkataanmu. Juga
dikatakan kepada mereka persis seperti apa yang dikatakan kepadamu.’
Aku bertanya,
‘Siapa mereka?’
Orang-orang itu
menjawab, ‘Murarah ibn Rabi’ dan Hilal ibn Umayyah.’
Mereka
menyebutkan nama dua orang saleh yang ikut dalam Perang Badar.[3] Keduanya
adalah panutan bagiku.
Tak lama
kemudian, Rasulullah melarang khalayak untuk berbicara dengan kami bertiga.
Maka orang-orang pun menjauhi kami dan sikap mereka terhadap kami berubah
total. Bahkan seolah-olah seluruh isi bumi ini telah mengucilkan kami dan
menentang kami, padahal aku tidak mengenal mereka. Kami lalui hal itu selama 50
malam. Kedua sahabatku tadinya hanya diam dan tinggal di rumah mereka seraya
menangis. Aku sendiri mencaci orang-orang dan membentak mereka. Suatu ketika
aku keluar rumah. Aku pergi untuk menunaikan shalat berjamaah bersama kaum
Muslimin lainnya. Aku mengelilingi pasar-pasar. Namun, tetap saja tidak ada
seorang pun yang mau berbicara kepadaku. Kemudian, aku mendatangi Rasulullah.
Kuucapkan salam kepada beliau yang sedang duduk di tempatnya usai shalat. Aku
bertanya-tanya dalam hati, ‘Apakah Rasulullah akan menggerakkan bibirnya untuk
menjawab salamku atau tidak?’
Lantas aku
shalat di dekat Rasulullah. Aku mencuri-curi pandang kepada beliau. Ketika aku
memulai shalatku, Rasulullah memandangku. Namun sewaktu aku menoleh ke arah
Rasulullah, beliau memalingkan wajahnya dariku.
Ketika aku
sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba datanglah seorang warga Syam
membawa makanan yang dijualnya di Madinah. Orang ini berkata, ‘Siapa yang bisa
menunjukkan kepadaku di mana Ka’ab ibn Malik?’
Orang-orang di
pasar segera menunjukkan hingga orang Syam itu menemuiku dan menyerahkan
sepucuk surat dari Raja Ghassan. Surat itu berbunyi, ‘Amma ba’du. Aku sudah
mendengar bahwa sahabat-sahabatmu telah mengabaikanmu. Allah tidak memasukkanmu
ke tempat yang hina dan sia-sia. Bergabunglah bersama kami, orang-orangmu.’
Selesai
membaca, aku berkata, ‘Ini juga termasuk cobaan.’
Kucampakkan
surat itu ke perapian dan membakarnya.
Akhirnya,
stelah 40 hari dari 50 hari masa hukumanku, seorang utusan Rasulullah
mendatangiku dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah memerintahkanmu untuk
menjauhi istrimu.’
Aku bertanya,
‘Kuceraikan dia, atau apa yang harus kulakukan?’
Rasulullah
menjawab, ‘Tidak. Jauhi saja dia dan jangan mendekatinya.’
Rasulullah juga
mengutus orang untuk menyampaikan hal serupa kepada kedua sahabatku. Aku lalu
berkata kepada istriku, ‘Pulanglah ke rumah orang tuamu. Tinggallah dulu
bersama mereka sampai Allah memutuskan sesuatu dalam perkara ini.’
Setelah itu,
kujalani sisa 10 malam terakhir hingga sempurnalah 50 malam sejak Rasulullah
melarang orang-orang untuk berbicara dengan kami bertiga.
Usai menunaikan
shalat Shubuh pada pagi hari setelah malam ke-50, aku duduk termenung di atap
rumah kami sambil berdzikir kepada Allah. Jiwaku sesak kurasakan, begitu pula
bumi telah menjadi sempit, padahal bumi itu luas.
Tiba-tiba aku
mendengar teriakan seseorang dari atas gunung Sala’[4], ‘Hai Ka’ab ibn Malik,
dengarlah berita gembira untukmu!’
Aku langsung
bersujud. Aku tahu bahwa kemudahan dan ampunan sudah tiba. Rasulullah telah
mengumumkan penerimaan Allah atas tobat kami usai menunaikan shalat Shubuh.
Orang-orang berhamburan menyampaikan berita gembira ini kepada kami. Mereka
juga menyampaikan hal ini kepada kedua sahabatku. Ketika orang yang kudengar
teriakannya tadi menyampaikan kabar gembira ini kepadaku, aku segera meleepas
kedua potong bajuku dan memakaikannya kepada orang itu karena kegembiraan yang
kuterima dariinya. Demi Allah, hanya dua potong baju itulah yang kumiliki
ketika itu. Maka selanjutnya aku meminjam dua potong baju lagi untuk kukenakan.
Aku pun bergegas menemui Rasulullah.
Orang
berbondong-bondong menemuiku untuk mengucapkan selamat atas diterimanya
tobatku. Tatkala aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, dengan wajah
berseri-seri karena bahagia beliau bersabda ‘Kuberikan kabar gembira kepadamu
tentang satu hari paling baik yang pernah kau lalui sejak engkau dilahirkan.’
Aku bertanya,
‘Rasulullah, apakah berita gembira itu datang dari Anda, ataukah dari Allah?’
Beliau
menjawab, ‘Bukan, berita itu datangnya dari Allah.’
Aku menyahut,
‘Rasulullah, di antara bentuk tobatku adalah aku akan melepaskan seluruh
hartaku untuk kusedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.’
Rasulullah
berkata, ‘Simpanlah sebagian hartamu. Yang demikian itu lebih baik untukmu.’
Aku berkata
lagi, ‘Rasulullah, aku telah diselamatkan oleh kejujuran. Sesungguhnya di
antara tobatku adalah bahwa aku tidak akan mengucapkan apapun kecuali
kejujuran, selama aku hidup.’
Kemudian, Allah
menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya, ‘Sesungguhnya Allah telah menerima tobat
Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam
masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian
Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
tobat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka,
padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh
mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa)
Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar
mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat
lagi Maha Penyayang. Hal orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.’[5]
Kami bertiga
ketinggalan dari orang-orang yang diterima alasannya oleh Rasulullah ketika
mereka bersumpah setia kepada beliau. Rasulullah membai’at orang-orang itu dan
memohonkan ampunan Allah bagi mereka. Rasulullah juga menangguhkan perkara kami
sampai Allah menentukan hukuman-Nya bagi kami. Oleh karena itulah Allah
berfirman, ‘Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) kepada
mereka...’
Firman Allah
yang diturunkan ini bukanlah mengenai tidak ikut sertanya kami dalam Perang
Tabuk, melainkan meenjelaskan penundaan tobat dan penangguhan perkara kami dari
orang-orang yang telah bersumpah setia kepada Rasulullah, meminta maaf kepada
Rasulullah, dan diterimanya maaf itu dari Rasulullah.”
Dalam hadits
Ka’ab tersebut dituturkan pula bahwa mereka yang tidak ikut dalam perang ini
berjumlah sekitar 89 orang. Mereka semua meminta maaf kepada Rasulullah akan
ketidakikutsertaan mereka. Rasulullah memaafkan dan menerima keterusterangan
mereka itu. Beliau kemudian membai’at meereeka, memohonkan ampunan untuk
mereka, dan menyerahkan isi hati mereka kepada Allah. Jumlah ini sesuai dengan
yang disebutkan oleh al-Waqidi[6]. Ia menambahkan bahwa jumlah orang Arab Badui
yang tidak ikut serta dalam perang ini mencapai 82 orang. Mereka berasal dari
Bani Ghifar dan kabilah-kabilah lainnya.
Adapun Abdullah
ibn Ubay ibn Salul dan para pengikutnya belum termasuk jumlah itu. Jumlah orang
munafik yang tidak ikut dalam Perang Tabuk sangatlah banyak. Al-Waqidi, Ibnu
Sa’ad[7], dan Ibnu Ishaq[8] menuturkan bahwa Ibnu Ubay sempat ikut keluar
sampai gunung Dzibab di Madinah. Ia diiringi oleh para pengikutnya yang terdiri
dari kaum Yahudi dan orang-orang munafik. Dikatakan bahwa pasukan Ibnu Ubay
bukanlah pasukan yang kecil. Ketika Rasulullah bergerak, Ibnu Ubay bersama
orang-orangnya mundur dan tidak jadi ikut ke Tabuk. Sayangnya, semua kisah ini
tidak dirriwayatkan melalui jalur-jalur riwayat shahih.
Orang-orang
yang tidak ikut berjuang menyangka bahwa tidak akan ada orang yang mengetahui
perbuatan mereka. Hal itu dikarenakan besarnya jumlah personil pasukan
Muslimin. Akan tetapi, di perjalanan menuuju Tabuk, Rasulullah ingat kepada
beberapa orang yang tidak menyertai beliau. Beliau bertanya kepada Abu Rahmin
Kultsum ibn Hishn al-Ghifari tentang orang-orang Bani Ghifar dan kabilah Aslam
yang tidak ikut ke Tabuk.[9] Setibanya di Tabuk, beliau menanyakan perihal
Ka’ab ibn Malik.[10]
Wallahu’alam
Footnote:
- Al-Bukhari,
al-Fath, 16, hh. 241-252, no. 4418.
- Muslim, 4,
hh. 2120-2128, no. 6769.
- Ibnu Qayyim
berkomentar di Zad al-Ma’ad, 3, hlm. 577, “Topik ini hanyalah prasangka
az-Zuhri yang menuturkan riwayat ini. Ia tidak hafal dari satu pun ahli sirah
dan maghazi penyebutan kedua orang ini sebagai peserta Badar.” Saya katakan,
“Ibnu Hajar telah menyebutkan di al-Ishabah, 4, hlm. 207, bahwa Hilal ibn
Umayyah ikut serta dalam Perang Badar, begitu pula dengan Murarah ibn ar-Rabi’,
berdasarkan riwayat yang shahih. Lihat al-Ishabah, 4, hlm. 396, sedangkan Ibnu
Hajar bukan seorang ahli sirah dan maghazi.”
- Sala’ adalah
nama sebuah gunung di Madinah, berada di wilayah Bani Hudzail.
- QS.
At-Taubah: 117-119
- Al-Maghazi,
3, hlm. 995. Pendapat al-Waqidi sering ditangguhkan (matruk) dalam hadits
meskipun pengetahuannya luas. Oleh karena itu, jalur periwayatannya berada di
tingkatan dha’if.
- Ath-Thabaqat, 2, hlm. 125. Riwayatnya berasal dari penuturan gurunya,
al-Waqidi. Pendapat al-Waqidi sering ditinggalkan, maka dari itu jalur periwayatannya
berada di tingakatan dha’if.
- Ibnu Hisyam,
4, hlm. 2199, dengan jalur periwayatan di tingkatan mursal. Ibnu Ishaq,
al-Waqidi, dan Ibnu Sa’ad mengemukakan kisah ini dengan redaksi “konon”. Hal
ini menunjukkan bahwa mereka sendiri tidak menerima kisah tersebut. Mereka
pantas ragu, khususnya dengan penyebutan orang-orang Yahudi dan jumlah bilangan
yang tidak sejalan dengan fakta dari peristiwa-peristiwa yang terjadi antara
kaum Muslimin dan Yahudi. Eksistensi mereka jauh dari kemungkinan untuk
disebutkan di sini, apalagi dengan kekuatan yang mereka miliki, siikap
permusuhan, dan tipu daya mereka. Ditambah lagi, riwayat ini tidak datang
melalui jalur-jalur yang shahih.
- Dari riwayat
Ibnu Ishaq yang berkualiitas maushul, dari hadits az-Zuhri. Ibnu Ishaq tidak
mengakui menerima hadits ini darinya. Di jalur periwayatannya tercantum nama
kemenakan Abu Rahmin yang tidak dikenal oleh al-Haitsami, sebagaimana
dijelaskan di al-Majmu, 6, hlm. 192. Lihat Ibnuu Hisyam, 4, hh. 234-236.
Riwayat ini dituturkan juga melalui jalur Ma’mar dari az-Zuhri, sesuai deengan
keterangan di Mawwarid ash-Zham’an, hlm. 417. Oleh karena itu, riwayat ini
meniingkat mutunya menjadi hasan li ghairih, seperti disampaikan oleh as-Sanadi
di adz-Dzahab al-Masbuk, hlm. 245.
- Al-Bukhari,
al-Fath, 16, hlm. 244, no. 4418.
Main scource: Biografi
Rasulullah, Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber yang Otentik karya
DR. Mahdi Rizqullah Ahmad