Larangan Menyebarkan Hadits Dhai'f dan Palsu dan Ancaman Terhadapnya

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4)


Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar, bahkan bisa menjatuhkan pelakunya kedalam kekafiran. Imam Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab beliau Al-Kabair (mengenai dosa-dosa besar) berkata: “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran.”

Beberapa dalil yang dibawakan oleh Imam Adz-Dzahabi rahimahullah adalah sebagai berikut.

Dari Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ  بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ

“Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir)

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah juga membawakan hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang berkata atas namaku padahal aku sendiri tidak mengatakannya, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.”

Dalam hadits lainnya disebutkan pula:

يُطْبَعُ الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلاَلِ كُلِّهَا إِلاَّ الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ

“Seorang mukmin memiliki tabiat yang baik kecuali khianat dan dusta.” (HR. Ahmad 5/252)

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَوَى عَنِّى حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ

“Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya).” (HR. Ibnu Majah no. 39)

Setelah membawakan hadits-hadits di atas, Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Dengan ini menjadi jelas dan teranglah bahwa meriwayatkan hadits maudhu’ -dari perawi pendusta- (hadits palsu) tidaklah dibolehkan.” (Al-Kabair, hal. 28-29)

Dari penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa menyebarkan hadits-hadits palsu adalah kebathilan dan sudah semestinya kita bersikap wara’ (hati-hati) dalam menyampaikan suatu hadits agar kita tidak menjadi salah satu orang yang diancam oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan neraka. Khususnya bagi para mubaligh sebelum menyampaikan sebaiknya dipastikan dulu keshahihannya, jika masih ragu maka lebih baik jangan disampaikan hingga sudah terbukti keshahihannya sehingga hadits itu dapat dijadikan hujjah. Janganlah mengikuti hawa nafsu dalam menilai keshahihan suatu hadits, hanya karena mustami’ senang dengan suatu perkara maka anda menyampaikan hadits palsu atau dhaif yang mendukung perkara tersebut. Sungguh para ulama sudah menjelaskan metode-metodenya dan kita yang awam cukup ittiba’ saja kepada para ulama ahlul hadits disamping kita juga harus mengetahui mengapa sang ahlul hadits itu mengshahihkan suatu hadits. Hanya Allah yang memberi taufiq. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Kerusakan Akibat Seorang Muslim Merayakan Tahun Baru

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)


Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.

Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.

Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru

1.       Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram

Perlu diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” (HR. An-Nasa’i no. 1556)

Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (’ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.

Perhatikan penjelasan Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:

“Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:

1 - Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
2 - Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
3 - Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.

Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:

Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’)

Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.

2.       Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir

Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ

“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Al-Bukhari no. 7319)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)

Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 16 hal. 220)

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’). (Iqtidha’ Ash-Shiratil Mustaqim, Jilid 1 hal. 363)

3.       Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru

Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”

Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiyalllahu ‘anhu ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud radhiyalllahu ‘anhu:

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.

“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud radhiyalllahu ‘anhu lantas berkata:

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” (HR. Ad-Darimi no. 202)

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

4.       Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru

Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah, Jilid 1 hal. 441)

5.       Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.

Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7)

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al-Kaba’ir, hal. 26-27)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslamiy radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’I dan Ibnu Majah)

Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.

6.       Begadang Tanpa Ada Hajat

Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 568)

Ibnu Baththal rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al-Khaththab sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!” (Syarh Al-Bukhari, Jilid 3 hal. 278) Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

7.       Terjerumus dalam Zina

Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)

8.       Mengganggu Kaum Muslimin

Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41)

Ibnu Baththal mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut.” (Syarh Al-Bukhari, Jilid 1 hal. 38) Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

9.       Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan

Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000,- untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000,-, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al-Isra’ [17] : 26-27)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 5 hal. 69)

10.   Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga

Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi)

Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.

Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.” (Al-Fawa’id, hal. 33)

Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ

“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir [35] : 37)

Qatadah rahimahullah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 6 hal. 553)

Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.

Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud [11] : 88)

Kisah Syahidnya Para Penegak Tauhid Ajaran Nabi Isa 'Alaihis Salam

“Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas : 1-4)


Kita semua tahu, orang yang senantiasa berada dalam jalur kebenaran akan mendapatkan tantangan dan godaan dari lingkungan disekitarnya, bahkan tidak jarang keberadaan orang-orang seperti ini ditamsilkan dengan memegang sebuah bara api. Mereka akan menjumpai sikap permusuhan yang dilancarkan dari orang-orang yang tidak senang terhadap kebenaran dan kejujuran sampai orang-orang saleh tersebut berbalik meninggalkan kebenaran yang diyakininya selama ini.

Untuk menghadapi semua itu, Nabi Isa ‘alaihis salam telah memberikan satu petunjuk kepada umatnya, bahwa siapa diantara mereka yang menjaga serta tetap mematuhi ajaran yang telah diajarkannya kepada mereka, maka mereka itulah yang akan mendapatkan kecintaan dari Nabi Isa ‘alaihis salam serta mendapatkan pula kasih dari Allah. Dan sebagai konsekwensinya, mereka-mereka ini akan mendapatkan kenyataan mengenai kebenaran Nabi Isa ‘alaihis salam, mereka inilah sebenarnya orang-orang yang terselamatkan.

Lebih jauh Nabi Isa ‘alaihis salam memberikan satu gambaran kepada murid-muridnya, bahwa mereka yang tetap memegang teguh ajaran yang disampaikannya itu kelak akan mendapatkan perlawanan sengit dari orang-orang yang mengaku beriman kepadanya namun pada dasarnya mereka tidaklah beriman sebagaimana ucapan mereka, sebab mereka sama sekali tidak mengenal sosok Nabi Isa ‘alaihis salam dan juga tidak mengenal Allah yang benar.

Akibatnya, mereka akan melakukan bermacam cara untuk memusuhi orang-orang yang mengikuti Nabi Isa ‘alaihis salam, dimulai dengan tidak diterimanya mereka dari rumah tempat beribadah hingga pembunuhan-pembunuhan atas diri mereka. Semuanya disebabkan kesalah kaprahan manusia akan pemahamannya tentang Nabi Isa ‘alaihis salam dan Allah, sehingga seluruh perbuatan mereka kepada orang-orang saleh itu akan dianggap sebagai suatu perbuatan baik dimata Tuhan.

Sejarah mencatat sejumlah tokoh-tokoh Unitarian yang mempertahankan kebenaran ajaran Nabi Isa ‘alaihis salam yang telah gugur sebagai syuhada didalam mempertahankan keyakinannya terhadap orang-orang kafir.

Iranaeus (130-200 M), dia lahir disaat ajaran Kristen Antiokia sudah menyebar ke Afrika Utara, Spanyol hingga ke Prancis Selatan. Tidak banyak catatan sejarah mengenai asal-usul dan kedewasaannya, sejarah mulai mencatat masa dimana Iranaeus membawa surat petisi dari Uskup Lyons Pothinus kepada Paus Elutherus di Roma.

Petisi itu berupa permohonan Pothinus kepada Paus untuk menghentikan pengejaran, penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang Kristen yang tidak menyetujui doktrin gereja Pauline.

Ketika masih berada di Roma, Iranaeus mendapat berita bahwa semua orang Kristen yang tidak sepaham dengan Paulus yang ada di Lyons Antiochia termasuk uskup Pothinus sendiri telah tewas dibunuh. Dan pada waktu kembali ke Lyons, Iranaeus menggantikan Ponthinus untuk menjabat sebagai uskup dinegrinya.

Ditahun 190 M, Iranaeus sendiri menulis surat kepada Paus Victor agar menghentikan pembantaian terhadap orang-orang Kristen yang dibunuh karena keyakinan mereka yang berbeda dengan keyakinan gereja Paulus.

Cerita lama kembali terulang, Iranaeus sendiri terbunuh pada tahun 200 M karena tidak bersedia mengikuti keyakinan Paus, Iranaeus hanya beriman dan mengakui kepada satu Tuhan, yaitu Allah, dan dia mendukung pengajaran kemanusiaan Nabi Isa ‘alaihis salam yang diangkat oleh Allah menjadi utusan-Nya.

Iranaeus banyak melakukan kritikan terhadap Paulus karena dianggapnya sebagai orang yang paling bertanggung jawab didalam memasukkan doktrin-doktrin dari agama berhala dan filsafat Plato kedalam ajaran sejati Nabi Isa ‘alaihis salam.

Didalam bukunya, "Universalism The Prevailing Doctrine Of The Christian Church During Its First Five Hundred Years" ditulis oleh J.W. HANSON, D. D menyatakan mengenai Iranaeus ini sebagai berikut :

In a germinal form of the Apostle's Creed, Irenæus, A.D. 180, says that the judge, at the final assize, will cast the wicked into aionian fire. It is supposed that he used the word aionian, for the Greek in which he wrote has perished, and the Latin translation reads, "ignem aeternum."

Selain Iranaeus, didalam tubuh gereja Afrika muncul pula seorang unitarian bernama "Tertullian" (160-220 M), dia adalah seorang penduduk asli Carthage (Kartago).

Tertullian sebagaimana juga dengan Iranaeus, meyakini ke-Esaan Allah dan mengidentifikasikan Nabi Isa ‘alaihis salam sebagai juru selamat (Messiah) bangsa Yahudi. Dia menentang Paus Callistus karena mengajarkan "dosa asal" telah diampuni setelah melaksanakan penebusan dosa resmi dibawah gereja.

Tertullian menekankan tentang kesatuan jiwa dan eksistensi dan mengatakan bahwa orang-orang yang sehat akalnya pasti meyakini bahwa Jesus hanyalah manusia belaka.

Paus Callistuslah yang memperkenalkan istilah "Trinitas" kedalam tulisan-tulisan "ecclesiastical" (gerejawi) Latin ketika ia membahas doktrin baru yang aneh tersebut. Istilah Trinitas sendiri sama sekali tidak pernah digunakan dalam kitab-kitab suci.

Selain Iranaeus dan Tertullian, seorang Unitarian lainnya pun muncul dari Mesir bernama "Origen" (185-254 M). Ayahnya bernama "Leonidas" dan mendirikan pusat pendidikan teologi dengan mengangkat seorang guru Teologi terkemuka bernama Clement sebagai kepala lembaga tersebut. Origen sendiri mendapatkan pendidikan ditempat itu.

Leonidas adalah seorang pengikut Kristen Apostolik, yaitu ajaran yang mentauhidkan Tuhan dan mengakui kehambaan dari Nabi Isa ‘alaihis salam.

Sebagaimana kita tahu, gereja Paulus tidak mau menerima kepercayaan seperti yang dipegang oleh Leonidas ini, dan sebagai konsekwensinya pada tahun 208 Leonidas tewas dibunuh oleh orang-orang Paus.

Karena merasa dirinya juga terancam, Clement segera meninggalkan Alexandria. Dan sebagai gantinya, Origen meneruskan kepemimpinan Clement sebagai kepala sekolah Teologi.

Pada tahun 230 M, Origen dinobatkan sebagai seorang Pendeta di Palestina, namun karena Origen telah mengajarkan tauhid didalam gereja, Uskup Demerius akhirnya memecat Origen dan mengusirnya dari gereja (persis seperti yang dinubuatkan Nabi Isa ‘alaihis salam dalam Injil Yohanes 16 :1-3).

Origen mengungsi ke Caesarea dan mendirikan pusat pendidikan Teologi ditempat itu pada tahun 231 M yang akhirnya membawa nama harum kepadanya.

Jerome, seorang penulis Injil pertama dalam bahasa Latin, pada mulanya merupakan orang yang sangat mendukung Origen, namun akhirnya Jerome berbalik kepada gereja Paulus dan menarik garis permusuhan terhadap Origen.

Jerome berusaha agar Origen mendapatkan kecaman dan pengadilan dari gereja setempat, namun popularitas Origen terlampau besar dan tidak memungkinkan bagi Uskup John untuk melakukannya, sehingga atas rencananya ini mengakibatkan Jerome sendiri tersingkir dari kalangan gereja.

Namun pada tahun 250 M, Origen dikecam oleh Konsili Alexandria dan dijebloskan kedalam penjara serta mendapatkan penyiksaan yang terus menerus oleh pihak gereja Paulus sehingga mengakibatkan kematiannya pada tahun 254 M.

Origen telah menulis sekitar 600 buah karangan dan risalah. Dia adalah salah seorang yang paling berperan dalam sejarah gereja dan telah gugur sebagai seorang syuhada yang membela ajaran Allah sejati.

Dimasa mudanya sampai menjelang akhir hayatnya, Origen tetap mempertahankan pengajaran ke-Esaan Tuhan (The Unity of God), meyakini bahwa hanya Allah saja yang berkuasa dan Nabi Isa ‘alaihis salam adalah manusia biasa dan hamba Allah, bukan Allah itu sendiri.

Apa yang diyakini oleh Origen mengenai konsep ketuhanan sama sekali bersesuaian dengan apa yang diajarkan oleh para Nabi (termasuk konsep dari Jesus sendiri) dan tidak ada perbedaan dengan apa yang sudah ditegaskan oleh Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sang Paraclete agung yang dinubuatkan kedatangannya oleh Nabi Isa ‘alaihis salam.

Tokoh Unitarian berikutnya adalah Diodorus, seorang Uskup yang berasal dari negri Tarsus, tanah kelahiran Paulus. Diodorus merupakan tokoh Kristen terkemuka di Antiokhia, dia berpendapat bahwa dunia ini selalu berubah-ubah, perubahan itu sudah ada sejak dahulu. Dan itu menunjukkan ada sesuatu yang tetap dibalik perubahan itu.

Lebih jauh lagi, keberagaman eksistensi dan kebijaksanaan yang diperlihatkan dalam setiap proses perubahan itu sendiri, menunjukkan terhadap kesatuan asal yang mendasarinya dan memperlihatkan kehadiran Sang Pencipta dan Pemelihara. Inilah menunjukkannya adanya satu Pencipta Yang Maha Esa.

Diodorus menekankan sifat kemanusiaan secara menyeluruh dalam diri Nabi Isa ‘alaihis salam yang memiliki jiwa manusia dan daging manusia, tidak ada unsur ketuhanan sama sekali.

Selain Iranaeus, Tertullian, Leonidas, Origen dan juga Diodorus, telah muncul pula "Lucian", seorang yang dikenal keluasan ilmunya terhadap bahasa Ibrani dan Yunani. Lucian tidak menginduk terhadap salah satu gereja dari tahun 220 sampai 290 M.Pengajaran Lucian adalah Tauhid, yaitu pengesaan Allah dalam segala bentuk-Nya.

Lucian percaya kepada penafsiran gramatikal dan literal (sesuai dengan bunyi lahir suatu kata) dari kitab-kitab suci (Bible). Dia menentang kecenderungan untuk mencari-cari makna symbolis dan kiasan dari teks-teks Injil, dan percaya kepada suatu pendekatan empiris dan kritis terhadap kitab-kitab tersebut. Dia mengatakan bahwa dengan mencari-cari makna simbolis tersebut, dapat berakibatkan dengan penambahan dan pengurangan pada Injil yang berarti hilangnya kemurnian ajaran Nabi Isa ‘alaihis salam.

Lucian menghilangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada kitab Injil yang diterjemahkan kedalam bahasa Yunani (Septuaginta), beliau telah mengadakan revisi terhadap empat Injil yang menjadikannya berbeda dengan Injil-Injil yang dipergunakan oleh gereja Paulus.

Lucian menolak paham trinitas dan sebaliknya begitu menekankan ajaran Tauhid, bahwa hanya Allah saja Tuhan alam semesta yang patut disembah, sedangkan Nabi Isa ‘alaihis salam hanyalah manusia biasa yang diangkat menjadi Utusan-Nya.

Atas sikapnya ini, Lucian menjalani penyiksaan dari pihak gereja Paulus dan dihukum mati pada tahun 312 M.

Arius (250-336 M) adalah salah seorang murid utama Lucian berkebangsaan Lybia yang juga bersama-sama dengan gurunya menegakkan ajaran Tauhid kepada Allah, Arius merupakan seorang presbyter (ketua majelis agama/gereja) digereja Baucalis Alexandria, salah satu gereja tertua dan terpenting dikota itu pada tahun 318 M.

Sejak wafatnya Lucian pada tahun 312 M ditangan orang-orang gereja Paulus, perlawanan Arius terhadap doktrin Trinitas semakin mengkristal, dan dalam perjuangannya ini, Arius justru mendapatkan dukungan dari dua orang saudari Kaisar Konstantin yang bernama Konstantina dan Licunes.

Arius dianggap sebagai seorang pemberontak Trinitas dengan mempergunakan argumen logika :

"Jika Jesus itu benar-benar anak Tuhan, maka Bapa harus ada lebih dahulu. Oleh karena itu harus ada "masa" sebelum adanya anak. Berarti anak adalah makhluk. Maka dari itu anak tidak selamanya ada atau tidak abadi. Sedangkan Tuhan yang sebenarnya adalah abadi, berarti Jesus tidaklah sama dengan Tuhan."

Atas argumentasi Arius tersebut, sekitar seratus orang Pastur Mesir dan Lybia berkumpul untuk mendengarkan pertanggung jawaban Arius. Dan diwaktu itu juga Arius mengemukakan kembali pemandangannya :

"Ada masa sebelum adanya Yesus, sedangkan Tuhan sudah ada sebelumnya. Yesus ada kemudian, dan Yesus hanyalah makhluk biasa yang bisa binasa seperti makhluk-makhluk lainnya. Tetapi Tuhan tidak akan binasa."

Arius juga memperkuat argumentasinya dengan sejumlah ayat-ayat Bible seperti Injil Yohanes 14 : 8, "Bapa lebih besar daripada Jesus"; Seandainya kita mengakui bahwa Yesus adalah sama dengan Tuhan, maka kita harus menolak kebenaran ayat Yohanes tersebut.

Argumen Arius ini secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut :

Jika Yesus memang "anak Tuhan", maka akan segera disertai pengertian bahwa "Bapak Tuhan" haruslah ada terlebih dahulu sebelum adanya sang "Anak". Oleh sebab itu tetulah akan terdapat rentang waktu ketika "Anak" belum ada. Oleh karenanya, "Anak" adalah makhluk yang tersusun dari sebuah "esensi" atau makhluk yang tidak selalu ada. Karena Tuhan merupakan suatu zat yang bersifat mutlak (abadi, alpha dan omega), maka Yesus tidak mungkin bisa menjadi "esensi" yang sama sebagaimana "esensi" Tuhan.

Argumen Arius ini tidak bisa terbantahkan, dan mulai tahun 321 M, Arius dikenal sebagai seorang presbyter pembangkang dan mendapatkan banyak dukungan dari Uskup-uskup daerah Timur. Hal ini membuat Alexandria (yang pernah membuat keputusan hukuman mati atas Origen tahun 250 M) menjadi semakin marah.

Pada tahun 336 Arius diangkat menjadi Pastur di Konstantinopel dan dalam satu muslihat yang licik, dia berhasil dibunuh.

Arius pula orangnya yang sangat menentang keras keputusan Nicea pada tahun 325 M, sebelum matinya, Arius sempat mengeluh mengenai keadaan dirinya yang senantiasa mendapatkan tantangan dari orang-orang gereja Paulus kepada salah seorang sahabatnya bernama Eusibius dari Nicomedia yang merupakan salah seorang sahabatnya ketika sama-sama belajar dengan Lucian.

Eusibius dari Nicomedia berasal dari keluarga aristokrat bangsawan. Kemasyurannya menentang doktrin Paulus pun tidak kalah dengan Arius, dia dipanggil "Bapak besar" oleh para pengikut Arius.

Pada mulanya Eusibius diangkat menjadi seorang Uskup di Beirut, kemudian dipindahkan ke Nicomedia yang merupakan ibukota kekaisaran Konstantinopel wilayah timur. Dia bersahabat baik dengan saudari ipar dan saingan kekuasaan dari kaisar Konstantin yang bernama Licinus.

Sebagaimana Arius, perjuangan Eusibius pun mendapatkan dukungan penuh dari Konstantina, saudari kaisar Konstantin dan merupakan salah seorang kerabat istana yang berpengaruh.

Demikianlah kiranya. Semoga bisa membawa manfaat kepada kita semua.

"Sungguh, telah kafirlah orang-orang yang berkata : "Allah itu adalah Al-Masih putera Maryam." Tanyakanlah : "Siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan siapa saja diatas bumi semuanya?" Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya, Ia menciptakan apa yang Ia kendaki. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
(QS. Al-Ma'idah : 17)

Dan ketika Allah berfirman : “Hai 'Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia : "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?" 'Isa menjawab : "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku sama sekali tiada mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib, Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku yaitu: "Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu", dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka.” (QS. Al-Maidah : 116-117)

Mereka berkata : "Allah mempunyai anak." Maha Suci Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya, kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? (QS. Yunus : 68)

Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas : 1-4)

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top