“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang
kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku), pasti kalian pun
akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang
diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”
(HR. Muslim no. 2669)
Manusia
di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun
sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar
menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam mengenai perayaan
tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang
singkat ini bisa menjawabnya.
Sejarah
Tahun Baru Masehi
Tahun
Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi).
Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan
untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad
ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh
Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar
penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana
yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu
dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun
45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.
Caesar
juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan
Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender
baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama
bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan
Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi
bulan Agustus.
Dari
sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang
kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada
pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh
orang-orang kafir.
Berikut
adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru
1. Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu
diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan
‘Idul Adha. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
كَانَ
لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا
فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ
كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا
خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari
(hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika
itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau
mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang
Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul
Fithri dan Idul Adha.’” (HR. An-Nasa’i no. 1556)
Namun
setelah itu muncul berbagai perayaan (’ied) di tengah kaum muslimin. Ada
perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di
antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi.
Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena
perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan
Idul Adha.
Perhatikan
penjelasan Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di
Saudi Arabia berikut ini:
“Al-Lajnah
Ad-Daimah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah
adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi
tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa
hal:
1 - Hari
yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
2 - Berkumpulnya
banyak orang pada hari tersebut.
3 - Berbagai
aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non
ibadah.
Hukum
ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
Ied
yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan
hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau Ied yang mengandung unsur
menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain
maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَحْدَثَ
فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama
kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
Misalnya
adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid
nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak
pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan
orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena
menyerupai orang kafir.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal
Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’)
Begitu
pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai
perayaan orang kafir.
2. Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan
tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan
mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin
mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لاَ
تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا
بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ
. فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti
jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu
ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah
mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain
mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Al-Bukhari no. 7319)
Dari
Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى
لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang
sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika
orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku),
pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai
Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau
menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
Imam
An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan,
“Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob
(lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku
kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu
kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan,
bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi
beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” (Syarh
Shahih Muslim, Jilid 16 hal. 220)
Lihatlah
apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang
beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian
orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang.
Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru
ini.
Ingatlah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita
meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia
termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Menyerupai
orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan
kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah
dan kesepakatan para ulama (ijma’). (Iqtidha’ Ash-Shiratil Mustaqim, Jilid 1
hal. 363)
3. Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita
sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan
merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang
mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada
waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir
berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian
tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh
aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa
tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum
muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi
menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai
kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika
ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak
bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka
cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiyalllahu
‘anhu ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai
tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir
yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud radhiyalllahu ‘anhu:
وَاللَّهِ
يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud),
kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu
Mas’ud radhiyalllahu ‘anhu lantas berkata:
وَكَمْ
مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan,
namun mereka tidak mendapatkannya.” (HR. Ad-Darimi no. 202)
Jadi
dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga
mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan
tersebut bisa diterima di sisi Allah.
4. Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita
telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah
syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam
syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan
kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul
Qayyim rahimahullah dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi
ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir
(seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan
berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan
selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini
adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar
mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa
selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang
diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan
kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan
perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam
ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada
orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat
pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut.
Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka
perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang
yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan
kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah, Jilid 1 hal. 441)
5. Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa
banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik
pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam
2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti
ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di
antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah
kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan
berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min
dzalik.
Ketahuilah
bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele.
Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih
pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan
sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa
membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras.
Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta
mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, hal.
7)
Imam
Adz-Dzahabi rahimahullah juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan
shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan
shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan
mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar.
Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku
dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat
termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat
dosa).” (Al-Kaba’ir, hal. 26-27)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang
yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslamiy
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعَهْدُ
الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir)
adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi,
An-Nasa’I dan Ibnu Majah)
Oleh
karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga
membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan
merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama
yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ
الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah
shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)
Shalat
malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang
sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu
yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh
sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya.
Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah
kerugian yang sangat besar.
6. Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang
tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang
tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ
الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci
tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Al-Bukhari no.
568)
Ibnu
Baththal rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin
melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh
berjama’ah. ‘Umar bin Al-Khaththab sampai-sampai pernah memukul orang yang
begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang
begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!” (Syarh
Al-Bukhari, Jilid 3 hal. 278) Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan
dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
7. Terjerumus dalam Zina
Jika
kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada
mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan
berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai
terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut
dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis.
Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan
muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan
kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
كُتِبَ
عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ
وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ
زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ
وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk
berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata
adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah
dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah
dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu
kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR.
Muslim no. 6925)
8. Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan
tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara
bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu
muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat
seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah
terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan
tangannya tidak mengganggu orang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 10 dan Muslim no.
41)
Ibnu
Baththal mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar
seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan
seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang
baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut.”
(Syarh Al-Bukhari, Jilid 1 hal. 38) Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus
dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas
bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara
bising atau mungkin lebih dari itu?!
9. Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan
malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam.
Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru
sebesar Rp.1000,- untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan
tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia,
maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam?
Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000,-, bagaimana jika lebih
dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia.
Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli
petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb.
Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
وَلا تُبَذِّرْ
تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan.” (QS. Al-Isra’ [17] : 26-27)
Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh
sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros
menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah
menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan,
“Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu
bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja
(ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir
(pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah
mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru
dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 5 hal. 69)
10. Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan
tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan
untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam
seseorang:
مِنْ حُسْنِ
إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah
meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi)
Ingatlah
bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama
memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih
jelek dari kematian.
Semoga
kita merenungkan perkataan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah,
“(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian.
Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri
akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”
(Al-Fawa’id, hal. 33)
Seharusnya
seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan.
Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri
nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah
hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu
seperti inilah yang Allah cela. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَوَلَمْ
نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam
masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak)
datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir [35] : 37)
Qatadah
rahimahullah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan
sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah
dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.” (Tafsir Ibnu
Katsir, Jilid 6 hal. 553)
Inilah
di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak
kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini
karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum
melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di
tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah
dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang
sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat
maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus
kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin?
Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin
anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya
waktu.
Ya
Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan
saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka
agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
إِنْ
أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan)
perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku
melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan
hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud [11] : 88)