“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal
Dzulhijjah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap
bulannya.” (HR. Abu Daud no. 2437)
Dimasyarakat
sering kita mendengar istilah puasa Tarwiyah. Apa itu puasa Tarwiyah? Sebelum menjelaskan
apa itu puasa Tarwiyah, maka kita harus mengetahui makna dari Tarwiyah itu
sendiri. Tarwiyah (تروية)
berasal dari kata Irtawa - Yartawi (ارتوى – يرتوي) yang bermakna banyak minum. Disebut Tarwiyah
karena pada hari itu, para jama’ah haji membawa banyak perbekalan air zam-zam
untuk persiapan wukuf di Arafah dan menuju Mina, mereka minum untuk diri mereka
sendiri, memberi minum hewan tunggangannya dan membawa air zam-zam itu dalam
wadah.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah
menjelaskan asal penamaan ini, beliau berkata:
سمي بذلك لأنهم كانوا يتروون من الماء فيه،
يعدونه ليوم عرفة. وقيل: سمي بذلك؛ لأن إبراهيم عليه السلام رأى ليلتئذ في المنام ذبح
ابنه، فأصبح يروي في نفسه أهو حلم أم من الله تعالى؟ فسمي يوم التروية
“Dinamakan demikian, karena para
jamaah haji, mereka membawa bekal air pada hari itu, yang mereka siapkan untuk
hari arafah. Ada juga yang mengatakan, dinamakan hari Tarwiyah, karena Nabi
Ibrahim ’alaihis salam pada malam 8 Dzulhijjah, beliau bermimpi menyembelih
anaknya. Di pagi harinya, beliau yarwi (berbicara) dengan dirinya, apakah ini
mimpi kosong ataukah wahyu Allah? Sehingga hari itu dinamakan hari tarwiyah.” (Al-Mughni,
Jilid 3 hal. 364)
Kembali
ke masalah puasa Tarwiyah. Apakah puasa Tarwiyah itu? Adakah dalil yang
melandasi hal ini? Di masyarakat, puasa Tarwiyah ini sering dilaksanakan karena
mereka beranggapan bahwa puasa Tarwiyah ini memiliki fadhilah yang besar yaitu
bahwa puasa Tarwiyah ini dapat menghapuskan dosa selama satu tahun. Hadits yang
menjadi landasan dalam puasa Tarwiyah ini adalah hadits marfu’ dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, beliau berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ
كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَرفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ
“Puasa pada hari tarwiyah
menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa)
dua tahun.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firadus, 2/248)
Hadits
ini memiliki sanad dari Imam Ad-Dailami dari Abu Syaikh dari Ali bin Ali Al-Himyari dari Kalbi dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma.
Para
ulama ahli hadits telah sepakat bahwa hadits ini derajatnya Maudhu’ (Palsu).
Sanad hadits ini mempunyai dua penyakit:
Pertama,
Kalbi yang namanya lengkapnya adalah Muhammad bin Saib Al-Kalbi. Dia ini
seorang rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah,
“Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shalih dari Ibnu
Abbas, maka hadits ini dusta.” Sedangkan hadits di atas Kalbi meriwayatkan dari
jalan Abi Shalih dari Ibnu Abbas.
Imam
Al-Hakim An-Naisyaburi rahimahullah berkata: “Ia (Kalbi) meriwayatkan
dari Abi Shalih hadits-hadits yang maudhu’ (palsu).”
Imam
Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Adi
dari Aisyah secara marfu’. Hadis ini tidak shahih, dalam sanadnya terdapat
perawi bernama Kalbi, seorang pendusta.” (Al-Fawaid Al-Majmu’ah, Juz 1 hal. 45)
Tentang
Kalbi ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh wat Ta’dil:
1. At-Taqrib 2/163 oleh Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-Asqalani rahimahullah
2. Adh-Dhu’afa 2/253, 254, 255, 256
oleh Imam Ibnu Hibban rahimahullah
3. Adh-Dhu’afa wal Matrukin no. 467
oleh Imam Ad-Daruquthni rahimahullah
4. Al-Jarh wat Ta’dil 7/721 oleh Imam
Ibnu Abi Hatim rahimahullah
5. Tahdzibut Tahdzib 9/5178 oleh
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah
Kedua,
Ali bin Ali Al-Himyari adalah seorang rawi yang majhul (tidak dikenal).
Bolehkah
Kita berpuasa di hari Tarwiyah?
Secara zhahir puasa khusus di hari
Tarwiyah adalah Bid’ah karena berlandaskan hadits maudhu’ (palsu) yang sudah
dijelaksan di atas. Akan tetapi perlu ditekankan pula bahwa tidak ada larangan
berpuasa di hari Tarwiyah, karena selama bulan Dzulhijjah ini kita tetap
dianjurkan berpuasa selama tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah, dan kita semua tahu
bahwa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) masuk ke dalam rentang waktu itu. Sebagaimana
hadits dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari beberapa istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka berkata:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah,
pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya.” (HR. Abu
Daud no. 2437)
Selain berpuasa, kita pun dianjurkan
untuk meningkatkan amal ibadah kita selama 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Sebagaimana
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ.
يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ
اللَّهِ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ
وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tidak
ada hari dimana suatu amal salih lebih dicintai Allah melebihi amal salih yang
dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk lebih utama dibanding
jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke
medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil
musuh, pen.).” (HR. Abu Dawud no. 2438, At-Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no.
1727 dan Ahmad no. 1968)
Tarjih
Melihat
hadits yang dijadikan landasan pelaksanaan puasa Tarwiyah ini berasal dari
hadits maudhu’ (palsu) maka pelaksanaan puasa Tarwiyah adalah dilarang dan jika
tetap dilaksanakan dengan niat melaksanakan puasa Tarwiyah maka hukumnya Bid’ah.
Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ
فِي النَّارِ
“Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan
tempatnya di neraka.” (HR. An-Nasa’i no. 1578)
Dan
juga perlu diperhatikan, setelah kita mengetahui kepalsuan hadits puasa
Tarwiyah ini maka kita dilarang menyebarkan hadits ini karena menyebarkan
hadits palsu bukan dengan maksud menerangkan kepalsuannya kepada umat adalah
suatu dosa yang besar karena hal itu merupakan berdusta atas nama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ
كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Sesungguhnya
berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain. Barangsiapa
berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya
di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1229)
Akan
tetapi perlu ditekankan pula bahwa kita diperbolehkan berpuasa pada hari
Tarwiyah (8 Dzulhijjah) dengan niat melaksanakan puasa Dzulhijjah bukan
pengkhususan puasa Tarwiyah karena ada dalil yang menyunnahkan kita untuk
memperbanyak berpuasa di 9 hari pertama bulan Dzulhijjah. Wallahu a’lam. Semoga
bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ