Siapakah Rasul Pertama?

“Mereka mendatangi Nuh lalu berkata: “Wahai Nuh, engkau adalah rasul pertama bagi penduduk bumi, Allah menyebutmu sebagai hamba yang sangat bersyukur.” (HR al-Bukhari no. 4343 dan Muslim no. 194)


Dalam riwayat yang shahih dijelaskan bahwa jumlah Nabi sangatlah banyak yaitu 124.000 sedangkan Rasul hanyalah 313 orang dalam riwayat lain 315 orang saja, dimana hanya 25 orang atau 26 orang saja yang namanya tercatat dalam al-Qur’an. perlu difahami bahwa nabi dan rasul adalah berbeda, seorang rasul sudah pasti nabi, namun seorang nabi belum tentu dia adalah rasul, karena hal itulah maka jumlah nabi lebih banyak dari jumlah rasul.

Nabi adalah seseorang yang diberikan wahyu oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan suatu syari’at namun tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, akan tetapi mengamalkannya sendiri tanpa ada keharusan untuk menyampaikannya. Sedangkan Rasul adalah seseorang yang mendapatkan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan suatu syari’at dan dia diperintahkan untuk menyampaikannya kepada umatnya serta mengamalkannya.

Termasuk salah satu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah beriman bahwasanya rasul pertama yang diutus adalah Nabi Nuh ‘alaihis salam. Dalil yang menjadi landasan bahwa Nabi Nuh ‘alaihis salam adalah rasul pertama adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ

“Sesungguhnya Kami telah memberkan wahyu kepadamu sebagamana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya.”[1]

Dalam ayat ini terdapat kalimat وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ “dan nabi-nabi yang kemudiannya”, hal ini menunjukan bahwa Nabi Nuh ‘alaihis salam adalah rasul pertama, seandainya beliau bukanlah rasul pertama pasti Allah subhanahu wa ta’ala akan menunukkan hal tersebut dalam ayat ini. Selain itu, tidak ada satu pun dalil dari al-Qur’an yang menyatakan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam diutus dengan membawa risalah kepada suatu kaum, berbeda dengan Nabi Nuh ‘alaihis salam yang dalam beberapa ayat dijelaskan bahwa beliau diutus kepada suatu kaum, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّا أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ أَنْ أَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih."[2]

Dan juga firman Allah subhanahu wa ta’ala:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحاً إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ إِنِّيَ أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).”[3]

Sedangkan dari hadits, maka hadits yang menunjukan bahwa Nabi Nuh ‘alaihis salam adalah rasul pertama adalah sebuah hadits panjang yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengenai keadaan umat manusia di padang masyhar. Dalam hadits tersebut dikatakan:

اذْهَبُوا إِلَى نُوحٍ فَيَأْتُونَ نُوحًا فَيَقُولُونَ يَا نُوحُ إِنَّكَ أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ وَقَدْ سَمَّاكَ اللَّهُ عَبْدًا شَكُورًا

“Mereka mendatangi Nuh lalu berkata: “Wahai Nuh, engkau adalah rasul pertama bagi penduduk bumi, Allah menyebutmu sebagai hamba yang sangat bersyukur.”[4]

Beberapa ulama menyakan bahwa rasul pertama adalah Nabi Adam ‘alaihis salam, mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهو فِي الْمَسْجِدِ فَجَلَسْتُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمْ وَفَاءُ عِدَّةِ الْأَنْبِيَاءُ؟ قَالَ مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمِ الرُّسُلُ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَخَمْسَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيرًا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ كَانَ أَوَّلُهُمْ؟ قَالَ آدَمُ ، قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَبِيٌّ مُرْسَلٌ؟ قَالَ نَعَمْ خَلَقَهُ اللَّه بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَكَلَّمَهُ قِبَلًا

“Saya mendatangi Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang berada di dalam masjid, kemudian saya duduk dan bertanya: “Wahai Rasulullah, berapa jumlah para nabi? Beliau menjawab: “140.000 orang”, kemudian saya bertanya kembali: “Wahai Rasulullah, berapa jumlah para rasul?” Beliau menjawab: “315 orang banyak sekali”, kemudian saya bertanya kembali: “Wahai Rasulullah, siapakah yang pertama diantara mereka?” Beliau menjawab: “Adam”, lalu saya bertanya: “Apakah beliau seorang nabi yang diutus?” Beliau menjawab: “Ya, Allah menciptakannya dengan kedua tangan-Nya, meniupkan ruh kepadanya dari ruh-Nya dan berbicara kepadanya secara berhadapan.”[5]

Namun hadits diatas derajatnya lemah sekali (dha’if jiddan) karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Ibrahim bin Hisyam bin Yahya al-Ghassani ad­Dimasyqi yang dianggap pendusta dan ditinggalkan riwayatnya.

Karena status hadits yang menyakan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam adalah rasul pertama adalah dha’if jiddan, sedangkan terdapat hadits shahih yang menunjukan bahwa Nabi Nuh ‘alaihis salam adalah rasul pertama ditambah pula penjelasan dari al-Qur’an yang menunjukan bahwa Nabi Nuh ‘alaihis salam adalah rasul pertama, maka dapat disimpulkan bahwa rasul pertama adalah Nabi Nuh ‘alaihis salam.

Salah satu sebab mengapa Nabi Nuh ‘alaihis salam merupakan rasul pertama karena pada masa ini mulailah muncul kesyirikan, dimana masa antara Nabi Adam ‘alaihis salam hingga Nabi Nuh ‘alaihis salam umat manusia masih berada dalam fitrahnya yaitu bertauhid, namun setelah masa Nabi Nuh ‘alaihis salam maka orang-orang mulai melakukan kesyirikan yang disebabkan oleh terlalu ghuluw atau berlebihan dalam mengkultuskan orang-orang shalih yang telah meninggal. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.”[6]

Mengenai ayat diatas, al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وهي أسماء رجال صالحين من قوم نوح عليه السلام ، فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون فيها أنصابا وسموها بأسمائهم ، ففعلوا ، فلم تعبد حتى إذا هلك أولئك وتنسخ العلم عبدت

“Pada mulanya nama-nama tersebut (yaitu Wadd, Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr) merupakan nama orang-orang shalih dari kalangan kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan kepada kaum mereka” “Buatkanlah tugu-tugu pada bekas tempat-tempat duduk mereka berupa patung-patung, lalu namailah dengan nama-nama mereka.” Maka mereka melakukannya, dan pada mulanya tidak disembah. Tetapi lama-kelamaan setelah ilmu diangkat dari mereka, maka mulailah patung-patung itu disembah dan dipuja.”[7]

Karena hal inilah Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Nuh ‘alaihis salam kepada kaumnya agar kaumnya kembali bertauhid dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّا أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ أَنْ أَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih”, Nuh berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu, (yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku.”[8]

Demikianlah penjelasan mengenai siapakah rasul pertama yang diutus ke muka bumi, beliau adalah Nabi Nuh ‘alaihis salam. Sedangkan Nabi Adam ‘alaihis salam hanyalah seorang nabi namun bukan rasul. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] QS. an-Nisa’ [4] : 163
[2] QS. Nuh [71] : 1
[3] QS. al-A’raf [7] : 59
[4] HR al-Bukhari no. 4343 dan Muslim no. 194
[5] HR. Ibnu Hibban no. 361
[6] QS. Nuh [71] : 23
[7] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhiim, Juz 8 hal. 235
[8] QS. Nuh [71] : 1-3


Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ism’ail al-Ju’fi al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir  al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhiim. 1420 H. Dar Thayyibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’ Riyadh.
  • al-Imam Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Mu’adz bin Ma’bud at-Tamimi. Shahih Ibnu Hibban bi Tartib Ibnu Balban. 1414 H. Mu'asasah ar-Risalah Beirut.

Rukun Puasa

Rukun puasa itu ada 3: Niat di malam hari setiap hari untuk puasa Ramadhan, meninggalkan pembatal-pembatal saat ingat dan keinginan sendiri dan tanpa jahil yang diberikan udzur, dan orang yang berpuasa.” (Matan Safinah an-Najah, hal. 57-58)

 
Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang dikerjakan selama satu bulan penuh yaitu pada bulan Ramadhan. Seorang yang berpuasa haruslah memahami syarat serta rukun puasa itu sendiri. Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas mengenai rukun puasa. asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

(فصل) أركانه ثلاثة أشياء :
نية ليلا لكل يوم في الفرض ، وترك مفطر ذاكرا مختارا غير جاهل معذور ، وصائم .

(Pasal) Rukun puasa itu ada 3: Niat di malam hari setiap hari untuk puasa Ramadhan, meninggalkan pembatal-pembatal saat ingat dan keinginan sendiri dan tanpa jahil yang diberikan udzur, dan orang yang berpuasa.[1]

1.      Niat di malam hari setiap hari untuk puasa Ramadhan (نية ليلا لكل يوم في الفرض)

Rukun puasa yang pertama adalah niat. asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami rahimahullah berkata:

النية قصد الشيء مقترنا بفعله

“Niat adalah menyegaja sesuatu yang dibarengi dengan mengerjakannya.”[2]

Perihal ini asy-Syaikh Taqiyyuddin Abu Bakar al-Hishni rahimahullah berkata:

ولا يصح الصوم إلا بالنية للخبر. ومحلها القلب, ولايشترط النطق بها بلا خلاف, وتجب النية لكل ليلة لان كل يوم عبادة مستقلة , ألا ترى أنه لا يفسد بقية الأيام بفساد يوم منه. فلو نوى الشهر كله, صح له اليوم الأول على المذهب.

“Puasa tidak sah tanpa niat berdasarkan hadits. Tempat niat adalah di dalam hati, dan tidak disyaratkan secara lisan, dengan tanpa perselisihan pendapat dari para ulama. Niat puasa wajib dilakukan setiap malam, karena puasa dari hari ke hari selama Ramadhan adalah ibadah yang terpisah. Silahkan perhatikan, bukankah puasa Ramadhan tidak menjadi rusak karena batal satu hari? Jika seseorang berniat puasa selama sebulan penuh di awal Ramadhan, maka puasanya hanya sah di hari pertama saja. Demikianlah pendapat madzhab asy-Syafi’i.”[3]

Niat memiliki dua fungsi:

1)       Untuk membedakan tujuan ibadah

Niat memiliki fungsi untuk membedakan tujuan ibadah, apakah tujuan itu diniatkan karena Allah subhanahu wa ta’ala ataukah karena selain-Nya. Maka jika seseorang beribadah dengan ikhlas dan niat karena Allah subhanahu wa ta’ala tanpa dicampuri niat kepada selain-Nya juga beribadah sesuai dengan apa yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan dalam sunnah-sunnahnya, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menerima ibadahnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfriman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.”[4]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَاتِ، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتهُ إلَىاللّه وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرتُهُ لِدُنيا يُصيبُهَا، أو امْرَأةيَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُه إلَى مَا هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih, atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.”[5]

2)      Untuk menentukan jenis ibadah

Niat juga memiliki fungsi untuk menentukan jenis ibadah, yakni membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya dan untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan.
  • Contoh pertama, membedakan antara puasa wajib dan puasa wajib lainnya, karena puasa wajib itu ada tiga yaitu: Puasa Ramadhan, puasa kaffarah dan puasa nadzar. Selain itu pula untuk membedakan antara puasa wajib dan sunnah, dan membedakan antara puasa sunnah dengan puasa sunnah lainnya.
  • Contoh kedua, membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan, karena jika seseorang pada bulan Ramadhan tidak berniat untuk berpuasa Ramadhan, namun berniat puasa yang lain misal puasa kaffarah, nadzar atau hanya menahan lapar dan haus saja tanpa diniatkan puasa Ramadhan, maka puasanya tidak sah dan sia-sia.

Niat Puasa sendiri memiliki tiga syarat:

1)       at-Tabyit (التبييت), yaitu wajib berniat di malam hari

asy-Syaikh Taqiyyuddin Abu Bakar al-Hishni rahimahullah berkata:

ويجب تعيين النية في صوم الفرض ، وكذا يجب أن ينوي ليلا ، ولا يضر النوم والأكل والجماع بعد النية ، ولو نوى مع طلوع الفجر ، لاتصح له ، لأنه لم يبيت .

Wajib penegasan niat pada puasa fardhu. Wajib berniat di malam hari. Jika telah berniat di malam hari (sebelum Shubuh), masih diperbolehkan makan, tidur dan jima’ (hubungan intim). Jika seseorang berniat puasa Ramadhan sesudah terbit fajar Shubuh, maka tidaklah sah karena dia tidak menetapkan niat.[6]

Niat puasa dilaksanakan pada malam hari sebelum terbit fajar shadiq sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar (Shubuh), maka puasanya tidak sah.”[7]

            Namun, niat puasa yang dilaksanakan pada malam hari sebelum terbit fajar shadiq hanya khusus untuk puasa yang hukumnya wajib saja seperti puasa Ramadhan, kaffarah dan nadzar. Sedangkan untuk puasa sunnah maka boleh dilaksanakan ketika matahari telah terbit di pagi hari sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat) sebagaimana sebuah hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ . فَقُلْنَا لاَ . قَالَ فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ  . ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ . فَقَالَ أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَلَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya.”[8]

            al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

وفيه دليل لمذهب الجمهور على أن صوم النافلة يجوز بنية في النهار قبل زوال الشمس

“Dalil di atas adalah dalil bagi mayoritas ulama bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”[9]

2)      at-Ta’yin (التعيين), yaitu wajib niat itu ditegaskan

Maksudnya adalah bahwa niat puasa Ramadhan itu harus ditegaskan dan tidak bisa diniatkan secara mutlak sebagaimana puasa sunnah. Maka disini, wajib seseorang meniatkan puasa Ramadhan bahwa puasa itu adalah puasa wajib dan bukan sunnah. Dalil butuhnya at-Ta’yin dalam niat puasa Ramadhan adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى

“Setiap orang mendapatkan balasan sesuai niatnya.” [10]

3)      at-Tikrar (التكرار), yaitu niat puasa Ramadhan berulang setiap malam

asy-Syaikh Mushthafa Dib al-Bugha hafizhahullah berkata:

التكرار أي أن ينوي كل ليلة قبل الفجر عن صيام اليوم التالي ، فلا تغني نية واحدة عن الشهر كله ، لأن صيام شهر رمضان ليس عبادة واحدة ، بل هي عبادات متكررة ، وكل عبادة لابد أن تنفرد بنية مستقلة .

“at-Tikrar (pengulangan) maksudnya adalah bahwa niat mesti ada di setiap malamnya sebelum Shubuh untuk puasa hari berikutnya. Jadi tidak cukup satu niat untuk seluruh hari dalam satu bulan. Karena setiap hari dalam bulan Ramadhan adalah hari yang berdiri sendiri. Ibadah puasa yang dilakukan adalah ibadah yang berulang. Sehingga perlu ada niat yang berbeda setiap harinya.[11]

            Tempat niat adalah di dalam hati dan tidak dilafazhkan. al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

لا يصح الصوم إلا بالنّية ومحلها القلب ولا يشترط النطق بلا خلاف

“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[12]

asy-Syaikh Khathib asy-Syarbini rahimahullah berkata:

ومحلها القلب ، ولا تكفي باللسان قطعا ، ولا يشترط التلفظ بها قطعا كما قاله في الروضة

“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidak disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh an-Nawawi dalam ar-Raudhah.”[13]

2.     Meninggalkan pembatal-pembatal saat ingat dan keinginan sendiri dan tanpa jahil yang diberikan udzur (ترك مفطر ذاكرا مختارا غير جاهل معذور)

Rukun puasa yang kedua adalah meninggalkan pembatal-pembatal saat ingat dan keinginan sendiri tanpa jahil yang diberikan udzur. Maksudnya adalah meninggalkan puasa ketika sadar bahwa dirinya sedang berpuasa, maka jika seorang yang sedang berpuasa mengerjakan suatu hal yang merupakan pembatal seperti makan atau minum dengan sengaja namun dalam keadaan tidak ingat atau lupa atau dalam keadaan dipaksa, maka puasanya tidak batal, begitupula jika dalam keadaan tidak tahu bahwa itu adalah pembatal puasa maka puasanya tidak batal. Maka dari penjelasan ini, bisa disimpulkan bahwa puasa itu tidak batal walaupun dilakukan dengan sengaja jika memenuhi tiga syarat, yaitu:

1)       Tidak Ingat

Jika seseorang yang berpuasa melakukan pembatal puasa dalam keadaan tidak ingat atau lupa, maka puasanya tidak batal. Dalil yang melandasi hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”[14]

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

“Barangsiapa lupa, lalu dia makan atau minum dalam keadaan puasa, hendaknya ia menyempurnakan puasanya, karena Allah telah memberi makan dan minum kepadanya.”[15]

2)      Bukan atas keinginan sendiri

Jika seseorang yang berpuasa melakukan pembatal puasa dalam keadaan dipaksa dan bukan atas keinginan sendiri, maka puasanya tidak batal. Contohnya adalah jika seorang berkumur-kumur ketika berwudhu namun tanpa sengaja air wudhu tersebut tertelan, maka puasanya tidak batal.

3)      Jahil yang diberikan udzur

Jahil yang diberikan udzur maksudnya adalah seorang mualaf yang baru masuk Islam dan belum mendalam memahami mengenai hukum Islam, juga seseorang yang keadaanya jauh dari ulama. Jika seseorang yang berpuasa melakukan pembatal puasa dalam keadaan jahil yang diberikan udzur yaitu tidak tahu, maka puasanya tidak batal. Jahil disini adalah jahil terhadap hukum dan waktu. Contoh jahil terhadap hukum adalah jika seseorang berjima’ ketika puasa sedangkan dia tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah membatalkan puasa, maka puasanya tetap sah. Sedangkan contoh jahil terhadap waktu misalnya adalah jika seseorang yang berpuasa berbuka ketika matahari belum terbenam, namun dia mengira bahwa matahari sudah terbenam, maka puasanya tidak batal. Hal ini pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana hadits dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ غَيْمٍ ثُمَّ طَلَعَتْ الشَّمْسُ

“Kami pernah berbuka di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari yang mendung lalu tiba-tiba muncul matahari.”[16]

Jika seseorang berbuka dengan mengira bahwa matahari telah terbenam padahal kenyataannya matahari belum terbenam, maka wajib baginya menahan diri hingga matahari terbenam dan puasanya tetap sah.

Ketiga syarat diatas secara umum diambil dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku karena aku (apa yang mereka lakukan) tanpa ada kesengajaan, lupa dan apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya.”[17]

            Waktu untuk meninggalkan pembatal-pembatal puasa Ramadhan adalah sejak terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan hadits dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْرَكَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Jika muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dari arah sini (timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang berpuasa.”[18]

            Puasa sendiri dimulai ketika terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnya matahari. Namun ada yang perlu diperhatikan, bahwasanya fajar terbagi menjadi fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Shubuh karena belum masuk waktu. Sedangka fajar shadiq ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum dan yang semisalnya serta diperbolehkan shalat Shubuh.

            Hal ini dilandasi oleh sebuah hadits mauquf dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ

“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.”[19]

3.     Orang yang berpuasa (صائم)

Rukun puasa yang ketiga adalah adanya orang yang berpuasa. as-Sayyid Ahmad bin ‘Umar asy-Syathiri rahimahullah berkata:

إنما حسن عده هنا من الأركان كما في البيع لأهما أمران عدميان لا وجود لهما خارجا فلا يمكن تعقلهما بدون الصائم والبائع بخلاف الصلاة فإن لها صورة في الخارج يمكن تعقلها وتصورها بدون تعقل مصل فلم يحسن عد المصلى ركنا فيها .

“Sesungguhnya orang yang berpuasa termasuk rukun sebagaimana yang terjadi pada jual beli, karena keduanya adalah perkara yang tidak ada wujudnya yang tampak, maka tidak memungkinkan keterkaitan puasa dan jual beli tanpa adanya orang yang berpuasa dan penjual atau pembeli. Berbeda dengan shalat, karena terdapat di dalam rukun-rukunnya gambaran shalat tersebut sehingga memungkinkan penggambarannya tanpa adanya wujud orang yang shalat, maka tidak tepat jika disebutkan orang yang shalat sebagai rukunnya.”[20]

Demikianlah penjelasan mengenai rukun puasa. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita dalam memahaminya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] Matan Safinah an-Najah, hal. 57-58
[2] Matan Safinah an-Najah, hal. 19
[3] Kifayah al-Akhyar, hal. 240
[4] QS. al-Bayyinah [98] : 5
[5] HR. al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907
[6] Kifayah al-Akhyar, hal. 240-241
[7] HR. at-Tirmidzi no. 730 dan an-Nasa’i no. 2334
[8] HR. Muslim no. 1154
[9] Syarh Shahih Muslim, Juz 8 hal. 50
[10] HR. al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907
[11] al-Fiqh al-Manhaji, Juz 2 hal. 83
[12] Raudhah ath-Thalibin, Juz 2 hal. 351
[13] al-Iqna’, Juz 1 hal. 470
[14] QS. al-Baqarah [2] : 286
[15] HR. al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155
[16] HR. al-Bukhari no. 1959
[17] HR. Ibnu Majah no. 2043
[18] HR. al-Bukhari no. 1954 dan Muslim no. 1100
[19] HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 8003
[20] Nail ar-Raja’, hal. 153

Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ism’ail al-Ju’fi al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin ‘Abdullah bin Majah al-Quzwaini. Sunan Ibnu Majah. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali an-Nasa’i. al-Mujtaba min as-Sunan (Sunan an-Nasa’i). Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at-Tirmidzi. Jami’ at-Tirmidzi. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu Bakr AHmad bin al-Husain bin ‘Ali al-Baihaqi. as-Sunan al-Kubra. 1424 H. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah Beirut.
  • al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi. al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. 1414 H. Mu’assasah Qurthubah
  • al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi. Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin. 1412 H. al-Maktab al-Islami Beirut.
  • as-Sayyid Ahmad bin Umar asy-Syathiri. Nail ar-Raja’ bi Syahr Safinah an-Naja’. 1392 H. Mathba’ah al-Madani Kairo.
  • asy-Syaikh Mushthafa al-Khan, asy-Syaikh Mushthafa Dib al-Bugha, asy-Syaikh ‘Ali asy-Syarbaji. al-Fiqh al-Manhaji ‘alaa Madzhab al-Imam asy-Syafi’I. 1413 H. Dar al-Qalam Damaskus.
  • asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami. Matnu Safinah an-Najah fii Maa Yajibu ‘alaa al-Abdi li Maulah. 1430 H. Dar Ibn Hazm Beirut.
  • asy-Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini. al-Iqna’ fii Hall al-Fazh Abi Syuja’. 1425 H. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah Beirut.
  • asy-Syaikh Taqiyyuddin Abu Bakr Muhammad al-Hushni al-Husaini al-Dimasyqi. Kifayah al-Akhyar fii Hall Ghayah al-Ikhtishar fii al-Fiqh asy-Syafi’i. 1422 H. Dar al-Basya’ir Damaskus.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top