al-Imam al-Haramain Rahimahullah pun Kebingungan

“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi.” (QS. an-Nahl [16] : 60)


Ada sebuah kisah menarik mengenai taubatnya seorang ulama besar yaitu al-Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah dari ilmu kalam, kembali kepada aqidah yang shahihah yaitu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, aqidah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipegang teguh oleh para sahabat dan mereka yang mengikuti para sahabat hingga zaman ini, yaitu aqidah bahwa Allah memiliki sifat Yang Maha Tinggi (العلي), yaitu dalam makna ketinggian dzat-Nya dan ketinggian sifat-Nya baik keagungannya dan juga ketinggian sifat kekuasaannya. Allah memiliki ketinggian sifat sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأَعْلَى

“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi.”[1]

Ketinggian sifat maknanya adalah sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala seluruhnya Maha Tinggi sehingga tidak ada padanya kekurangan dari sisi mana pun. Sedangkan ketinggian dzat maknanya adalah bahwa dzat Allah di atas segala sesuatu, tidak ada apa pun di atas-Nya dan tidak pula yang mendekati-Nya dan Allah pun tidak membutuhkan apa yang ada di bawah-Nya, dan ketinggian Allah tidaklah sama dengan ketinggian makhluk-Nya. Dzat Allah berada di ketinggian yaitu di atas langit bersemayam di atas ‘Arsy sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى .

“Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.”[2]

Dan ini adalah pendapat para Salaf sebagaimana perkataan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, beliau berkata:

القول في السّنّة الّتي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الّذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة أن لا إله إلّا الله وأنّ محمّدا رسول الله وأنّ الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وينزل إلى السّماء الدّنيا كيف شاء .

“Pendapat dalam sunnah yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawan saya ahlul hadits yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya dekat dengan para hamba-Nya sekehendak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendak-Nya.”[3]

Diriwayatkan oleh al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab al-‘Uluw li al-‘Aliyy al-Ghaffar, beliau berkata: al-Hafizh Abu Manshur bin al-Walid di dalam suratnya kepada az-Zanjani berkata: Telah mengabarkan kepada kami al-Hafizh ‘Abdul Qadir, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Abu al-‘Ala’, telah mengabarkan kepada kami al-Hafizh Abu Ja’far bin Abu ‘Ali, dia berkata:

سمعت أبا المعالي الجويني وقد سُئل عن قوله تعالى : الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى . فقال : كان الله ولا عرش وجعل يتخبط في الكلام . فقلت : قد علمنا ما أشرت إليه ، فهل عندك للضرورات من حيلة . فقال : ما تريد بهذا القول وما تعني بهذه الإشارة?، فقلت : ما قال عارف قط : يا رباه إلا قبل أن يتحرك لسانه ، قام من باطنه قصد لا يلتفت يمنة ولا يسرة يقصد الفوق، فهل لهذا القصد الضروري عندك من حيلة . فنبئنا نتخلص من الفوق والتحت . وبكيت ، وبكى الخلق ، فضرب الأستاذ بكمه على السرير وصاح : يا للحيرة ، ونزل ، ولم يجبني إلا : يا حبيبي الحيرة الحيرة ، والدهشة الدهشة . فسمعت بعد ذلك أصحابه يقولون : سمعناه يقول : حيرني الهمداني .

“Aku mendengar Abu al-Ma’ali al-Juwaini ditanya tentang firman Allah, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى “Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.”[4] Ia berkata, “Allah ada tanpa adanya ‘Arsy” Dan mulai berbicara dengan pembicaraan yang kacau (untuk menolak istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy-Nya) Aku berkata, “Wahai Guru, kami telah paham apa yang engkau maksudkan. Tapi apakah engkau memiliki jawaban untuk kemestian-kemestian yang harus terjadi itu?” Ia berkata, “Apa yang engkau inginkan dengan ucapanmu? Apa yang engkau maksudkan?” Aku berkata, “Tidaklah seseorang berdoa dengan mengucapkan, “Ya Rabb” sebelum ia menggerakkan lisannya, keluarlah dari batinnya satu kehendak yang tidak akan menoleh ke kanan dan ke kiri, namun dia mengarah ke atas. Apakah engkau memiliki jawaban untuk sebuah kehendak dan tujuan yang mesti terjadi seperti ini?” Beritakanlah kepada kami agar kami terlepas dari persoalan (Allah berada) di atas atau di bawah.” Aku pun menangis, dan orang-orang pun menangis. Sang Guru pun memukulkan lengannya di kursinya dan berteriak, “Oohh.. Alangkah membingungkan (persoalan ini).” Ia pun turun dan tidak menjawab pertanyaanku kecuali mengatakan: “Oh kekasihku, membingungkan… membingungkan…” Setelahnya aku mendengar sahabat-sahabatnya mengatakan, “Kami mendengar ia berkata, “al-Hamadani telah membuat aku bingung.”[5]

Akhirnya Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah pun mendapatkan hidayah Allah subhanahu wa ta’ala dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat dalam ilmu kalam bisa mengikuti jejak beliau dan kembali rujuk kepada aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dengan menjadikan al-Qur’an, as-Sunnah dan Atsar para sahabat sebagai rujukan utama dan menempatkan akal kita di bawah semua itu. Amiin.

Abu ‘Abdillah al-Indunisiy
Masjid Jami’ al-Marhamah, Cibinong
Rabu (Wekasan), 26 Shafar 1439 H 


[1] QS. an-Nahl [16] : 60
[2] QS. Thaha [20] : 5
[3] al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar, hal. 165
[4] QS. Thaha [20] : 5
[5] al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar, hal. 259


Referensi

  • al-Qur’an al-Karim.
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz adz-Dzahabi. al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar fii Idhah Shahih al-Akhbar wa Saqimuha. 1416 H. Maktabah Adhwa’ as-Salaf Riyadh.

Perdebatan al-Imam al-Baqilani dengan Raja Romawi - Abu Bakar (al-Baqilani) berkata: "Apakah Tuhan disalib?"

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat).” (QS. Yusuf [12] : 111)


al-Imam Abu Bakar Muhammad bin ath-Thib bin Muhammad yang lebih dikenal dengan al-Imam al-Baqilani atau Ibnu al-Baqilani. Ibnu Khalqan ketika menyebut nasab beliau berkata, “Ini adalah nisbah kepada al-Baqila dan seputarnya. al-Baqila memiliki dua lughat (cara pengucapan) dengan tasydid lam dan pendek alif (al-Baqilla) atau tanpa tasydid lam dan memanjangkan alif (al-Baqilaa). Nisbah ini adalah syadz (tidak relevan) karena tambahan huruf nun di akhirnya. Hal itu sama dengan nisbah kepada Shan’a yaitu Shan’ani, atau kepada Bahra’ yaitu Bahrani.

Beliau dilahirkan di Bashrah, tepatnya di Irak dan mengambil ilmu dari para ulama senior yang ada di sana. Dari sana beliau pergi ke Baghdad dan mengambil ilmu yang banyak dari para ulamanya. Beliau berhubungan dengan ‘Adhudud Daulah al-Buwaihi dan mendapat posisi yang sangat agung di sisinya. Diangkat menjadi al-qadhi (hakim) dan diutus ke raja Romawi sebagai diplomat sekaligus pendebat, karena diketahui memiliki kecerdasan, kejeniusan, ketajaman analisis dan keluasan ilmunya.

Diriwayatkan oleh al-Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikh al-Baghdad, Juz 5 hal. 379 cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiah:

كان أبو بكر الباقلاني رحمه الله تعالى من كبار علماء عصره، فاختاره ملك العراق وأرسله في عام ٣٧١ للهجرة لمناظر النصارى في القسطنطينية . عندما سمع ملك الروم بقدوم أبي بكر الباقلاني أمر حاشيته أن يُقَصّروا من طول الباب بحيث يضطر الباقلاني عند الدخول إلى خفض رأسه وجسده كهيئة الركوع فيذلّ أمام ملك الروم وحاشيته .

Abu Bakar al-Baqilani rahimahullah ta’ala adalah seorang ulama besar pada masanya. Karena hal itu, raja Iraq mengutusnya pada tahun 371 H untuk berdebat dengan orang-orang Nasrani di Konstantinopel. Ketika raja Romawi mendengar kedatangan Abu Bakar al-Baqilani, dia memerintahkan pasukannya untuk memendekan tinggi pintu sehingga ketika al-Baqilani memasuki ruangan dia akan merendahkan kepala serta tubuhnya seperti seseorang yang berlutut (rukuk) didepan raja Romawi dan pasukannya.

لما حضر الباقلاني عرف الحيلة فأدار جسمه إلى الخلف وركع ثم دخل من الباب وهو يمشي للوراء جاعلاً قفاه لملك الروم بدلاً من وجهه ! هنا علم الملك أنه أمام داهية !

Ketika al-Baqilani telah datang, beliau pun mengetahui akan tipu muslihat itu, beliau pun membalikan badannya dan berlutut (rukuk) kemudian masuk dan berjalan ke belakang sehingga membuat bagian belakang tubuhnya menghadap ke arah raja Romawi sebagai ganti wajahnya! Disinilah sang raja mengetahui bahwasannya dia berhadapan dengan seorang yang jenius!

دخل الباقلاني فحياهم ولم يسلم عليهم (لنهي الرسول صلى الله عليه وسلم عن ابتداء أهل الكتاب بالتسليم) ثم التفت إلى الراهب الأكبر وقال له : كيف حالكم وكيف الأهل والأولاد ؟
 
al-Baqilani masuk dengan memberikan penghormatan tanpa mengucapkan salam kepada mereka (karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memulai pembicaraan dengan Ahlul Kitab dengan ucapan salam), kemudian beliau menoleh kepada para rahib besar dan berkata kepadanya: “Bagaimana kabar kalian dan bagaimana kabar keluarga serta anak-anak kalian?”

غضب ملك الروم وقال : ألم تعلم بأن رهباننا لا يتزوّجون ولا ينجبون الأطفال ؟

Raja Romawi murka dan berkata: “Apakah kau tidak mengetahui bahwasanya rahib-rahib kami itu tidak menikah dan tidak memiliki anak-anak?”
 
فقال أبو بكر : الله أكبر! تُنَزّهون رهبانكم عن الزواج والإنجاب ثم تتهمون ربكم بأنه تزوج مريم وأنجب عيسى ؟

Maka Abu Bakar (al-Baqilani) menjawab: “Allah Maha Besar! Kalian menyucikan rahib-rahib kalian dari menikah dan memiliki keturunan, akan tetapi kalian menuduh Tuhan kalian menikah dengan Maryam dan memiliki anak yaitu ‘Isa?
 
فزاد غضب الملك ! ثم قال الملك -بكل وقاحة- : فما قولك فيما فعلت عائشة ؟

Maka sang Raja pun bertambah murka! Kemudian sang raja berkata –dengan penuh penghinaan-: “Bagaimana penjelasanmu mengenai apa yang telah dilakukan oleh ‘Aisyah?”

قال أبو بكر : إن كانت عائشة رضي الله عنها قد أتهمت (اتهمها المنافقون والرافضة) فإن مريم قد أتهمت أيضا (اتهمها اليهود) ، وكلاهما طاهرة ، ولكن عائشة تزوجت ولم تنجب ، أمّا مريم فقد أنجبت بلا زواج! فأيهما تكون أولى بالتهمة الباطلة وحاشاهما رضي الله عنهما ؟

Abu Bakar (al-Baqilani) menjawab: “Jika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah dituduh (yaitu dituduh oleh orang-orang munafik dan rafidhah), maka sesungguhnya Maryam pun pernah dituduh juga (yaitu oleh Yahudi), sedangkan keduanya adalah wanita yang suci, akan tetapi ‘Aisyah menikah dan tidak memiliki anak, sedangkan Maryam memiliki anak namun tidak menikah! Maka siapakah diantara keduanya yang lebih pantas dengan tuduhan bathil tersebut? Semoga Allah meridhai mereka berdua.

فجن جنون الملك ! قال الملك : هل كان نبيكم يغزو ؟

Maka sang raja pun semakin menggila! Sang raja berkata: “Apakah Nabi kalian pernah berperang?!”

قال أبو بكر : نعم .

Abu Bakar (al-Baqilani) menjawab: “Ya”

قال الملك : فهل كان يقاتل في المقدمة ؟

Sang Raja bertanya kembali: “Apakah dia turut berperang memimpin di depan?!”
 
قال أبو بكر : نعم .

Abu Bakar (al-Baqilani) menjawab: “Ya”

قال الملك : فهل كان ينتصر ؟

Sang raja kembali bertanya: “Apakah dia pernah menang?!”
 
قال أبو بكر : نعم .

Abu Bakar (al-Baqilani) menjawab: “Ya”

قال الملك : فهل كان يُهزَم ؟

Sang raja kembali bertanya: “Apakah dia pernah kalah?!”

قال أبو بكر : نعم .

Abu Bakar (al-Baqilani) menjawab: “Ya”

قال الملك : عجيب ! نبيٌّ ويُهزّم ؟

Sang raja berkata: “Menakjubkan! Seorang Nabi dikalahkan?”

فقال أبو بكر : أإله ويُصلَب ؟

Sontak Abu Bakar (al-Baqilani) berkata: “Apakah Tuhan disalib?”

فَبُهِتَ الذي كفر .

Maka terdiamlah orang yang kafir itu (yaitu raja Romawi).


Referensi:

  • al-Imam Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi asy-Syafi’i. Tarikh al-Baghdad. 1418 H. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah Beitur.
  • https://ar.islamway.net/article/66949/%D8%AF%D9%87%D8%A7%D8%A1-%D8%A3%D8%A8%D9%88-%D8%A8%D9%83%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%A7%D9%82%D9%84%D8%A7%D9%86%D9%8A

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top