Penjelasan Sifat Dua Tangan Allah

“Sesungguhnya Allah akan menggenggam bumi pada hari kiamat dan langit-langit berada di tangan kanan-Nya, lalu berfirman : ‘Aku adalah Raja.” (HR. Al-Bukhari no. 7411)


Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih. Di antara sifat yang tetap bagi Allah adalah Tangan. Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata :

وأن له يدين بلا كيف كما قال : { خَلَقْتُ بِيَدَيَّ } [ سورة ص ، الآية : 75 ] .
وكما قال : { بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ } [ سورة المائدة ، الآية : 64 ] .

“Bahwasannya Allah mempunyai dua tangan tanpa perlu ditanyakan bagaimananya (kaifiyah-nya), sebagaimana firman-Nya : ‘Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shad : 75) dan juga sebagaimana firman-Nya : ‘Akan tetapi kedua tangan-Nya terbuka.” (QS. Al-Maidah : 64)

Makna Bahasa [بلا كيف] Tanpa menggambarkan bagaimananya secara spesifik bagi sifat Allah tersebut.

Penjelasan :

Penetapan sifat dua tangan terdapat dalam beberapa tempat dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalil dari Kitabullah, telah disebutkan muallif (Hasan Al-Asy’ari) sebagian di antaranya. Adapun dalil dari sunnah, Al-Bukhari rahimahullah telah memuatnya dalam kitab Shahih-nya, bab : qaulullaahu ta’ala : limaa khalaqtu bi-yadaiy (Bab : Firman Allah ta’ala : ‘kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’), yang merupakan bagian dari Kitaab At-Tauhid. Ia (Al-Bukhari) membawakan sejumlah hadits shahih yang kesemuanya menetapkan sifat dua tangan Allah ta’ala. Di antaranya adalah hadits Anas bin Maalik secara marfu’ tentang asy-syafaa’atul-‘udhmaa, yang padanya terdapat perkataan :

« يجتمع المؤمنون يوم القيامة فيقولون : لو استشفعنا إلى ربنا يُرِحْنا من مكاننا هذا ، فيأتون آدم فيقولون : يا آدم ، أما ترى الناس ؟ خلقك الله بيده وأسجد لك ملائكته وعلمك أسماء كل شيء ، اشفع لنا إلى ربك »

“Pada hari kiamat Allah mengumpulkan orang-orang mukmin. Lalu mereka berkata : 'Seandainya saja kita meminta syafaat kepada Rabb kita sehingga Dia bisa menjadikan kita merasa aman dari tempat kita sekarang ini ?’. Kemudian mereka menemui Adam dan berkata : ‘Wahai Adam, bukankah engkau menyaksikan (keadaan) manusia ? Allah telah menciptakanmu dengan tangan-Nya, menjadikan para malaikat sujud kepadamu, dan mengajarkan kepadamu nama-nama segala sesuatu. Oleh karena itu, berikanlah syafa’at kepada kami kepada Rabb-mu.” (HR. Al-Bukhari no. 7410)

Dan juga hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaa yang padanya terdapat perkataan :

« إن الله يقبض يوم القيامة الأرض وتكون السماوات بيمينه ثم يقول : أنا الملك »

“Sesungguhnya Allah akan menggenggam bumi pada hari kiamat dan langit-langit berada di tangan kanan-Nya, lalu berfirman : ‘Aku adalah Raja.” (HR. Al-Bukhari no. 7411)

Dan juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yang di dalamnya terdapat sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

« يد الله ملأى لا يغيضها نفقة سحَّاء الليل والنهار »

“Tangan Allah selalu penuh, tidak kurang karena memberi nafkah, dan selalu dermawan baik malam maupun siang." (HR. Al-Bukhari no. 7412)

Nash-nash yang telah disebutkan di atas merupakan dalil penetapan (sifat) dua tangan bagi Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak boleh di-ta’wil sedikitpun. Tidak mungkin memahami dua tangan kecuali dengan (makna) hakekatnya. Barangsiapa yang tidak membawa makna sifat dua tangan sesuai hakekatnya, maka ia seorang mu’aththil (orang yang menafikkan sifat Allah) terhadap sifat tersebut. Al-Imam Abu Haniifah rahimahullah secara jelas mengatakan bahwa siapa saja yang tidak membawa nash-nash sesuai dengan (makna) hakekatnya, serta men-ta’wil-kan sifat dua tangan dengan kekuasaan (al-qudrah) atau nikmat (an-ni’mah), sungguh ia telah mengingkari sifat itu sendiri.

Beliau (Abu Hanifah) telah berkata :

ولا يقال إن يده قدرته أو نعمته لأن فيه إبطال الصفة ، وهو قول أهل القدر والاعتزال ، ولكن يده صفة بلا كيف

“Tidak boleh untuk dikatakan : Sesungguhnya (makna) tangan-Nya adalah kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena di dalamnya mengandung pengingkaran terhadap sifat (Allah). Ia adalah perkataan orang-orang Qadariyyah dan Mu’tazillah. Akan tetapi tangan-Nya adalah sifat yang tidak boleh ditanyakan bagaimananya (kaifiyah-nya).” (Al-Fiqhul Akbar, hal. 302)

Ibnu Baththal berkata saat memberikan bantahan terhadap orang yang menta’wilkan sifat dua tangan dengan kekuasaan atau nikmat :

ويكفي في الرد على من زعم أنهما بمعنى القدرة أنهم أجمعوا على أن له قدرة واحدة في قول المثبتة ولا قدرة له في قول النفاة . . ويدل على أن اليدين ليستا بمعنى القدرة أن قوله تعالى لإبليس : { مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ } [ سورة ص ، الآية : 75 ] إشارة إلى المعنى الذي أوجب السجود ، فلو كانت بمعنى القدرة لم يكن بين آدم وإبليس فرق لتشاركهما فيما خلق كل منهما به وهي قدرته ، ولقال إبليس : وأي فضيلة له عليَّ وأنا خلقتني بقدرتك ، كما خلقته بقدرتك فلما قال : { خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ } [ سورة ص ، الآية : 76 ] دل على اختصاص آدم بأن الله خلقه بيديه قال : ولا جائز أن يراد باليدين النعمتان لاستحالة خلق المخلوق بمخلوق لأن النعم مخلوقة

“Cukuplah bantahan bagi orang yang berkata tangan Allah bermakna kekuasaan, bahwasannya mereka sepakat Allah mempunyai kekuasaan yang satu menurut pendapat yang menetapkan, dan tidak mempunyai kekuasaan menurut pendapat yang menafikkannya…. Dan hal yang menunjukkan Allah mempunyai dua tangan yang tidak bermakna kekuasaan adalah firman Allah ta’ala kepada Iblis : ‘Apa yang menghalangimu untuk bersujud kepada manusia yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?’ (QS. Shaad : 75); sebagai isyarat kepada makna yang mewajibkan syaithan untuk sujud (kepada Adam). Seandainya tangan itu bermakna kekuasaan, niscaya tidak akan ada bedanya antara Adam dan Iblis karena persamaan antara keduanya dalam penciptaan, yaitu karena kekuasaan-Nya. Dan niscaya Iblis akan berkata : ‘Kelebihan apa yang ia (Adam) punya di atas diriku padahal aku Engkau ciptakan dengan kekuasaan-Mu sebagaimana ia Engkau ciptakan dengan kekuasaan-Mu pula?’. Ketika Iblis berkata : ‘Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah’ (QS. Shaad : 76) menunjukkan kekhususan Adam bahwasannya Allah telah menciptakannya dengan kedua tangan-Nya. Tidak boleh juga dikatakan dua tangan maknanya adalah dua nikmat, karena mustahil Allah menciptakan makhluk dengan makhluk – yaitu karena nikmat itu sendiri adalah makhluk.” (Fathul Bari, 13/393-394)

Salaf telah ber-ijma’ tentang hal ini

Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata :

أجمعوا على أنه عز وجل يسمع ويرى ، وأن له تعالى يدين مبسوطتين ، وأن الأرض جميعا قبضته يوم القيامة والسماوات مطويات بيمينه

“Mereka telah berijma’ bahwasannya Allah ‘azza wa jalla mendengar dan melihat. Ia mempunyai dua tangan yang terbuka. Bumi akan digenggam-Nya pada hari kiamat dan langit akan dilipat dengan tangan kanan-Nya.” (Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsaghr, hal. 72)

Al-Isma’ili juga menyatakannyanya dalam kitab ‘Aqidah Ahlil Hadits, saat ia berkata :

وخلق آدم عليه السلام بيده ، ويداه مبسوطتان ينفق كيف يشاء بلا اعتقاد كيف يداه إذ لم ينطق كتاب الله تعالى فيه بكيف

“Allah menciptakan Adam ‘alaihis-salaam dengan tangan-Nya, dan kedua tangan-Nya terbuka memberikan (karunia kepada makhluk) sebagaimana yang Ia kehendaki, tanpa disertai keyakinan penentuan kaifiyah kedua tangan-Nya; yaitu ketika tidak ada penjelasan di dalam Kitabullah tentang kaifiyah tersebut.” (Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsaghr, hal. 51)

Oleh karena itu, Anda dapat melihat Asy’ariyyah menyelisihi imam mereka (yaitu Abul Hasan Al-Asy’ari) dengan men-tafwidh sifat ini sebagaimana tafwidl yang dilakukan orang-orang bodoh dan membodohkan (ahlul jahl wat tajhiil), atau men-ta’wil-nya dengan ta’wil-an para penyeleweng dan pengingkar (ahlut tahriif wat ta’thiil). 

Penjelasan Sifat Dua Kaki Allah

“Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.” (HR. Al-Hakim, 2/282)


Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih. Di antara sifat yang tetap bagi Allah adalah Kaki. Dalil hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, no. 6661 dan Muslim, no. 2848, dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam :

لَا تَزَالُ جَهَنَّمُ تَقُولُ هَلْ مِنْ مَزِيدٍ حَتَّى يَضَعَ رَبُّ الْعِزَّةِ فِيهَا قَدَمَهُ فَتَقُولُ قَطْ قَطْ وَعِزَّتِكَ وَيُزْوَى بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ

“(Neraka) jahanam masih saja berkata, 'apakah ada tambahan' hingga akhirnya Tuhan Pemiliki Kemuliaan meletakkan kaki-Nya. Kemudian dia berkata, cukup, cukup, demi kemuliaan-Mu, lalu. Lalu neraka satu sama lain saling terlipat."

Imam Al-Bukhari, no. 4850 dan Muslim, no. 2847, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, "Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

تَحَاجَّتْ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَقَالَتْ النَّارُ أُوثِرْتُ بِالْمُتَكَبِّرِينَ وَالْمُتَجَبِّرِينَ وَقَالَتْ الْجَنَّةُ مَا لِي لَا يَدْخُلُنِي إِلَّا ضُعَفَاءُ النَّاسِ وَسَقَطُهُمْ قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي وَقَالَ لِلنَّارِ إِنَّمَا أَنْتِ عَذَابِي أُعَذِّبُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِلْؤُهَا فَأَمَّا النَّارُ فَلَا تَمْتَلِئُ حَتَّى يَضَعَ رِجْلَهُ فَتَقُولُ قَطْ قَطْ فَهُنَالِكَ تَمْتَلِئُ وَيُزْوَى بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ وَلَا يَظْلِمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ خَلْقِهِ أَحَدًا وَأَمَّا الْجَنَّةُ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنْشِئُ لَهَا خَلْقًا ).

“Surga dan neraka saling berdebat. Neraka berkata, 'Aku mendapatkan orang-orang yang sombong dan bengis.' Lalu surga berkata, 'Mengapa saya hanya dimasuki oleh orang-orang yang lemah dan rendah.' Allah Tabaraka wa ta'ala berkata kepada surga, 'Engkau adalah rahmat-Ku, denganmu aku rahmati hamba-Ku yang aku suka.' Lalu Dia berkata kepada neraka, 'Engkau adalah azab-Ku, denganmu aku mengazab hamba-Ku yang aku suka. Setiap dari keduanya akan penuh. Adapun neraka tidak akan penuh kecuali setelah Allah meletakkan kaki-Nya, baru dia berkata, 'cukup', 'cukup' maka ketika itu neraka akan penuh dan neraka satu sama lain akan terlipat, dan Allah tidak akan menzalimi makhluknya satupun. Adapun surga Allah akan ciptakan makhluk untuknya."

Dalam redaksi Muslim disebutkan, "Adapun neraka, tidak penuh kecuali setelah dia meletakkan kaki-Nya di atasnya."

Maka hal ini menunjukkan ditetapkannya kaki bagi Allah Ta'ala.

Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata :

الكرسي موضع القدمين ، والعرش لا يقدر أحد قدره

“Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab 'At-Tauhid' (1/248, no. 154) Begitu pula Ibnu Abi Syaibah dalam 'Al-Arasy' (61), Ad-Darimi dalam 'Ar-Radd  Alal-Muraisy', Abdullah bin Imam Ahmad dalam 'As-Sunah', Al-Hakim dalam 'Al-Mustadrak' (2/282). Dia (Al-Hakim) menyatakan shahih berdasarkan syarat kedua syaikh (Bukhari dan Muslim) serta disetujui oleh Adz-Dzahabi, dishahihkan oleh Al-Albany dalam 'Mukhtashar Al-'Uluw', hal. 102, Ahmad Syakir dalam 'Umdatu Tafsir' (2/163)

Abu Musa Al-Asy'ari radhiallahu anhu berkata :

" الكرسي موضع القدمين، وله أطيطٌ كأطيطِ الرَّحْل "

“Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, dia memiliki suara gesekan seperti seperti suara gesekan kendaraan tunggangan.” (HR. Abdullah bin Imam Ahmad dalam kitab 'As-Sunah', Ibnu Abi Syaibah dalam 'Al-Arasy' (60), Ibnu Jarir, Baihaqi dan lainnya. Sanadnya dinyatakan shahih oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (8/47) serta oleh Al-Albany dalam 'Mukhtashar Al-Uluw', hal. 123-124)

Kedua atsar di atas menunjukkan ditetapkannya kedua kaki bagi Allah Ta'ala. Dan itulah yang dipegang oleh Ahlussunnah wal Jama’ah.

Imam Abu Ubaid Al-Qasim rahimahullah berkata, "Hadits-hadits yang didalamnya dinyatakan, 'Tuhan kami tertawa dengan keputusasaan hamba-Nya padahal sedikit lagi Allah akan merubahnya (kepada yang lebih baik)' dan bahwa 'Neraka jahanam tidak penuh sebelum Tuhanmu meletakkan kaki-Nya padanya', 'Al-Kursy adala tempat kedua kaki'. Hadits-hadits yang diriwayatkan ini menurut kami adalah haq/benar, disampaikan oleh orang tsiqah (benar keimanan dan ketakwaannya serta kuat hafalannya) kepada orang yang tsiqah hingga seterusnya. Hanya saja jika kami ditanya tentang penafsirannya, maka kami tidak akan menafsirkannya dan tidak kami dapati seorang pun yang menafsirkannya." (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam 'Al-Asma wa Ash-Shifat', 2/198, Ibnu Abdil Barr dalam 'At-Tamhid, 7/149)

Dalam Fatawa Lajnah Da'imah (2/376), 'Yang wajib adalah menetapkan apa yang telah Allah tetapkan untuk dirinya, seperti kedua tangan, kedua kaki, jari jemari dan sifat lainnya yang disebutkan dalam Al-Quran dan Sunah dengan kedudukan yang sesuai dengan kemuliaan Allah Ta'ala, tanpa dirubah, dibagaimanakan, diserupakan (dengan makhluk) dan digugurkan. Berdasarkan firman Allah Ta'ala, “Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Dan Fiirman-Nya :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ  (سورة الشورى: 11)

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat." (QS. Asy-Syura : 11)

Itu semua adalah hakikat, bukan majaz (kiasan). Adapun berlebihan menetapkan apa yang tidak ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunah, maka seharusnya ditinggalkan.

Syekh Abdurrahman Al-Barrak hafizahullah berkata, "Dalam hadits ini terdapat penetapan kaki bagi Allah Ta'ala. Ahlussunnah menetapkan bagi Allah apa yang telah ditetapkan dalam hadits berdasarkan hakikatnya, sebagaimana mereka menetapkan seluruh sifat. Sebagaimana mereka menetapkan kedua tangan, kedua mata bagi Allah Ta'ala, lalu mereka berkata, 'Allah Ta'ala memiliki kedua kaki, sebagaimana terdapat dalam atsar yang masyhur dari Ibnu Abbas dalam tafsir Al-Kursy bahwa dia adalah tempat kedua kaki, yaitu kedua kaki Allah Ta'ala. Penetapan dalam masalah kedua kaki dan kedua tangan adalah sama, tidak dapat dibedakan." (Syarh Aqidah Al-Wasithiyah, hal. 172)

Maka riwayat yang tetap adalah bahwa Allah Ta'ala meletakkan kakinya di atas neraka. Kita beriman terhadap hal tersebut dan berhenti sampai disitu serta tidak melampauinya. Tidak boleh kita katakan, 'meletakkan kedua kakinya' dengan dalil bahwa mufrad (tunggal) yang disandarkan bersifat umum. Sebagaiman kita tidak boleh mengatakan 'Dia menulis Taurat dengan kedua tangan-Nya' . Tapi hendaknya kita membatasi sebagaimana adanya yang terdapat dalam nash. Karena sifat Allah dasarnya adalah tauqifi (wahyu).

Wallahua'lam.

Kemaksiatan Harut dan Marut

"Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan benar dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh.” (QS. Al-Hijr : 8)


Alkisah, Ketika Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Adam ke bumi maka para malaikat berkata: “Wahai Rabb Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Para malaikat berkata: “Wahai Rabb kami kami lebih taat kepadaMu dibandingkan dengan anak Adam”. Allah berfirman kepada para malaikat: “Pilihlah dua malaikat yang akan Aku turunkan ke muka bumi dan kita lihat apa yang diperbuat keduanya”. Para malaikat berkata: “Harut dan Marut”. Maka Harut dan Marut diturunkan ke bumi dan dinampakkan bagi keduanya Zuhroh sebagai wanita yang cantik, maka datanglah keduanya kepada Zuhroh dan meminta Zuhroh (agar berzina dengan keduanya), maka Zuhroh berkata: “ Tidak, demi Allah sampai kalian berdua mengucapkan kalimat kesyirikan”, maka keduanya mengatakan: “Tidak, demi Allah kami tidak akan berbuat kesyirikan terhadap Allah selama-lamanya”, maka pergilah Zuhroh dari keduanya, kemudian dia kembali sambil membawa seorang bayi, maka kembalilah keduanya minta kepada Zuhrah agar menyerahkan dirinya kepada keduanya, maka Zuhroh berkata: “Tidak, demi Allah sampai kalian berdua membunuh bayi ini”, maka keduanya berkata:“Tidak, kami tidak akan membunuhnya selama-lamanya”, maka pergilah Zuhroh dan kembali lagi sambil membawa segelas khomr, maka kembalilah keduanya minta diri Zuhroh yang dijawab dengan perkataannya: “Tidak, demi Allah sampai kalian berdua meminum khomr ini”, maka keduanya meminum khomr tersebut sampai mabuk dan berzina dengan Zuhroh serta membunuh bayi tersebut, ketika keduanya siuman maka berkata Zuhroh: “Demi Allah tidak ada satupun dari perbuatan yang sebelumnya kalian enggan melakukan padaku melainkan telah kalian lakukan ketika kalian berdua dalam keadaan mabuk”. Maka keduanya disuruh memilih antara adzab dunia dan akhirat, maka keduanya memilih adzab dunia.

Benarkah kisah ini, padahal di dalamnya mengandung cerita yang menunjukkan kedurhakaan dua malaikat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Berikut akan kita bahas kedudukan kisah ini dari segi riwayat dan dirayah :

Derajat Kisah

BATHIL. Ada tiga riwayat yang marfu’ (sampai kepada Nabi) tentang kisah ini, kesimpulannya seperti dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah : “Kisah Harut dan Marut ini diriwayatkan dari beberapa tabi’in seperti Mujahid, Suddi, Hasan Al-Bashri, Qotadah, Abul Aliyah, Zuhri, Rabi’ bin Anas, Muqotil bin Hayyan dan lain-lain, dan dibawakan oleh banyak penulis tafsir dari kalangan terdahulu dan belakangan. Kesimpulannya, perincian mendetail dari kisah ini kembali kepada berita Israiliyat (bani Israil), karena riwayat ini tidak ada sama sekali dalam hadits marfu’ yang bersambung sanadnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Ash-Shodiqul Mashduq yang tidak pernah berucap dari hawa nafsunya. Dan dhahir konteks Al-Qur’an adalah menyebutkan kisah ini dengan global dan tanpa berpanjang lebar, maka kita beriman kepada apa yang datang dalam Al-Qur’an sesuai yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala yang lebih tahu tentang hakekatnya.”

Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’alllimy rahimahullah berkata: “Asal kisah ini -Wallahu a’lam- dari berita Israiliyat yang dibawakan sebagian sahabat dari Ahli Kitab, tetapi sebagian perawi berbuat kesalahan dengan menjadikannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka riwayat-riwayat yang kuat dari kisah ini tidak keluar dari dua kemungkinan: Bisa jadi dari perkataan sahabat atau tabi’in, dan bisa jadi dari kesalahan perawinya.”

Tinjauan Dari Segi Matan

Matan kisah inipun munkar sebagaimana ditegaskan oleh para ulama’. Abu Hatim rahimahullah berkata: “Hadits ini munkar”. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga berkata: “Kisah ini munkar, hanya diriwayatkan dari Ka’ab.”

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Ini semua lemah dan jauh sekali kalau muncul dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma dan yang lainnya dan tidak ada yang shahih satupun. Hal ini juga bertentangan dengan pokok-pokok syari’at tentang keadaan para malaikat yang merupakan kepercayaan Allah subhanahu wa ta’ala atas wahyu-Nya dan duta-duta-Nya kepada para rasul, yang malaikat ini tidak pernah durhaka atas perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka dan selalu mengerjakan apa saja yang diperintahkan kepada mereka sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala :

لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)

Al-Hafizh Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Di antara bukti-bukti yang menunjukkan kebathilan kisah Harut dan Marut ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :

مَا نُنَزِّلُ الْمَلاَئِكَةَ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَمَا كَانُوا إِذًا مُنْظَرِينَ

“Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan benar dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh.” (QS. Al-Hijr : 8)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memastikan bahwa tidak pernah menurunkan malaikat melainkan dengan Al-Haqq (kebenaran), sedangkan minum khomr, berzina, membunuh jiwa yang diharamkan, dan mengajarkan sihir (yang dilakukan oleh dua malaikat dalam kisah ini) semuanya itu bukanlah termasuk Al-Haqq, bahkan merupakan kebatilan. Dan kita bersaksi bahwa para malaikat tidak pernah turun sama sekali dengan semua perkara yang keji dan kebatilan ini.”

Kesimpulan, kisah Harut dan Marut ini adalah kisah yang bathil dari segi riwayat dan dirayah, sehingga tidak boleh memakai kisah ini sebagai tafsir ayat, sabab nuzul, ataupun i’tiqad dan kisah ini merupakan salah satu hal yang harus dibersihkan dari kitab-kitab tafsir sesuai dengan tugas setiap muslim untuk membersihkan syari’at Islam dari hal-hal yang mengotorinya. Wallahu a’lam.
Pandangan Pudar Ulah Maksiat

Pandangan Pudar Ulah Maksiat

“Dituliskan atas keturunan Adam bagiannya dari zina yang tidak mungkin dapat ia hindari. Kedua mata, zinanya adalah pandangan. Kedua telinga, zinanya adalah mendengar. Lisan, zinanya adalah berbicara. Tangan, zinanya adalah memegang. Kaki, zinanya adalah melangkah. Hati, zinanya adalah berhasrat dan berkhayal. Kesemuanya ini hanya tinggal didukung oleh kemaluannya, atau malah ditinggalkannya.” (Muttafaq Alaih)


Basri adalah seorang pengusaha sukses di kotanya. Tahun itu ia mengajak semua anggota keluarganya untuk melakukan ibadah haji, termasuk Andi anaknya. Hari itu adalah tanggal 5 Dzul Hijjah. Kondisi Masjidil Haram hari itu sudah amat penuh. Mereka sekeluarga dan rombongan dari sebuah travel di Jakarta tengah melakukan thawaf umrah.

Usai berthawaf tujuh kali, Basri, Andi dan keluarganya menyempatkan untuk minum air zamzam dari keran-keran yang telah disediakan. Di sana, Basri memberitahukan kepada Andi yang bermata minus untuk mengusapkan matanya dengan air zamzam seraya berdoa agar diberi kesembuhan atas matanya.

Mendengar nasehat itu, Andi pun melakukannya. Selain ia ingin sembuh dari mata yang minus, ia pun sudah lelah dengan kaca dan besi yang menggantung di sekitar wajahnya.

Maka sungguh, begitu ia usai berdoa dengan khusyuk dan mengusapkan air zamzam pada matanya, maka sedikit demi sedikit matanya sudah mulai terang tak ubahnya sebuah kamera yang baru saja menemukan fokusnya. Andi begitu gembira, seolah tak percaya ia gunakan kacamata yang ia punya. Benar saja, begitu kacamata di pasang maka pandangan menjadi rabun, namun saat dilepaskan maka begitu jelas pandangan terlihat. Andi bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas anugerah ini, namun ia belum menceritakannya kepada Basri ayahnya. Selepas itu mereka pun hendak melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwa.

Sebab ia pernah melakukan haji dan umrah berkali-kali, Basri mengusulkan kepada keluarganya untuk melakukan sa’i secara terpisah dari rombongan dan mengambil lokasi di lantai 2 masjid. Maka seluruh anggota keluarga pun menyetujui.

Jutaan manusia saat itu berada di dalam masjid. Mencari celah untuk berjalan pun sulit sekali. Padahal untuk naik ke lantai 2, banyak sekali anak tangga yang harus dilalui. Namun enam orang anak-beranak ini tidak mengurungkan niat mereka untuk mencapai lantai 2 masjid dan bersa’i di sana.

Mengingat sesak dan penuhnya orang yang berkerumun, Basri meminta istri dan 3 orang putrinya untuk menaiki tangga terlebih dahulu. Sementara ia dan Andi berjalan di belakang demi menjaga keamanan.

Satu putaran anak tangga sudah dilalui, padahal masih ada 3 putaran lagi yang harus dilalui untuk tiba di lantai 2. Pada pemberhentian pertama anak tangga itu, sungguh Ka’bah amat begitu cantik terlihat.
Basri menunjuk ke arah Ka’bah sambil berkata kepada Andi, “Lihat tuh…, Ka’bah indah betul!” Meski dari jarak kurang lebih 100 meter, Andi dapat melihat dengan jelas Ka’bah tanpa harus mengenakan kacamata. Bahkan tulisan kaligrafinya pun terlihat jelas oleh kedua matanya. Andi semakin bertambah yakin bahwa kedua matanya telah pulih.

Namun setelah melihat Ka’bah, Basri menggoda Andi untuk melihat pemandangan selanjutnya, “Nak… tuh lihat di sebelah sana, perempuan Turki cantik-cantik ya? Putih, mancung, tinggi lagi….!” Andi pun penasaran dengan ucapan ayahnya, maka Andi pun mencari titik dimana jari ayahnya menunjuk.

Benar saja, di sana terlihat seorang wanita Turki sedang duduk sambil menatap Ka’bah. Wanita tersebut sungguh cantik sehingga memikat pandangan 2 orang anak-beranak ini.

Namun sayang, keduanya lupa bahwa mereka tengah berada di rumah Allah Subhanahu wa ta’ala.

Maka serta-merta, pandangan yang tadinya begitu jelas dirasakan Andi, kini perlahan menjadi pudar dan semakin buram. Andi merasakan hal itu sedikit demi sedikit, ia beristighfar di dalam hati agar Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan matanya minus lagi. Namun sayang, ia telah berbuat maksiat di rumah Allah Subhanahu wa ta’ala, meskipun hanya memandang ke seorang wanita, yang itu sering kali ia perbuat di tanah air.

Andi pun menangis menitikkan air mata, sementara ayahnya tak mengerti kenapa anaknya menangis.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, “Dituliskan atas keturunan Adam bagiannya dari zina yang tidak mungkin dapat ia hindari. Kedua mata, zinanya adalah pandangan. Kedua telinga, zinanya adalah mendengar. Lisan, zinanya adalah berbicara. Tangan, zinanya adalah memegang. Kaki, zinanya adalah melangkah. Hati, zinanya adalah berhasrat dan berkhayal. Kesemuanya ini hanya tinggal didukung oleh kemaluannya, atau malah ditinggalkannya.” (Muttafaq Alaih)

Mukmin yang Kuat dan Sifat-Sifatnya



Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ


“Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari mukmin yang lemah, dan pada semuanya terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah. Apabila engkau ditimpa sesuatu, janganlah berkata, ‘Seandainya aku berbuat (begini), pasti akan terjadi begini dan begitu.’ Tapi, katakanlah ‘Qadarullahi (Boleh juga dibaca: Qaddarallahu) wa mâ syâ`a fa’al’ (Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi), sebab, kata “seandainya” itu membuka pintu amalan syaitan.” (HR. Muslim)

Imam Ahmad Rahimahullah Ditegur Karena Mengerang Ketika Sakit

“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau sesuatu hal yang lebih berat dari itu melainkan diangkat derajatnya dan dihapuskan dosanya karenanya.” (HR. Muslim no. 2572)


Kita diperintahkan agar bersabar dalam berbagai hal, ketika beramal melakukan kebaikan, ketika menahan diri melakukan kemaksiatan dan ketika mendapat musibah. Lebih Baik lagi jika bersabar dengan puncak kesabaran. Karena pahala kesabaran bisa dibalas dengan pahala yang tidak terhingga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَاب ٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.“ (QS. Az-Zumar [39] : 10)

Salah satu bentuk kesempurnaan kesabaran ketika mendapat musibah sakit yaitu tidak mengerang ketika kesakitan. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditegur karena Hal ini. Berikut kisahnya:

دخل أحد أصحاب الإمام أحمد عليه وهو مريض رحمه الله فوجده يئن من المرض، فقال له: يا أبا عبد الله! تئن، وقد قال طاووس: إن الملك يكتب حتى أنين المريض، لأن الله يقول: ]ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد

“Salah seorang sahabat Imam Ahmad menjenguknya ketika sakit, ia mendapati Imam ahmad mengerang karena sakit. Maka ia berkata, ‘wahai Abu Abdillah (nama kunyah Imam Ahmad), engkau mengerang? (maksudnya, ahli ilmu seperti engkau kok mengerang ketika sakit), padahal Thawus telah berkata, ‘sesungguhnya malaikat menulis sampai erangan ketika sakit’, karena Allah berfirman, ‘Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir;.” (Syarh Aqidah Al-Wasiitiyyah, hal. 40)

Putra Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yaitu Shalih bin Ahmad rahimahullah berkata:

لما رواه صالح بن الإمام أحمد قال: “قال أبي في مرض موته: أخرج كتاب عبد الله بن إدريس فقال: اقرأ عليّ حديث ليث: إن طاووساً كان يكره الأني نفي المرض فما سمعت لأبي أنيناً حتى مات”, “)

“Ayahku berkata ketika sakit yang mengantarkan kepada kematiannya, ‘keluarkan buku hadits Abdullah bin Idris’. Kemudian ia berkata, ‘bacakan kepadaku hadits Laits’. Adalah Thawus membenci mengerang ketika sakit, maka aku tidak lagi mendengar erangan dari ayahku samapi beliau wafat.” (Siyar A’lam An-Nubala, Jilid 11 hal. 215)

Sebenarnya mengerang yang dibenci adalah karena bentuk tidak ridha atau sedikit tidak suka terhadap penyakit, mengerang otomatis karena rasa sakit maka ini tidak mengapa. Jika bisa ditahan maka sebaiknya ditahan karena lebih menunjukkan ridha terhadap takdir Allah.

Tidak diragukan lagi bahwa erangan ketika sakit jika muncul dari rasa marah, tidak terima takdir maka inilah yang ditulis sebagai dosa. Adapun jika muncul akibat demam misalnya, maka sesungguhnya Allah tidaklah membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Jika mengingat kembali pahala kesabaran dan keutamaan kesabaran atas musibah penyakit dengan keimanan yang kuat tentu kita bisa bersabar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَوَدُّ أَهْلُ الْعَافِيَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَّ جُلُودَهُمْ قُرِضَتْ بِالْمَقَارِيضِ مِمَّا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ أَهْلِ الْبَلاَءِ.

“Manusia pada hari kiamat menginginkan kulitnya dipotong-potong dengan gunting ketika di dunia, karena mereka melihat betapa besarnya pahala orang-orang yang tertimpa cobaan di dunia.” (HR. Al-Baihaqi no. 6791)

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ، وَلاَ حَزَنٍ، وَلاَ وَصَبٍ، حَتَّى الْهَمُّ يُهِمُّهُ؛ إِلاَّ يُكَفِّرُ اللهُ بِهِ عَنْهُ سِيِّئَاتِهِ

“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau sesuatu hal yang lebih berat dari itu melainkan diangkat derajatnya dan dihapuskan dosanya karenanya.” (HR. Muslim no. 2572)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي جَسَدِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

“Cobaan akan selalu menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada anaknya maupun pada hartanya, sehingga ia bertemu dengan Allah tanpa dosa sedikitpun.” (HR. Ahmad)

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

Udara

Namun, tidak semua yang baik adalah yang terbaik.


Di sebuah kelas, seorang guru bertanya kepada murid-murid di hadapannya. "Menurutmu, benda apa di dunia ini yang paling baik pada manusia?"

Murid-murid tampak berpikir keras. Ada yang tatapannya menyapu seisi kelas, seolah mencari sesuatu. Ada yang bisik-bisik dengan teman sebangku. Dan ada yang tetap diam. "Air, Pak Guru!" jawab seorang anak tiba-tiba.

"Kamu benar!" ucap Pak Guru menyambut jawaban seorang muridnya. "Air memang menyediakan kehidupan. Tapi, tidakkah kamu perhatikan, air cuma mengairi manusia-manusia di sekitar aliran sungainya. Manusialah yang harus menjemput air. Bukan sebaliknya!" tanggap Pak Guru begitu lugas. Beberapa saat, suasana kelas hening.

"Cahaya, Pak Guru!" ucap seorang murid yang lain. "Kenapa cahaya?" tanya Pak Guru memancing. "Karena cahayalah kita bisa melihat. Bayangkan jika tanpa cahaya. Dunia akan gelap!" jelas si murid begitu mantap.

"Kamu juga benar!" jawab Pak Guru. "Tapi, tidakkah kamu perhatikan kalau saat istirahat manusia tak butuh cahaya. Ada saatnya cahaya bisa menemani. Ada saatnya tidak," ungkap Pak Guru kian membuat suasana kelas lebih serius.

"Gimana? Ada yang ingin berpendapat?" tanya Pak Guru memecah keheningan kelas yang mulai agak lama. Tapi, yang ditunggu tak juga muncul. Murid-murid tampak bingung. Tiba-tiba, ada seorang murid mengacungkan jari. "Udara, Pak Guru!" ucapnya begitu yakin.

"Ya, saya lebih setuju pendapat itu!" ucap Pak Guru memberikan respon positif. "Kenapa, Pak?" tanya murid-murid hampir bersamaan.

"Menurut saya," ucap Pak Guru sambil menatap murid-murid begitu serius. "Udara memberi kebaikan dengan mendatangi manusia. Bukan sebaliknya. Tanpa memamerkan diri, ia akan bersusah payah menyelinap di lubang sekecil jarum sekali pun, demi memenuhi kebutuhan manusia. Udara pula yang selalu menemani manusia, di mana dan kapan pun," jelas Pak Guru begitu meyakinkan. Dan murid-murid pun mengangguk setuju.

Dalam pentas kehidupan, selalu ada pegiat kebaikan. Mereka memberi tanpa pamrih. Mereka pun berlomba untuk bisa menjadi yang paling bermanfaat. Berusaha memberi dengan yang terbaik.

Namun, tidak semua yang baik adalah yang terbaik. Bercermin pada tiga makhluk Allah seperti air, cahaya, dan udara mungkin akan menambah nilai kebaikan. Bahwa, produk kebaikan harus mengejar, bukan dikejar. Dan yang menarik, ia selalu bersama dengan yang membutuhkan, walaupun orang tak menganggap keberadaannya.

Kalau saja pegiat kebaikan memahami peringkat udara, ia pasti tak akan berpuas diri cuma sebagai air atau cahaya.

Status Penghasilan Dari Pekerjaan Hasil Nyogok

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang nyogok dan penerima sogok.” (HR. Abu Dawud no. 3109 dan At-Tirmidzi no. 1256)


Sudah menjadi rahasia umum jika di negeri ini banyak sekali praktek KKN baik di kalangan pemerintahan maupun swasta. Salah satu praktek KKN ini adalah suap, bahkan menurut salah satu penuturan dari sahabat penulis, untuk menjadi seorang PNS itu peluangnya adalah 70% suap dan 30% murni tanpa suap, wallahu a’lam pernyataan ini shahih atau tidak. Namun hal ini kadang menjadi pergunjingan jika ternyata salah satu rekan kerja kita mendapatkan pekerjaannya dengan cara suap. Lalu bagaimanakah status gaji dari hasil pekerjaan yang didapatkan melalui suap? Berikut penjelasan mengenai hal ini yang penulis sarikan dari Fatawa Islam, oleh Syaikh Muhammad Al-Munajed hafizhaullah, no. 112128

Kita semua yakin bahwa melakukan sogok untuk mendapatkan sesuatu yang bukan hak-nya hukumnya haram, bahkan termasuk dosa besar. Yang menanggung dosa bukan hanya penerima sogok, termasuk orang yang menyogok. Termasuk dalam hal ini adalah menyogok untuk mendapatkan pekerjaan. Semua pihak yang terlibat dalam ‘tindak kriminal’ ini turut mendapatkan laknat atas perbuatannya, sampai dia bertaubat.

Untuk kasus sogok dalam rangka mendapatkan pekerjaan, selama penerimaan pegawai untuk lowongan pekerjaan itu berdasarkan tes setiap pelamar, maka sogok dalam kasus ini statusnya haram. Karena sogok bukanlah alasan untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih berhak mendapatkan pekerjaan tersebut, dan posisi pekerjaan tersebut bukanlah hak bagi penyogok. Barangkali orang yang masih penerapkan praktik ‘kotor’ semacam ini perlu merenungkan hadits:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang nyogok dan penerima sogok.” (HR. Abu Dawud no. 3109 dan At-Tirmidzi no. 1256)

Bagaiman Status Gajinya?

Jika si pegawai hasil nyogok ini telah bertaubat kepada Allah, dan telah mensedekahkan sebagian hartanya, maka tidak masalah dia tetap bertahan di posisi tersebut. Dengan syarat: Dia memiliki kemampuan yang memadai untuk melaksanakan tugasnya tersebut, karena mengampu pekerjaan, sementara dia tidak memliki kemampuan termasuk mengkhianati amanah. Dan dampak buruk perbuatannya bisa jadi menimpa banyak orang. Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.

Wisata Bilal Radhiallahu 'Anhu ke Kuburan Nabi Shallallahu 'Alalihi Wasallam

Seluruh ahli sejarah yang terpercaya telah bersepakat bahwa Bilal tidak pernah adzan setelah wafatnya Nabi Muhammad kecuali hanya sekali saja yaitu ketika Umar datang ke Syam. Sehingga manusia teringat pada Nabi dan tidak pernah diketahui orang yang menangis lebih banyak daripada hari itu.” (Ibnu Asakir dalam Tarikhnya 3/316, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa Nihayah 7/102, Al-Bukhari dalam Tarikh As-Shaghir 1/53)


Alkisah, Tatkala sahabat Bilal berada di Syam, dia pernah bermimpi melihat Nabi dalam tidurnya. Dalam mimpinya, Nabi bersabda padanya: “Kekasaran apakah ini hai Bilal? Bukankah telah tiba saatnya engkau mengunjungiku?”. Setelah itu Bilal bangun dari tidurnya dengan penuh kesedihan lalu berangkat menuju kota Madinah dengan menaiki kendaraannya. Setibanya di sana, dia mendatangi kuburan Nabi serta menangis dan menempelkan wajahnya pada kuburan. Hasan dan Husain menemui Bilal dan memeluknya seraya berkata: “Hai Bilal, kami sangat merindukan suara adzanmu”. Bilal pun memenuhi permintaan keduanya lalu dia naik dan berdiri di loteng. Tatkala dia berucap “Allahu Akbar, Allahu Akbar” kota Madinah goncang. Dan ketika berucap “Asyhadu “an Laa Ilaha Illa Allah” goncangannya semakin dahsyat. Dan ketika sampai “Asyhadu ‘anna Muhammad Rasulullah” gadis-gadis pingitan keluar dari rumah sambil mengatakan: “Rasulullah diutus kembali”. Tidak ada tangisan di kota Madinah setelah wafatnya Rasulullah yang lebih seru dibandingkan hari itu”.

Takhrij Kisah

Kisah ini cukup kondang dan populer di kalangan pengagum berat kuburan, bahkan dijadikan dalil oleh sebagian mereka tentang disyariatkannya wisata ziarah kubur Nabi seperti As-Subki dalam Syifa As-Siqam fi Ziyarati Khairil Anam hal. 52, Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam Tuhfatuz Zuwar ila Qabri Nabi Mukhtar hal. 67 dan Syaikh Aidh Al-Qarni dalam kitabnya Al-Misku wal ‘anbar fi Khutabi Minbar 1/74-75.

Diriwayatkan Abu Ahmad Al-Hakim dalam Fawaid-nya juz 5 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya pada biografi Bilal dari jalan Muhammad bin Al-Faidh dari Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilal bin Abu Darda’ dari ayahnya dari kakekanya dari Ummu Darda’ dari Abu Darda…

Derajat Kisah

MUNKAR, karena disebabkan :

Ibrahim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilal. Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi berkata: “Syaikh ini tidak dikenal dengan kepercayaan, amanah, hafalan dan keadilan, bahkan dia adalah seorang yang majhul, tak dikenal dengan riwayat hadits. Tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Al-Faidh yang meriwayatkan kisah munkar ini”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Asakir menulis biografi tentangnya dan membawakan riwayatnya dari ayahnya dari kakeknya dari Ummu Darda’ dari Abu Darda’ tentang kisah “Perjalanan Bilal ke Syam” dan kedatangannya ke kota Madinah dan adzannya di Madinah serta goncangnya Madinah dengan tangisan karena adzannya. Kisah ini sangat nyata dustanya”.

Sulaiman bin Bilal bin Abu Darda’. Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi berkata: “Dia tidak dikenal, majhul hal, sedikit riwayatnya dan tidak ada satu imampun sepanjang pengetahuan saya yang menganggapnya tsiqah (terpercaya). Imam Bukhari juga tidak mencantumkannya dalam kitab beliau, tidak pula Ibnu Abi Hatim, ditambah lagi dia tidak diketahui bahwa dia mendengar dari Ummu Darda””.

Komentar Ulama Ahli Hadits

  • Imam Adz-Dzahabi berkata: “Sanadnya layyin yaitu munkar”.
  • Imam Ibnu Abdil Hadi berkata : “Atsar gharib munkar, sanadnya majhul dan terputus”.
  • Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Kisah ini sangat jelas palsunya”.
  • Imam Ibnu Arraq menyetujui ucapan Al-Hafizh di atas .
  • Al-Allamah As-Syaukani berkata: “Tidak ada asalnya”. Dan disetujui oleh Al-Allamah Syaikh Yahya Al-Muallimi.
  • Al-Allamah Ali Al-Qari menghukumi kisah ini dengan Maudhu’ (palsu) dalam kitabnya Al-Mashnu” fi Ma’rifatil Hadits Maudhu’.
  • Lajnah Daimah (Anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia) yang diketuai oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh menetapkan: “Para pakar ulama telah menegaskan bahwa hadits ini tidak shahih”. Kemudian mereka menukilkan sebagian komentar ulama diatas.

Tinjauan Matan Kisah

Matan kisah inipun perlu dikritisi karena beberapa hal berikut :

Seluruh ahli sejarah yang terpercaya telah bersepakat bahwa Bilal tidak pernah adzan setelah wafatnya Nabi Muhammad kecuali hanya sekali saja yaitu ketika Umar datang ke Syam. Sehingga manusia teringat pada Nabi dan tidak pernah diketahui orang yang menangis lebih banyak daripada hari itu. Demikianlah ditegaskan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikhnya 3/316, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa Nihayah 7/102, Al-Bukhari dalam Tarikh As-Shaghir 1/53, Ibnu Hibban dalam Masyahir Ulama Amshar hal. 50 dan As-Suyuthi dalam Is’af Mubtha’ bi Rijal Al-Muwatha’ 3/185 -Tanwir Hawalik-.

Seluruh ahli hadits dan sejarah menegaskan bahwa Bilal wafat di kota Syam pada zaman pemerintahan Umar bin Khaththab, sedangkan kuburan Nabi pada zaman Umar berada di kamar rumah Aisyah yang tidak diperbolehkan seorangpun untuk masuk kecuali dengan izinnya. Dan telah shahih dalam sejarah bahwa tatkala Umar bin Khaththab ditusuk, beliau memerintahkan anaknya Abdullah supaya pergi kepada Aisyah seraya mengatakan padanya: “Sesungguhnya Umar berpesan: “Bila tidak memberatkan dirimu, maka saya senang untuk dikubur bersama kedua sahabatku (Nabi dan Abu Bakar)”. Aisyah menjawab: “Saya tidak keberatan” Maka Umar berkata: “Bila demikian, maka kuburkanlah saya bersama keduanya”. (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 3/93)

Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani menegaskan: “Riwayat ini adalah bathil dan maudhu’ (palsu). Tanda-tanda kepalsuannya sangat nampak sekali ditinjau dari beberapa segi. Saya akan sebutkan point-point penting saja :

Pertama: Ucapannya “Dia mendatangi kuburan Nabi dan menangis di sisinya” hal ini menggambarkan kepada kita bahwa kubur Nabi seperti kuburan lainnya yang bisa didatangi oleh semua orang!! Ini adalah pendapat yang bathil sekali sebagaimana diketahui oleh semua orang yang mengetahui sejarah penguburan Nabi di kamar dan rumah Aisyah yang tidak boleh bagi seorang untuk memasukinya kecuali dengan izinnya Aisyah dan hal ini terus berlangsung hingga masa Umar, sebagaimana dalam riwayat Al-Hakim 3/93.


Kedua: “Perkataannya “Dan dia menempelkan wajahnya ke kuburan”. Saya (Al-Albani) berkata: “Ini juga termasuk satu tanda lainnya akan palsunya kisah ini serta jahilnya si pemalsu kisah, karena dia menggambarkan pada kita bahwa sahabat Bilal seperti orang-orang jahil yang menerjang aturan-aturan syari’at tatkala melihat kuburan sehingga mengerjakan hal-hal yang tidak diperbolehkan berupa kesyirikan-kesyirikan seperti mengusap kubur dan menciumnya…”. Wallahu A’lam.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top