“Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertaqwa.” (QS. Yunus [10] : 62-63)
Anggapan yang telah menyebar di
sebagian kaum muslimin pada umumnya, terutama yang ada di Indonesia bahwasanya
yang disebut wali Allah adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan
yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. Yaitu mampu melakukan hal-hal yang
ajaib yang disebut dengan karomah para wali. Sehingga jika ada seseorang yang
memiliki ilmu yang tinggi tentang syari’at Islam namun tidak memiliki
kekhususan ini maka kewaliannya diragukan. Sebaliknya jika ada seseorang yang
sama sekali tidak berilmu bahkan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah subhanahu
wa ta’ala dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala, namun dia mampu menunjukan
keajaiban-keajaiban (yang dianggap karomah) maka orang tersebut bisa dianggap
sebagai wali Allah subhanahu wa ta’ala.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
berkata dalam tafsirnya:
“Yunus
bin 'Abdil A'la berkata: “Aku berkata kepada Asy-Syafi'i: “Al-Laits bin S'ad
berkata: “Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air maka janganlah
kalian tertipu olehnya hingga kalian menimbang perkaranya di atas Al-Qur'an dan
As-Sunnah.” Maka Asy-Syafi'i berkata: “Al-Laits masih kurang, bahkan jika
kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di atas udara maka
janganlah terpedaya olehnya hingga kalian menimbang perkaranya di atas
Al-Qur'an dan As-Sunnah.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1 hal. 326)
Pernyataan Imam Asy-Syafi'i rahimahullah
diatas sangat tegas membantah pemahaman yang keliru tersebut. Untuk mengukur
kewalian yang benar maka harus ditimbang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, karena
keajaiban juga bisa dilakukan oleh orang-orang yang sesat, seperti para dukun,
tukang sihir, bahkan pendeta.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani rahimahullah
berkata:
“Sesungguhnya
yang terpatri di kalangan orang awam bahwasanya kesaktian menunjukkan barangsiapa
yang melakukannya adalah termasuk wali-wali Allah. Dan ini merupakan kesalahan
dari orang yang mengatakannya. Karena sesungguhnya kesaktian terkadang muncul
melalui tangan orang yang berada di atas kebatilan seperti tukang sihir, dukun,
dan pendeta. Karenanya orang yang hendak menjadikan kesaktian sebagi bukti
kewalian membutuhkan pembeda. Dan pembeda yang paling utama yang mereka
sebutkan adalah dengan menguji keadaan pemilik kesaktian tersebut. Jika orang
tersebut berpegang teguh dengan perintah-perintah syari'at dan menjauhi
larangan-larangan syari'at maka keajaiban tersebut merupakan tanda kewaliannya,
dan barang siapa yang tidak demikian maka keajaiban tersebut bukanlah tanda
kewalian.” (Fathul Bari, Jilid 7 hal. 383)
Hakikat Wali
Wali diambil dari lafazh Al-Walayah
yang merupakan lawan kata dari Al-‘Adawah. Adapun arti dari Al-walayah adalah Al-Mahabbah
(kecintaan) dan Al-Qarbu (kedekatan). Sedangkan arti Al-‘Adawah adalah Al-Bughdhu
(kebencian) dan Al-Bu’du (kejauhan). Karenanya yang disebut wali Allah adalah
orang yang dia mencintai Allah subhanahu wa ta’ala dan dekat dengan
Allah subhanahu wa ta’ala. Dan orang seperti ini harus memiliki
sifat-sifat berikut:
Pertama, Dia harus ittiba’
(mengikuti) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menjalankan perintah
Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau.
Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah:
“Jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku maka Allah akan mencintai kalian
dan memaafkan kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3] : 31)
Ayat ini merupakan
ayat ujian yang turun untuk menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala (termasuk di dalamnya orang yang mengaku dia adalah wali
Allah). Jika dia benar mengikuti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka
kecintaannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah benar, dan jika
tidak maka cintanya adalah dusta.
Kedua, Dia harus bersifat lembut kepada kaum
muslimin dan keras kepada kaum kafir, dan berjihad di jalan Allah dan tidak
takut dengan celaan orang-orang yang mencela, sesuai dengan firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ
يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang
mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah
[5] : 54)
Hal ini sangatlah bertentangan dengan
sifat sebagian orang yang mengaku dirinya wali, atau dianggap wali oleh
masyarakat yang sifatnya sangat dekat dengan orang-orang kafir, bahkan
mengagumi orang-orang kafir.
Ketiga, Dia harus bertaqwa
dan beriman, yaitu beriman dengan hatinya dan bertaqwa dengan anggota tubuhnya,
sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
أَلا
إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ
آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertaqwa.” (QS. Yunus [10] : 62-63)
Maka barangsiapa yang mengaku sebagai
wali Allah namun tidak memiliki sifat-sifat ini maka dia adalah pendusta.
Contoh
Wali
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu adalah contoh seorang wali Allah bahkan telah dijamin masuk surga.
Umar telah mengumpulkan banyak keajaiban dan kehebatan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya:
قَدْ
كَانَ فِيْمَا قَبْلَكُمْ مِنَ الأُمَمِ نَاسٌ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكُنْ مِنْ
أُمَّتِيْ أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ
“Pada
umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsun (yang mendapatkan
sejenis ilham dari Allah). Kalaupun ada di kalangan umatku satu orang, maka dia
adalah Umar.” (HR. Al-Bukhari no. 3469
dan Muslim no. 2398)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda:
إِنَّ
اللهَ وَضَعَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُوْلُ بِهِ
“Sesungguhnya
Allah meletakkan kebenaran pada lisan Umar yang ia mengucapkan kebenaran
tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 2962)
لَوْ
كَانَ نَبِيٌّ بَعْدِي لَكَانَ عُمَرَ
“Kalaulah
ada nabi setelahku maka dia adalah Umar.” (HR.
At-Tirmidzi no. 3686)
Hadits-hadits ini jelas menunjukkan
bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang wali Allah, bahkan
beliau mendapatkan ilham dari Allah. Selain itu beliau pernah melakukan hal-hal
yang ajaib sebagaimana beliau pernah mengutus sebuah pasukan dan beliau
mengangkat seorang pemuda yang bernama Sariyah untuk memimpin pasukan tersebut.
Tatkala Umar sedang berkhutbah di atas mimbar, beliau berteriak: “Wahai
Sariyah, gunung!, wahai Sariyah, gunung!” Lalu utusan pasukan tersebut menemui
Umar dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, kami bertemu musuh, tiba-tiba ada
suara teriakan: “Wahai Sariyah, gunung!” lalu kami menyandarkan
punggung-punggung kami ke gunung kemudian Allah memenangkan kami.” (HR Al-Bukhari
no. 3198, dan Muslim no. 1610)
Beliau juga sangat ditakuti oleh Setan
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar:
يَا
بْنَ الْخَطَّاب وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ قَطْ
سَالِكًا فَجًّا إِلاَّ سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ
“Wahai
Ibnul Khaththab, demi Yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah setan bertemu
dengan engkau di jalan manapun kecuali ia mencari jalan yang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 3120 dan Muslim no.
2396)
Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa
Umar radhiyallahu ‘anhu harus ma’sum (terjaga dari kesalahan). Kesalahan
yang pernah beliau lakukan diantaranya:
1.
Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berumroh pada tahun ke enam
Hijriah bersama sekitar 1400 kaum muslimin (mereka itu adalah yang berbai’at di
bawah pohon) dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengadakan
perjanjian damai (perjanjian Hudaibiyah) dengan kaum musyrikin setelah melalui
perundingan dengan kaum musyrikin. Keputusan perundingan tersebut adalah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin kembali ke Madinah pada tahun ini dan
akan berumrah pada tahun yang akan datang. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberi beberapa syarat terhadap mereka yang dalam syarat-syarat tersebut ada
tekanan kepada kaum muslimin secara zhahir, sehingga hal itu memberatkan
kebanyakan kaum muslimin, sedangkan Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui dengan
maslahat yang ada di balik itu. Umar radhiyallahu ‘anhu termasuk orang
yang tidak setuju dengan hal itu, lalu berkata kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, bukankah kita di atas kebenaran dan
musuh kita di atas kebatilan?” maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Benar”, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata lagi: “Bukankah
orang-orang yang terbunuh diantara kita masuk ke dalam surga dan orang-orang
yang terbunuh di antara mereka masuk ke dalam neraka?”, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Benar”. Umar radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Kenapa kita bersikap merendah pada agama kita?”, Nabi berkata: “Aku
adalah Rasulullah dan Allah adalah penolongku dan aku bukanlah orang yang
bermaksiat kepadanya.”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bukankah
engkau berkata kepada kami bahwa kita akan mendatangi baitullah dan berthawaf?”,
Nabi berkata: “Benar.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi:
“Apakah aku mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau akan mendatanginya pada
tahun ini?”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tidak”, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: “Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan
berthawaf.”
Umar
pun mendatangi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan berkata kepadanya
sebagaimana perkataannya kepada Rasulullah. Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
pun menjawab sebagaimana jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
padahal dia tidak mendengar jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
(kepada Umar). Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang lebih
sering sesuai dengan Allah dan Rasul-Nya dari pada Umar radhiyallahu ‘anhu,
dan Umar radhiyallahu ‘anhu mengakui kesalahannya dan berkata: “Aku
benar-benar akan mengamalkannya.” (HR Al-Bukhari
no. 2732)
2.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Umar mengingkari
kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tatkala Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu berkata: “Sesungguhnya dia telah wafat”, maka Umar radhiyallahu
‘anhu pun menerimanya. (HR. Al-Bukhari no. 1241)
3.
Ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerangi orang-orang yang enggan
membayar zakat, maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu: “Bagaimana bisa kita memerangi manusia, sedangkan Rasulullah
bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya
tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah Rasulullah.
Apabila mereka mengakui hal ini maka terjagalah darah-darah dan harta-harta
mereka, kecuali dengan haknya”, maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“kecuali dengan haknya”?, sesungguhnya zakat termasuk haknya. Demi Allah kalau
mereka itu menolak untuk membayar zakat kepadaku yang mereka membayarnya kepada
Rasulullah maka aku akan memerangi mereka karena ketidakmauan mereka.” Berkata
Umar radhiyallahu ‘anhu: “Demi Allah tidaklah ada, kecuali aku melihat
Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (orang-orang yang enggan
membayar zakat), maka aku mengetahui bahwasanya dia adalah benar.” (HR. Al-Bukhari no. 1399)
Faidah yang bisa diambil dari pemaparan
ini adalah:
a. Seorang
wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, bahkan berkali-kali sebagaimana Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang salah berkali-kali.
b. Seorang
wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu yang
mendapat ilham dari Allah subhanahu wa ta’ala.
c. Tidak
berarti seseorang yang mendapat karomah berarti lebih mulia daripada wali Allah
yang tidak ada karomahnya. Sebagaimana Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
jelas lebih mulia daripada Umar radhiyallahu ‘anhu, namun dia tidak
mendapatkan ilham dari Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak memiliki
karomah-karomah sebagaimana yang dimiliki oleh Umar radhiyallahu ‘anhu.
d. Seorang
wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan-larangan
Allah subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya. Sebagaimana Umar radhiyallahu
‘anhu yang tetap melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan
Rasul-Nya
e. Walaupun
seorang wali, tapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang dengan Al-Kitab
dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’sum. Sebagaimana
ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu dikembalikan (ditimbang) oleh Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu dengan Sunnah Nabi.
f.
Seorang wali yang telah jelas
bahwasanya perkataan atau perbuatannya menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus
kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak menentangnya. Sebagaimana Umar radhiyallahu
‘anhu, beliau tidak membantah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan berkata:
“Tapi saya kan wali, saya kan mendapat ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk
surga, dan kalian harus menerima perkataan saya.”
g. Seorang
wali harus mematuhi syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para Nabi saja kalau hidup sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam apalagi para wali. Karena jelas para Nabi lebih bertaqwa
daripada para wali dari selain Nabi.
h. Seorang
wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah
wali sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul kitab yang mereka mengaku
bahwa mereka adalah wali-wali Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَلاَ
تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Dan
janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia (Allah) yang lebih
mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (QS. An-Najm
[53] : 32)
Orang yang mengaku
dirinya adalah wali maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah subhanahu wa
ta’ala karena telah melanggar larangan Allah subhanahu wa ta’ala
ini. Dan orang yang bermaksiat tidak pantas disebut wali Allah.
i.
Dan juga bukan termasuk syarat sebagai
wali Allah yaitu dia harus memiliki karomah. Namun karomah merupakan tambahan
kenikmatan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan
para wali-Nya.
j.
Wali-wali Allah tidak memiliki
ciri-ciri yang khusus pada perkara-perkara mubah yang bisa membedakannya dengan
manusia yang lain. Pakaiannya sama, rambutnya sama, dan yang lainnya juga sama.
Ciri-ciri wali tidaklah kembali pada perkara-perkara dunia, namun ciri-ciri
wali kembali pada perkara-perkara akhirat. Oleh karena itu jelas merupakan
kesalahan jika sebagian orang menyangka bahwa ahlu suffah telah mencapai
derajat kewalian karena sekedar sifat mereka yang miskin dan kumuh, demikian
juga sebagian orang yang menyangka bahwa ciri-ciri wali adalah orang yang
memakai sorban, atau memakai tongkat, atau membawa selendang hijau, atau
ciri-ciri yang lainnya.
Sebagaimana yang telah diisyaratkan
oleh Imam Asy-Syafi'i rahimahullah dan juga dinyatakan oleh Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah bahwasanya keajaiban dan
keluarbiasaan juga ternyata bisa dilakukan oleh orang yang berada diatas
kebatilan, seperti penyihir, dukun, maupun pendeta. Tentunya kesaktian yang
mereka miliki adalah berkat bantuan teman-teman mereka dari kalangan jin dan setan,
atau istidraj dari Allah subhanahu wa ta’ala. Karenanya perlu kita untuk
mengetahui perbedaan antara karomah wali dan tipuan seitan.
Diantara perbedaannya adalah:
1. Bahwa
karomah para wali disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan. Sedangkan keajaiban
dan keluarbiasaan lain yang merupakan bantuan syaithon disebabkan oleh hal-hal
yang merupakan larangan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah. Jadi
apabila di dalamnya mengandung unsur-unsur yang disenangi oleh setan, baik itu
kemusyrikan, kezhaliman, kemaksiatan (seperti musik) atau kebid’ahan, maka
jelas yang terjadi pasti bukan karomah.
2. Karomah
tidak bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan apa saja dan tidak bisa dilawan.
Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa lain yang merupakan bantuan setan bisa
dibatalkan dengan bacaan-bacaan ayat-ayat Allah seperti ayat kursi dan
lain-lain.
3. Karomah
tidak bisa dipelajari sehingga menjadi suatu ilmu kedigdayaan yang baku.
Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa yang berasal dari setan bisa dipelajari.
Sebagaimana karomah-karomah yang telah dimiliki oleh para salaf, tidak ada satu
atsar pun yang menunjukkan bahwa mereka pernah mengajarkan karomah mereka
kepada orang lain. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak
pernah mengajarkan karomahnya kepada orang lain, kerena memang tidak bisa
diajarkan, akan tetapi murni anugerah dari Allah semata.
Dari sini kita paham bahwasanya hukum
tenaga dalam, jika diatasnamakan Islam (biasanya dicampur dengan dzikir-dzikir
asma Allah) maka adalah harom. Karena tenaga dalam biasanya menjadi ilmu yang
baku dan bisa dipelajari. Dan tidak ada dalil sama sekali bahwa dengan
bacaan-bacaan disertai gerakan-gerakan khusus yang mereka lakukan bisa
mengahasilkan tenaga dalam.
Selain itu praktek-praktek latihan
tenaga dalam yang ada menyelisihi syari’at diantaranya:
a. Latihannya
harus menggunakan emosi, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang seseorang untuk emosi, beliau bersabda:
لاَ
تَغْضَبْ
“Janganlah
engkau marah”
Rahasia mereka (yang latihan tenaga
dalam) harus marah sebab dengan marah tersebut setan bisa masuk dalam tubuh
mereka sehingga bisa memberi kekuatan untuk tenaga dalam mereka. Sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ
الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ بَنِي آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya
setan mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana aliran darah.” (HR. Al-Bukhari)
b. Ketika
latihan, mereka sering tidak sadar, terutama ketika sedang mempraktekan jurus
mereka. Hal ini sama saja dengan sengaja membuat diri menjadi tidak sadar
(alias mabuk), dan hal ini tidak boleh dalam Islam, sebab Islam menganjurkan
kita untuk senantiasa menjaga akal kita sehingga bisa senantiasa berdzikir
kepada Allah.
c. Kadang
disertai dengan puasa mutih (tidak boleh makan kecuali yang putih-putih), yang
ini tidak ada syari’atnya dalam Islam. Atau untuk menjaga ilmunya dia harus
menghindari pantangan-pantangan tertentu yang sebenarnya hal itu dihalalkan
baginya sebelum dia memiliki ilmu tenaga dalam tersebut. Dan ini berarti
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah.
Adapun jika tenaga dalam tersebut murni
hasil latihan tanpa disertai ritual yang bermacam-macam, dan jika memang bisa
menghasilkan tenaga dalam maka hal ini tentunya tidak mengapa, dan dia bukan
termasuk karomah wali karena orang kafir pun bisa melakukannya.
4. Karomah
pada umumnya tidak bisa dilakukan terus menerus, tetapi terjadi sesuai kehendak
Allah bukan berdasarkan kehendak Wali yang mendapatkan karomah tersebut.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengakui
adanya karomah, tidak sebagaimana mu’tazilah yang mengingkari karomah dan
berkata: “Kalau kita mengakui karomah, maka akan sama wali dengan Nabi”, karena
meskipun mukjizat dan karomah sama-sama merupakan perkara yang ajaib dan luar
biasa akan tetapi ada perbedaan antara mukjizat dengan karomah.
Perbedaannya:
-
Mukjizat hanya berlaku pada para nabi
dan rasul, adapun karomah pada para wali. Mukjizat diperoleh dengan kenabian,
adapun karomah diperoleh dengan ketaqwaan. Karenanya pemilik karomah tidak
pernah mengaku sebagai nabi, berbeda dengan pemilik mukjizat ia
mempropagandakan kenabiannya
-
Karomah kedudukannya lebih rendah
daripada Mukjizat, karena tidaklah seorang wali memiliki karomah kecuali karena
ia telah mengikuti Nabinya sang pemilik mukjizat.
-
Akibat dari Mukjizat adalah baik,
adapun efek samping dari karomah belum tentu. Karena bisa jadi seseorang
mendapatkan karomah lalu semakin rendah derajatnya karena dia menggunakan
karomahnya untuk bermaksiat kepada Allah. (Misalnya dia sombong dengan karomah
yang pernah dia alami, atau dia merasa telah bertaqwa dan yakin masuk surga
dengan karomahnya itu). Contohnya yang terjadi pada Bal’am bin Ba’ura. Beliau
termasuk ahli ibadah di zaman Bani Israil. Ia memiliki karomah, tidaklah ia
meminta sesuatu kepada Allah kecuali Allah mengabulkannya. Maka kaumnya pun
mendatanginya dan memintanya agar berdoa keburukan atas Nabi Musa ‘alaihis
salam dan kaumnya. Maka setelah kaumnya merayu-rayunya dan memaksanya
akhirnya iapun memenuhi permintaan kaumnya maka Allahpun mencabut karomahnya
tersebut. (Ad-Dur Al-Mantsur, Jilid 3 hal. 610)
-
Pemilik Mukjizat (yaitu para Nabi dan Rasul)
menantang orang-orang yang menyelisihinya, adapun pemilik karomah tidak
demikian
Mencari
karomah (kesaktian) tidaklah dianjurkan
Dalam beribadah hendaknya kita berniat
karena Allah bukan karena untuk mencari karomah, karena sama sekali tidak ada
dalil yang menunjukkan bahwa seorang mukmin harus mencari kesaktian dan
keajaiban. Bahkan beribadah dalam rangka untuk memperoleh kesaktian merupakan
bentuk beribadah karena ingin memperoleh dunia yang diharamkan oleh Allah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
مَّن
كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاء لِمَن نُّرِيدُ
ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُوماً مَّدْحُوراً
“Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan
baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.”
(QS. Al-Isra’ [17] : 18)
مَن
كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ، أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ
لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا
وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia
dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)
Namun yang Allah subhanahu wa ta’ala
perintahkan hendaknya seorang mukmin berusaha untuk beristiqomah. Bahkan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penghulu dan
pemimpin para wali bahkan pemimpin para nabi dan rasul telah diperintahkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala untuk beristiqomah. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa
sallam:
فَاسْتَقِمْ
كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ
“Maka
istiqomahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud [11] : 112)
Al-Qadhi Al-Jurjani rahimahullah
berkata: “Jadilah engkau orang yang mencari keistiqomahan, jangan menjadi
pencari karomah. Sesungguhnya jiwamu bergerak (berusaha) dalam mencari karomah
padahal Rob engkau mencari keistiqomahanmu.” (Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah,
Jilid 2 hal. 754)
Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah
berkata: “Mereka tidak mengetahui bahwasanya pada hakekatnya yang namanya
karomah itu adalah melazimi keitiqomahan, dan bahwasanya Allah tidaklah
memuliakan seorang hamba dengan memberikannya sebuah karomah yang lebih mulia
daripada menjadikannya sesuai dengan apa yang dicintai-Nya dan diridhoi-Nya
yaitu taat kepadaNya dan taat kepada rasulNya, loyal kepada para walinya dan
memusuhi musuh-musuh-Nya.” (Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Jilid 2 hal. 755)
Syaikh Shahabuddin Abu Hafs Umar As-Suhrawardi
rahimahullah berkata: “Ucapan ini adalah prinsip yang agung dalam
perkara ini, karena sesungguhnya banyak mujtahid dan ahli ibadah mendengar
salafus shalih, telah diberi karomah-karomah dan hal-hal yang luar biasa
sehingga jiwa-jiwa mereka (para ahli ibadah itu) senantiasa mencari sesuatu
dari hal itu (karomah tersebut), dan mereka ingin diberikan sedikit dari hal
itu, dan mungkin diantara mereka ada yang hatinya frustasi dalam keadaan
menuduh dirinya bahwa amal ibadahnya tidak sah karena tidak mendapatkan
karomah. Kalau mereka mengetahui rahasia hal itu (yaitu Allah tidak menuntut
para hambanya untuk memperoleh karomah, tetapi yang Allah inginkan para
hambanya beristiqomah) tentu perkara ini (mencari karomah) adalah perkara yang
rendah bagi mereka.” (Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Jilid 2 hal. 754)
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ