Haram Memelihara Ular

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh dua binatang hitam ketika shalat: ular dan kala.” (HR. At-Tirmidzi no. 390)


Ular termasuk binatang yang berbahaya, bahkan mematikan. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk membunuhnya ketika kita ketemu ular dan memungkinkan untuk dibunuh. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْحَيَّةُ، وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ، وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ، وَالْحُدَيَّا

Lima binatang pengganggu yang boleh dibunuh di tanah halal maupun tanah haram: Ular, gagak abqa’, tikus, anjing galak, dan elang. (HR. Muslim no. 1198)

Kemudian dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar:

اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ

Bunuhlah ular-ular.”

Komentar Ibnu Umar:

فَلَبِثْتُ لَا أَتْرُكُ حَيَّةً أَرَاهَا إِلَّا قَتَلْتُهَا

“Setiap kali saya ketemu ular, tidak saya biarkan dan saya bunuh.” (HR. Al-Bukhari no. 3299 dan Muslim no. 3233)

Kemudian, dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِ الْأَسْوَدَيْنِ فِي الصَّلَاةِ: الْحَيَّةُ، وَالْعَقْرَبُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh dua binatang hitam ketika shalat: ular dan kala. (HR. At-Tirmidzi no. 390)

Kita simak semua hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh ular. Dan tentu saja, perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perintah Allah. Karena itu, mentaati beliau, sejatinya adalah mentaati Allah:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

Siapa yang mentaati Rasul, berarti dia mentaati Allah.” (QS. An-Nisa : 80)

Jika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk membunuh ular, bagaimana mungkin seorang muslim justru malah merawatnya. Karena itulah, memahami hadis di atas, para ulama menegaskan haramnya memelihara binatang yang disyariatkan untuk dibunuh.

Muhammad bin Bahadir bin Abdullah Az-Zarkasyi Al-Mishri rahimahullah berkata:

يَحْرُمُ عَلَى الْمُكَلَّفِ اقْتِنَاءُ أُمُورٍ: مِنْهَا: الْكَلْبُ لِمَنْ لَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ، وَكَذَلِكَ بَقِيَّةُ الْفَوَاسِقِ الْخَمْسِ، الْحَدَأَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ وَالْحَيَّةُ

“Haram bagi mukallaf (orang yang mendapat beban syariat) untuk memelihara beberapa binatang, diantaranya: anjing bagi yang tidak membutuhkannya, demikian pula lima binatang pengganggu lainnya, seperti elang, kala, tikus, gagak abqa’, dan ular.” (Al-Mantsur fi Al-Qawaid, Jilid 3 hal. 80)

Demikian pula dinukil oleh Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:

وَيَحْرُمُ حَبْسُ شَيْءٍ مِنْ الْفَوَاسِقِ الْخَمْسِ عَلَى وَجْهِ الِاقْتِنَاءِ

Diharamkan mengurung lima binatang pengganggu untuk dirawat.” (Tuhfatul Muhtaj fi Syarh Minhaj, Jilid 9 hal. 377)

Imam Syihabuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Ahmad bin Salamah Al-Qalyubi Al-Mishri rahimahullah dan Imam Syihabuddin Ahmad Al-Burullusi Al-Mishri rahimahullah berkata:

ويحرم ما ندب قتله لأن الأمر بقتله أسقط احترامه، ومنع اقتناءه

Binatang yang dianjurkan dibunuh, haram untuk dipelihara. Karena adanya perintah untuk membunuhnya, menggugurkan kemuliaannya, dan dilarang memeliharanya.” (Hasyiyah Al-Qalyubi wa Umairah, Jilid 16 hal. 157)

Kemudian, Ibnu Qudamah rahimahullah menetapkan sebuah kaidah:

وما وجب قتله حرم اقتناؤه

Binatang yang wajib dibunuh, haram untuk dipelihara.” (Al-Mughni, Jilid 9 hal. 373)

Maka kesimpulan dari memelihara ular adalah haram secara mutlak. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Hukum Boneka

“Aku dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku memiliki beberapa sahabat yang biasa bermain bersamaku. Ketika Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari beliau. Lalu beliau menyerahkan mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun bermain bersamaku.” (HR. Al-Bukhari no. 6130)


Mayoritas ulama berpendapat bahwa membuat gambar dan patung itu haram kecuali untuk boneka (mainan anak-anak).

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menukil akan kebolehan tersebut dan ia katakan bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama. Begitu pula Imam An-Nawawi rahimahullah mengikuti pendapat ini dalam Syarh Muslim. Beliau berkata bahwa dikecualikan dari larangan gambar atau patung yaitu jika dimaksudkan untuk boneka anak-anak karena ada dalil yang menunjukkan keringanan hal ini.

Kebolehan di sini terserah mainan tersebut dalam bentuk manusia atau hewan, baik berbentuk tiga dimensi ataukah tidak, begitu pula yang berbentuk imajinasi yang tidak ada wujud aslinya seperti kuda yang memiliki sayap.

Namun ulama madzhab Hambali memberikan syarat kebolehannya jika tidak ada kepala atau anggota badannya tidak sempurna sehingga tidak dianggap bernyawa. Sedangkan ulama lainnya tidak mempersyaratkan seperti itu.

Jumhur ulama berdalil dengan pengecualian di atas berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dimana ia berkata:

كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ لِى صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِى، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَىَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِى

“Aku dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku memiliki beberapa sahabat yang biasa bermain bersamaku. Ketika Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari beliau. Lalu beliau menyerahkan mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun bermain bersamaku.” (HR. Al-Bukhari no. 6130)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyebutkan: “Para ulama berdalil dengan hadits ini akan bolehnya gambar (atau patung atau boneka) berwujud perempuan dan bolehnya mainan untuk anak perempuan. Hadits ini adalah pengecualian dari keumumann hadits yang melarang membuat tandingan yang serupa dengan ciptaan Allah. Kebolehan ini ditegaskan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dan beliau katakan bahwa inilah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, Jilid 10 hal. 527)

Sedangkan Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berpendapat bahwa kebolehan bermain dengan boneka seperti ini telah mansukh (dihapus). Namun hadits ‘Aisyah lainnya menunjukkan bahwa klaim mansukh tersebut tidaklah tepat. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan:

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ. قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ  مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ. قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ. قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ. قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tiba dari perang Tabuk atau Khaibar, sementara kamar ‘Aisyah ditutup dengan kain penutup. Ketika ada angin yang bertiup, kain tersebut tersingkap hingga mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya, “Wahai ‘Aisyah, apa ini?” ‘Aisyah menjawab, “Itu mainan bonekaku.” Lalu beliau juga melihat patung kuda yang mempunyai dua sayap. Beliau bertanya, “Lalu suatu yang aku lihat di tengah-tengah boneka ini apa?” ‘Aisyah menjawab, “Boneka kuda.” Beliau bertanya lagi, “Lalu yang ada di bagian atasnya itu apa?” ‘Aisyah menjawab, “Dua sayap.” Beliau bertanya lagi, “Kuda mempunyai dua sayap!” ‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya.” (HR. Abu Daud no. 4932 dan An-Nasai dalam Al-Kubro no. 890)

Hadits ini diceritakan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Tabuk. Ini sudah menunjukkan bahwa hadits ini tidak dimansukh (dihapus) karena datangnya belakangan.

Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali beralasan dengan pengecualian tersebut bahwa mainan tadi dibolehkan karena ada hajat untuk mendidik anak. Ini berarti, jika tujuannya hanya sekedar dipajang di rumah, maka tentu tidak dibolehkan karena ada bahasan sendiri tentang hukum memajang gambar.

Dari penjelasan di atas, berarti dibolehkan boneka untuk mainan anak perempuan dalam rangka mendidik mereka supaya anak perempuan bisa jadi lebih penyayang. Namun aman dan lebih selamat, boneka tersebut tanpa wujud yang sempurna, tanpa kepala atau wajahnya dihilangkan. Wallahu a’lam. Hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang memberi taufik dan hidayah. Semoga bermanfaat.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Wajib Mengingkari Para Wali Abal-Abal

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (QS. Yunus [10] : 62-63)


Anggapan yang telah menyebar di sebagian kaum muslimin pada umumnya, terutama yang ada di Indonesia bahwasanya yang disebut wali Allah adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. Yaitu mampu melakukan hal-hal yang ajaib yang disebut dengan karomah para wali. Sehingga jika ada seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi tentang syari’at Islam namun tidak memiliki kekhususan ini maka kewaliannya diragukan. Sebaliknya jika ada seseorang yang sama sekali tidak berilmu bahkan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, namun dia mampu menunjukan keajaiban-keajaiban (yang dianggap karomah) maka orang tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah subhanahu wa ta’ala.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya:

“Yunus bin 'Abdil A'la berkata: “Aku berkata kepada Asy-Syafi'i: “Al-Laits bin S'ad berkata: “Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air maka janganlah kalian tertipu olehnya hingga kalian menimbang perkaranya di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah.” Maka Asy-Syafi'i berkata: “Al-Laits masih kurang, bahkan jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di atas udara maka janganlah terpedaya olehnya hingga kalian menimbang perkaranya di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1 hal. 326)

Pernyataan Imam Asy-Syafi'i rahimahullah diatas sangat tegas membantah pemahaman yang keliru tersebut. Untuk mengukur kewalian yang benar maka harus ditimbang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, karena keajaiban juga bisa dilakukan oleh orang-orang yang sesat, seperti para dukun, tukang sihir, bahkan pendeta.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani rahimahullah berkata:

“Sesungguhnya yang terpatri di kalangan orang awam bahwasanya kesaktian menunjukkan barangsiapa yang melakukannya adalah termasuk wali-wali Allah. Dan ini merupakan kesalahan dari orang yang mengatakannya. Karena sesungguhnya kesaktian terkadang muncul melalui tangan orang yang berada di atas kebatilan seperti tukang sihir, dukun, dan pendeta. Karenanya orang yang hendak menjadikan kesaktian sebagi bukti kewalian membutuhkan pembeda. Dan pembeda yang paling utama yang mereka sebutkan adalah dengan menguji keadaan pemilik kesaktian tersebut. Jika orang tersebut berpegang teguh dengan perintah-perintah syari'at dan menjauhi larangan-larangan syari'at maka keajaiban tersebut merupakan tanda kewaliannya, dan barang siapa yang tidak demikian maka keajaiban tersebut bukanlah tanda kewalian.” (Fathul Bari, Jilid 7 hal. 383)

Hakikat Wali

Wali diambil dari lafazh Al-Walayah yang merupakan lawan kata dari Al-‘Adawah. Adapun arti dari Al-walayah adalah Al-Mahabbah (kecintaan) dan Al-Qarbu (kedekatan). Sedangkan arti Al-‘Adawah adalah Al-Bughdhu (kebencian) dan Al-Bu’du (kejauhan). Karenanya yang disebut wali Allah adalah orang yang dia mencintai Allah subhanahu wa ta’ala dan dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan orang seperti ini harus memiliki sifat-sifat berikut:

Pertama, Dia harus ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menjalankan perintah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku maka Allah akan mencintai kalian dan memaafkan kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3] : 31)

Ayat ini merupakan ayat ujian yang turun untuk menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala (termasuk di dalamnya orang yang mengaku dia adalah wali Allah). Jika dia benar mengikuti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka kecintaannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah benar, dan jika tidak maka cintanya adalah dusta.

Kedua, Dia harus bersifat lembut kepada kaum muslimin dan keras kepada kaum kafir, dan berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencela, sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah [5] : 54)

Hal ini sangatlah bertentangan dengan sifat sebagian orang yang mengaku dirinya wali, atau dianggap wali oleh masyarakat yang sifatnya sangat dekat dengan orang-orang kafir, bahkan mengagumi orang-orang kafir.

Ketiga, Dia harus bertaqwa dan beriman, yaitu beriman dengan hatinya dan bertaqwa dengan anggota tubuhnya, sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (QS. Yunus [10] : 62-63)

Maka barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah namun tidak memiliki sifat-sifat ini maka dia adalah pendusta.

Contoh Wali

Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu adalah contoh seorang wali Allah bahkan telah dijamin masuk surga. Umar telah mengumpulkan banyak keajaiban dan kehebatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya:

قَدْ كَانَ فِيْمَا قَبْلَكُمْ مِنَ الأُمَمِ نَاسٌ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكُنْ مِنْ أُمَّتِيْ أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ

“Pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsun (yang mendapatkan sejenis ilham dari Allah). Kalaupun ada di kalangan umatku satu orang, maka dia adalah Umar.” (HR. Al-Bukhari no. 3469 dan Muslim no. 2398)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ اللهَ وَضَعَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُوْلُ بِهِ

“Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisan Umar yang ia mengucapkan kebenaran tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 2962)

لَوْ كَانَ نَبِيٌّ بَعْدِي لَكَانَ عُمَرَ

“Kalaulah ada nabi setelahku maka dia adalah Umar.” (HR. At-Tirmidzi no. 3686)

Hadits-hadits ini jelas menunjukkan bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang wali Allah, bahkan beliau mendapatkan ilham dari Allah. Selain itu beliau pernah melakukan hal-hal yang ajaib sebagaimana beliau pernah mengutus sebuah pasukan dan beliau mengangkat seorang pemuda yang bernama Sariyah untuk memimpin pasukan tersebut. Tatkala Umar sedang berkhutbah di atas mimbar, beliau berteriak: “Wahai Sariyah, gunung!, wahai Sariyah, gunung!” Lalu utusan pasukan tersebut menemui Umar dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, kami bertemu musuh, tiba-tiba ada suara teriakan: “Wahai Sariyah, gunung!” lalu kami menyandarkan punggung-punggung kami ke gunung kemudian Allah memenangkan kami.” (HR Al-Bukhari no. 3198, dan Muslim no. 1610)

Beliau juga sangat ditakuti oleh Setan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar:

يَا بْنَ الْخَطَّاب وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ قَطْ سَالِكًا فَجًّا إِلاَّ سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ

“Wahai Ibnul Khaththab, demi Yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah setan bertemu dengan engkau di jalan manapun kecuali ia mencari jalan yang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 3120 dan Muslim no. 2396)

Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu harus ma’sum (terjaga dari kesalahan). Kesalahan yang pernah beliau lakukan diantaranya:

1. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berumroh pada tahun ke enam Hijriah bersama sekitar 1400 kaum muslimin (mereka itu adalah yang berbai’at di bawah pohon) dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengadakan perjanjian damai (perjanjian Hudaibiyah) dengan kaum musyrikin setelah melalui perundingan dengan kaum musyrikin. Keputusan perundingan tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin kembali ke Madinah pada tahun ini dan akan berumrah pada tahun yang akan datang. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi beberapa syarat terhadap mereka yang dalam syarat-syarat tersebut ada tekanan kepada kaum muslimin secara zhahir, sehingga hal itu memberatkan kebanyakan kaum muslimin, sedangkan Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui dengan maslahat yang ada di balik itu. Umar radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang tidak setuju dengan hal itu, lalu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, bukankah kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan?” maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Benar”, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata lagi: “Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita masuk ke dalam surga dan orang-orang yang terbunuh di antara mereka masuk ke dalam neraka?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Benar”. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kenapa kita bersikap merendah pada agama kita?”, Nabi berkata: “Aku adalah Rasulullah dan Allah adalah penolongku dan aku bukanlah orang yang bermaksiat kepadanya.”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita akan mendatangi baitullah dan berthawaf?”, Nabi berkata: “Benar.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi: “Apakah aku mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau akan mendatanginya pada tahun ini?”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tidak”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan berthawaf.”

Umar pun mendatangi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan berkata kepadanya sebagaimana perkataannya kepada Rasulullah. Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pun menjawab sebagaimana jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal dia tidak mendengar jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (kepada Umar). Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang lebih sering sesuai dengan Allah dan Rasul-Nya dari pada Umar radhiyallahu ‘anhu, dan Umar radhiyallahu ‘anhu mengakui kesalahannya dan berkata: “Aku benar-benar akan mengamalkannya.” (HR Al-Bukhari no. 2732)

2. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Umar mengingkari kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tatkala Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya dia telah wafat”, maka Umar radhiyallahu ‘anhu pun menerimanya. (HR. Al-Bukhari no. 1241)

3. Ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu: “Bagaimana bisa kita memerangi manusia, sedangkan Rasulullah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah Rasulullah. Apabila mereka mengakui hal ini maka terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka, kecuali dengan haknya”, maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “kecuali dengan haknya”?, sesungguhnya zakat termasuk haknya. Demi Allah kalau mereka itu menolak untuk membayar zakat kepadaku yang mereka membayarnya kepada Rasulullah maka aku akan memerangi mereka karena ketidakmauan mereka.” Berkata Umar radhiyallahu ‘anhu: “Demi Allah tidaklah ada, kecuali aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (orang-orang yang enggan membayar zakat), maka aku mengetahui bahwasanya dia adalah benar.” (HR. Al-Bukhari no. 1399)

Faidah yang bisa diambil dari pemaparan ini adalah:

a.       Seorang wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, bahkan berkali-kali sebagaimana Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang salah berkali-kali.

b.       Seorang wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu yang mendapat ilham dari Allah subhanahu wa ta’ala.

c.       Tidak berarti seseorang yang mendapat karomah berarti lebih mulia daripada wali Allah yang tidak ada karomahnya. Sebagaimana Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih mulia daripada Umar radhiyallahu ‘anhu, namun dia tidak mendapatkan ilham dari Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak memiliki karomah-karomah sebagaimana yang dimiliki oleh Umar radhiyallahu ‘anhu.

d.       Seorang wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan-larangan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu yang tetap melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya

e.       Walaupun seorang wali, tapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’sum. Sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu dikembalikan (ditimbang) oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan Sunnah Nabi.

f.        Seorang wali yang telah jelas bahwasanya perkataan atau perbuatannya menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak menentangnya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak membantah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan berkata: “Tapi saya kan wali, saya kan mendapat ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk surga, dan kalian harus menerima perkataan saya.”

g.       Seorang wali harus mematuhi syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para Nabi saja kalau hidup sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi para wali. Karena jelas para Nabi lebih bertaqwa daripada para wali dari selain Nabi.

h.       Seorang wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah wali  sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul kitab yang mereka mengaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَلاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Dan janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia (Allah) yang lebih mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (QS. An-Najm [53] : 32)

Orang yang mengaku dirinya adalah wali maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena telah melanggar larangan Allah subhanahu wa ta’ala ini. Dan orang yang bermaksiat tidak pantas disebut wali Allah.

i.         Dan juga bukan termasuk syarat sebagai wali Allah yaitu dia harus memiliki karomah. Namun karomah merupakan tambahan kenikmatan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan para wali-Nya.

j.         Wali-wali Allah tidak memiliki ciri-ciri yang khusus pada perkara-perkara mubah yang bisa membedakannya dengan manusia yang lain. Pakaiannya sama, rambutnya sama, dan yang lainnya juga sama. Ciri-ciri wali tidaklah kembali pada perkara-perkara dunia, namun ciri-ciri wali kembali pada perkara-perkara akhirat. Oleh karena itu jelas merupakan kesalahan jika sebagian orang menyangka bahwa ahlu suffah telah mencapai derajat kewalian karena sekedar sifat mereka yang miskin dan kumuh, demikian juga sebagian orang yang menyangka bahwa ciri-ciri wali adalah orang yang memakai sorban, atau memakai tongkat, atau membawa selendang hijau, atau ciri-ciri yang lainnya.

Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Imam Asy-Syafi'i rahimahullah dan juga dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah bahwasanya keajaiban dan keluarbiasaan juga ternyata bisa dilakukan oleh orang yang berada diatas kebatilan, seperti penyihir, dukun, maupun pendeta. Tentunya kesaktian yang mereka miliki adalah berkat bantuan teman-teman mereka dari kalangan jin dan setan, atau istidraj dari Allah subhanahu wa ta’ala. Karenanya perlu kita untuk mengetahui perbedaan antara karomah wali dan tipuan seitan.

Diantara perbedaannya adalah:

1.       Bahwa karomah para wali disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan. Sedangkan keajaiban dan keluarbiasaan lain yang merupakan bantuan syaithon disebabkan oleh hal-hal yang merupakan larangan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah. Jadi apabila di dalamnya mengandung unsur-unsur yang disenangi oleh setan, baik itu kemusyrikan, kezhaliman, kemaksiatan (seperti musik) atau kebid’ahan, maka jelas yang terjadi pasti bukan karomah.

2.       Karomah tidak bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan apa saja dan tidak bisa dilawan. Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa lain yang merupakan bantuan setan bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan ayat-ayat Allah seperti ayat kursi dan lain-lain.

3.       Karomah tidak bisa dipelajari sehingga menjadi suatu ilmu kedigdayaan yang baku. Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa yang berasal dari setan bisa dipelajari. Sebagaimana karomah-karomah yang telah dimiliki oleh para salaf, tidak ada satu atsar pun yang menunjukkan bahwa mereka pernah mengajarkan karomah mereka kepada orang lain. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak pernah mengajarkan karomahnya kepada orang lain, kerena memang tidak bisa diajarkan, akan tetapi murni anugerah dari Allah semata.

Dari sini kita paham bahwasanya hukum tenaga dalam, jika diatasnamakan Islam (biasanya dicampur dengan dzikir-dzikir asma Allah) maka adalah harom. Karena tenaga dalam biasanya menjadi ilmu yang baku dan bisa dipelajari. Dan tidak ada dalil sama sekali bahwa dengan bacaan-bacaan disertai gerakan-gerakan khusus yang mereka lakukan bisa mengahasilkan tenaga dalam.

Selain itu praktek-praktek latihan tenaga dalam yang ada menyelisihi syari’at diantaranya:

a.       Latihannya harus menggunakan emosi, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang untuk emosi, beliau bersabda:

لاَ تَغْضَبْ

“Janganlah engkau marah”

Rahasia mereka (yang latihan tenaga dalam) harus marah sebab dengan marah tersebut setan bisa masuk dalam tubuh mereka sehingga bisa memberi kekuatan untuk tenaga dalam mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ بَنِي آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ

“Sesungguhnya setan mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana aliran darah.” (HR. Al-Bukhari)

b.       Ketika latihan, mereka sering tidak sadar, terutama ketika sedang mempraktekan jurus mereka. Hal ini sama saja dengan sengaja membuat diri menjadi tidak sadar (alias mabuk), dan hal ini tidak boleh dalam Islam, sebab Islam menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga akal kita sehingga bisa senantiasa berdzikir kepada Allah.

c.       Kadang disertai dengan puasa mutih (tidak boleh makan kecuali yang putih-putih), yang ini tidak ada syari’atnya dalam Islam. Atau untuk menjaga ilmunya dia harus menghindari pantangan-pantangan tertentu yang sebenarnya hal itu dihalalkan baginya sebelum dia memiliki ilmu tenaga dalam tersebut. Dan ini berarti mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah.

Adapun jika tenaga dalam tersebut murni hasil latihan tanpa disertai ritual yang bermacam-macam, dan jika memang bisa menghasilkan tenaga dalam maka hal ini tentunya tidak mengapa, dan dia bukan termasuk karomah wali karena orang kafir pun bisa melakukannya.

4.       Karomah pada umumnya tidak bisa dilakukan terus menerus, tetapi terjadi sesuai kehendak Allah bukan berdasarkan kehendak Wali yang mendapatkan karomah tersebut.

Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengakui adanya karomah, tidak sebagaimana mu’tazilah yang mengingkari karomah dan berkata: “Kalau kita mengakui karomah, maka akan sama wali dengan Nabi”, karena meskipun mukjizat dan karomah sama-sama merupakan perkara yang ajaib dan luar biasa akan tetapi ada perbedaan antara mukjizat dengan karomah.

Perbedaannya:

-          Mukjizat hanya berlaku pada para nabi dan rasul, adapun karomah pada para wali. Mukjizat diperoleh dengan kenabian, adapun karomah diperoleh dengan ketaqwaan. Karenanya pemilik karomah tidak pernah mengaku sebagai nabi, berbeda dengan pemilik mukjizat ia mempropagandakan kenabiannya

-          Karomah kedudukannya lebih rendah daripada Mukjizat, karena tidaklah seorang wali memiliki karomah kecuali karena ia telah mengikuti Nabinya sang pemilik mukjizat.

-          Akibat dari Mukjizat adalah baik, adapun efek samping dari karomah belum tentu. Karena bisa jadi seseorang mendapatkan karomah lalu semakin rendah derajatnya karena dia menggunakan karomahnya untuk bermaksiat kepada Allah. (Misalnya dia sombong dengan karomah yang pernah dia alami, atau dia merasa telah bertaqwa dan yakin masuk surga dengan karomahnya itu). Contohnya yang terjadi pada Bal’am bin Ba’ura. Beliau termasuk ahli ibadah di zaman Bani Israil. Ia memiliki karomah, tidaklah ia meminta sesuatu kepada Allah kecuali Allah mengabulkannya. Maka kaumnya pun mendatanginya dan memintanya agar berdoa keburukan atas Nabi Musa ‘alaihis salam dan kaumnya. Maka setelah kaumnya merayu-rayunya dan memaksanya akhirnya iapun memenuhi permintaan kaumnya maka Allahpun mencabut karomahnya tersebut. (Ad-Dur Al-Mantsur, Jilid 3 hal. 610)

-          Pemilik Mukjizat (yaitu para Nabi dan Rasul) menantang orang-orang yang menyelisihinya, adapun pemilik karomah tidak demikian

Mencari karomah (kesaktian) tidaklah dianjurkan

Dalam beribadah hendaknya kita berniat karena Allah bukan karena untuk mencari karomah, karena sama sekali tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa seorang mukmin harus mencari kesaktian dan keajaiban. Bahkan beribadah dalam rangka untuk memperoleh kesaktian merupakan bentuk beribadah karena ingin memperoleh dunia yang diharamkan oleh Allah

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

مَّن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاء لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُوماً مَّدْحُوراً

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Isra’ [17] : 18)

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ، أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)

Namun yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan hendaknya seorang mukmin berusaha untuk beristiqomah. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penghulu dan pemimpin para wali bahkan pemimpin para nabi dan rasul telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk beristiqomah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Maka istiqomahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud [11] : 112)

Al-Qadhi Al-Jurjani rahimahullah berkata: “Jadilah engkau orang yang mencari keistiqomahan, jangan menjadi pencari karomah. Sesungguhnya jiwamu bergerak (berusaha) dalam mencari karomah padahal Rob engkau mencari keistiqomahanmu.” (Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Jilid 2 hal. 754)

Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata: “Mereka tidak mengetahui bahwasanya pada hakekatnya yang namanya karomah itu adalah melazimi keitiqomahan, dan bahwasanya Allah tidaklah memuliakan seorang hamba dengan memberikannya sebuah karomah yang lebih mulia daripada menjadikannya sesuai dengan apa yang dicintai-Nya dan diridhoi-Nya yaitu taat kepadaNya dan taat kepada rasulNya, loyal kepada para walinya dan memusuhi musuh-musuh-Nya.” (Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Jilid 2 hal. 755)

Syaikh Shahabuddin Abu Hafs Umar As-Suhrawardi rahimahullah berkata: “Ucapan ini adalah prinsip yang agung dalam perkara ini, karena sesungguhnya banyak mujtahid dan ahli ibadah mendengar salafus shalih, telah diberi karomah-karomah dan hal-hal yang luar biasa sehingga jiwa-jiwa mereka (para ahli ibadah itu) senantiasa mencari sesuatu dari hal itu (karomah tersebut), dan mereka ingin diberikan sedikit dari hal itu, dan mungkin diantara mereka ada yang hatinya frustasi dalam keadaan menuduh dirinya bahwa amal ibadahnya tidak sah karena tidak mendapatkan karomah. Kalau mereka mengetahui rahasia hal itu (yaitu Allah tidak menuntut para hambanya untuk memperoleh karomah, tetapi yang Allah inginkan para hambanya beristiqomah) tentu perkara ini (mencari karomah) adalah perkara yang rendah bagi mereka.” (Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Jilid 2 hal. 754)

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top