Berbisnis dengan Allah

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (QS. Ash-Shaf [61] : 10-11)


Bagi orang-orang yang doyan kerja alias workaholic biasanya tidak ada yang lebih indah, menghibur dan mengasikkannya, selain kerja. Orang-orang Jepang adalah bangsa yang berada di garda terdepan dalam soal ini.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (QS. Ash-Shaf [61] : 10-11)

Bagi kita bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, tak jarang banyak diantara kita yang terjebak pada dua titik ekstrem yang negatif. Kelompok pertama benar-benar meletakkan kerja dan setiap urusan yang dikerjakannya sebagai ideologi dan orientasi hidupnya. Kelompok kedua adalah mereka yang terlalu phobia terhadap dunia dan menganggapnya penuh dengan kejahatan dan tipu muslihat. Biasanya mereka lalu salah kaprah dalam menafsirkan makna dzikir, zuhud dan juga ibadah. Lalu jadilah islam itu diletakkan mereka seperti agama para rahib dan pendeta kristen, yang akhirnya jadi cikal-bakal sekularisasi.

Kita tidak ingin terjebak pada dua kutub ekstrem yang sangat negatif ini. Panduan kita adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al Quran, “Dan carilah pada apa yang telah di anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”

Jadi, jika kita mengacu pada definisi bisnis atau perniagaan dalam konteks ayat di atas dengan definisi seluas-luasnya. Bahwa bisnis tidak semata-mata soal dagang, tapi adalah keseluruhan urusan atau pekerjaan yang kita lakukan. Maka, bagi seorang muslim yang baik, apapun yang dilakukannya, dan bagaimanapun kondisi serta status dirinya. Niscaya seluruh yang dikerjakannya selalu termotivasi dan digerakkan oleh dua poin pokok dalam surat Ash-Shaf ini: Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa.

Bukan sesuatu yang berlebihan. Sebab orang beriman yang sejati dalam keimanannya niscaya telah menggadaikan dan menjual seluruh apa yang dimilikinya untuk Allah semata.

Ya, seorang muslim yang di dalam dirinya telah terpatri sifat-sifat utama ini. Hampir dapat dipastikan, ia akan mempunyai etos kerja yang tinggi, sebab motivasi dan orientasi dirinya digantungkannya ke “Langit.” Yang dikejar dan digandrunginya semata ridha Allah. Inilah yang membedakannya dengan orang-orang kafir dan para pemuja materi.

Dan itulah sebenar-benarnya bisnis serta perniagaan yang tak pernah rugi. Sebagaimana dijelaskan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat-Nya yang lain, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.”

Semoga kita dijadikan oleh Allah menjadi orang-orang yang mendengarkan perkataan yang baik (Al-Quran) lalu mengikuti dan mengamalkan setiap kebaikan yang terdapat di dalamnya.

Baligh

Kini bisa ditanyakan kepada para ayah, atau ibu, berapa banyak dari mereka yang mengetahui hari pertama anaknya beranjak dewasa? Bisa jadi sangat kecil jumlahnya. Bahkan, jangan-jangan jauh lebih kecil dari yang bisa kita bayangkan.


Imam Syafi'i pernah memberikan contoh yang sangat layak kita teladani tentang bagaimana menjadi orangtua. Imam Syafi'i mengawal betul pertumbuhan anaknya. Untuk anaknya yang laki-laki ketika memasuki usia yang diperkirakan mendekati baligh, setiap malam, seusai sujud-sujud panjangnya dalam qiyamul lail, ia selalu menyempatkan diri untuk memeriksa pakaian dalam anaknya. Adakah pakaian dalam itu basah oleh mimpi yang menjadi pertanda peralihan usia. Setiap malam, tak pernah lekang ia lakukan. Dan ketika ia mendapati anaknya telah bermimpi basah, keesokan harinya Imam Syafi'i memiliki cara khusus untuk menyambutnya. Selain memberikan wejangan pada sang anak tentang apa artinya menjadi baligh dan kewajiban serta hak-hak orang dewasa, Imam Syafi'i punya upacara spesial. Ia mengundang seluruh tetangganya dalam sebuah syukuran. Dan di depan orang-orang itu pula, Imam Syafi'i mempersaksikan dan meminta anaknya untuk membaca syahadat ulang.

Sang anak pun bersyahadat ulang di depan khalayak. Dan pada hadirin, Imam Syafi'i berpesan, jika mereka menemui anaknya berbuat salah, segeralah memberikan peringatan. Karena ini, ia telah menjadi dewasa seutuhnya sebagai seorang muslim dengan segala konsekuensinya. Untuk anak perempuan, tanda-tandanya mungkin lebih mudah, karena mereka akan menstruasi sebagai pertanda ia telah baligh dan dewasa.

Kini bisa ditanyakan kepada para ayah, atau ibu, berapa banyak dari mereka yang mengetahui hari pertama anaknya beranjak dewasa? Bisa jadi sangat kecil jumlahnya. Bahkan, jangan-jangan jauh lebih kecil dari yang bisa kita bayangkan. Jika demikian, mana mungkin orangtua mampu memberikan pendidikan yang baik dan benar pada anaknya? Sedangkan hari ketika anak mereka berubah pun, tak diketahuinya.

Ada seloroh kecil yang di ucapkan oleh bintang tamu penilai dalam final acara Pemilihan Da'i Kecil (Pildacil) yang di gelar oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional di Jakarta. Dalam acara tersebut, sang bintang yang kagum pada da'i kecil berujar, "nanti kalau besar jadi anak sholeh yang pintar, ya. Jadi doktor tapi jangan jadi teroris. Apalagi jadi doktor dan teroris."


Tentu saja yang dimaksud sangat jelas, Dr. Azhari. Tapi pertanyaanya kembali lagi, bagaimana orangtua mampu mendidik anaknya secara baik dan benar, jika pada bagian-bagian utama dalam masa pertumbuhan tak diketahui dengan benar. Jika suatu hari kelak, terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada anak-anak kita, jangan langsung salahkan mereka. Tapi lebih dulu, tanyakan pada diri sendiri, apa yang telah kita berikan. Kita mengantar mereka menjadi para pejuang Islam, atau justru sebaliknya, tanpa sadar kita telah mendorong mereka menjadi orang-orang yang merusak islam.

Al-Farisi Sang Pencari Kebenaran

“Akal sama sekali bukan tempat kembali yang hakiki. Sebab, apa yang kita sangka baik, sesungguhnya menyimpan keburukan. Dan sebaliknya, apa yang disangka buruk, sungguh di dalamnya tersimpan kebaikan.


Ia laki-laki dari Persia, bernama Salman Al-Farisi. Diantara para sahabat nabi, ia dijuluki pencari kebenaran sejati. Sejarah lebih mencatatnya sebagai seorang yang memunculkan strategi pertahanan parit dalam perang khandaq. Tapi sesungguhnya, itu adalah implikasi kecil dari pencarian besarnya tentang kebenaran dan kebaikan hakiki.

Salman Al-Farisi, pernah menjadi seorang Majusi. Memuji dan memuja api. Menyembahnya seolah api adalah pusat segala. Sampai kemudian, ia menemukan pertanyaannya tentang Yang Maha Kuasa, tak terjawab lagi. Ia juga pernah menjadi seorang pemeluk Yahudi. Melakukan pengembaraan, tak hanya pemikiran, tapi juga pengembaraan iman dan batin. Sampai akhirnya, Yahudi pun tak memberikan arti yang sempurna tentang kebenaran.

Agama lain yang pernah ia memeluknya adalah Nasrani, dengan Allah Bapak yang menjelma Yesus sebagai Allah Putra dalam doktrinnya. Dengan Maria dan Roh Kudus yang menjadi kekuatan suci dan kudus dalam doktrin Trinitas. Tapi, lagi-lagi kebenaran hakiki tak bisa ia temukan di dalamnya.

Sampai kemudian, ia bertemu Rasulullah, yang datang membebaskan manusia menyembah lainnya. Yang mengajarkan tentang Islam yang akan mengantar pada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Dan Salman menyerahkan diri sepenuhnya pada kebenaran yang sempurna yakni Islam.

Pencarian akan kebenaran memang mutlak harus dilakukan oleh manusia, juga kita. Tapi kadang, kita tak mengenali kebenaran yang kita cari. Mata kita tertutup oleh timbunan sejarah dan kepentingan pribadi. Salman Al-Farisi, menemukan kebenaran sempurna dalam Islam. Lalu bagaimana dengan kita? Kadang, seperti pepatah anak ayam mati di lumbung, kita bukan saja tak mengenal kebenaran yang di dalamnya kita hidup. Tapi, kita mencari kebenaran di luar, yang sama sekali tak menjanjikan kebenaran. Bahkan, kita merusak kebenaran dan kebaikan yang telah dibekalkan lewat takdir, lewat garis tangan.

Sungguh, kebenaran memang kadang terlihat samar dan tertimbun dengan begitu banyak persoalan, tapi ia tidak pernah hilang. Yang perlu kita lakukan hanya berhenti sejenak, merendah diri, melihat ke belakang dan bertanya pada diri sendiri, sudah cukupkah kita berusaha mendamaikan akal dengan hati? Pikiran engan iman? Logika dengan tawakal?


Sebab, seperti yang Allah telah firmankan, akal sama sekali bukan tempat kembali yang hakiki. Sebab, apa yang kita sangka baik, sesungguhnya menyimpan keburukan. Dan sebaliknya, apa yang disangka buruk, sungguh di dalamnya tersimpan kebaikan. Semoga kita adalah termasuk orang-orang yang diberi petunjuk.

Bicara Yang Baik Atau Diam !!!

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau (kalau tidak) diamlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Seorang pujangga Arab pernah berkata, “Lidah itu lebih tajam dari ujung tombak yang terhunus.” Atau barangkali, sebagian kita ada yang berfikir lebih dari apa yang diperumpamakan pujangga Arab itu. Bahwa sebilah ujung tombak belumlah memadai untuk melukiskan perihnya lidah. Bisa jadi, kejahatan lewat lidah itu memiliki daya penghancur layaknya sebuah dinamit yang mampu meluluhlantahkan satu bangunan megah atau lebih kuat daripada bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki.

Begitulah, betapa tutur kata yang keluar dari sepotong lidah bisa lebih menyakitkan ketimbang benda-benda tajam lainnya. Ia bukan sekedar sebaris kalimat yang meluncur dari mulut kita, lalu hilang bersama angin. Tapi juga sederet makna dan pesan yang bisa ditangkap oleh setiap orang dengan segala tafsirnya. Dan kemudian, ia menyelinap ke dalam sanubari sang pendengar. Ada yang terluka karena kata-kata yang kita sampaikan, ada pula yang merasa dibahagiakan.

Persoalannya kita tidak tahu, apakah kata yang kita ucapkan itu menyakitkan atau meneduhkan? Kata-kata itu mbrojol keluar begitu saja, entah dalam perbincangan sehari-hari, diskusi atau pun dalam sekedar senda gurau belaka. Bagi kita yang bertutur, mungkin tidak jadi masalah, namun belum tentu bagi orang yang mendengar.

Bagi mereka, sejumlah kata yang melukai akan memiliki pengaruh yang luar biasa. Mulai dari orang yang menerimanya dengan tangis, dendam kesumat, sumpah serapah, kutukan, merasa terhina, baku hantam, putus apa, sampai pembunuhan sekalipun. Karena itu, pernahkan kita merenungkan dampak-dampak tersebut di hati mereka? Pernahkah kita membayangkan sakitnya berada dalam posisi mereka?

Dari sini nampak, bahwa kejahatan lidah lebih berbisa dari sekadar bisa ular. Ia bahkan menjadi tempat segala keburukan bermuara. Tak aneh, bila salah seorang ulama tassawuf Al-Harits Al-Muhasibi rahimahullah dalam buku Adabun Nufus berkomentar, “Janganlah lengah soal lidah, sebab ia bagaikan seekor hewan buas berbahaya yang mangsa pertamanya adalah pemiliknya sendiri. Tutuplah pintu omonganmu sekuat-kuatnya. Jangan membukanya kecuali jika harus membukanya. Jika engkau membukannya, maka hati-hatilah. Penuhi kebutuhanmu untuk berbicara sekadarnya saja dan tutup lagi pintu lisan itu.”

Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyodorkan ‘diam’ sebagai solusinya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau (kalau tidak) diamlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari sinilah, diam menjadi teramat penting maknanya. Dengan diam, kita belajar menyaring kata sesuai porsi dan keperluannya. Dan, sekiranya kita harus mengeluarkan kata-kata, sebaiknya sederet kalimat yang kita lahirkan telah tersaring menjadi sebuah ungkapan yang benar-benar berfaedah. Begitu pula, dalam bersenda gurau. 

Dengan cara ini, kita tidak hanya menjadi penutur yang baik, tapi juga pendengar yang bijak. Jika tidak, maka bersiap-siaplah memasuki pintu neraka sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Tidak mungkin manusia akan terus di dalam neraka kecuali karena hasil panen lidah mereka.

Bidadari Bergelantungan Di Jenggot?

“Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain. Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1229)


Tersebar suatu keyakinan di tengah masyarakat awam bahwasanya ada satu malaikat bergelantungan di setiap satu helai jenggot seseorang. Yang lain lagi mengatakan bahwa yang bergelantungan di jenggot adalah bidadari. Lalu ini dijadikan alasan untuk menyemangati para lelaki untuk memelihara jenggot. Apakah benar demikian?

Membiarkan jenggot dan tidak memotongnya adalah sebuah kewajiban bagi lelaki Muslim. Banyak dalil-dalil shahih yang mendasari hal ini. Namun mengenai keyakinan yang kami sebutkan di atas, kami telah melakukan penelusuran -dengan ilmu kami yang sedikit dan terbatas- terhadap kitab-kitab hadits dan kitab-kitab fikih, namun sama sekali tidak kami temukan riwayat yang redaksinya demikian atau bahkan yang maknanya mendekati keyakinan tersebut. Yang kami dapati hanya sekedar kisah yang tanpa referensi dan beredar dengan banyak redaksi. Diantaranya berbunyi:

أن رجلا كان له شعرتان في وجهه فنتفهما فأخبره النبي صلى الله عليه وسلم أن الملائكة كانت تداعبهما

“Ada seorang lelaki yang jenggotnya hanya dua helai, maka ia mencabutnya. Maka Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengabarkan ia bahwa Malaikat itu biasa bermain-main dengan kedua helai jenggotnya.”

Ada juga yang menyebarkan kisah ini dengan redaksi:

في كل شعرة ملائكة

“Di setiap helai rambut (jenggot) ada Malaikat.”

Semua ini –wallahu a’lam– hanyalah kisah-kisah dusta tanpa referensi dan tanpa landasan yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.

Syaikh Abu Umar Usamah Al-Utaibi hafizhahullah ketika ditanyakan mengenai hal ini beliau berkata:

. هذا الحديث مشهور عند القصاصين الجهلة أمثال جماعة التبليغ . وهو حديث منكر وباطل . فالنبي صلى الله عليه وسلم أمر بإعفاء اللحية فكيف يحلقها الرجل ولا نكر عليه؟! ثم إني سمعت القصة بللفظ: ((أن رجلا كان له شعرتان في وجهه فنتفهما فأخبره النبي صلى الله عليه وسلم أن الملائكة كانت تداعبهما)). وهي باطلة على كل حال. ولم أقف في الصحابة على أحد منهم لم يكن له إلا شعرتان في وجهه . ووجوب إعفاء اللحية ، وعظم شأنها لا يحتاج إلى أحاديث موضوعة ، وقصص منكرة مصنوعة.

“Perkataan ini masyhur beredar di kalangan tukang cerita yang jahil misalnya di kalangan Jama’ah Tabligh. Dan ini adalah perkataan yang munkar dan batil. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memerintahkan untuk membiarkan jenggot maka bagaimana mungkin ada orang yang mencabutnya namun tidak beliau ingkari? Lalu aku pernah mendengar kisah yang lafadznya : ‘ada seorang lelaki yang jenggotnya hanya dua helai, maka ia mencabutnya. Maka Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengabarkan ia bahwa Malaikat itu biasa bermain-main dengan kedua helai jenggotnya’. Ini batil dari segala sisi. Dan aku tidak mengetahui ada sahabat yang hanya memiliki jenggot dua helai. Adapun wajibnya membiarkan jenggot dan urgensi memeliharanya, ini semua tidak membutuhkan hadits-hadits palsu ataupun kisah-kisah munkar yang dibuat-buat.”

Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=37319

Dengan demikian, keyakinan bahwa ada malaikat atau bidadari bergelantungan di setiap helai jenggot, merupakan hal yang tidak ada asalnya dan tidak bisa dibenarkan. Dan perlu kami ingatkan betapa fatalnya perbuatan berdusta atas nama Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, dengan membuat hadits palsu atau semacamnya, karena beliau bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain. Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1229)

            Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Terbang

Berbeda dengan balon udara yang senantiasa ke bumi, dasar pijakan ruhani manusia yang sukses selalu ada di langit untuk sesaat dan sekadarnya hinggap di bumi.


Seorang anak tampak asyik menatap ke arah langit. Ia tidak sedang menatap indahnya awan. Bukan pula eloknya biru langit yang dihias awan putih. Sang anak sedang asyik menatapi bergeraknya sebuah balon udara besar.

Yah, apa di balon itu ada yang mengendarai?” tanya si anak ke ayahnya yang tampak mendekat.

Ya anakku. Di balon itu bisa memuat empat orang,” jawab sang ayah sambil ikut menatap ke arah langit.

Apa balon itu terus terbang dan tidak ke bumi lagi?” tanya si anak lagi.

Tidak anakku. Balon itu terbang karena dikendalikan orang di balon itu. Balon bisa terbang karena bisa melawan daya tarik bumi. Dan balon bisa turun, karena memanfaatkan daya tarik bumi,” jelas sang ayah.

Sang anak pun mengangguk. Di pikirannya masih berkecamuk ucapan ayahnya: memanfaatkan daya tarik bumi.

Seperti halnya balon, kemampuan terbang ruhani manusia menuju kesucian langit sangat dipengaruhi oleh kemampuannya mengendalikan daya tarik bumi. Kesucian langit dan kotornya bumi tak akan pernah berhenti saling tarik menarik untuk membentuk jiwa manusia.

Berbeda dengan balon udara yang senantiasa ke bumi, dasar pijakan ruhani manusia yang sukses selalu ada di langit untuk sesaat dan sekadarnya hinggap di bumi. 

Nabi Dawud 'Alaihis Salam dan Fitnah Wanita

“Nampaknya, kisah ini adalah israiliyyat yang dinukil oleh ahli kitab yang tidak meyakini kema’shuman para Nabi.” (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah)


Nabi Dawud ‘alaihis salam pernah melihat seorang wanita bernama Areya, akhirnya dia-pun jatuh hati karena keelokannya. Namun sayangnya, wanita tersebut telah bersuami, maka sebagai panglima perang Nabi Dawud ‘alaihis salam memerintahkan kepada suami wanita tersebut untuk ikut perang sehingga dia terbunuh. Setelah suaminya terbunuh, maka Nabi Dawud ‘alaihis salam pun menikahi wanita tersebut.

Takhrij Kisah

Kisah ini sangat masyhur sekali dalam kitab-kitab kisah Nabi dan tafsir. Diriwayatkan oleh Imam Al-Hakiim rahimahullah, Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam Nawadirul Ushul sebagaimana dalam Tafsir Al-Qurthubi 15/167 dan Ibnu Abi Hatim rahimahullah dari jalur Yazid ar-Roqqosyi dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.

Derajat Kisah

BATHIL. As-Suyuthi rahimahullah berkata: “Kisah ini diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari hadits Anas secara marfu’. Namun dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah yang keadaanya telah dimaklumi bersama, dan juga Yazid ar-Roqosyi, dia seorang yang lemah.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Para ahli tafsir menyebutkan tentang ayat ini sebuah kisah yang kebanyakannya diambil dari israiliyyat, tidak shohih dari Nabi tentangnya suatu hadits yang bisa diikuti. Namun Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di sini suatu hadits yang tidak shohih sanadnya, karena diriwayatkan dari Yazid ar-Roqosyi dari Anas, sedangkan Yazid sekalipun dia termasuk orang shalih tetapi dia adalah lemah menurut para imam ahli hadits”.

Tinjauan Matan Kisah

Matan kisah ini juga bathil sebegaimana nampak jelas bagi orang yang berakal.

Ibnul Arobi rahimahullah berkata tentang kisah ini: “Kisah ini jelas sekali bathil, karena Dawud tidak mungkin menumpahkan darah orang lain untuk kepuasan hawa nafsunya”.

Abu Hayyan rahimahullah berkata: “Allah menjadikan Nabi Dawud ‘alaihis salam sebagai kholifah di muka bumi, hal ini menunjukkan tentang tingginya kedudukan beliau dan terpilihnya beliau, sekaligus membantah orang yang menisbatkan kepada beliau kisah yang tidak pantas dengan kenabian”.

Imam Ibnu Hazm rahimahullah membongkar kisah ini secara tajam dalam kitabnya Al-Fishal, bahkan beliau mensifati para pembuat kisah ini sebagai “pendusta yang berpedoman dengan khurafat Yahudi”, beliau berkata: “Demi Allah, semua orang pasti tidak ingin untuk mencintai istri tetangganya dan berencana untuk membunuh suaminya agar bisa menikahi istrinya tersebut dan meninggalakn sholat karena melihat burung. Semua ini adalah perbuatan orang-orang bodoh, bukan orang yang baik. Lantas bagaimana dengan Rasululullah yang mendapatkan wahyu kitab?! Allah membersihkan beliau untuk terlintas dalam benaknya hasrat keji ini, apalagi melakukannya!!”.

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Kisah tentang terfitnahnya Nabi Dawud ‘alaihis salam karena dia melihat istri prajuritnya (Areya) sangat masyhur dan tersebar dalam kisah para Nabi dan sebagian kitab tafsir. Seorang muslim yang berakal tidak akan meragukan tentang bathilnya kisah ini, karena dalam kisah tersebut terdapat hal-hal yang tidak pantas dengan kedudukan para Nabi, seperti beliau berusaha untuk membunuh suaminya agar dia menikahi istrinya setelah kematiannya. Kisah ini juga diriwayatkan secara ringkas dari Nabi, maka harus disebutkan di sini dan diperingatkan”. Setelah menyebutkan hadits, beliau berkata: “Nampaknya, kisah ini adalah israiliyyat yang dinukil oleh ahli kitab yang tidak meyakini kema’shuman para Nabi.”

Alangkah bagusnya ucapan Al-Biqo’i dalam Tafsirnya 5/434: “Kisah tersebut dan yang semisalnya adalah kedustaan orang-orang Yahudi”. Lanjutnya: “Sebagian orang Yahudi yang telah masuk Islam pernah bercerita padaku bahwa mereka sengaja membuat cerita tersebut karena Isa termasuk keturunan beliau (Dawud) agar mereka mendapatkan celah untuk mencelanya”.

Para ulama telah ramai-ramai menjelaskan kebathilan kisah ini. Lihatlah dalam Tafsir Al-Alusi 19/159, Faidhul Bari ‘ala Shahih Bukhari 4/38-39, Al-Israiliyyat wal Maudhu’at Abu Syuhbah hlm. 369, Al-Israiliyyat fi Tafsir wal Hadits Muhammad Husain adz-Dzahabi 130, 139, 148 dan lain-lain.

Tidak Ada Kebanggan Selain Islam

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah : 8)


Amirul mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu telah berkata,

نحن أمة أعزنا الله بالإسلام فمهما ابتغينا العزة بغيره أذلنا الله

“Kita adalah umat yang telah Allah muliakan dengan Islam, maka apabila kita mencari kemuliaan dengan selainnya, Allah akan hinakan kita.”

Maka, tidak ada kebanggaan kecuali dengan Islam dan tidak ada hubungan dan keterikatan kecuali kepada Islam. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata,

أبي الإسلام لا أب لي سواه * * * إذا افتخروا بقيس أو تميم

Jika aku menolak Islam maka tiadalah tempat kembali bagiku selainnya
Jika mereka telah berbangga dengan suku Qais atau Tamim

Hubungan dan keterikatan serta kebanggaan tanpa Islam adalah karekteristik masyarakah kafir jahiliyyah. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada seseorang yang berkata, “Wahai masyarakat Anshar!” Dan ada juga yang berkata, “Wahai masyarakat Muhajirin!” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian menyeru dengan seruan masyarakat kafir jahiliyyah? Padahal saya ada di tengah kalian?” Dan beliau juga bersabda, “Tinggalkanlah! Karena itu adalah kebusukan!”

Maka kebanggaan karena kesukuan atau karena kaum, atau karena kebangsaan atau karena martabat manusia itu semua adalah kebangaan dan keterikatan dari karakter jahiliyyah. Dan ketika muncul beberapa waktu belum lama ini, ada yang menyeru dengan kebanggaan kaum arab maka para ulama mengingkari dengan tegas. Demikian juga Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dengan sebuah bantahan yang sangat kuat yang diberi judul, “Kritikan Bangsa Arab”, sebuah bantahan yang telah tercetak dan telah tersebar.

Hal ini adalah di antara wujud bahwa Islam itu adalah agama rahmat.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya`: 107)

Agama yang sejalan dengan fitrah kemanusiaan.

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua.” (QS. Al-A’raf : 158)

Kehidupan manusia tanpa agama Islam tidaklah memberikan rasa kecukupan sedikitpun. Dulu sebelum datang Islam, kehidupan manusia dalam kebuasan, permusuhan, peperangan, perampokan, perampasan dan saling cela.

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

“Dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian, ketika kalian dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati-hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imran : 103)

Maka segala bentuk kasih sayang dan kebaikan untuk manusia itu adalah dalam Islam.

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah : 8)

Hingga terhadap hewan ternak tatkala disembelih pun dan juga tatkala harus membunuh manusia pun Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada mereka, tatkala menyembelih dan berperang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan baik terhadap segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh maka tempuhlah cara yang baik padanya, dan jika kalian menyembelih maka berbuat baiklah tatkala menyembelih. Dan hendaknya salah seorang dari kalian menajamkan alat sembelihnya serta menggembirakan hewan sembelihannya.”

Dan juga Allah sungguh memberikan ampunan kepada seorang wanita yang memberi minum kepada seekor anjing, dan Allah mengadzab seorang wanita yang menahan air minum untuk seekor kucing hingga ia mati.

Sesungguhnya kemanusiaan tanpa agama Islam tidaklah memberikan kebaikan sedikitpun. Tidak bisa mendatangkan kebaikan tidak pula bisa menolak kejelekan. Tidak bisa melindungi tertumpahnya darah, pelecehan kehormatan, dan penghalalan harta benda kecuali hanya dengan asas bangunan kemanusiaan tersebut, serta penjagaan dari semua pelanggaran tersebut dengan agama Islam.

Dan kita sungguh telah mendengar di masa ini ada orang-orang yang berbangga dengan kemanusiaan, dan dengan beralasan ‘kemanusiaan’ untuk segala perbuatan baik dengan melupakan dan melalaikan tanpa sengaja atau dengan sengaja menentang akan kemuliaan Islam.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).” (QS. An-Nisa`: 92)

Dan tidaklah dikatakan, “Dan tidak layak bagi seorang manusia membunuh seorang manusia”, maka setiap perkara yang menyelisihi Islam, itu semua adalah perkara jahiliyyah yang kita diperintahkan untuk meninggalkannya. Namun kita diperintahkan untuk berbangga dengan agama kita dan mengingkatkan diri kepadanya dan menampakkannya dan mengajak kepadanya.

Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua kepada kebaikan dan keshalihan serta perbaikan untuk Islam dan kaum muslimin.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top