“Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah.
Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusir Si Fulan, sedangkan Umar mengusir Si Fulan.” (HR
Al-Bukhari, no. 5886)
Salah satu
kebanggaan kita sebagai kaum Muslimin ialah syariat Islam itu sendiri. Kita
bangga karena memiliki syariat paling lengkap di dunia. Syariat yang mengatur
segalanya, dari perkara yang paling besar hingga yang paling sepele. Semua yang
menyangkut kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat tak lepas dari tinjauan
syariat. Laki-laki, perempuan, tua, muda, besar, kecil, penguasa, rakyat
jelata; semuanya diatur secara adil dan bijaksana. Bahkan kaum banci pun tak
lepas dari pembahasan.
Benar, kaum
banci yang sering menjadi ledekan dan bahan tertawaan, ternyata tidak diabaikan
oleh syariat begitu saja, sebab ia juga manusia mukallaf sebagaimana lelaki dan
wanita normal. Karenanya, dalam fiqih Islam, kita mengenal istilah mukhannats
(banci/bencong), mutarajjilah (wanita yang kelelakian), dan khuntsa
(interseks/berkelamin ganda).
Masing-masing
dari istilah ini memiliki definisi dan konsekuensi berbeda. Akan tetapi, dua
istilah yang pertama biasanya berkonotasi negatif, baik di mata masyarakat
maupun syariat. Sedangkan yang ketiga belum tentu demikian.
Untuk lebih
jelasnya, perlu diperhatikan definisi para ulama tentang banci dan waria, berangkat
dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ
النِّسَاءِ، وَقَالَ: «أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ: فَأَخْرَجَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَنًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا
Dari Ibnu Abbas, katanya, "Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah.
Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusir Si Fulan, sedangkan Umar mengusir Si Fulan.” (HR
Al-Bukhari, no. 5886)
Dalam riwayat
lain disebutkan:
،لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بالنِّسَاءِ والمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ
النِّسَاءِ بالرِّجَالِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para
lelaki yang menyerupai wanita, dan para wanita yang menyerupai laki-laki. (HR.
Al-Bukhari, no. 5885)
Riwayat yang
kedua ini menafsirkan tentang yang dimaksud dengan mukhannats dan mutarajjilah
dalam hadits yang pertama. Sehingga menjadi jelas bahwa yang dimaksud
mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai perempuan, baik dari cara berjalan,
cara berpakaian, gaya bicara, maupun sifat-sifat feminin lainnya. Sedangkan
mutarajjilah adalah wanita yang menyerupai laki-laki dalam hal-hal tersebut.
(Mu’jam Lughatil Fuqaha’, 1/417)
Secara bahasa,
kata mukhannats berasal dari kata dasar khanitsa-yakhnatsu. Artinya, berlaku
lembut. Dari istilah umum tersebut, maka istilah banci, bencong, waria cocok
untuk mengartikan mukhannats. Sedangkan untuk istilah, mutarajjilah, mungkin
terjemahan yang paling mendekati adalah “wanita tomboy”.
Dalam
Syarahnya, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, bahwa laknat
dan celaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi khusus
ditujukan kepada orang yang sengaja meniru lawan jenisnya. Adapun bila hal
tersebut bersifat pembawaan (karakter asli), maka ia cukup diperintah agar
berusaha meninggalkannya semaksimal mungkin secara bertahap. Bila ia tidak mau
berusaha meninggalkannya, dan membiarkan dirinya seperti itu, barulah ia
berdosa, lebih-lebih bila ia menunjukkan sikap ridha dengan perangainya tadi.
Adapun sebagian
ulama ada yang mengatakan bahwa mukhannats alami tidak dianggap tercela ataupun
berdosa. Maksudnya ialah seseorang yang tidak bisa meninggalkan cara berbicara
yang lembut dan gerakan gemulai setelah ia berusaha meninggalkannya. Sedangkan
bila ia masih dapat meninggalkannya walaupun secara bertahap, maka ia dianggap
berdosa bila melakukannya tanpa udzur. (Fathul Bari, 10/332)
Dari keterangan
tadi, dapat disimpulkan bahwa banci terbagi menjadi dua.
Pertama: Banci alami. Yaitu seseorang yang ucapannya
lembut dan tubuhnya gemulai secara alami, dan ia tidak dikenal sebagai orang
yang suka berbuat keji. Maka orang seperti ini tidak dianggap fasik. Dia bukan
orang yang dimaksud oleh hadits-hadits di atas sebagai objek celaan dan laknat.
Kedua: Banci karena sengaja meniru-niru kaum wanita,
dengan melembutkan suara ketika berbicara, atau menggerakan anggota badan
dengan lemah gemulai. Perbuatan ini adalah kebiasaan tercela dan maksiat yang
menjadikan pelakunya tergolong fasik. (At-Tamhid 22/273, Al-Mughni 7/462 dan
Mughnil Muhtaj 4/430)
Pembagian ini
juga berlaku bagi wanita yang menyerupai laki-laki (waria). Sebab pada dasarnya
kaum wanita juga terkena perintah dan larangan dalam agama sebagaimana
laki-laki, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya.
Jadi, tindakan
menyerupai lawan jenis yang disengaja bukanlah hal sepele. Tindakan itu
tergolong dosa besar dan merupakan perbuatan tercela. Nantinya tidak hanya
berpengaruh secara lahiriyah, namun juga merusak kejiwaan. Seorang banci
memiliki fisik seperti laki-laki, namun jiwanya menyerupai wanita. Demikian
pula waria yang fisiknya wanita, namun jiwanya laki-laki. Mereka sengaja
mengubah fisik dan kejiwaan aslinya, sehingga hati mereka pun turut berubah dan
rusak karenanya. Oleh sebab itu, kaum banci dan waria jarang sekali mendapat
hidayah dan bertaubat dari dosa besar tersebut. Ini merupakan peringatan dari
Allah Ta'ala agar kita mengambil pelajaran darinya, dan bersyukur kepada-Nya
yang telah menjadikan kita memiliki jiwa dan raga yang sehat wal afiat.
Profesi Banci
Mungkin yang
terlintas dalam benak kita ketika membayangkan profesi banci, bencong, waria,
ialah seperti penata rias (salon), pengamen, pelawak, penjaja cinta (PSK) atau
desainer busana. Akan tetapi, bila kita merujuk ke penjelasan para Salaf,
ternyata ada juga yang mereka anggap sebagai profesi banci, dan kini banyak
dilakoni oleh lelaki normal, bahkan terkesan sebagai profesi keren, seperti
menjadi penyanyi.
Al-Marwazi rahimahullah
meriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, bahwasanya beliau mengatakan:
“Penghasilan orang banci adalah kotor, sebab ia mendapatkan uang lewat
menyanyi, dan orang banci tidaklah menyanyikan sya’ir-sya’ir yang mengajak
untuk zuhud; namun ia bernyanyi seputar cinta, asmara, atau meratapi kematian”.
Dari sini, jelaslah bahwa Imam Ahmad rahimahullah menganggap penghasilan
seorang banci sebagai sesuatu yang makruh. (Talbis Iblis, 1/281)
Bila dicermati,
yang dimaksud ‘makruh’ oleh Imam Ahmad ialah karahah tahrim, alias makruh yang
berarti haram. Sebab beliau mengaitkannya dengan hal-hal yang sifatnya haram,
seperti bernyanyi seputar cinta, asmara, dan meratapi orang mati.
Jadi, seorang
penyanyi yang nampak gagah di mata banyak orang hari ini, menurut para Salaf
adalah orang banci, dan penghasilan mereka sifatnya haram, karena diperoleh
melalui cara yang haram. Apalagi jika ia sengaja bertingkah laku seperti wanita
(pura-pura banci), maka lebih haram lagi, sebagaimana yang sering dilakukan
para pelawak.
Demikian pula
banci yang bekerja di salon dan melayani wanita yang bukan mahramnya, ini juga
makruh hukumnya bila ia seorang banci alami, sebab profesi ini justru
melestarikan sifat bancinya, padahal ia diperintahkan untuk meninggalkan sifat
tersebut. Namun bila ia sekedar pura-pura banci, maka pekerjaan ini jelas haram
hukumnya.
Apalagi yang
berprofesi sebagai bencong penjaja cinta dan akrab dengan tindak-tindak
asusila, maka jauh lebih diharamkan lagi, karena mereka melakukan perbuatan
kaum Luth yang sangat tercela dan berat sanksinya dalam agama. Bahkan saking
bejatnya perbuatan ini, pelakunya tidak pantas dibiarkan hidup.
Beberapa Kebiasaan Banci
1. Memacari (Mewarnai) Tangan dan Kaki.
Imam Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Mewarnai kedua tangan dan kaki dengan pacar (hena) dianjurkan bagi
wanita yang bersuami. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits yang masyhur dalam
bab ini. Akan tetapi ia haram bagi kaum lelaki, kecuali bila digunakan sebagai
obat dan semisalnya. Salah satu dalil yang menunjukkan keharamannya ialah sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih, bahwa Allah
melaknat kaum lelaki yang menyerupai perempuan dan kaum perempuan yang
menyerupai lelaki. Demikian pula dalam hadits shahih dari Anas, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang orang laki-laki menggunakan za’faran. (HR.
Al-Bukhari dan Muslim). Larangan ini berkenaan dengan warnanya, bukan dengan
aromanya; sebab menggunakan sesuatu yang harum hukumnya sunnah bagi lelaki.
Hena (pacar), dalam hal ini juga sama dengan za’faran (saffron). (Al-Majmu’,
1/294)
Imam
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Telah dijelaskan bahwa mewarnai
tangan dan kaki dengan pacar adalah perbuatan kaum wanita. Dan sebagaimana
diketahui, hal ini dilakukan oleh lelaki yang ingin menyerupai wanita.” (As-Sailul
Jarrar, 4/126)
2. Menabuh Gendang.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Karena menyanyi, menabuh
rebana, dan bertepuk tangan adalah perbuatan wanita; maka para salaf menamakan
kaum lelaki yang melakukannya sebagai ‘banci’ (mukhannats). Mereka menamakan
para penyanyi sebagai kaum banci, dan ini sangat populer dalam ucapan mereka.”
(Majmu’ Fatawa, 11/565-566)
3. Menyanyi.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga mengatakan, “Salah satu perbuatan
muhdats (baru; bid'ah) yang diadakan oleh mereka (kaum sufi) ialah mendengarkan
nyanyian para banci yang terkenal sebagai biduan orang-orang fasik dan pezina.
Atau terkadang mereka mendengarkan nyanyian bocah-bocah kecil berwajah tampan,
atau kaum wanita jelita; sebagaimana kebiasaan pengunjung tempat-tempat
hiburan…” (Majmu’ Fatawa, 11/565-566)
4. Berjoget.
Menurut madzhab
Hanafi, orang yang menghalalkan berjoget adalah kafir. Yang dimaksud joget di
sini, artinya melakukan gerakan miring kesana kemari yang disertai membungkukkan
dan mengangkat badan dengan cara tertentu, sebagaimana tarian tarekat sufi.
(Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/259)
Adapun menurut
ulama Syafi’iyyah, berjoget tidak diharamkan kecuali bila gerakannya lemah
gemulai seperti orang banci. (Al-Minhaj, 1/497)
Sedangkan
menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, berjoget hukumnya makruh. (Hasyiyah
Ash-Shawi, 5/217 dan Al-Inshaf, 6/89)
Ash-Shan’ani rahimahullah
mengatakan: “Berjoget dan bertepuk tangan adalah kebiasaan orang fasik dan
bejat; bukan kebiasaan orang yang mencintai Allah dan takut kepada-Nya…”
(Subulus Salam, 5/1)
5. Memangkas Jenggot Dan Mencukurnya.
Maksudnya,
ialah jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam. Ibnu Abidin mengatakan,
“Adapun memangkas jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam, sebagaimana
yang dilakukan sebagian orang Maghrib dan lelaki banci, maka tidak ada seorang
alim pun yang membolehkannya.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/418)
Beberapa Aturan Terkait Orang Banci
1. Menjadi Imam Shalat
Jika yang
bersangkutan banci alami, maka ia sah menjadi imam shalat. Dan ia tetap
diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sikap bancinya secara kontinyu dan
bertahap. Bila ternyata belum bisa juga, maka tidak ada celaan baginya.
Adapun jika ia
pura-pura banci, maka ia dianggap fasik. Dan orang fasik hukumnya makruh
menjadi imam, demikian menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan
salah satu riwayat dalam madzhab Maliki. (Al-Umm 1/166, Al-Majmu’ 4/287 dan
Al-Muhalla 4/212)
Adapun menurut
ulama Hanabilah dan Malikiyah dalam riwayat lainnya, orang fasik tidak sah
menjadi imam shalat.( Al-Inshaf 2/252, Syarah Muntahal Iradat 1/272 dan At-Taj
wal Iklil 2/93) Hal ini didasarkan kepada pendapat Imam Az-Zuhri rahimahullah
yang mengatakan, “Menurut kami, tidak boleh shalat bermakmum di belakang
laki-laki banci, kecuali dalam kondisi darurat yang tidak bisa dihindari lagi,”
sebagaimana yang dinukil oleh Imam Al-Bukhari. (HR. Al-Bukhari, 1/141)
2. Bolehkah Seorang Banci Memandang Wanita?
Masalah ini
tidak lepas dari dua kondisi :
Pertama : Jika
orang banci tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka tidak ada
khilaf dalam hal ini bahwa ia diharamkan dan termasuk perbuatan fasik. (Fathul
Qadir 2/222, At-Tamhid 22/273, Mughnil Muhtaj 3/128 dan Al-Mughni 7/462)
Kedua : Ia
seorang banci alami yang tidak memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka
dalam hal ini terdapat dua pendapat:
1. Ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah
memberi rukhsah (keringanan) baginya untuk berada di tengah kaum wanita dan
memandang mereka. Dalilnya ialah firman Allah ketika menjelaskan siapa saja
yang boleh melihat wanita, dan siapa saja yang kaum wanita boleh berhias di
hadapannya, yaitu: أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الِإرْبَةِ مِنَ
الرِّجَالِ yang terjemahannya: "atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak bersyahwat (terhadap wanita)." (At-Tamhid 22/273 dan
Al-Mughni 7/462)
2. Ulama Syafi’iyah dan mayoritas Hanafiyah,
berpendapat bahwa lelaki banci meskipun tidak bersyahwat terhadap wanita, tetap
tidak boleh memandang kepada wanita. Dalam hal ini ia tetap dihukumi sebagai
lelaki normal. (Mughnil Muhtaj, 3/128 dan Al-Mabsuth, 12/382)
Dalilnya ialah
hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah berikut:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ
عِنْدَهَا وَفِي الْبَيْتِ مُخَنَّثٌ، فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ أَخِي أُمِّ
سَلَمَةَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، إِنْ فَتَحَ اللَّهُ لَكُمْ غَدًا الطَّائِفَ،
فَإِنِّي أَدُلُّكَ عَلَى بِنْتِ غَيْلَانَ؛ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ
وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersamanya dan saat itu di rumahnya terdapat seorang banci, maka Si banci tadi
berkata kepada Abdullah saudara Ummu Salamah, "Hai Abdullah, jika besok
Allah menaklukkan kota Thaif bagi kalian; maka akan kutunjukkan kepadamu puteri
Ghailan yang dari depan menampakkan empat lipatan sedangkan dari belakang
terlihat delapan," maka Rasûlullah bersabda, "Jangan sekali-kali mereka
(orang-orang banci itu) masuk ke tempat kalian (kaum wanita).” (HR. Al-Bukhari,
no. 5887)
Hadits ini
menunjukkan bahwa banci yang dilarang untuk masuk ke tempat wanita ialah banci
yang memiliki kecenderungan (bersyahwat) terhadap wanita, sebab ia bisa
menceritakan keindahan tubuh wanita yang pernah dilihatnya kepada lelaki.
Sehingga dikhawatirkan ia akan membongkar aurat wanita muslimah bila dibiarkan
keluar masuk ke tempat mereka. Adapun banci alami yang sama sekali tidak
bersyahwat terhadap wanita, tidak akan melakukan hal tersebut.
Kesimpulannya :
Pendapat yang rajih adalah pendapat pertama yang sesuai dengan zhahir
al-Qur’an.
3. Kesaksian Seorang Banci
Menurut ulama
Hanafiyyah, orang banci yang tertolak kesaksiannya ialah yang sengaja berbicara
lemah-lembut dan kemayu (manja) seperti wanita. Adapun bila ia memiliki nada
suara yang lembut dan fisiknya lembek secara alami, dan tidak dikenal sebagai
orang bejat; maka kesaksiannya masih diterima. (Fathul Qadir, 17/130)
Adapun ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah menganggap bahwa menyerupai wanita adalah perbuatan
haram yang menjadikan kesaksian seseorang tertolak. Tentunya, yang dimaksud
bila sengaja menyerupai wanita, bukan karena pembawaannya. (Al-Muhadzdzab,
2/325 dan Al-Mughni, 12/40)
Sedangkan
menurut ulama Malikiyah, diantara yang tertolak kesaksiannya ialah seseorang
yang tidak mempunyai rasa malu, dan termasuk sikap ini ialah bertingkah banci.
(Hasyiyah Ad-Dasuqi, 4/166)
Kesimpulannya :
Madzhab yang empat sepakat bahwa status kesaksian orang banci perinciannya
seperti yang dijelaskan oleh ulama Hanafiyah.
4. Sanksi Bagi Seorang Banci
Lelaki yang
sengaja bertingkah seperti wanita (pura-pura banci) tidak lepas dari dua
keadaan :
Pertama :
Laki-laki yang sengaja bertingkah sebagai banci tanpa terjerumus dalam
perbuatan keji, ini tergolong maksiat yang tidak ada had maupun kaffaratnya.
Sanksi yang pantas diterimanya bersifat ta’zir (ditentukan berdasarkan
pertimbangan hakim), sesuai dengan keadaan si pelaku dan kelakuannya. Dalam hadits
disebutkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan sanksi kepada
orang banci dengan mengasingkannya atau mengusirnya dari rumah. Demikian pula
yang dilakukan oleh para Sahabat sepeninggal beliau.
Adapun ta’zir
yang diberlakukan meliputi :
1. Ta’zir berupa penjara. Menurut madzhab Hanafi,
lelaki yang kerjaannya menyanyi, banci, dan meratapi kematian pantas dihukum
dengan penjara sampai mereka bertaubat. (Al-Mabsuth, 27/205)
2. Ta’zir berupa pengasingan. Menurut madzhab Syafi’i
dan Hambali, seorang banci hendaklah diasingkan walaupun perbuatannya tidak
tergolong maksiat (alias ia memang banci asli). Akan tetapi pengasingan tadi
dilakukan untuk mencari kemaslahatan. (Mughnil Muhtaj, 4/192 dan Al-Fatawa
Al-Kubra, 5/529)
Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Termasuk siasat syar’i yang dinyatakan oleh Imam Ahmad, ialah
hendaklah seorang banci itu diasingkan; sebab orang banci hanya menimbulkan
kerusakan dan pelecehan atas dirinya. Penguasa berhak mengasingkannya ke negeri
lain yang di sana ia terbebas dari gangguan orang-orang. Bahkan jika
dikhawatirkan keselamatannya, orang banci tadi boleh dipenjara.” (Bada’i
Al-Fawaid, 3/694)
Kedua : Orang
banci yang membiarkan dirinya dicabuli dan disodomi.
Orang banci
seperti ini sanksinya diperselisihkan oleh para ulama. Banyak fuqaha’ yang
berpendapat, ia pantas mendapat hukuman seperti pezina. Sedangkan Imam Abu
Hanifah rahimahullah berpendapat, hukumannya adalah ta’zir yang bisa
sampai ke tingkat eksekusi, (seperti:) dibakar, atau dijungkalkan dari tempat
yang tinggi. Sebab para sahabat juga berbeda pendapat tentang cara
menghukumnya. (Al-Mabsuth 11/78, Al-Fawakih Ad-Dawani 2/209 dan Raudhatut
Thalibin 10/90)
Nasihat Bagi Laki-Laki Banci
Sebagai penutup,
kami nasihatkan kepada siapa saja yang tergolong banci, agar segera bertaubat
kepada Allah Ta'ala. Tekunlah belajar ilmu syar’i yang dapat mendorong untuk
taat kepada Allah Ta'ala dan menghindari maksiat. Bertemanlah dengan
orang-orang yang baik agar mereka mendorong dan menolong dalam kebaikan.
Hendaklah
disadari, bahwa orang yang paling merugi ialah mereka yang merugi di dunia dan
akhirat. Ia harus banyak berdoa, sebab dengan doa, Allah Ta'ala akan mewujudkan
harapan dan menerima taubatnya. Wallahu a’lam.