Bekerja Adalah Ibadah

“Setiap kali saya menutup palang pintu, saya dalam hati berkata kepada Tuhan : Ya Allah, saya orang miskin, tidak bisa memberi apa-apa kepada orang lain. Hanya menutup pintu inilah cara saya membantu mereka agar selamat dalam perjalanan. Ya Allah catatlah apa yang saya lakukan ini sebagai ibadahku kepada-Mu. Saya orang kecil. Inilah kebaikan yang bisa saya lakukan kepada sesama manusia.”



Seorang wartawan televisi bertanya: Sudah berapa lama bapak bertugas sebagai penutup palang pintu kereta api? Petugas itu menjawab dua belas tahun. Sang wartawan bertanya, apa yang menyebabkannya tidak bosan dan sanggup bertahan selama itu?

“Karena tugas menutup palang pintu kereta api itu saya niati sebagai ibadah.” kata petugas. Jawaban itu membuat sang wartawan tertegun. “Maksud bapak?”

“Setiap kali saya menutup palang pintu, saya dalam hati berkata kepada Tuhan : Ya Allah, saya orang miskin, tidak bisa memberi apa-apa kepada orang lain. Hanya menutup pintu inilah cara saya membantu mereka agar selamat dalam perjalanan. Ya Allah catatlah apa yang saya lakukan ini sebagai ibadahku kepada-Mu. Saya orang kecil. Inilah kebaikan yang bisa saya lakukan kepada sesama manusia.”

Betapa indah pengakuan petugas palang pintu itu. Dalam bekerja yang dipikirkan adalah berbuat kebaikan untuk orang lain. Dalam kemiskinan dia tetap ingin dapat memberi kepada orang lain. Bagi dia, bekerja adalah melayani dengan sepenuh hati. Itulah ibadah. Dia yakin Tuhan akan mencatat kesungguhan hatinya dalam melayani. Dia tidak mengukur kepuasan dengan uang, melainkan dengan ridla Tuhan melalui kepuasan pelanggan. Yaitu keselamatan para pelintas rel.

Sering kita mendengar pernyataan bekerja itu ibadah. Tetapi yang dimaksud ibadah oleh banyak orang berbeda dengan petugas palang pintu kereta ini. Kita mengatakan bekerja sebagai ibadah karena kita bekerja mencari nafkah halal untuk keluarga. Uangnya kita gunakan sebagai biaya hidup orang-orang yang menjadi tanggungan kita. Hal itu memang bernilai ibadah.

Ini berbeda dengan konsep ibadah pada petugas palang pintu kereta itu. Petugas itu memberi roh ibadah dalam proses kerjanya ketika dia menutup palang pintu, bukan pada efek kerjanya berupa uang yang dibawa pulang. Soal uang yang dia terima dari kerjanya dia pisahkan dengan niatnya ketika menutup palang pintu. Dia tidak sekadar menutup palang pintu lalu merasa sudah selesai. Yang dia inginkan adalah keselamatan semua pengguna jalan di lintasan kereta api itu. Dia puas ketika bisa memberi. Puas ketika bisa melayani.

Setiap pekerjaan terbuka peluang sebagai ladang kebaikan. Seorang guru misalnya, punya peluang besar melakukan amal jariah, amal yang tak pernah putus pahalanya. Tetapi kesempatan itu bisa hilang jika niat kerjanya hanya untuk memperoleh uang semata. Lalu dia mengajar di banyak tempat, terengah-engah pindah dari satu sekolah ke sekolah lain. Dia tidak bisa konsentrasi penuh melayani anak didik sepenuh hati karena harus ‘kejar tayang’. Kepuasannya terletak pada banyaknya uang yang diperoleh, buka banyaknya siswa yang berhasil dia didik dengan baik.

Sangat berbeda dengan guru yang mengajar karena panggilan hati. Kepuasan dia dapatkan ketika proses belajar-mengajar itu sedang berlangsung, tidak menunggu ketika uang diterima. Dia puas karena bisa memberi. Puas karena bisa melayani dengan baik.

Setiap pekerjaan, apapun jenisnya, pada prinsipnya melayani. Sopir melayani penumpang. Dokter melayani pasien. Cleaning service melayani pemilik gedung. Penjaga toko melayani pembeli. Apakah juru ketik juga melayani? Apakah petugas laboratorium juga melayani? Ya! Mereka semua melayani. Setiap pekerjaan ada konsumennya. Itulah yang mereka layani. Ada kewajiban moral untuk melayani konsumen sebaik-baiknya. Banyak karyawan menganggap yang bertugas melayani hanya bagian costumer service saja, sedang dirinya tidak karena dia pada bagian produksi.

Apakah dalam bekerja tidak boleh berpikir tentang uang? Sangat boleh, karena hidup butuh uang. Uang ibarat bahan bakar yang membuat roda kehidupan berputar.Tanpa uang, roda tidak bisa berputar. Orang yang menjadikan pekerjaan sebagai ibadah bukan berarti tidak mau uang, tetapi cara pandang terhadap pekerjaan yang beda. Dari sekedar menjalankan tugas menjadi melayani. Dari sekedar mencari uang menjadi berbuat kebaikan. Di situ akan menemukan kepuasan hati. Maka carilah kebahagiaan dengan cara membahagiakan orang lain.

Mereka yang bekerja sekedar mencari uang, tidak menemukan bahagia dalam bekerja. Gembira ketika menerima uang, tapi hanya sebentar. Gembira ketika gaji naik, setelah itu terasa biasa lagi. Juga mereka yang bekerja sekedar menjalankan kewajiban akan merasa memikul beban terus-menerus. Sejak pagi sampai sore yang terasa hanya tugas, beban dan kewajiban.

Pandangan Syari'at Terhadap Banci

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah. Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Si Fulan, sedangkan Umar mengusir Si Fulan.” (HR Al-Bukhari, no. 5886)


Salah satu kebanggaan kita sebagai kaum Muslimin ialah syariat Islam itu sendiri. Kita bangga karena memiliki syariat paling lengkap di dunia. Syariat yang mengatur segalanya, dari perkara yang paling besar hingga yang paling sepele. Semua yang menyangkut kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat tak lepas dari tinjauan syariat. Laki-laki, perempuan, tua, muda, besar, kecil, penguasa, rakyat jelata; semuanya diatur secara adil dan bijaksana. Bahkan kaum banci pun tak lepas dari pembahasan.

Benar, kaum banci yang sering menjadi ledekan dan bahan tertawaan, ternyata tidak diabaikan oleh syariat begitu saja, sebab ia juga manusia mukallaf sebagaimana lelaki dan wanita normal. Karenanya, dalam fiqih Islam, kita mengenal istilah mukhannats (banci/bencong), mutarajjilah (wanita yang kelelakian), dan khuntsa (interseks/berkelamin ganda).

Masing-masing dari istilah ini memiliki definisi dan konsekuensi berbeda. Akan tetapi, dua istilah yang pertama biasanya berkonotasi negatif, baik di mata masyarakat maupun syariat. Sedangkan yang ketiga belum tentu demikian.

Untuk lebih jelasnya, perlu diperhatikan definisi para ulama tentang banci dan waria, berangkat dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَقَالَ: «أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ: فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَنًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا

Dari Ibnu Abbas, katanya, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah. Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Si Fulan, sedangkan Umar mengusir Si Fulan.” (HR Al-Bukhari, no. 5886)

Dalam riwayat lain disebutkan:

،لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بالنِّسَاءِ والمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بالرِّجَالِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang menyerupai wanita, dan para wanita yang menyerupai laki-laki. (HR. Al-Bukhari, no. 5885)

Riwayat yang kedua ini menafsirkan tentang yang dimaksud dengan mukhannats dan mutarajjilah dalam hadits yang pertama. Sehingga menjadi jelas bahwa yang dimaksud mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai perempuan, baik dari cara berjalan, cara berpakaian, gaya bicara, maupun sifat-sifat feminin lainnya. Sedangkan mutarajjilah adalah wanita yang menyerupai laki-laki dalam hal-hal tersebut. (Mu’jam Lughatil Fuqaha’, 1/417)

Secara bahasa, kata mukhannats berasal dari kata dasar khanitsa-yakhnatsu. Artinya, berlaku lembut. Dari istilah umum tersebut, maka istilah banci, bencong, waria cocok untuk mengartikan mukhannats. Sedangkan untuk istilah, mutarajjilah, mungkin terjemahan yang paling mendekati adalah “wanita tomboy”.

Dalam Syarahnya, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, bahwa laknat dan celaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi khusus ditujukan kepada orang yang sengaja meniru lawan jenisnya. Adapun bila hal tersebut bersifat pembawaan (karakter asli), maka ia cukup diperintah agar berusaha meninggalkannya semaksimal mungkin secara bertahap. Bila ia tidak mau berusaha meninggalkannya, dan membiarkan dirinya seperti itu, barulah ia berdosa, lebih-lebih bila ia menunjukkan sikap ridha dengan perangainya tadi.

Adapun sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa mukhannats alami tidak dianggap tercela ataupun berdosa. Maksudnya ialah seseorang yang tidak bisa meninggalkan cara berbicara yang lembut dan gerakan gemulai setelah ia berusaha meninggalkannya. Sedangkan bila ia masih dapat meninggalkannya walaupun secara bertahap, maka ia dianggap berdosa bila melakukannya tanpa udzur. (Fathul Bari, 10/332)

Dari keterangan tadi, dapat disimpulkan bahwa banci terbagi menjadi dua.

Pertama: Banci alami. Yaitu seseorang yang ucapannya lembut dan tubuhnya gemulai secara alami, dan ia tidak dikenal sebagai orang yang suka berbuat keji. Maka orang seperti ini tidak dianggap fasik. Dia bukan orang yang dimaksud oleh hadits-hadits di atas sebagai objek celaan dan laknat.

Kedua: Banci karena sengaja meniru-niru kaum wanita, dengan melembutkan suara ketika berbicara, atau menggerakan anggota badan dengan lemah gemulai. Perbuatan ini adalah kebiasaan tercela dan maksiat yang menjadikan pelakunya tergolong fasik. (At-Tamhid 22/273, Al-Mughni 7/462 dan Mughnil Muhtaj 4/430)

Pembagian ini juga berlaku bagi wanita yang menyerupai laki-laki (waria). Sebab pada dasarnya kaum wanita juga terkena perintah dan larangan dalam agama sebagaimana laki-laki, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya.

Jadi, tindakan menyerupai lawan jenis yang disengaja bukanlah hal sepele. Tindakan itu tergolong dosa besar dan merupakan perbuatan tercela. Nantinya tidak hanya berpengaruh secara lahiriyah, namun juga merusak kejiwaan. Seorang banci memiliki fisik seperti laki-laki, namun jiwanya menyerupai wanita. Demikian pula waria yang fisiknya wanita, namun jiwanya laki-laki. Mereka sengaja mengubah fisik dan kejiwaan aslinya, sehingga hati mereka pun turut berubah dan rusak karenanya. Oleh sebab itu, kaum banci dan waria jarang sekali mendapat hidayah dan bertaubat dari dosa besar tersebut. Ini merupakan peringatan dari Allah Ta'ala agar kita mengambil pelajaran darinya, dan bersyukur kepada-Nya yang telah menjadikan kita memiliki jiwa dan raga yang sehat wal afiat.

Profesi Banci

Mungkin yang terlintas dalam benak kita ketika membayangkan profesi banci, bencong, waria, ialah seperti penata rias (salon), pengamen, pelawak, penjaja cinta (PSK) atau desainer busana. Akan tetapi, bila kita merujuk ke penjelasan para Salaf, ternyata ada juga yang mereka anggap sebagai profesi banci, dan kini banyak dilakoni oleh lelaki normal, bahkan terkesan sebagai profesi keren, seperti menjadi penyanyi.

Al-Marwazi rahimahullah meriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, bahwasanya beliau mengatakan: “Penghasilan orang banci adalah kotor, sebab ia mendapatkan uang lewat menyanyi, dan orang banci tidaklah menyanyikan sya’ir-sya’ir yang mengajak untuk zuhud; namun ia bernyanyi seputar cinta, asmara, atau meratapi kematian”. Dari sini, jelaslah bahwa Imam Ahmad rahimahullah menganggap penghasilan seorang banci sebagai sesuatu yang makruh. (Talbis Iblis, 1/281)

Bila dicermati, yang dimaksud ‘makruh’ oleh Imam Ahmad ialah karahah tahrim, alias makruh yang berarti haram. Sebab beliau mengaitkannya dengan hal-hal yang sifatnya haram, seperti bernyanyi seputar cinta, asmara, dan meratapi orang mati.

Jadi, seorang penyanyi yang nampak gagah di mata banyak orang hari ini, menurut para Salaf adalah orang banci, dan penghasilan mereka sifatnya haram, karena diperoleh melalui cara yang haram. Apalagi jika ia sengaja bertingkah laku seperti wanita (pura-pura banci), maka lebih haram lagi, sebagaimana yang sering dilakukan para pelawak.

Demikian pula banci yang bekerja di salon dan melayani wanita yang bukan mahramnya, ini juga makruh hukumnya bila ia seorang banci alami, sebab profesi ini justru melestarikan sifat bancinya, padahal ia diperintahkan untuk meninggalkan sifat tersebut. Namun bila ia sekedar pura-pura banci, maka pekerjaan ini jelas haram hukumnya.

Apalagi yang berprofesi sebagai bencong penjaja cinta dan akrab dengan tindak-tindak asusila, maka jauh lebih diharamkan lagi, karena mereka melakukan perbuatan kaum Luth yang sangat tercela dan berat sanksinya dalam agama. Bahkan saking bejatnya perbuatan ini, pelakunya tidak pantas dibiarkan hidup.

Beberapa Kebiasaan Banci

1. Memacari (Mewarnai) Tangan dan Kaki.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mewarnai kedua tangan dan kaki dengan pacar (hena) dianjurkan bagi wanita yang bersuami. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits yang masyhur dalam bab ini. Akan tetapi ia haram bagi kaum lelaki, kecuali bila digunakan sebagai obat dan semisalnya. Salah satu dalil yang menunjukkan keharamannya ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih, bahwa Allah melaknat kaum lelaki yang menyerupai perempuan dan kaum perempuan yang menyerupai lelaki. Demikian pula dalam hadits shahih dari Anas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang laki-laki menggunakan za’faran. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Larangan ini berkenaan dengan warnanya, bukan dengan aromanya; sebab menggunakan sesuatu yang harum hukumnya sunnah bagi lelaki. Hena (pacar), dalam hal ini juga sama dengan za’faran (saffron). (Al-Majmu’, 1/294)

Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Telah dijelaskan bahwa mewarnai tangan dan kaki dengan pacar adalah perbuatan kaum wanita. Dan sebagaimana diketahui, hal ini dilakukan oleh lelaki yang ingin menyerupai wanita.” (As-Sailul Jarrar, 4/126)

2. Menabuh Gendang.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Karena menyanyi, menabuh rebana, dan bertepuk tangan adalah perbuatan wanita; maka para salaf menamakan kaum lelaki yang melakukannya sebagai ‘banci’ (mukhannats). Mereka menamakan para penyanyi sebagai kaum banci, dan ini sangat populer dalam ucapan mereka.” (Majmu’ Fatawa, 11/565-566)

3. Menyanyi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga mengatakan, “Salah satu perbuatan muhdats (baru; bid'ah) yang diadakan oleh mereka (kaum sufi) ialah mendengarkan nyanyian para banci yang terkenal sebagai biduan orang-orang fasik dan pezina. Atau terkadang mereka mendengarkan nyanyian bocah-bocah kecil berwajah tampan, atau kaum wanita jelita; sebagaimana kebiasaan pengunjung tempat-tempat hiburan…” (Majmu’ Fatawa, 11/565-566)

4. Berjoget.

Menurut madzhab Hanafi, orang yang menghalalkan berjoget adalah kafir. Yang dimaksud joget di sini, artinya melakukan gerakan miring kesana kemari yang disertai membungkukkan dan mengangkat badan dengan cara tertentu, sebagaimana tarian tarekat sufi. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/259)

Adapun menurut ulama Syafi’iyyah, berjoget tidak diharamkan kecuali bila gerakannya lemah gemulai seperti orang banci. (Al-Minhaj, 1/497)

Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, berjoget hukumnya makruh. (Hasyiyah Ash-Shawi, 5/217 dan Al-Inshaf, 6/89)

Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Berjoget dan bertepuk tangan adalah kebiasaan orang fasik dan bejat; bukan kebiasaan orang yang mencintai Allah dan takut kepada-Nya…” (Subulus Salam, 5/1)

5. Memangkas Jenggot Dan Mencukurnya.

Maksudnya, ialah jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam. Ibnu Abidin mengatakan, “Adapun memangkas jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang Maghrib dan lelaki banci, maka tidak ada seorang alim pun yang membolehkannya.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/418)

Beberapa Aturan Terkait Orang Banci

1. Menjadi Imam Shalat

Jika yang bersangkutan banci alami, maka ia sah menjadi imam shalat. Dan ia tetap diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sikap bancinya secara kontinyu dan bertahap. Bila ternyata belum bisa juga, maka tidak ada celaan baginya.

Adapun jika ia pura-pura banci, maka ia dianggap fasik. Dan orang fasik hukumnya makruh menjadi imam, demikian menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan salah satu riwayat dalam madzhab Maliki. (Al-Umm 1/166, Al-Majmu’ 4/287 dan Al-Muhalla 4/212)

Adapun menurut ulama Hanabilah dan Malikiyah dalam riwayat lainnya, orang fasik tidak sah menjadi imam shalat.( Al-Inshaf 2/252, Syarah Muntahal Iradat 1/272 dan At-Taj wal Iklil 2/93) Hal ini didasarkan kepada pendapat Imam Az-Zuhri rahimahullah yang mengatakan, “Menurut kami, tidak boleh shalat bermakmum di belakang laki-laki banci, kecuali dalam kondisi darurat yang tidak bisa dihindari lagi,” sebagaimana yang dinukil oleh Imam Al-Bukhari. (HR. Al-Bukhari, 1/141)

2. Bolehkah Seorang Banci Memandang Wanita?

Masalah ini tidak lepas dari dua kondisi :

Pertama : Jika orang banci tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka tidak ada khilaf dalam hal ini bahwa ia diharamkan dan termasuk perbuatan fasik. (Fathul Qadir 2/222, At-Tamhid 22/273, Mughnil Muhtaj 3/128 dan Al-Mughni 7/462)

Kedua : Ia seorang banci alami yang tidak memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

1. Ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah memberi rukhsah (keringanan) baginya untuk berada di tengah kaum wanita dan memandang mereka. Dalilnya ialah firman Allah ketika menjelaskan siapa saja yang boleh melihat wanita, dan siapa saja yang kaum wanita boleh berhias di hadapannya, yaitu: أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الِإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ yang terjemahannya: "atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak bersyahwat (terhadap wanita)." (At-Tamhid 22/273 dan Al-Mughni 7/462)

2. Ulama Syafi’iyah dan mayoritas Hanafiyah, berpendapat bahwa lelaki banci meskipun tidak bersyahwat terhadap wanita, tetap tidak boleh memandang kepada wanita. Dalam hal ini ia tetap dihukumi sebagai lelaki normal. (Mughnil Muhtaj, 3/128 dan Al-Mabsuth, 12/382)

Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَفِي الْبَيْتِ مُخَنَّثٌ، فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ أَخِي أُمِّ سَلَمَةَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، إِنْ فَتَحَ اللَّهُ لَكُمْ غَدًا الطَّائِفَ، فَإِنِّي أَدُلُّكَ عَلَى بِنْتِ غَيْلَانَ؛ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersamanya dan saat itu di rumahnya terdapat seorang banci, maka Si banci tadi berkata kepada Abdullah saudara Ummu Salamah, "Hai Abdullah, jika besok Allah menaklukkan kota Thaif bagi kalian; maka akan kutunjukkan kepadamu puteri Ghailan yang dari depan menampakkan empat lipatan sedangkan dari belakang terlihat delapan," maka Rasûlullah bersabda, "Jangan sekali-kali mereka (orang-orang banci itu) masuk ke tempat kalian (kaum wanita).” (HR. Al-Bukhari, no. 5887)

Hadits ini menunjukkan bahwa banci yang dilarang untuk masuk ke tempat wanita ialah banci yang memiliki kecenderungan (bersyahwat) terhadap wanita, sebab ia bisa menceritakan keindahan tubuh wanita yang pernah dilihatnya kepada lelaki. Sehingga dikhawatirkan ia akan membongkar aurat wanita muslimah bila dibiarkan keluar masuk ke tempat mereka. Adapun banci alami yang sama sekali tidak bersyahwat terhadap wanita, tidak akan melakukan hal tersebut.

Kesimpulannya : Pendapat yang rajih adalah pendapat pertama yang sesuai dengan zhahir al-Qur’an.

3. Kesaksian Seorang Banci

Menurut ulama Hanafiyyah, orang banci yang tertolak kesaksiannya ialah yang sengaja berbicara lemah-lembut dan kemayu (manja) seperti wanita. Adapun bila ia memiliki nada suara yang lembut dan fisiknya lembek secara alami, dan tidak dikenal sebagai orang bejat; maka kesaksiannya masih diterima. (Fathul Qadir, 17/130)

Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menganggap bahwa menyerupai wanita adalah perbuatan haram yang menjadikan kesaksian seseorang tertolak. Tentunya, yang dimaksud bila sengaja menyerupai wanita, bukan karena pembawaannya. (Al-Muhadzdzab, 2/325 dan Al-Mughni, 12/40)

Sedangkan menurut ulama Malikiyah, diantara yang tertolak kesaksiannya ialah seseorang yang tidak mempunyai rasa malu, dan termasuk sikap ini ialah bertingkah banci. (Hasyiyah Ad-Dasuqi, 4/166)

Kesimpulannya : Madzhab yang empat sepakat bahwa status kesaksian orang banci perinciannya seperti yang dijelaskan oleh ulama Hanafiyah.

4. Sanksi Bagi Seorang Banci

Lelaki yang sengaja bertingkah seperti wanita (pura-pura banci) tidak lepas dari dua keadaan :

Pertama : Laki-laki yang sengaja bertingkah sebagai banci tanpa terjerumus dalam perbuatan keji, ini tergolong maksiat yang tidak ada had maupun kaffaratnya. Sanksi yang pantas diterimanya bersifat ta’zir (ditentukan berdasarkan pertimbangan hakim), sesuai dengan keadaan si pelaku dan kelakuannya. Dalam hadits disebutkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan sanksi kepada orang banci dengan mengasingkannya atau mengusirnya dari rumah. Demikian pula yang dilakukan oleh para Sahabat sepeninggal beliau.

Adapun ta’zir yang diberlakukan meliputi :

1. Ta’zir berupa penjara. Menurut madzhab Hanafi, lelaki yang kerjaannya menyanyi, banci, dan meratapi kematian pantas dihukum dengan penjara sampai mereka bertaubat. (Al-Mabsuth, 27/205)

2. Ta’zir berupa pengasingan. Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, seorang banci hendaklah diasingkan walaupun perbuatannya tidak tergolong maksiat (alias ia memang banci asli). Akan tetapi pengasingan tadi dilakukan untuk mencari kemaslahatan. (Mughnil Muhtaj, 4/192 dan Al-Fatawa Al-Kubra, 5/529)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Termasuk siasat syar’i yang dinyatakan oleh Imam Ahmad, ialah hendaklah seorang banci itu diasingkan; sebab orang banci hanya menimbulkan kerusakan dan pelecehan atas dirinya. Penguasa berhak mengasingkannya ke negeri lain yang di sana ia terbebas dari gangguan orang-orang. Bahkan jika dikhawatirkan keselamatannya, orang banci tadi boleh dipenjara.” (Bada’i Al-Fawaid, 3/694)

Kedua : Orang banci yang membiarkan dirinya dicabuli dan disodomi.

Orang banci seperti ini sanksinya diperselisihkan oleh para ulama. Banyak fuqaha’ yang berpendapat, ia pantas mendapat hukuman seperti pezina. Sedangkan Imam Abu Hanifah rahimahullah berpendapat, hukumannya adalah ta’zir yang bisa sampai ke tingkat eksekusi, (seperti:) dibakar, atau dijungkalkan dari tempat yang tinggi. Sebab para sahabat juga berbeda pendapat tentang cara menghukumnya. (Al-Mabsuth 11/78, Al-Fawakih Ad-Dawani 2/209 dan Raudhatut Thalibin 10/90)

Nasihat Bagi Laki-Laki Banci

Sebagai penutup, kami nasihatkan kepada siapa saja yang tergolong banci, agar segera bertaubat kepada Allah Ta'ala. Tekunlah belajar ilmu syar’i yang dapat mendorong untuk taat kepada Allah Ta'ala dan menghindari maksiat. Bertemanlah dengan orang-orang yang baik agar mereka mendorong dan menolong dalam kebaikan.

Hendaklah disadari, bahwa orang yang paling merugi ialah mereka yang merugi di dunia dan akhirat. Ia harus banyak berdoa, sebab dengan doa, Allah Ta'ala akan mewujudkan harapan dan menerima taubatnya. Wallahu a’lam.

Menyikapi Penguasa Yang Zhalim

“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati kalian.” Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang?” Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia mendirikan shalat (di antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.” (HR. Muslim)


Catatan sejarah membuktikan, setiap pemberontakan yang tidak dibimbing oleh ilmu syar’i selalu melahirkan kerusakan dan berakhir dengan kekacauan yang lebih besar daripada kezaliman penguasa itu sendiri. Maka, sikap sabar sebagaimana diamanatkan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan para sahabatnya, mesti kita miliki ketika kita dihadapkan kepada pemerintahan yang zalim.

Sabar terhadap kezaliman penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Majmu’ Fatawa, 28/179)

Itulah salah satu ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang terlupakan atau tidak diketahui oleh kaum muslimin yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Hampir seluruh kelompok pergerakan yang muncul di abad ini atau sebelumnya melalaikan prinsip ini. Entah karena lupa, tidak tahu, atau karena sengaja.

Barangkali akan ada yang mengatakan, “Penguasa sekarang lain dengan penguasa dahulu!”

Untuk menjawab pernyataan itu, seorang ulama bernama Abul Walid ath-Thartusi rahimahullah berkata, “Jika kamu berkata bahwa raja-raja (penguasa) di masa ini tidak seperti raja-raja di masa lalu, maka (dijawab) bahwa rakyat sekarang pun tidak seperti rakyat di masa lalu. Kamu tidak lebih berhak mencela penguasamu ketika kamu menengok (membandingkan dengan) penguasa dahulu daripada penguasamu mencela kamu ketika dia menengok rakyat yang hidup di masa lalu. Maka jika penguasamu berbuat zalim terhadap kamu, hendaknya kamu bersabar dan dosanya ditanggung (penguasa itu).

Sejauh ini saya masih mendengar ucapan orang, ‘Amal-amal kalian adalah para penguasa kalian,’ ‘Sebagaimana kalian, maka seperti itulah penguasa kalian,’ sampai pada akhirnya saya mendapatkan makna semacam itu dalam Al-Qur’an (ketika) Allah azza wa jalla berfirman:

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menguasai sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al-An’am : 129)

Dahulu juga dikatakan, ‘Apa yang kamu ingkari pada masamu adalah karena dirusak oleh amalmu’.”

Abdul Malik bin Marwan juga mengatakan, “Berbuat adillah kalian, wahai rakyat! Kalian menginginkan kami untuk berjalan dengan perihidup Abu Bakr dan ‘Umar, padahal kalian tidak berbuat demikian terhadap kami dan pada diri kalian.” (Sirajul Muluk, hal. 100-101)

Inilah hakikat yang perlu diketahui dan selalu diingat, bahwa munculnya penguasa jahat adalah karena amal kita yang jahat juga, seperti perbuatan maksiat, bid’ah, khurafat, dan perbuatan syirik kepada Allah azza wa jalla.

Camkan ini wahai para tokoh pergerakan!

Sikap kalian dengan memberontak, mencaci-maki, merendahkan, atau bahkan mengafirkan para penguasa justru membuat penguasa semakin bengis. Bukan hanya kepada kalian, namun juga kepada orang-orang yang tidak berdosa. Inilah akibat dari amalan bid’ah yang bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah.

Jangan kalian sangka bahwa dengan perbuatan itu kalian sedang berjihad dan menegakkan Islam. Namun sebaliknya, kalian sungguh sedang menggerogoti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruntuhkan salah satu penyangga ajaran Islam.

Sikap yang benar untuk menyudahi kezaliman penguasa adalah dengan memperbaiki amal kita baik dari sisi akidah, metode dakwah, ibadah, maupun akhlak serta mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi penguasa.

al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah—semoga Allah azza wa jalla memberimu ‘afiyah (keselamatan)—bahwa kezaliman para raja merupakan azab dari Allah azza wa jalla. Dan azab allah azza wa jalla itu tidak dihadapi dengan pedang, akan tetapi dihindari dengan doa, taubat, kembali kepada Allah azza wa jalla , serta mencabut segala dosa. Sungguh azab Allah azza wa jalla jika dihadapi dengan pedang maka ia lebih bisa memotong.” (Asy-Syari’ah, hal. 38)

Perlu pula diketahui bahwa munculnya penguasa-penguasa yang jahat bukan satu hal yang baru. Dalam sejarah Islam tercatat sejak masa para sahabat masih hidup telah muncul seorang pemimpin yang luar biasa bengisnya melebihi para penguasa di masa ini. Bahkan penguasa itu sampai mendapat julukan resmi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai al-Mubir (pembinasa). Penguasa tersebut adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi

Bukan hanya ulama yang ia bunuh, bahkan sebagian sahabat pun ia bunuh. Jumlahnya pun bukan sekadar ratusan, namun mencapai ribuan. Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan riwayat dari Hisyam bin Hassan bahwa ia mengatakan, “Kami menghitung orang yang dibunuh Hajjaj dengan cara shabran (dibunuh dengan cara tidak diberi makan dan minum) mencapai 120.000 jiwa.” (Tahdzibut Tahdzib, 2/211)

Jumlah tersebut belum termasuk orang-orang yang dibunuh dengan cara lainnya. Dalam sejarah selalu ada orang semacam ini. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengabarkan akan adanya para penguasa semacam itu melalui sabda-sabda beliau berikut ini:

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ

“Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.” (Hudzaifah berkata), “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim)

إِنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَمَا تَاْمُرُنَا؟ قَالَ: تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ

“Sesungguhnya akan terjadi setelahku para pemimpin yang mementingkan diri mereka (tidak memberikan hak kepada orang yang berhak) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” Mereka mengatakan, “Wahai Rasullullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Berikan hak mereka yang menjadi kewajiban kalian dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُوْنَ حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika pemimpin kami adalah pemimpin yang meminta kepada kami hak mereka dan tidak memberikan kepada kami hak kami?”… Beliau menjawab, “Dengar dan taati, sesungguhnya kewajiban mereka apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kalian apa yang dibebankan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Maknanya bahwa Allah azza wa jalla mewajibkan dan membebani para penguasa untuk berlaku adil di antara manusia. Jika tidak mereka lakukan, mereka berdosa. Dan Allah azza wa jalla  wajibkan rakyat untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Jika mereka melakukannya, mendapat pahala; dan jika tidak, berdosa. (Mu’amalatul Hukkam, hal. 119)

شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati kalian.” Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang?” Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia mendirikan shalat (di antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.” (HR. Muslim)

Beliau ditanya tentang para penguasa oleh ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu:

قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ –فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا

Kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang taat kepada orang yang bertakwa, akan tetapi tentang orang yang melakukan demikian dan demikian”—ia menyebutkan kejelekan-kejelekan. Maka Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjawab, “Bertakwalah kepada Allah, dengarkan dan taati (penguasa itu).” (HR. Ibnu Abu ‘Ashim, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Hadits yang sahih”, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 124)

Itulah penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terbukti kebenarannya. Dengan ilmu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam miliki itu, beliau tetap memerintahkan untuk sabar, taat, menunaikan hak, dan sebagainya, sebagaimana disebutkan pada hadits-hadits di atas. Itulah jalan terbaik dan tidak ada yang lebih baik selain itu.

Menyikapi penguasa yang zalim jangan hanya didasari oleh emosi atau alasan ghirah (kecemburuan) keagamaan tanpa mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena bagaimanapun, kita tidak lebih cemburu dan tidak lebih panas ketika melihat maksiat dibanding Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian heran dari cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu darinya dan Allah lebih cemburu dariku. Oleh karena itu, Allah haramkan hal-hal yang keji, baik yang tampak maupun yang tidak.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari sahabat Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu)

Ketika Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu keluar ke daerah Rabadzah karena menuruti perintah Khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu disebabkan ia memiliki sebuah permasalahan dengan seseorang, ia berjumpa dengan serombongan orang Iraq yang mengatakan, “Wahai Abu Dzar, sungguh telah sampai kepada kami perlakuan yang menimpamu. Maka tegakkanlah bendera (maksudnya ajakan untuk memberontak), niscaya akan datang kepadamu orang-orang dari mana saja kamu mau.” Maka beliau menjawab, “Pelan-pelan wahai kaum muslimin. Sungguh saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan datang setelahku para penguasa maka muliakanlah dia. Barang siapa yang menghinakannya berarti ia telah membuat satu lubang dalam Islam dan tidak akan diterima taubat darinya sampai ia mengembalikannya seperti sebelumnya’.” (Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1079, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya sahih.”)

Cara Efektif Membangun Cinta al-Qur'an

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.” (QS. al-Anfal [8] : 2)


Ada dua cara utama agar hati kita bisa selalu cinta al-Qur’an:

Pertama, Meminta dan memohon kepada Allah agar hati kita selalu dekat dan cinta al-Qur’an

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengajarkan kepada kita untuk membaca doa:

اللهم إني عبدك وابن عبدك وابن أمتك، ناصيتي بيدك، ماض فيَّ حكمك، عدل فيَّ قضاؤك، أسألك بكل اسمٍ هو لك سميت به نفسك أو أنزلته في كتابك أو علمته أحدًا من خلقك أو استأثرت به في علم الغيب عندك، أن تجعل القرآن ربيع قلبي ونور صدري وجلاء حزني وذهاب همِّي

“Ya Allah! Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubunku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, qadha-Mu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepadaMu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diriMu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, hendaknya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka dan kesedihanku.” (HR. Ahmad)

Selalu membaca dan mengkaji tentang kebesaran dan keagungan al-Qur’an. Menelaah keadaan dan sejarah orang-orang soleh terdahulu dengan al-Qur’an. Kelezatan hidup dengan al-Qur’an jauh lebih berharga dari kelezatan duniawi.

Membaca al-Qur’an termasuk salah satu sebab utama bertambahnya keimanan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.” (QS. al-Anfal [8] : 2)

Sungguh al-Qur;an memiliki pengaruh yang luar biasa dalam mengobati penyakit hati maka sudah selayaknyalah bagi kita untuk memiliki dzikir harian dari al-Qur’an, membaca 5 juz setiap hari atau satu juz atau setengah juz atau satu halaman atau bahkan hanya setengah halaman yang penting jangan sampai ada hari di mana kita tidak membaca al-Qur’an. Bacalah walau hanya sedikit karena sebaik-baik amal adalah yang istiqomah walau hanya sedikit.

Tanyakan Pada Hatimu

“Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka memperlihatkannya pada orang lain.” (HR. Muslim)


            Tanyakanlah pada hatimu, apakah yang kamu kerjakan termasuk bagian dari kebaikan ataukah bukan? Apakah dia termasuk bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ataukah bukan? Atau justru perbuatan tersebut akan mendatangkan murka Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

            Maka tanyakanlah semua itu pada hatimu…

            Kebaikan adalah apa saja yang dapat menenangkan hatimu dan menentramkan jiwamu, sedangkan keburukan adalah apa saja yang membuatkan hatimu ragu dan tidak tenang.

            Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dari sahabat An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu:

البر حسن الخلق , و الإثم ما حاك في نفسك و كرهت أن يطلع عليه الناس

“Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka memperlihatkannya pada orang lain.” (HR. Muslim)

            Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain:

عن وابصة بن معبد رضي الله عنه قال : أتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم , فقال: جئت تسأل عن البر؟ قلت: نعم. قال: استفت قلبك. البر مااطمأن إليه النفس واطمأن إليه القلب. والإثم ماحاك في النفس و تردد في الصدر وإن أفتاك الناس وأفتوك.

Dari Wabishah bin ma’bad radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berkata: “Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Aku menjawab: benar. Kemudian beliau bersabda(artinya): “Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.” (HR. Ahmad (4/227-228), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (22/147), dan Al Baihaqi dalam Dalaailun-nubuwwah (6/292))

            Syaikh ‘Utsaimin menjelaskan makna hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan al birru adalah kebaikan yang banyak. Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak yang mulia adalah seseorang senang jiwanya, lapang dadanya, tentram hatinya, dan baik pergaulannya. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Sesungguhnya kebaikan adalah akhlak yang baik.” Maka jika seseorang mempunyai akhlak yang baik terhadap Allah dan hamba Allah maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, dadanya lapang terhadap Islam, hatinya menjadi tenang dengan iman, dan bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik. (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah)

            Adapun dosa, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa ia adalah, “Apa saja yang meragukan dalam hatimu.” Ketika itu beliau berbicara kepada An-Nawwas bin Sam’an, salah seorang sahabat yang mulia. Tidak ada sesuatu yang meragukan dan tidak menenangkan jiwanya kecuali perbuatan dosa. Oleh karena itulah, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka untuk memperlihatkannya kepada orang lain.”

            Sementara orang-orang fasik dan durhaka, maka perbuatan dosa tidaklah membuat keraguan dalam jiwa mereka, dan mereka juga tidak membenci untuk memperlihatkan perbuatan dosanya kepada orang lain. Bahkan sebagian mereka merasa bangga dengan perbuatan dosa yang mereka lakukan. Akan tetapi, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini berbicara tentang seseorang yang lurus hatinya. Sesungguhnya orang yang lurus hatinya, jika dia ingin melakukan keburukan maka jiwanya akan ragu dan dia benci perbuatannya diketahui orang lain. Oleh karena itu maka tolak ukur yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlaku untuk orang-orang yang baik dan lurus hatinya. (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah)

            Imam An-Nawawi mengatakan dalam menjelaskan makna hadits ini bahwa hadits ini merupakan dalil bahwa setiap orang hendaknya melihat kembali hatinya ketika dia akan melakukan suatu pekerjaan. Jika jiwanya menjadi tentram ia akan melakukannya, dan jika jiwanya menjadi tidak tentram maka ia tinggalkan perbuatan tersebut. (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah)

            Di antara pelajaran penting yang terkandung dalam hadits di atas sebagaimana telah disebutkan oleh syaikh Utsaimin rahimahullah adalah:

            Keutamaan akhlak mulia, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan akhlak yang mulia sebagai sebuah kebaikan.

            Timbangan perbuatan dosa adalah ketika jiwa merasa ragu dan hati menjadi tidak tenang.

            Seorang mukmin tidak suka aib-aibnya diketahui orang lain. Hal ini bertolak belakang dengan orang yang tidak punya malu, ia tidak peduli jika aib-aibnya diketahui oleh orang lain.

            Seseorang hendaknya melihat kepada hatinya, bukan apa yang difatwakan oleh orang lain. Karena terkadang orang-orang yang tidak berilmu berfatwa kepadanya, akan tetapi hatinya masih ragu dan tidak menyukainya. Jika demikian maka hendaknya dia tidak mengembalikan perkaranya terhadap fatwa orang yang tidak berilmu, akan tetapi hendaknya ia kembalikan kepada apa yang ada pada dirinya.

            Selagi seseorang mampu untuk melakukan ijtihad maka ia tidak boleh melakukan taklid. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (artinya): “Meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mendukungmu.”

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top