Do'a Keluar Rumah dan Keutamaannya

“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, laa hawla wa laa quwwata illa billah.” (Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya).” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

 
            Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya serta umatnya hingga akhir zaman.

            Hendaknya setiap muslim selalu merutinkan dzikir ini setiap kali dia keluar rumah untuk menunaikan hajat baik yang berkaitan dengan maslahat agama maupun dunianya. Dengan membaca dzikir ini, seseorang akan terjaga dalam perjalanannya, juga akan ditolong ketika menunaikan hajat dunia maupun agamanya. Mungkin banyak di antara kita yang melupakan dzikir yang satu ini ketika hendak keluar rumah, padahal do’a ini memiliki faedah yang luar biasa.

Apa dzikir tersebut?

            Ketika keluar rumah, hendaklah setiap muslim merutinkan dzikir: “Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata illa billah” (Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya). Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ قَالَ « يُقَالُ حِينَئِذٍ هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِىَ وَكُفِىَ وَوُقِىَ ».

“Jika seseorang keluar rumah, lalu dia mengucapkan “Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, laa hawla wa laa quwwata illa billah” (Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya), maka dikatakan ketika itu: “Engkau akan diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga”. Setan pun akan menyingkir darinya. Setan yang lain akan mengatakan: “Bagaimana mungkin engkau bisa mengganggu seseorang yang telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan penjagaan?!” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

            Dzikir ini adalah dzikir yang penuh keberkahan dan penuh kemanfaatan bagi seorang muslim. Hendaknya setiap muslim selalu merutinkan dzikir ini setiap kali dia keluar rumah untuk menunaikan hajat baik yang berkaitan dengan maslahat agama maupun dunianya. Dengan membaca dzikir ini, seseorang akan terjaga dalam perjalanannya, juga akan ditolong ketika menunaikan hajat dunia maupun agamanya. Seorang hamba hendaklah selalu merasa butuh dengan Rabbnya dan janganlah dia lepas dari-Nya walaupun hanya sekejap mata. Allah-lah sebaik-baik penjaga, penolong dan pemberi petunjuk. Seorang hamba tidaklah mungkin dapat menyelesaikan hajatnya hingga usai selain dengan meyerahkan segalanya pada Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita dzikir ini ketika kita keluar rumah agar kita senantiasa mendapat petunjuk di perjalanan, diberi kecukupan dalam menunaikan hajat dan terlindung dari gangguan setan.

            Keutamaan Dzikir Ini:
1. Akan senantiasa mendapat petunjuk ke jalan yang benar. Allah akan senantiasa memberi petunjuk disebabkan seseorang meminta pertolongan pada Allah melalui dzikir ini. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak mungkin ada yang dapat menyesatkannya.
2. Akan diberi kecukupan dalam setiap hajat yang ingin dilakukan baik dalam perkara duniawi maupun ukhrawi.
3. Akan terlindungi dari gangguan musuh yaitu setan dan lainnya.
4. Setan akan menyingkir (menjauh) dari orang yang membaca dan meyakini dzikir ini karena dia telah memiliki benteng atau pelindung dari gangguan setan yang terkutuk.
5. Jika ada setan lain yang akan mengganggunya atau menyakitinya, setan yang lain akan mengatakan pada setan tersebut: Bagaimana mungkin engkau bisa mengganggu orang yang telah mendapat petunjuk, kifayah (kecukupan) dan wiqayah (perlindungan).

Jangan Bicara Jika Sedang Makan, Benarkah?

“Makan sambil memuji Allah itu lebih baik daripada makan sambil diam.” (Adab Syariyyah, Jilid 3 hal. 177)


Kita sering mendengar ucapan, “kalau sedang makan jangan bicara !!!” Namun benarkah jika sedang makan kita dilarang untuk berbicara? Bagaimana pandangan islam mengenai hal ini? Berikut penulis paparkan beberapa nash mengenai persoalan ini.

Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma menceritakan, Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memintah istrinya untuk diambilkan lauk. Namun kata mereka, ‘Kami tidak punya lauk apapun selain cuka.’ Beliau tetap minta diambilkan cuka, dan makan dengan lauk cuka dan mengatakan:

نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ، نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ

“Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” (HR. Muslim no. 2052)

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadis di atas:

وَفِيهِ اِسْتِحْبَاب الْحَدِيث عَلَى الْأَكْل تَأْنِيسًا لِلْآكِلِينَ

“Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk berbicara ketika makan, untuk membuat suasana akrab bagi orang-orang yang ikut makan.” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 7 hal. 14)

Berdasarkan hadits ini, para ulama menganjurkan untuk berbicara ketika makan. Terutama pembicaraan yang isinya pujian terhadap makanan dan pujian kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang memberi makan.

Ibnul Muflih rahimahullah menyebutkan keteragan Ishaq bin Ibrahim rahimahullah:

تعشيت مرة أنا وأبو عبد الله وقرابة له فجعلنا لا نتكلم وهو يأكل ويقول الحمد لله وبسم الله، ثم قال أكل وحمد خير من أكل وصمت ولم أجد عن أحمد خلاف هذه الرواية صريحا ولم أجدها في كلام أكثر الأصحاب، والظاهر أن أحمد رحمه الله اتبع الأثر في ذلك فإن من طريقته وعادته تحري الاتباع

“Suatu ketika aku makan malam bersama Abu Abdillah yaitu Imam Ahmad bin Hanbal ditambah satu kerabat beliau. Ketika makan kami sedikit pun tidak berbicara sedangkan Imam Ahmad makan sambil mengatakan alhamdulillah dan bismillah setelah itu beliau mengatakan, “Makan sambil memuji Allah itu lebih baik daripada makan sambil diam.” Tidak aku dapatkan pendapat lain dari Imam Ahmad yang secara tegas menyelisihi nukilan ini. Demikian juga tidak aku temukan dalam pendapat mayoritas ulama pengikut Imam Ahmad yang menyelisihi pendapat beliau di atas. Kemungkinan besar Imam Ahmad berbuat demikian karena mengikuti dalil, sebab di antara kebiasaan beliau adalah berupaya semaksimal mungkin untuk sesuai dengan dalil.” (Adab Syariyyah, Jilid 3 hal. 177)

Keterangan yang lain disampaikan Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Al-Adzkar, beliau berkata:

بابُ استحباب الكَلامِ على الطَّعام. فيه حديث جابر الذي قدَّمناه في باب مدح الطعام.قال الإِمام أبو حامد الغزالي في الإِحياء من آداب الطعام أن يتحدَّثوا في حال أكله بالمعروف، ويتحدّثوا بحكايات الصالحين في الأطعمة وغيرها

“Dianjurkan berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam sub “Bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullah dalam kitab Al-Ihya mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih dalam makanan.” (Al-Adzkar, hal. 234)

Maka dari beberapa nash diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa berbicara ketika makan adalah sunnah, terutama pembicaraan yang isinya pujian terhadap makanan dan pujian kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang memberi makan. Namun berbicara yang banyak dan berlebihan apalagi hingga tertawa terbahak-bahak tidaklah di anjurkan dan makruh bahkan itu bisa menjadi haram karena dapat menimbulkan mudharat seperti tersedak ketika makan. Wallahu a’lam, Semoga Bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Do'a Sapu Jagad

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 201)


Banyak mungkin yang belum tahu bahwa do’a sapu jagad (Rabbana aatina fid dunya hasanah…dst) mengandung makna yang luar biasa. Sampai-sampai dijelaskan bahwa do’a sapu jagad ini juga adalah do’a untuk mendapatkan pasangan yang shalih atau shalihah dan juga anak-anak yang shalih atau shalihah yang setiap orang menginginkannya atau do’a untuk mendapatkan harta yang melimpah, do’a untuk mempermudah segala urusan dan juga lainnya. Coba kita renungkan baik-baik dalam artikel singkat berikut ini. Hanya Allah yang memberi taufik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam sangat menyukai do’a yang singkat namun penuh makna. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنْ الدُّعَاءِ وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai doa-doa yang singkat padat, dan meninggalkan selain itu.” (HR. Abu Dawud no. 1482)

Hadits ini menunjukkan beberapa hal:

1.       Dianjurkannya do’a dengan lafadz yang ringkas namun mengandung banyak makna kebaikan.
2.       Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah diberi keistimewaan dengan jawami’ul kalim, yaitu diberikan kalimat-kalimat yang ringkas ketika diucap namun mengandung banyak makna dalam hukum dan ilmu.
3.       Kalimat yang paling baik adalah kalimat yang sedikit (ringkas), namun syarat makna. Oleh karena itu, sangat dianjurkan seseorang menggapai maksud dari pembicaraan dengan kalimat yang mudah, namun sarat makna.

Di antara do’a ringkas, namun penuh makna adalah do’a sapu jagad. Do’a sapu jagad sendiri termaktub di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 201)

Kemudian di dalam hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كَانَ أكثرُ دعاءِ النبيّ صلى الله عليه وسلم: اللَّهُمَّ آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Doa yang lebih sering diucapkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa salam adalah “Allahumma aatina fid dunyaa hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar” (Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka).” (HR. Al-Bukhari no. 4522 dan Muslim no. 2690)

            Dari ayat dan hadits di atas, do’a sapu jagad adalah:

اللَّهُمَّ (رَبَّنَا) آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Allah (Ya Tuhan kami), berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka).”

Beberapa faedah dalam ayat dan hadits tersebut:

1.       Dianjurkan untuk merutinkan do’a ini karena lafadznya begitu ringkas, namun mengandung permintaan kebaikan dunia dan akhirat.
2.       Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam paling sering membaca do’a ini karena do’anya sungguh penuh makna yaitu mencakup tiga hal: 1) meminta kenikmatan di dunia, 2) meminta kenikmatan di akhirat, serta 3) agar terbebas dari api neraka. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan kita tiga hal ini.
3.       Permintaan kebaikan di dunia yang dimaksudkan dalam do’a ini mencakup nikmat sehat, rumah yang lapang, istri yang shalihah yang penuh dengan kebaikan, rizki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal shalih, kendaraan yang menyenangkan, pujian yang baik serta kebaikan-kebaikan lainnya dengan berbagai ungkapan dari pakar tafsir. Masya Allah.
4.       Adapun kebaikan di akhirat yang diminta dalam do’a ini tentu saja lebih tinggi dari kebaikan di dunia yaitu dimasukkannya ke dalam surga, dibebaskan dari rasa khawatir (takut) dan diberi kemudahan dalam hisab (perhitungan amalan) di akhirat.
5.       Adapun permintaan diselamatkan dari siksa neraka mengandung permintaan agar kita dibebaskan dari berbagai sebab yang menjerumuskan ke dalam neraka yaitu dengan dijauhkan dari berbagai perbuatan yang haram dan dosa, dan diberi petunjuk untuk meninggalkan hal-hal syubhat yang masih samar atau abu-abu dan hal-hal yang haram.

Begitu luar biasa dan ampuhnya do’a sapu jagad ini, begitu ringkas, namun makna yang dikandung begitu mendalam. Itulah do’a yang seharusnya bisa kita rutinkan.

Para sahabat begitu semangat dalam memperhatikan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, sehingga mereka pun begitu semangat dalam menjalani perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Abu Bakar Radhiallahu 'Anhu Mewakafkan Kebunnya Karena Kehati-Hatiannya

Abu Bakar Radhiallahu 'Anhu Mewakafkan Kebunnya Karena Kehati-Hatiannya

"Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati ayahmu. Dia tidak memberi peluang kepada siapapun untuk mengikutinya."

Ibnu Sirrin rahimahullah bercerita, Ketika menjelang ajalnya, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu telah berkata kepada Aisyah radhiallahu ‘anha, "Saya tidak suka menerima apapun dari Baitul Mai, tetapi Umar telah mendesak saya untuk menerima gaji, agar saya tidak diganggu oleh perniagaanku dalam mengurus kaum Muslimin. Saya terpaksa menerimanya. Untuk itu, wakafkanlah kebunku itu sebagai ganti gaji saya selama ini."

Setelah Abu Bakar radhiallahu ‘anhu wafat, 'Aisyah radhiallahu ‘anha segera mengutus seseorang kepada Umar radhiallahu ‘anhu. Dan sesuai wasiat ayahnya, kebun itu diserahkan kepada Umar radhiallahu ‘anhu. Kata Umar radhiallahu ‘anhu, "Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati ayahmu. Dia tidak memberi peluang kepada siapapun untuk mengikutinya." (Kitabul Amwal)

Faedah :


Kisah ini perlu kita renungkan. Pertama; Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menerima gaji sekedarnya. Hal itu semata-mata karena terpaksa dan agar lebih bermanfaat bagi kaum Muslimin. Dan kehati-hatian beliau itu telah kita perhatikan dalam kisah lainnya dimana istrinya (karena selalu kekurangan) telah berusaha menabung sebagian gaji Abu Bakar radhiallahu ‘anhu. Tetapi oleh Abu Bakar radhiallahu ‘anhu uang hasil tabungan istrinya itu ia kembalikan ke Baitul Mal. Lalu beliau mengurangi uang gajinya. Sehingga, yang beliau terima benar-benar hanya yang diperlukan saja. 

Prasangka

“Betapa hidup itu memberikan warna-warni yang beraneka ragam. Ada susah, ada senang. Ada tawa, ada tangis. Ada suasana mudah. Dan, tak jarang sulit.”


Di sebuah negeri zaman dulu kala, seorang pelayan raja tampak gelisah. Ia bingung kenapa raja tidak pernah adil terhadap dirinya. Hampir tiap hari, secara bergantian, pelayan-pelayan lain dapat hadiah. Mulai dari cincin, kalung, uang emas, hingga perabot antik. Sementara dirinya tidak.

Hanya dalam beberapa bulan, hampir semua pelayan berubah kaya. Ada yang mulai membiasakan diri berpakaian sutera. Ada yang memakai cincin di dua jari manis, kiri dan kanan. Dan, hampir tak seorang pun yang datang ke istana dengan berjalan kaki seperti dulu. Semuanya datang dengan kendaraan. Mulai dari berkuda, hingga dilengkapi dengan kereta dan kusirnya.

Ada perubahan lain. Para pelayan yang sebelumnya betah berlama-lama di istana, mulai pulang cepat. Begitu pun dengan kedatangan yang tidak sepagi dulu. Tampaknya, mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing.

Cuma satu pelayan yang masih miskin. Anehnya, tak ada penjelasan sedikit pun dari raja. Kenapa beliau begitu tega, justru kepada pelayannya yang paling setia. Kalau yang lain mulai enggan mencuci baju dalam raja, si pelayan miskin ini selalu bisa.

Hingga suatu hari, kegelisahannya tak lagi terbendung. "Rajaku yang terhormat!" ucapnya sambil bersimpuh. Sang raja pun mulai memperhatikan. "Saya mau undur diri dari pekerjaan ini," sambungnya tanpa ragu. Tapi, ia tak berani menatap wajah sang raja. Ia mengira, sang raja akan mencacinya, memarahinya, bahkan menghukumnya. Lama ia tunggu.

"Kenapa kamu ingin undur diri, pelayanku?" ucap sang raja kemudian. Si pelayan miskin itu diam. Tapi, ia harus bertarung melawan takutnya. Kapan lagi ia bisa mengeluarkan isi hati yang sudah tak lagi terbendung. "Maafkan saya, raja. Menurut saya, raja sudah tidak adil!" jelas si pelayan, lepas. Dan ia pun pasrah menanti titah baginda raja. Ia yakin, raja akan membunuhnya.

Lama ia menunggu. Tapi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut raja. Pelan, si pelayan miskin ini memberanikan diri untuk mendongak. Dan ia pun terkejut. Ternyata, sang raja menangis. Air matanya menitik.

Beberapa hari setelah itu, raja dikabarkan wafat. Seorang kurir istana menyampaikan sepucuk surat ke sang pelayan miskin. Dengan penasaran, ia mulai membaca, "Aku sayang kamu, pelayanku. Aku hanya ingin selalu dekat denganmu. Aku tak ingin ada penghalang antara kita. Tapi, kalau kau terjemahkan cintaku dalam bentuk benda, kuserahkan separuh istanaku untukmu. Ambillah. Itulah wujud sebagian kecil sayangku atas kesetiaan dan ketaatanmu."

Betapa hidup itu memberikan warna-warni yang beraneka ragam. Ada susah, ada senang. Ada tawa, ada tangis. Ada suasana mudah. Dan, tak jarang sulit.

Sayangnya, tak semua hamba-hamba Yang Maha Diraja bisa meluruskan sangka. Ada kegundahan di situ. Kenapa kesetiaan yang selama ini tercurah, siang dan malam; tak pernah membuahkan bahagia. Kenapa yang setia dan taat pada Raja, tak dapat apa pun. Sementara yang main-main bisa begitu kaya.

Karena itu, kenapa tidak kita coba untuk sesekali menatap ‘wajah’Nya. Pandangi cinta-Nya dalam keharmonisan alam raya yang tak pernah jenuh melayani hidup manusia, menghantarkan si pelayan setia kepada hidup yang kelak lebih bahagia.

Pandanglah, insya Allah, kita akan mendapati jawaban kalau Sang Raja begitu sayang pada kita.

Jama'ah Tabligh, Khuruj dan Realita Masyarakat

“Seandainya para ahlul-ilmi dan ahludz-dzikri mau bergabung dalam mengemban tugas ini, pasti kekurangan ini (minim pengetahun agama) akan tertutupi. Namun mereka tidak mau bergabung kecuali hanya sedikit.” (Malfuzhat Muhammad Ilyas, Muhammad Manzhur Nu’mani, hal. 41)


Islam adalah agama yang dinamis. Dinamisme Islam makin tampak ketika ditilik melalui sistematika dakwahnya. Islam tidak pernah menspesifikasikan metode tertentu dalam upaya transformasi ideologis. Umat diberi kebebasan untuk memilih metode yang dinilai lebih efektif. Tentunya, selagi tidak berseberangan dengan prinsip ajaran Islam.

Contoh konkret dari opsi tersebut adalah makin banyak metode baru dalam berdakwah yang ditemui dewasa ini. Melalui media, baik cetak atau elektronik, visualisasi, sistem klasikal, dan lain sebagainya. Semuanya tidak ada di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. namun kehadirannya tidak masalah.

Begitu juga dengan metodologi dakwah yang dipakai oleh Jamaah Tabligh: khuruj. Sah-sah saja jika mereka menggunakan metode ini. Apalagi mereka menilai bahwa dakwah dengan model ini akan lebih efektif dan maksimal.

Namun permasalahannya, masih ada hal yang lebih penting daripada sekadar metode dan upaya menarik simpati massa. Ranah aktualisasi dan arah dakwah juga harus diperhatikan. Jika ternyata ada hal ‘lain’ di dalam metode tersebut, maka itu juga akan menimbulkan dilema tersendiri yang perlu dikritisi.

Di sinilah perlunya kita mengkaji metode khuruj Jamaah Tabligh, tanpa ada maksud untuk mendiskreditkannya. Tulisan ini hanya sebuah uraian singkat atau boleh dibilang sebagai koreksi atas metode khuruj yang mereka pakai.

Cenderung Memaksakan

Semua menyadari akan pentingnya metode dalam berdakwah. Tapi metode tetaplah metode, kiranya tidak begitu perlu terhadap justifikasi teks-teks agama di sana. Juga tidak perlu memaksakan atau bahkan cenderung spekulatif dalam berargumentasi.

Dalam Jamaah Tabligh, khuruj menjadi metodologi yang dibangga-banggakan. Bahkan mereka cenderung berlebihan dalam membanggakan metode ini. Di samping mengklaim sebagai satu-satunya metode yang sesuai dengan dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam., mereka juga menganggap metode selain khuruj salah dan tidak akan membuahkan hasil.

Dari paradigma ini mereka tertuntut untuk melampirkan dalil-dalil agama dalam argumentasinya. Mereka menyebutkan bahwa khuruj merupakan manifestasi dari interpretasi ayat “Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin nas.” Ayat tersebut menjelaskan tentang keberadaan dakwah yang tidak akan berhasil dengan tetap tinggal di satu tempat, bahkan harus keluar dan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain berdasarkan ayat ‘ukhrijat’ tadi. (Malfuzhat Muhammad Ilyas, Muhammad Manzhur Nu’mani, hal. 50)

Mereka memperkuat interpretasi ini dengan berbagai narasi-narasi spekulatif. Mereka menampilkan fakta mengenai kuburan para Sahabat yang banyak ditemukan di luar Mekah-Madinah sebagai argumentasi, pertanda bahwa para Sahabat telah melakukan khuruj. Mereka juga menggambarkan kepedulian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. terhadap khuruj dengan andaian yang berlebihan, “Jika telapak kaki Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. dilumuri tinta merah, niscaya seisi tanah Haramain akan merah karena banyaknya Nabi berkeliling untuk berdakwah”. Sungguh ini iftira’un ‘azhim. Tidak pernah ditemukan pada salafunash-shalih pernyataan seperti ini.

Berlebih-lebihan mereka makin kentara ketika berbicara mengenai bilangan khuruj. Tiga hari, empat puluh, dan empat bulan adalah lama khuruj yang mereka maksudkan itu. Mereka memilih tiga hari karena bilangan tersebut merupakan paling sedikitnya masa qashr salat. Adapun empat puluh adalah waktu di mana Allah subhanahu wa ta’ala melakukan perjanjian dengan Musa ‘alaihis salam sebagaimana firman-Nya (artinya), “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.” (QS Al-’A‘raf [7] : 142). Sedangkan empat bulan mereka peroleh melalui interpretasi ayat yang artinya, “Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan lamanya.” (QS Al-Baqarah [2] : 226). (Washilatul-Khuruj Tahta Dhabitul-Qur’an Was-Sunnah, hal. 5)           

Lalu apa kaitannya dakwah dengan waktu qashr salat? Apa pula kaitannya dakwah dengan ayat ila’ di atas? Sama sekali ayat-ayat tersebut tidak memberikan legalisasi pada bilangan-bilangan dakwah mereka. Namun, mereka memaksakan ayat ini untuk dihadirkan sebagai justifikasi angka-angka ajaib itu. Ada juga yang mencoba menampilkan Hadits Nabi “Barang siapa mengorbankan 1/10 umurnya di jalan Allah maka kelak dia akan bahagia di hari kiamat.” Namun sayangnya mereka tidak mau menjelaskan, bahkan tidak tahu-menahu ketika ditanya tentang otentitas Hadits tersebut.

Berpotensi Menyebarluaskan Kebatilan

Misi Jamaah Tabligh adalah dakwah. Dakwah mereka adalah dengan memfokuskan diri pada penyampaian fadha’ilul-a’mal (keutamaan-keutamaan amal) disertai berbagai Hadits yang berkenaan dengan topik pembicaraan sebagai perangsang. Misi ini terbilang mulia. Namun, sering kali Hadits-Hadits yang disampaikan oleh mereka -terutama yang di Indonesia- tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Salah satu contohnya adalah Hadits, “Ada tiga keliling (tawaf) yang dicintai Allah: 1) kelilingnya para Malaikat di Baitul Makmur; 2) kelilingnya orang yang tawaf di Kakbah; dan 3) keliling seperti yang dilakukan Jamaah Tabligh.” Ketika Hadits ini dibawa ke Nizhamuddin (pusat Jamaah Tabligh), ternyata pimpinan di sana mengatakan batil, dan mereka mengatakannya sebagai perbuatan oknum.

Kalau dianalisis, sebetulnya penyebaran Hadits batil ini merupakan implikasi dari tidak adanya filterasi maksimal dalam proses rekrutmen anggota. Sehingga, mayoritas anggota Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama.

Syeikh Muhammad Ilyas rahimahullah, pendiri Jamaah Tabligh, mengakui akan hal ini, “Seandainya para ahlul-ilmi dan ahludz-dzikri mau bergabung dalam mengemban tugas ini, pasti kekurangan ini (minim pengetahun agama) akan tertutupi. Namun mereka tidak mau bergabung kecuali hanya sedikit.” (Malfuzhat Muhammad Ilyas, Muhammad Manzhur Nu’mani, hal. 41)

Ironisnya, Jamaah Tabligh tidak hendak mencari solusi untuk menanggulangi tersebarnya Hadits-Hadits tersebut. Padahal, apa yang mereka sampaikan akan langsung menyebar ke semua anggota jamaah, bukan hanya dalam negeri, tapi juga luar negeri, kemudian disampaikan kepada orang-orang yang mereka datangi ketika melakukan khuruj. Kenyataan ini semakin lama akan semakin sulit untuk ditanggulangi.

Ketika mereka dikritisi tentang hal tersebut, dengan enteng mereka akan menjawab, “Makanya yang alim-alim ikut khuruj bersama kami, biar tidak seperti ini.” Sepertinya tidak ada beban di benak mereka tentang kebatilan yang telah mereka sebarkan.

Menelantarkan Keluarga

Fakta menyebutkan bahwa banyak dari anggota jamaah ini menelantarkan keluarganya, utamanya di Indonesia. Ketika dikonfirmasi, amir dan pimpinan Jamaah Tabligh setempat mengungkapkan bahwa keharusan memenuhi kebutuhan (nafaqah) keluarga selama khuruj harus sudah dipenuhi oleh setiap jamaah sebelum kemudian ber-khuruj. Namun realita berbicara lain, mereka tidak memenuhinya terlebih dahulu. “Sudah saya titipkan ke Allah,” kilah mayoritas anggota jamaah ini ketika ditanya tentang bagaimana keluarga mereka.

Mereka menyama-nyamakan apa yang mereka perbuat dengan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang meninggalkan istrinya Siti Hajar di Mekah yang menurut mereka untuk berdakwah. Apakah sama yang mereka perbuat dengan apa yang dilakukan Nabi Ibrahim? Entahlah....

Kalaupun mereka sudah memenuhi kebutuhan hidup keluarganya selama keluar berdakwah, maka perlu diingat keluarga -terutama istri- tidak hanya butuh makanan dan pakaian saja. Keluarga juga punya kebutuhan psikologis dan biologis yang harus dipenuhi oleh kepala rumah tangga. Tidak lupa pula pendidikan agama anak dan istri itu sendiri sebelum kemudian mereka mendakwahi orang lain. Wallahu a’lam.

Pulang

Dalam skala hidup yang lebih luas, pulang adalah kembalinya manusia pada asalnya yang tidak mungkin dielakkan. Apa dan bagaimana pun keadaannya, suka atau tidak pun rasa ingin pulangnya, jauh atau dekat pun perginya, dan ada atau tidaknya kerinduan terhadap arah pulang yang satu ini; setiap kita pasti akan ’pulang’.


Dua orang pegawai tampak masih sibuk pada pekerjaannya, meski malam sudah mengisyaratkan mereka untuk istirahat. Di gedung megah yang sehari-hari menjadi kantor tempat mereka berkerja itu sudah tidak ada lagi pegawai. Kecuali, petugas keamanan malam.

Salah seorang yang bertubuh kurus pun berujar, ”Ah, hari yang melelahkan. Saatnya pulang ke rumah.”

Seorang yang agak gemuk hanya menoleh sebentar, kemudian kembali dengan kesibukannya. Ia hanya membalas ucapan temannya yang mulai berkemas dengan senyum. “Aku lembur lagi!” ucapnya singkat.

“Apa kamu tidak kangen dengan isteri dan anak-anakmu?” tanya si kurus mulai beranjak menuju pintu.

”Entahlah, aku merasa lebih nyaman berada di sini,” jawab si gemuk sambil terus sibuk dengan pekerjaannya. ”Ruangan ini sudah seperti rumahku,” tambahnya begitu meyakinkan.

Si kurus menatap temannya begitu lekat. Sebelum langkah kakinya meninggalkan sang teman, ia tergelitik untuk mengucapkan sesuatu, ”Menurutku, kamu bukan tidak ingin pulang. Tapi, kamu belum paham apa arti pulang.”

Angan-angan sederhana yang kerap muncul di kepala siapa pun ketika ia begitu lama berada di luar rumah adalah pulang. Seorang pejabatkah, pegawaikah, pengusahakah, pelajar dan mahasiswakah; titik akhir dari akumulasi kelelahannya berinteraksi dengan dinamika hidup selalu tertuju pada pulang.

Kata pulang menjadi perwakilan dari seribu satu rasa yang tertuju pada kerinduan-kerinduan dengan sesuatu yang sudah menjadi ikatan kuat dalam diri seseorang. Sesuatu yang tidak mungkin untuk dipisahkan, karena dari situlah ia berasal dan di situ pula ia menemukan jati dirinya.

Dalam skala hidup yang lebih luas, pulang adalah kembalinya manusia pada asalnya yang tidak mungkin dielakkan. Apa dan bagaimana pun keadaannya, suka atau tidak pun rasa ingin pulangnya, jauh atau dekat pun perginya, dan ada atau tidaknya kerinduan terhadap arah pulang yang satu ini; setiap kita pasti akan ’pulang’.

Walaupun, tidak sedikit orang yang merasa lebih nyaman berada di dunia ini daripada berhasrat menuju ’pulang’. Persis seperti yang diungkapkan si kurus kepada temannya, ”Kita bukan tidak ingin ’pulang’. Tapi, kita mungkin belum memahami arti ’pulang’.”

“Ibumu”, “Ibumu”, “Ibumu” dan “Ayahmu”

“Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, “Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?” Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Ibumu.” Dia berkata lagi, “kemudian siapa lagi?” Beliau shallallahhu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Ibumu.” Dia berkata lagi, “kemudian siapa lagi?” Beliau shallallahhu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Ibumu.” Dia berkata lagi, “kemudian siapa lagi?” Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Ayahmu.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)


Pepatah mengatakan, Kasih ibu sepanjang Jalan, Kasih anak sepanjang galang. Itu adalah pepatah yang benar maknanya, karena bagaimana tidak? seorang ibu adalah sosok yang paling berjasa dalam kehidupan seorang anak. Mulai dari mengandung selama 9 bulan 10 hari bahkan bisa lebih lama dari itu, berat beban dalam kandungan tak dihiraukan lalu melahirkan dengan taruhan nyawa, mengasuh dan mendidik sejak kecil hingga dewasa tanpa lelah dan tanpa meminta pamrih sedikit pun. Kadangkala mereka merasa sakit hati oleh tingkah laku anak-anaknya namun mereka tetap menyembunyikan dalam hatinya dan tetap memberikan senyum serta kasih sayangnya pada anak-anaknya. Oleh karenanya ibu memiliki hak yang sangat besar terhadap anak-anaknya. Dan Islam mendudukkan seorang ibu di kedudukan yang tinggi dan sangat mulia, sebagaimana yang tergambar dalam dialog berikut, antara seorang sahabat dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ

“Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, “Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?” Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Ibumu.” Dia berkata lagi, “kemudian siapa lagi?” Beliau shallallahhu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Ibumu.” Dia berkata lagi, “kemudian siapa lagi?” Beliau shallallahhu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Ibumu.” Dia berkata lagi, “kemudian siapa lagi?” Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Ayahmu.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalam menghadapi masa hamil, kesulitan ketika melahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya. (Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 10 hal. 239)

Hadits ini memberi penjelasan pada beberapa faidah:

1.    Ibu adalah sosok yang sangat mulia dan wajib dihormati karena ketinggian kedudukannya terhadap seorang anak.

2.    Ibu lebih diutamakan dari pada ayah.

3.    Kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membimbing dan mengajar. Ini ditunjukkan dengan kesabaran beliau menjawab berulang kali dengan jawaban yang sama.

4.    Keutamaan sahabat dengan kedekatan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka bisa belajar langsung dari sumber ilmu.

5.    Ketaatan murid kepada guru, yaitu ketika sahabat yang bertanya tidak memprotes jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut ibu (3 kali) dan ayah cuma sekali.

6.    Dan yang terakhir bahwa dosa durhaka kepada orang tua adalah dosa terbesar kedua setelah durhaka pada Allah subhanahu wa ta’ala (Syirik).

Semoga kita senantiasa menyayangi orang tua kita khususnya ibu kita, dan bagi orang tuanya yang telah meninggal semoga kita senantiasa selalu istiqamah untuk mendo’akannya agar segala kealpaannya semasa hidupnya di ampuni oleh Allah Rabb semesta alam karena salah satu amalan yang tidak terputus walaupun kita telah meninggal adalah do’a anak shalih yang senantiasa mendo’akan orang tuanya. Ya Allah, sesungguhnya kami sangat mencintai ibu dan ayah kami, maka ampunilah dosa-dosa kami dan kumpulkanlah kami dalam surga-Mu yang luasnya melebihi luas langit dan bumi ini. Aamiin.

Kepala

Subjektivitas diri seseorang, terlebih lagi seorang pemimpin, biasanya ingin mendapatkan sebuah bayangan cermin sosial dari orang-orang di sekelilingnya bahwa ia seorang yang punya gagasan besar.


Seekor gorila jantan tampak mondar-mandir di antara anggota kelompoknya. Di situ, ada beberapa gorila betina, gorila jantan kecil, dan beberapa anak gorila yang mulai tumbuh besar.

Menariknya, di tengah kelompok itu, si gorila jantan kerap menghampiri sebuah cermin yang menjadi benda kebanggaannya. Setiapkali berada di depan cermin, si gorila jantan begitu betah berlama-lama karena bangga dengan sosok tubuh dan kepalanya yang besar.

“Ah, aku memang pemimpin yang hebat,” ucapnya sambil kedua tangannya memegang kepalanya yang tampak besar di bayangan cermin.

Tiap kali seusai bercermin, sang gorila mengumpulkan kelompoknya untuk mendapatkan semacam ‘arahan’ khusus. Di situlah, ia benar-benar merasa besar.

Suatu kali, sang gorila berkunjung ke kelompok beruang. Anggota kelompok beruang ini jauh lebih besar dari kelompok gorila. Dan menariknya, sang gorila menemukan cermin dalam kelompok itu.

“Boleh aku tatap cermin ini untuk melihat seperti apa wajahku?” tanya gorila ke pemimpin beruang. Dan, sang pemimpin beruang pun mempersilakan.

Agak lama sang gorila berdiri di depan cermin. Tapi, tetap saja bayangan dirinya tak berubah. Sang gorila terheran-heran karena bayangan dirinya di cermin si beruang agak aneh. Tubuhnya memang besar, tapi kepalanya kecil.

Saat itu, sang gorila tidak tahu apa sebabnya. Ia hanya bergumam dalam hati, “Ah, cermin rusak!”

Begitu pun ketika ia berada di kelompok macan tutul, ular sanca, buaya, dan beberapa hewan buas lain. Tetap saja, cermin di tempat mereka selalu menampakkan sebuah bayangan yang sama: tubuh besar, tapi kepala kecil.

Subjektivitas diri seseorang, terlebih lagi seorang pemimpin, biasanya ingin mendapatkan sebuah bayangan cermin sosial dari orang-orang di sekelilingnya bahwa ia seorang yang punya gagasan besar.

Sayangnya, subjektivitas itu kadang tidak diimbangi dengan objektivitas yang mungkin berbeda ketika bayangan berasal dari cermin sosial di luar kelompoknya.

Karena seorang pemimpin yang benar-benar bergagasan besar akan tetap mendapatkan pengakuan besar, walaupun berasal dari luar kelompoknya.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top