Laba-Laba Menenun di Pintu Goa

“Kisah tentang laba-laba menenun di pintu goa tidaklah shahih sebagaimana dijumpai dalam buku-buku sejarah…sebab hal yang menghalangi pandangan orang-orang musyrikin bukanlah perkara-perkara hissiyyah (yang nampak) akan tetapi hal itu merupakan tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah)


Dalam buku-buku sirah sering kita mendapati cerita bahwasanya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu berhijroh menuju kota Madinah, maka keduanya dibuntuti serta dikejar oleh bala tentara kafir Quraisy untuk dibunuh. Saat itu keduanya berada di sebuah goa, lalu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan pohon agar melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dua burung merpati agar berkicau serta laba-laba agar menenun pintu goa. Ketika para pemuda Quraisy akan memeriksa goa, mereka yakin bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada di goa tersebut dengan alasan ada dua burung yang berkicau serta laba-laba yang menenun di pintu goa.

Derajat Kisah

KISAH INI DHA’IF/LEMAH. Ada tiga riwayat yang menjelaskan tentang hal ini, seluruhnya lemah. Syaikh Al-Albani rahimahullah menjelaskannya dengan bagus dalam kitabnya Silsilah Ahadits Dha’ifah (no.1128, 1129, dan 1189). Kemudian beliau menyimpulkan pada sumber tersebut juz 3 hal.339: “Ketahuilah bahwasanya tidak ada satu haditspun yang shahih tentang laba-laba dan dua burung merpati di goa sekalipun sering dimunculkan dalam buku-buku maupun pengajian-pengajian yang berkaitan tentang hijrah Nabi ke kota Madinah. Maka jadikanlah hal ini sebagai ilmu bagimu”.

Tinjauan Matan

Syaikh Al-Faqih, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah melemahkan kisah ini ditinjau dari sudut pandang matan kisah. Beliau berkata: “Kisah tentang laba-laba menenun di pintu goa tidaklah shahih sebagaimana dijumpai dalam buku-buku sejarah…sebab hal yang menghalangi pandangan orang-orang musyrikin bukanlah perkara-perkara hissiyyah (yang nampak) akan tetapi hal itu merupakan tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah.”

Hewan Qurban Menjadi Tunggangan Melewati Shirath

Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata:  “Tidak ada hadits yang shahih mengenai keutamaan hewan qurban.” (Kasyful Khafa, Jilid 1 hal. 133)


Menjelang Hari Raya Qurban sering kali kita mendengar perkaaan ustadz-ustadz yang menerangkan bahwa hewan qurban itu akan menjadi tunggangan kita di akhirat untuk melewai shirath. Namun benarkah demikian? Adakah dalil shahih dan sharih yang menjelaskan tentang perkara ini? Berikut penjelasannya.

Dikeluarkan oleh Abdul Karim Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab At-Tadwin fii Akhbari Qazwiin, 1134:

ثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ الْمَرْزُبَانُ بِقَزْوِينَ، ثَنَا أَحْمَد بْنُ الْخَضِرِ الْمَرْزِيُّ، ثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ إبراهيم الْبُوشَنْجِيُّ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، ثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْيدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اسْتَفْرِهُوا ضَحَايَاكُمْ، فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلَى الصِّرَاطِ

“Abu Muhammad Abdullah Al-Marzuban di Qazwin menuturkan kepadaku, Ahmad bin Al-Hadr Al-Marziy menuturkan kepadaku, Abdul Hamid bin Ibrahim Al-Busyanji menuturkan kepadaku, Muhammad bin Bakr menuturkan kepadaku, Abdullah bin Al-Mubarak menuturkan kepadaku, Yahya bin ‘Ubaidillah menuturkan kepadaku, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Perbaguslah hewan qurban kalian, karena dia akan menjadi tunggangan kalian melewati shirath‘”

Juga dikeluarkan oleh Imam Ad-Dailami rahimahullah dalam Musnad Al-Firdaus, hadits nomor 268.

Derajat hadits

Riwayat ini Sangat Lemah, karena adanya beberapa perawi yang lemah :

Abdul Hamid bin Ibrahim Al-Busyanji, dikatakan oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim: “ia tidak kuat hafalannya dan tidak memiliki kitab”. An-Nasa’i mengatakan: “ia tidak tsiqah”. Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan: “ia shaduq, namun kitab-kitabnya hilang sehingga hafalannya menjadi buruk”. Maka Abdul Hamid bin Ibrahim bisa diambil periwayatannya jika ada mutaba’ah.

Yahya bin ‘Ubaidillah Al-Qurasyi, dikatakan oleh Imam Ahmad: “munkarul hadits, ia tidak tsiqah”. An-Nasa’i berkata: “matrukul hadits”. Ibnu Abi Hatim mengatakan: “dha’iful hadits, munkarul hadits, jangan menyibukkan diri dengannya”. Ibnu Hajar mengatakan: “Yahya sangat lemah”. Adz-Dzahabi berkata: “para ulama menganggapnya lemah”. Sehingga Yahya bin ‘Ubaidillah ini sangat lemah atau bahkan matruk.

‘Ubaidillah bin Abdillah At-Taimi, Abu Hatim berkata: “ia shalih”. Al Hakim mengatakan: “shaduq”. Imam Ahmad mengatakan: “ia tidak dikenal, dan memiliki banyak hadits munkar”. Asy-Syafi’i berkata: “kami tidak mengenalnya”. Ibnu ‘Adi berkata: “hasanul hadits, haditsnya ditulis”. Ibnu Hajar berkata: “maqbul“, dan ini yang tepat insya Allah. Maka ‘Ubaidillah ini hasan hadist-nya jika ada mutaba’ah.

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits ini sangat lemah. Sebagaimana dikatakan oleh para ulama seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalan rahimahullahi dalam Talkhis Al-Habir, 2364, As-Sakhawi rahimahullah dalam Maqasidul Hasanah, 114, Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadir, Jilid 1 hal. 496, As-Suyuthi rahimahullah dalam Jami’ Ash-Shaghir, 992, Az-Zarqani rahimahullah dalam Mukhtashar Al-Maqashidil Hasanah, 96, Al-Ajluni rahimahullah dalam Kasyful Khafa, Jilid 1 hal. 133, Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Adh-Dha’ifah, 74, serta para ulama yang lain.

Memang terdapat lafadz lain yang berbunyi:

عظِّموا ضحاياكم، فإنها على الصراطِ مطاياكم

“Perbesarlah hewan qurban kalian, karena dia akan menjadi tunggangan kalian melewati shirath”

Namun Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah setelah membawakan hadits ini beliau berkata:

لَمْ أَرَهُ، وَسَبَقَهُ إلَيْهِ فِي الْوَسِيطِ، وَسَبَقَهُمَا فِي النِّهَايَةِ، وَقَالَ مَعْنَاهُ: إنَّهَا تَكُونُ مَرَاكِبَ الْمُضَحِّينَ، وَقِيلَ: إنَّهَا تُسَهِّلُ الْجَوَازَ عَلَى الصِّرَاطِ، قَالَ ابْنُ الصَّلَاحِ: هَذَا الْحَدِيثُ غَيْرُ مَعْرُوفٍ وَلَا ثَابِتٌ فِيمَا عَلِمْنَاهُ

“Aku tidak pernah melihat (sanad) nya. Hadits ini ada di Al-Wasith (karya Al-Ghazali) dan kedua hadits tersebut ada di An-Nihayah (karya Al-Juwaini). Mereka mengatakan tentang maknanya: ‘bahwa hewan kurban akan menjadi tunggangan bagi orang yang berkurban’. Juga ada yang mengatakan maknanya, ia akan memudahkan orang yang berkurban untuk melewati shirath. Ibnu Shalah berkata: ‘hadits ini tidak dikenal, dan sepengetahuan saya tidaklah shahih.” (Talkhis Al Habir, 2364)

Ibnu Mulaqqin rahimahullah berkata:

لا يحضرني من خرجه بعد البحث الشديد عنه

“Tidak aku dapatkan siapa yang mengeluarkan hadits ini walaupun sudah aku cari dengan sangat gigih.” (Badrul Munir, Jilid 9 hal. 273)

Oleh karena itu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mengatakan: “tidak ada asal-usulnya dengan lafadz ini.” (Silsilah Adh-Dha’ifah, 74)

Kesimpulan

Hadits yang menyatakan bahwa hewan qurban akan menjadi tunggangan melewati shirath tidak shahih, bahkan sangat lemah. Ibnul ‘Arabi rahimahullah dalam Syarah Sunan At-Tirmidzi mengatakan:

ليس في الأضحية حديث صحيح

“Tidak ada hadits yang shahih mengenai keutamaan hewan qurban.” (Kasyful Khafa, Jilid 1 hal. 133)

Maka keyakinan tersebut tidaklah didasari landasan yang shahih sehingga tidaklah dibenarkan. Namun hal ini tidak menjadikan ibadah qurban tak memiliki fadhilah, akan tetapi fadhilah mengenai hewan qurban tidak ada namun ibadah qurbannya jelas berfadhilah. Karena dengan berqurban berarti kita telah menjalankan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bisa saling berbagi kepada sesama serta lebih dapat mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Nasihatmu Bukan Tak Mau Kuterima, Namun....

Tutuplah kesalahanku dengan menasihatiku seorang diri. Janganlah menasihatiku di hadapan khalayak ramai. Karena menasihatiku di hadapan orang lain adalah bagian dari menjelekkanku, Aku tidak ridha mendengar seperti itu. Jika engkau enggan menuruti perkataanku. Maka janganlah kaget jika nasihatmu tidak ditaati.


Nasihatmu Bukan Tak Mau Kuterima, Namun …

Nasihat kita pada orang lain kadang sulit diterima. Sebenarnya bukan isinya yang salah, namun caranya saja yang kurang pas.

Ada bait sya’ir yang bagus dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah tentang cara menasihati orang lain biar nasihat kita mudah diterima.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

تعمدني بنصحك في انفرادي
وجنبني النصيحة في الجماعة
فإن النصح بين الناس نوع
من التوبيخ لا أرضى استماعه
وإن خالفتني وعصيت قولي
فلا تجزع إذا لم تعط طاعه

Tutuplah kesalahanku dengan menasihatiku seorang diri.
Janganlah menasihatiku di hadapan khalayak ramai.
Karena menasihatiku di hadapan orang lain adalah bagian dari menjelekkanku,
Aku tidak ridha mendengar seperti itu.
Jika engkau enggan menuruti perkataanku.
Maka janganlah kaget jika nasihatmu tidak ditaati.

(Dinukil dari Al-Mu’jam Al-Jami’ fi Tarajim Al-‘Ulama’ wa Talabatul ‘Ilm Al-Mu’ashirin)

Kita sama saja membuat saudara kita malu kalau kita nasihati dia di hadapan khalayak ramai.

Renungan bagi yang ingin menasihati sobatnya, teman karibnya bahkan pasangannya (suami atau istri) menjadi baik.
1. Jangan jatuhkan temanmu di hadapan orang lain.
2. Jangan jatuhkan suami atau istrimu di depan teman karibnya.
3. Ingatlah, ada yang tak bisa menerima jika cara nasihat tidak baik walau nasihat kita baik.
4. Di zaman ini, ada sarana lewat tulisan, pesan singkat atau telepon, yang itu bisa jadi rahasia antara yang menasihati dan dinasihati.
5. Sifat orang mukmin adalah menasihati dan menutupinya, sedangkan orang munafik menasihati namun maksudnya untuk menjelek-jelekkan.

Satu catatan: Tertawa kita ketika mendengar saudara kita dinasihati merupakan tanda kalau kita bukan menginginkan teman kita jadi baik namun ingin merasa kitalah yang menang.

Masyithah Anak Fir'aun

“Semoga Allah mengampuni kita dan mengampuninya.” (Al-Hafizh rahimahullah)


Pada malam saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjalanan isra’ ditemani oleh Jibril, beliau mencium aroma yang wangi, lalu bertanya: “Wahai Jibril, aroma wangi apa ini?” Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ini adalah aroma Masyithah putri Fir’aun beserta anak-anaknya”. Nabi bertanya: “Bagaimana ceritanya?” Jibril menjawab: “Pada suatu hari, tatkala dia tengah menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisirnya jatuh dari tangannya lantas dengan reflek dia berkata: ‘Bismillah (dengan nama Allah)’. Sang Putri bertanya: ‘Ayahanda?’. ‘Tidak’, jawabnya, ‘tetapi Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah’. Putri berkata: ‘Saya akan laporkan kepada ayahanda’. Dia menyahut, ‘Silakan’. Fir’aun lantas memanggilnya seraya bertanya: ‘Wahai fulanah, apakah ada Tuhan selain diriku?’ Jawabnya: ‘Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah’.

Mendengar jawabannya, Fir’aun berang dan memerintahkan kepada anak buahnya agar memanaskan patung sapi hingga meleleh lalu menyuruh agar tukang sisir beserta anak-anaknya dilemparkan ke dalamnya? Masyithah berkata: ‘Sebelum saya meninggal, saya memohon kepadamu satu permohonan’. ‘Apa permohonanmu?’, tanya Fir’aun. Dia menjawab: ‘Saya mohon agar tuan nanti mengumpulkan tulangku dan tulang anak-anakku dalam satu kafan lalu tuan kuburkan kami’. Fir’aun berkata: ‘Itu adalah hal yang sangat mudah’.

Akhirnya, anak-anaknya dilemparkan satu persatu di hadapannya sehingga tiba giliran bocah bayinya yang masih disusuinya, seakan-akan sang ibu terlambat disebabkan rasa iba terhadap bayinya. Ketika itu, bayinya dapat berbicara: ‘Wahai ibu, masuklah! Sesungguhnya siksaan di dunia lebih ringan daripada siksa Akherat’.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan: Ada empat bayi yang dapat berbicara, Isa bin Maryam, shahib Juraij, saksi Yusuf dan anak Masyithah (tukang sisir) Fir’aun.

Takhrij Kisah

Kisah ini juga sangat masyhur sekali. Diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam Musnadnya (1/309) At-Thabarani rahimahullah dalam Al-Mu’jamul Kabir (11/450) dan Al-Bazzar rahimahullah sebagaimana dalam Kasyful Astar (1/37) seluruhnya dari jalan Hammad bin Salamah dari Atho’ bin Saib dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu.

Derajat Kisah

DHA’IF atau LEMAH. Disebabkan Atha’ bin Saib, beliau mengalami perubahan hafalan di akhir hidupnya. Hal ini dalam bidang ilmu musthalah hadits disebut Mukhtalith .

Dari penjelasan para pakar ahli hadits dapat disimpulkan bahwa Hammad bin Salamah meriwayatkan dari Atha’ sebelum berubah hafalan dan juga setelah berubah hafalannya. Oleh karena itu, maka riwayatnya tertolak disebabkan tidak bisa dibedakan.

Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Atha’ bin Saib telah berubah hafalannya. Hammad bin Salamah meriwayatkan darinya sebelum hafalannya berubah dan sesudahnya juga berbeda dengan dugaan sebagian orang-orang masa kini”. Beliau juga berkata: “Sebagian rawi meriwayatkan hadits dari mukhtalith (berubah hafalannya) sebelum dan sesudahnya. Diantara mereka adalah Hammad bin Salamah, beliau mendengar dari Atha’ sebelum dan sesudah perubahan hafalan Atha’ sebagaimana dijelaskan Al-Hafidz rahimahullah dalam At-Tahdzib. Dengan demikian, maka tidak boleh berhujjah dengan haditsnya berbeda dengan sebagaian ulama ahli hadits masa kini. Semoga Allah mengampuni kita dan mengampuninya.”

Kesimpulannya, kisah ini adalah dha’if sehingga kita temukan penguatnya. Kisah ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam banyak kitabnya.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top