Topeng

Kalau bukan karena hubungan lama dan dekat, nyaris, tak seorang pun bisa memastikan apakah seseorang sedang mengenakan topeng atau tidak.


Seorang penjual topeng tampak berdiri di tepian jalan. Ia cermati kendaraan dan orang yang berlalu lalang. Setiap kali ada tanda-tanda calon pembeli yang menghampiri, tukang topeng pun memperlihatkan aneka topeng yang dijajakan. Tak sungkan, beberapa topeng ia kenakan secara bergantian.

“Silakan, Pak, Bu. Topeng hebat. Nyaman di muka. Nggak bikin gerah! Ayo siapa mau beli?” teriaknya sambil memperlihatkan aneka topeng di kedua tangannya.

Ada berbagai topeng yang ia jajakan. Ada topeng badut, topeng gorila atau kingkong, topeng pahlawan super, topeng robot, ada juga topeng wajah sedih dan menangis.

Seorang ibu bersama dua puteranya tampak menghampiri si tukang topeng. Terlihat dua anak itu mencoba beberapa topeng. Anak-anak itu pun tertawa, dan mereka pun mencoba topeng yang lain lagi.

Sementara itu, sang ibu terlihat serius berbicara dengan si pedagang topeng. “Nggak kurang lagi, Mas?” ucap si ibu ke penjual topeng. “Waduh, ini sudah paling murah, Bu. Topeng ini bukan topeng biasa. Ini nyaman, Bu. Pokoknya, seperti tidak memakai topeng!” ujar si penjual topeng meyakinkan. ** Buat sebagian orang, hidup tak ubahnya seperti arena berfose mengenakan topeng. Ada topeng dengan sosok bijak, ada topeng berwajah cantik nan menawan, ada topeng seram seperti gorila, dan ada topeng lucu menyerupai badut.

Tak sembarang orang bisa menebak karakter asli si pemakai topeng. Seluruh karakter topeng begitu menyatu dalam diri si pemakai. Kalau bukan karena hubungan lama dan dekat, nyaris, tak seorang pun bisa memastikan apakah seseorang sedang mengenakan topeng atau tidak.

Semakin mahal topeng yang diperankan, semakin nyaman topeng dikenakan. Persis seperti yang diungkapkan sang penjual topeng, ”Pokoknya seperti tidak memakai topeng!”

Garis

Ketika seseorang memandang suatu yang sangat tinggi dalam dirinya, bahkan melampaui orang-orang di sekitarnya; sebenarnya ia sedang memandang dunia dari sisi yang teramat sempit.


Seekor kuda unggulan jenis Lusiano tampak berlari santai menelusuri jalan setapak. Postur tubuhnya yang tegap dan langsing menjadikannya begitu ringan dan mantap ketika berlari. Nyaris, tak satu pun hewan di kawasan hutan lindung itu yang mampu menandingi larinya.

Setiap kali ada kuda-kuda lain yang tampak berlari, Lusiano selalu memacu larinya untuk bisa sejajar. Ia pun menoleh ke arah kuda itu dan mengajaknya untuk berlomba. Tapi, tak satu pun yang tertarik. Soalnya, ujungnya selalu sama: kalah.

Yang menyakitkan dari kekalahan oleh Lusiano, bukan pada kalahnya. Tapi, dari kesombongan Lusiano yang begitu menyakitkan lawan. ”Payah, lari kok mundur!” ucap Lusiano sambil tertawa.

Suatu kali, Lusiano melalui seekor kuda tua yang tampak berlari lambat dari arah yang berlawanan. Ia pun menghentikan larinya ketika Lusiano tiba-tiba memalangi jalan dengan tubuhnya yang tegap.

”Ada apa, Lusiano?” ucap si kuda tua dengan tetap menampakkan wajah tenang.

”Hei, Kakek. Apa kau tahu di mana tempat yang menarik kukunjungi? Aku sedang mencari lawan tanding yang sepadan?” ungkap Lusiano masih dengan penampilan sombongnya.

”Oh itu,” ujar sang kuda tua. ”Kamu bisa berlari ke arah utara, di sana akan ada tempat yang menarik untuk berlomba dengan siapa pun yang kau suka,” jawab sang kuda tua sambil kemudian berlalu meninggalkan Lusiano yang masih tampak bingung.

”Apa masih jauh?” ucap Lusiano.

”Bagiku jauh sekali, Lusiano. Entah menurutmu?” kata-kata pancingan itu kian membangkitkan kesombongan Lusiano untuk sesegera mungkin tiba di tempat itu. Dan ia pun memacu larinya menuju tempat yang disebut si kuda tua.

Lusiano berlari dan terus berlari. Hingga, ia menemukan sebuah tempat yang baru kali ini ia jumpai. Sebuah tepian pantai yang begitu landai. Sepanjang mata memandang, hanya ada sebuah garis lurus yang memisahkan bumi dan langit.

Lusiano tampak bingung dengan tempat itu. Tak satu pun kuda yang ia harapkan muncul di tempat itu. Dan pandangannya pun hanyut dalam garis lurus yang tak bertepi itu.

”Ah, betapa kecilnya aku. Ternyata, tak ada yang tinggi di bumi ini, kecuali langit di atas sana,” gumam Lusiano sambil terus menatap garis lurus itu.

Ketika seseorang memandang suatu yang sangat tinggi dalam dirinya, bahkan melampaui orang-orang di sekitarnya; sebenarnya ia sedang memandang dunia dari sisi yang teramat sempit.

Betapa kecilnya bumi dan dunia ini jika khazanah alam raya menjadi pembandingnya. Saat itu, siapa pun dan bagaimana pun kelebihan dan keunggulannya, akan menemukan bahwa dirinya tak lebih dari sebuah titik yang terlihat samar.

Aspirasi

Masalah akan timbul ketika sang pemimpin punya ego yang ingin dipaksakan.


Dua anak kura-kura saling bertatapan ketika orang yang memeliharanya menempatkan mereka di akuarium kering. Padahal, dua kura-kura kecil itu tergolong kura-kura air. Kontan saja, mereka blingsatan.

“Dasar, manusia kurang pengetahuan!” suara kura-kura yang agak lebih besar. “Iya, kenapa manusia ini tidak belajar dulu tentang kita?” sahut yang kecil menimpali.

Tak lama, keduanya pun merasakan siraman air. Byurr! Dua anak kura-kura menyambut gembira. Tapi, kegembiraan itu tak lama. Karena air yang tersiram begitu banyak, melebihi batas jangkauan leher kura-kura yang butuh nafas di udara bebas.

Lagi-lagi, dua anak kura-kura itu blingsatan. Keduanya tampak mulai pucat karena tak mampu menjangkau permukaan air untuk mengambil nafas. Kalau saja bisa terdengar, mungkin si pemelihara kura-kura akan kaget dengan omelan dua kura-kura kecil itu: “Hei, belajar dulu, dong! Baru ngurusin kita!”

Melihat keanehan itu, si pemelihara kura-kura mulai sadar. Air pun ia kurangi. Dan, wajah puas pun terlihat ketika si pemelihara kura-kura mendapati hewan-hewannya sudah bertingkah normal.

Sesaat kemudian, si pemelihara kura-kura menyeburkan beberapa sobekan roti kedalam akuarium. Ia berharap, kalau peliharaannya akan berebut melahap roti. Tapi, kedua anak kura-kura itu tak peduli.

Kalau saja si manusia pemelihara kura-kura itu mendengar ucapan hewan peliharaannya, ia akan mendengar ucapan ini. “Aduh, gimana sih. Orang butuh cacing air dikasih roti!”

Kehidupan mendudukkan manusia pada posisi yang unik. Manusia berkesempatan dan berkemampuan menjadi pemimpin. Manusia punya kemampuan memimpin hewan, tumbuhan, bahkan sesama manusia lain. Saat itulah, manusia bisa menjadi pengendali.

Masalah akan timbul ketika sang pemimpin punya ego yang ingin dipaksakan. Atau, ia memang tidak paham dengan makhluk-makhluk yang ia pimpin: kapasitas, selera, kecenderungan, budaya, dan berbagai hal lain.

Jangan sampai ia seperti pemelihara kura-kura yang buta dengan semua aspirasi hidup yang ia pimpin. Karena didengar atau tidak, mereka yang dipimpin akan mengatakan, “Gimana sih. Orang butuh ini dikasih itu!”

Lafazh Takbir Hari Raya

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS.  Al-Baqarah [2] : 185)


Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Takbir Hari Raya merupakan suatu bentuk ibadah yang sangat agung karena di dalamnya terdapat dzikir yang berisi mengagunggkan Allah subhanahu wa ta’ala sang Pemilik Keagungan dan Kebesaran.

Perlu kita ketahui bahwasanya takbir hari raya terbagi menjadi dua macam:

            Pertama, Takbir Mursal yaitu takbir masyru’ yang disunnahkan bagi laki-laki maupun wanita dan tidak mengiringi shalat, dan dapat dikumandangkan dijalan-jalan, masjid-masjid, pasar-pasar, dirumah-rumah dan tempat-tempat lainnya dengan mengeraskan suara kecuali untuk wanita dengan tujuan syi’ar hari raya yaitu sejak terbenamnya matahari pada malam hari raya sampai dimulainya shalat ‘ied. Takbir ini dikumandang pada hari raya ‘Iedul Fithri maupun ‘Iedul Adha.

            Kedua, Takbir Muqayyad yaitu takbir masyru’ yang disunnahkan mengiringi shalat meskipun shalat jenazah, dilakukan sejak waktu shalat maghrib pada malam hari raya, dikatakan pula sejak waktu shubuh pada hari raya yaitu hari ‘Arafah (10 Dzhulhijjah) sampai waktu ’Ashar pada akhir hari tasyrik (13 Dzulhijjah). Takbir Muqayyad khusus disunnahkan pada ‘Iedul Adha, sedangkan pada ‘Iedul Fithri menurut jumhur ulama adalah tidak disunnahkan, akan tetapi Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Adzkar memilih bahwa itu sunnah. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang sama-sama masyhur, pertama adalah tidak disyariatkan menurut jumhur, diantaranya Al-Mawardi, Al-Jurjani, Al-Baghawiy dan yang lainnya. Kedua, disunnahkan, diantaranya pendapat Al-Mahamili, Al-Bandaniji dan Al-Ghazali dengan berhujjah karena pada hari raya disunnahkan takbir mursal maka muqayyad juga disunnahkan pada ‘Iedul Fithri seperti ‘Iedul Adha, maka dari itu ulama bertakbir mengikut shalat Maghrib, Isya’ dan Shubuh.

            Dalil yang menjadi landasan disunnahkannya Takbir Hari Raya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS.  Al-Baqarah [2] : 185)

Mengenai ayat ini, Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “hendaknya kalian berdzikir kepada Allah setelah menyelesaikan ibadah kalian.” Beliau juga menjelaskan: “Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini tentang disyari’atkannya takbiran ketika hendak shalat ‘Iedul Fithri.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1 hal. 505)

Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah, Jilid 13 hal. 213 dijelaskan: “Mayoritas fuqaha berpendapat dianjurkannya takbiran ketika ‘Iedul Fithri dengan suara jahr, mereka berdalil dengan ayat وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ Ibnu Abbas berkata, ayat ini turun berkaitan dengan ‘Iedul Fithri karena terdapat athaf terhadap firman Allah وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ Adapun lafazh yang ini maksudnya adalah menyempurnakan hitungan hari puasa Ramadhan.”

            Selain dari Al-Quran, terdapat pula sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah dan Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah, dari Nafi dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai Takbir Hari Raya:

عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْرُجُ فِى الْعِيدَيْنِ مَعَ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ، وَالْعَبَّاسِ، وَعَلِىٍّ، وَجَعْفَرٍ، وَالْحَسَنِ، وَالْحُسَيْنِ، وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، وَزِيدِ بْنِ حَارِثَةَ، وَأَيْمَنَ ابْنِ أُمِّ أَيْمَنَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ رَافِعًا صَوْتَهُ بِالتَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ فَيَأْخُذُ طَرِيقَ الْجَدَّادِينَ حَتَّى يَأْتِىَ الْمُصَلَّى. وَإِذَا فَرَغَ رَجَعَ عَلَى الْحَذَّائِينَ حَتَّى يَأْتِىَ مَنْزِلَهُ

“Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada hari raya berserta Al-Fadil bin ‘Abbas, Abdullah, Al-‘Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al-Hasan, Al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, Ayman bin Ummu Aiman radhiyallahu ‘anhum mereka meninggikan suaranya (mengeraskan suara) dengan membaca tahlil dan takbir, mengambil sebuah rute sampai tiba di mushallah (tempat shalat), apabila selesai kembali melewati rute yang lainya hingga tiba di tempatnya (rumahnya).” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 3/279 dan Ibnu Khuzaimah no. 1352)

Lafazh Takbir Hari Raya

Tidak terdapat riwayat lafazh takbir tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafazh takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:

Pertama, Takbir Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:

أ‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
ب‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

Lafazh ‘Allahu Akbar’ pada takbir Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah dalam Al-Mushannaf, Jilid 1 hal. 490 hadits no. 5650, 5651, 5653.

Kedua, Takbir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا

Takbir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah dalam As-Sunan Al-Kubra, Jilid 3 hal. 315.

Ketiga, Takbir Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: “Adapun lafazh takbir yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dengan sanad yang shahih dari Salman.” (Fathul Bari, Jilid 2 hal. 462)

            Lalu bagaimana dengan lafazh takbir yang bebas dan tidak memiliki landasan dalil sebagaimana atsar-atsar di atas? Apakah diperbolehkan?

            Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Apabila seseorang menambahkan dengan lafazh:

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا اللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا اللَّهَ مُخْلِصِينَ له الدَّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ

maka lafadz tersebut adalah baik.” (Al-Umm, Jilid 1 hal. 241)

Sahnun rahimahullah berkata: “Saya pernah berkata kepada Ibnu Al-Qasim: Apakah Imam Malik menyebutkan kepada anda lafazh takbir tertentu? Dia menjawab: Tidak, tidaklah Imam Malik membatasi dalam masalah ini dengan batasan tertentu.” (Al-Mudawwanah, Jilid 1 hal. 245)

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “ini adalah perkara yang luas.” Ibnu Al-Arabi mengatakan: “Ulama kami memilih takbir secara umum, inilah makna yang zhahir dari perintah bertakbir dalam Al-Qur’an, dan saya lebih cenderung kepada pendapat ini.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Jilid 2 hal. 307)

Dari berbagai keterangan para ulama dikatakan bahwasanya lafazh takbir hari raya itu longgar, tidak hanya satu atau dua lafazh. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebagian ulama mengucapkan lafazh takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadits. Maka hal ini menjelaskan bahwa lafazh takbir hari raya adalah bebas selama isinya masih dalam bentuk pengagunggan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Tauhid Sumber Kemuliaan

“Seorang mukmin tidak wajib tunduk kepada penguasa yang sombong dan angkuh. Karena yang memiliki kesombongan dan keangkuhan itu hanyalah Allah semata. Bukan manusia.”


Tidak akan pernah ada, siapapun yang dapat memberikan kemuliaan kepada manusia, kecuali manusia hanya dengan bertauhid. Tauhidlah yang akan membangkitkan kekuatan dan harga diri penganutnya.

Hanya Allah saja Yang Maha Kuat, dan hanya Allah saja Yang Maha Perkasa.Hanya Allah saja yang berhak di sembah dan dibadahi. Hanya Allah saja, yang layak dimintai pertolongan.Tak ada seorangpun manusia yang dapat menandinginya.

Seorang penganut “aqidah tauhid” tidak mau menjadi hamba sahaya dari siapapun. Penguasa manapun. Raja dan Presiden manapun. Apalagi menghamba kepada Raja dan Presiden yang zalim. Hakekatnya mereka adalah orang-orang yang lemah. Tidak memiliki kekuatan apa-apa. Karena itu, manusia yang menyembah manusia, meminta pertolongan, meminta perlindungan, menggantungkan hidupnya kepada sesama manusia, maka mereka akan tersungkur ke dalam lembah kehinaan.

Betapa banyaknya manusia hari ini yang menjadi hamba hina-dina, karena mereka memperlakukan manusia yang lemah itu, sebagai sesembahan mereka. Menjadi mereka tempat bergantung dan meminta pertolongan. Mereka menganggap yang namanya Raja dan Presiden mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang dapat menjadi tempat mereka bergantung.

Mengagung-agung manusia dengan status yang dimilikinya, dan menafikan kekuasaan dan keesaan Allah Ta’ala, maka manusia akan masuk ke dalam lubang kesesatan, yang tak mungkin dapat mengangkat dirinya kepda kemuliaan di hadapan Allah Ta’ala. Mereka menjadi manusia yang paling lemah, dan hina,baik dihadapan manusia dan dihadan Allah Rabbul Alamin.

Hari-hari ini  Allah Azza Wa Jalla memperlihatkan dan membuktikan kepada manusia di seluruh muka bumi, bahwa manusia yang selama disangka kuat dan dengan kekuasaannya, bisa menjadi tempat bergantung dan melindungi mereka, satu demi satu berguguran dan tersungkur. Sekarang Allah perlihatkan kelemahan mereka dengan terang benderang. Seperti terangnya matahari di siang hari.

Para Raja dan Presiden yang disangka sebagai manusia yang paling ‘super’ dengan kekuasaan yang dimilikinya, kini berguguran, tanpa dapat menunda-nunda lagi. Mereka pergi dengan hina. Manusia-manusia yang selama ini telah menyatakan kesombongannya, dan tidak mau tunduk dengan Allah Rabbul Alamin, sekarang dipelihatkan akan datangnya kekuasaan Allah dihadapan mereka.

Aqidah tauhid menimbulkan harga diri yang amat tinggi dalam jiwa pemeluknya. Tidak ada orang-orang mukmin yang benar “haqqan” menjadi hina dina. Karena seluruh jiwa raganya hanya bersedia tunduk kepada Allah. Maka apapun yang terjadi dalam kehidupannya, tidak pernah mereka risaukan.

Seorang yang beriman wajib thaat kepada Raja, Presiden dan Sultan, hanya selama mereka masih menjalankan keadilan. Karena hanya Allah yang menyuruh berbuat adil, dan taat kepada keadilan. Seorang mukmin tidak akan pernah tunduk kepada kezaliman dan kebathilan. Karena Allah yang melarang kazaliman dan kebathilan. Dalam bentuk apapun.

Seorang mukmin tidak wajib tunduk kepada penguasa yang sombong dan angkuh. Karena yang memiliki kesombongan dan keangkuhan itu hanyalah Allah semata. Bukan manusia.

Orang-orang mukmin dibolehkan  hormat dan menghormati kepada penguasa, seperti Raja, Presiden dan Sulthan, selama mereka masih berlaku adil, selama masih ber- “amar ma’ruf, nahyi munkar”, karena hanya itulah yang sesuai dengan kalimat : La ilaha illal Lah”. Wallahu’alam.

Musik Melenakan Umat Islam

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)


Suara itu sudah menfitnah umat Islam, menjauhkan bahkan melupakan mereka dari al Quran, mengidolakan para penyanyi dan melupakan Rasulullah, mengikuti budaya dan kebiasaan buruk dan melupakan kebiasaan baik, penikmat lirik lagu melankolis bin cengeng dan melupakan pesan-pesan indah penggelora semangat, melemahkan hati dan menghancurkannya tanpa mampu berjuang menuju sukses, tidak punya kekuatan untuk berdiri bangkit dari kegagalan hidup. Musik adalah musibah terbesar pada abad ini. Menyita banyak waktu untuk hal-hal tak bermanfaat.

Sungguh amat keras peringatan Rasulullah kepada kita: “Sungguh, akan ada sekelompok manusia di kalangan umatku yang meminum khamar dan mereka menamakannya dengan selain namannya, sambil ditabuhnya alat-alat musik di dekatnya, kemudian Allah menenggelamkan (sebagian) mereka ke bumi, dan sebagian lagi dikutuk menjadi kera dan babi.” (HR. Ibnu Majah)

Allah berfirman :

مَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (QS. Al-Anfal : 35)

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)

Yang dimaksud dengan “perkataan yang tidak berguna” dalam ayat ini adalah lagu atau nyanyian sebagaimana pendapat sahabat Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.

Polos

“Tidak jarang, seorang anak manusia mengambil pandangan dari sudut yang sempit. Bahwa, kegagalan adalah sebuah ketidakberdayaan.”


Lembaran kertas putih merasa tak nyaman ketika baru saja keluar dari pabrik. Ia merasa bingung dengan kenyataan dirinya. Tidak ada garis, tulisan, atau warna apa pun kecuali putih. Tapi, wujudnya berbentuk buku seperti yang lain.

“Kok aku beda?” tanya si buku polos ke lembaran buku tulis yang lain. “Beda?” sergah salah satu buku tulis bergaris. “Iya. Coba perhatikan, kamu tercetak dengan garis-garis teratur. Ada yang kotak-kotak. Yang lainnya lagi bahkan ada yang tertulis dengan huruf berwarna disertai kartun lucu,” ucap buku polos bersemangat. “Sementara aku? Boro-boro kartun lucu, satu garis pun tak ada yang hinggap!” tambah si buku polos menggugat.

“Jadi, kamu tak terima?” tanya buku bergaris teratur, lembut. “Tentu saja! Ini tidak adil!” sergah si buku polos begitu spontan.

Semua terdiam. Semua jenis buku tulis mulai ambil jarak dengan buku polos. Mereka khawatir kalau ketidakpuasan bukan sekadar gugatan, tapi berubah jadi tindakan. Hingga…

Seorang anak manusia mengambil buku polos dengan tangan kecilnya. Lembaran buku tak bergaris dan berwarna itu pun dipandangi sang anak begitu tajam. Entah apa yang dilakukan, beberapa menit kemudian, buku polos itu tak lagi putih sepi. Ia sudah berubah menjadi halaman penuh warna. Ada goresan merah, hijau, biru, kuning, dan berbagai perpaduan warna lain.

Ketika buku itu ditinggalkan sang anak, beberapa buku lain datang menghampiri. Semua terperanjat. Karena lembaran yang semula polos, kini berubah menjadi bentuk lukisan penuh warna. “Aih indahnya!” gumam semua buku tulis begitu kagum.

Saat itulah, sang buku polos sadar. Selama ini, ia salah. Kepolosannya tanpa garis bukan bentuk penghinaan terhadap dirinya. Bukan juga ketidakadilan. Tapi, karena ia akan menjadi wadah berbagai goresan warna seni yang akan membentuk karya indah. “Ah, aku ternyata buku gambar!” ucap si buku polos akhirnya.

Hidup ini penuh warna. Hampir tak ada yang sama pada ciptaan Allah. Walaupun, masih sama-sama manusia. Ada yang kaya, cukup, dan kurang. Ada yang cantik, tampan; ada pula yang biasa saja. Ada yang berhasil dan sukses, tidak sedikit yang merasa gagal.

Tidak jarang, seorang anak manusia mengambil pandangan dari sudut yang sempit. Bahwa, kegagalan adalah sebuah ketidakberdayaan. Bahwa, belum tampaknya peluang-peluang berkarya adalah ketidakadilan. Hingga, jauhnya jodoh buat para lajang merupakan sebuah hukuman.

Cermati dan pelajari. Karena boleh jadi, di balik kegagalan ada rahasia kesuksesan. Di balik sempitnya peluang, ada ujian kemampuan. Di balik lajang yang berkepanjangan, ada pendidikan kemandirian. Dan di balik kertas polos, ada peluang warna-warni keindahan goresan kehidupan.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top