“Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2] : 185)
Segala puji hanya bagi Allah subhanahu
wa ta’ala. Takbir Hari Raya merupakan suatu bentuk ibadah yang sangat agung
karena di dalamnya terdapat dzikir yang berisi mengagunggkan Allah subhanahu
wa ta’ala sang Pemilik Keagungan dan Kebesaran.
Perlu kita ketahui bahwasanya takbir
hari raya terbagi menjadi dua macam:
Pertama, Takbir Mursal yaitu takbir
masyru’ yang disunnahkan bagi laki-laki maupun wanita dan tidak mengiringi
shalat, dan dapat dikumandangkan dijalan-jalan, masjid-masjid, pasar-pasar,
dirumah-rumah dan tempat-tempat lainnya dengan mengeraskan suara kecuali untuk
wanita dengan tujuan syi’ar hari raya yaitu sejak terbenamnya matahari pada
malam hari raya sampai dimulainya shalat ‘ied. Takbir ini dikumandang pada hari
raya ‘Iedul Fithri maupun ‘Iedul Adha.
Kedua, Takbir Muqayyad yaitu takbir
masyru’ yang disunnahkan mengiringi shalat meskipun shalat jenazah, dilakukan
sejak waktu shalat maghrib pada malam hari raya, dikatakan pula sejak waktu
shubuh pada hari raya yaitu hari ‘Arafah (10 Dzhulhijjah) sampai waktu ’Ashar
pada akhir hari tasyrik (13 Dzulhijjah). Takbir Muqayyad khusus disunnahkan
pada ‘Iedul Adha, sedangkan pada ‘Iedul Fithri menurut jumhur ulama adalah
tidak disunnahkan, akan tetapi Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Adzkar
memilih bahwa itu sunnah. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang sama-sama
masyhur, pertama adalah tidak disyariatkan menurut jumhur, diantaranya Al-Mawardi,
Al-Jurjani, Al-Baghawiy dan yang lainnya. Kedua, disunnahkan, diantaranya
pendapat Al-Mahamili, Al-Bandaniji dan Al-Ghazali dengan berhujjah karena pada
hari raya disunnahkan takbir mursal maka muqayyad juga disunnahkan pada ‘Iedul
Fithri seperti ‘Iedul Adha, maka dari itu ulama bertakbir mengikut shalat
Maghrib, Isya’ dan Shubuh.
Dalil yang menjadi landasan
disunnahkannya Takbir Hari Raya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2] : 185)
Mengenai ayat ini, Al-Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullah berkata: “hendaknya kalian berdzikir kepada Allah
setelah menyelesaikan ibadah kalian.” Beliau juga menjelaskan: “Sebagian ulama
berdalil dengan ayat ini tentang disyari’atkannya takbiran ketika hendak shalat
‘Iedul Fithri.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1 hal. 505)
Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah,
Jilid 13 hal. 213 dijelaskan: “Mayoritas fuqaha berpendapat dianjurkannya
takbiran ketika ‘Iedul Fithri dengan suara jahr, mereka berdalil dengan ayat وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
Ibnu Abbas berkata, ayat ini turun berkaitan dengan ‘Iedul Fithri karena
terdapat athaf terhadap firman Allah وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ Adapun lafazh yang ini maksudnya adalah
menyempurnakan hitungan hari puasa Ramadhan.”
Selain dari Al-Quran, terdapat pula
sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah dan
Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah, dari Nafi dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma mengenai Takbir Hari Raya:
عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْرُجُ فِى الْعِيدَيْنِ مَعَ
الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ، وَالْعَبَّاسِ، وَعَلِىٍّ، وَجَعْفَرٍ،
وَالْحَسَنِ، وَالْحُسَيْنِ، وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، وَزِيدِ بْنِ حَارِثَةَ،
وَأَيْمَنَ ابْنِ أُمِّ أَيْمَنَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ رَافِعًا صَوْتَهُ
بِالتَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ فَيَأْخُذُ طَرِيقَ الْجَدَّادِينَ حَتَّى يَأْتِىَ
الْمُصَلَّى. وَإِذَا فَرَغَ رَجَعَ عَلَى
الْحَذَّائِينَ حَتَّى يَأْتِىَ مَنْزِلَهُ
“Dari
Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berangkat pada hari raya berserta Al-Fadil bin ‘Abbas, Abdullah, Al-‘Abbas,
‘Ali, Ja’far, Al-Hasan, Al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, Ayman
bin Ummu Aiman radhiyallahu ‘anhum mereka meninggikan suaranya (mengeraskan
suara) dengan membaca tahlil dan takbir, mengambil sebuah rute sampai tiba di
mushallah (tempat shalat), apabila selesai kembali melewati rute yang lainya
hingga tiba di tempatnya (rumahnya).” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 3/279
dan Ibnu Khuzaimah no. 1352)
Lafazh
Takbir Hari Raya
Tidak terdapat riwayat lafazh takbir
tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada
beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafazh takbir. Diantara
riwayat tersebut adalah:
Pertama, Takbir Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:
أ- اللَّهُ أَكْبَرُ،
اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ
وللهِ الْحَمْدُ
ب- اللَّهُ أَكْبَرُ،
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ
الْحَمْدُ
Lafazh ‘Allahu Akbar’ pada takbir Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah dalam Al-Mushannaf,
Jilid 1 hal. 490 hadits no. 5650, 5651, 5653.
Kedua, Takbir Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma:
اللَّهُ أَكْبَرُ،
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ
اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا
Takbir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah dalam As-Sunan Al-Kubra,
Jilid 3 hal. 315.
Ketiga, Takbir Salman Al-Farisi radhiyallahu
‘anhu:
اللَّهُ أَكْبَرُ،
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah
berkata: “Adapun lafazh takbir yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh
Abdur Razzaq dengan sanad yang shahih dari Salman.” (Fathul Bari, Jilid 2 hal.
462)
Lalu bagaimana dengan lafazh takbir
yang bebas dan tidak memiliki landasan dalil sebagaimana atsar-atsar di atas?
Apakah diperbolehkan?
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
mengatakan: “Apabila seseorang menambahkan dengan lafazh:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ
لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا اللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا
نَعْبُدُ إلَّا اللَّهَ مُخْلِصِينَ له الدَّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا
إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ
وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ
maka
lafadz tersebut adalah baik.” (Al-Umm, Jilid 1 hal. 241)
Sahnun
rahimahullah berkata: “Saya pernah berkata kepada Ibnu Al-Qasim: Apakah
Imam Malik menyebutkan kepada anda lafazh takbir tertentu? Dia menjawab: Tidak,
tidaklah Imam Malik membatasi dalam masalah ini dengan batasan tertentu.” (Al-Mudawwanah,
Jilid 1 hal. 245)
Imam Ahmad rahimahullah berkata:
“ini adalah perkara yang luas.” Ibnu Al-Arabi mengatakan: “Ulama kami memilih
takbir secara umum, inilah makna yang zhahir dari perintah bertakbir dalam Al-Qur’an,
dan saya lebih cenderung kepada pendapat ini.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
Jilid 2 hal. 307)
Dari berbagai keterangan para ulama
dikatakan bahwasanya lafazh takbir hari raya itu longgar, tidak hanya satu atau
dua lafazh. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebagian ulama
mengucapkan lafazh takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadits. Maka hal
ini menjelaskan bahwa lafazh takbir hari raya adalah bebas selama isinya masih
dalam bentuk pengagunggan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam.
Semoga Bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ