Surat dari Imam Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah

“Sesungguhnya Allah mencintai penguasa yang berinteraksi dengan ulama’. Dan membenci ulama’ yang mendekati penguasa, karena ulama’ ketika dekat dengan penguasa yang diinginkan dunia, namun jika penguasa mendekati ulama ingin akhiratnya.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no. 566)


Pada kesempatan kali ini, penulis akan menyampaikan surat dari salah seorang ulama salaf yang ditujukan kepada Amirul Mukminin, Harun Ar-Rasyid rahimahullah. Surat tersebut dari Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah, yang dicatat oleh Ibnu Balyan dan Al-Ghazali rahimahumallah. Ketika Harun Ar-Rasyid memegang tampuk khilafah, seluruh ulama datang mengunjunginya. Hanya Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah yang tidak tampak batang hidungnya. Padahal, mereka berdua adalah sahabat karib. Ketidakmunculan Sufyan menyebabkan Harun Ar-Rasyid rahimahullah kecewa berat. Ia kemudian menulis surat kepada Sufyan.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari hamba Allah: Harun Ar-Rasyid, Amirul Mukminin
Kepada saudaranya fillah: Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri
Amma ba’du,

Wahai saudaraku...

Aku telah mengetahui bahwa Allah telah mempersaudarakan orang-orang mukmin. Dan aku telah menjadikan engkau sebagai saudaraku  fillah dengan suatu ikatan persaudaraan yang belum pernah aku berhenti untuk menyayangimu. Aku telah mengulurkan segenap kecintaanku dan keinginanku yang terdalam kepadamu. Andaikata bukan karena tali pengikat yang yang diikatkan Allah di leherku ini (jabatan khalifah), pasti aku akan mendatangimu meski harus merangkak, mengingat betapa besar kecintaan di dalam hatiku kepadamu. Semua kawan karibku dan kawan karibmu datang mengunjungiku dan memberikan ucapan selamat atas pengangkatanku. Aku telah membuka pintu Baitul Mal. Aku ambil sebagian dan kuberikan kepada mereka sebagai pemberian dan penghormatanku. Namun, hatiku tiada merasa gembira dan perasaanku belum lega karena keterlambatanmu datang padaku. Oleh karena itu, aku menulis sepucuk surat kepadamu memberitahukan betapa besar kerinduanku kepadamu. Telah kamu ketahui, wahai Abu Abdillah, hadits yang mengabarkan keutamaan mengunjungi orang mukmin dan menyambung tali silaturahmi dengannya. Jika sudah sampai kepadamu suratku ini. Segera dan segeralah datang mengunjungiku.”

Kemudian Harun Ar-Rasyid rahimahullah memberikan surat tersebut kepada Abbad Ath-Thaliqani rahimahullah dan memintanya untuk menyerahkan kepada Sufyan Ats-Sauri rahimahullah.

Abbad menuturkan, “Aku berangkat menuju Kufah dan aku mendapati Sufyan Ats-Tsauri sedang berada di masjidnya. Ketika melihatku dari jauh , beliau berdiri dan mengucapkan doa, A’udzu billahi as-sami’i al-alimi minasy syaithanir rajim, wa a’udzu bika allahumma min thariqin yathruqu illa bi khairin.’ (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari setan yang dirajam. Dan aku berlindung kepada-Mu, Ya Allah, dari orang yang mengetuk pintu kecuali dengan maksud baik). Lalu aku turun dari kudaku di depan pintu  masjid, sementara beliau berdiri melakukan shalat bukan pada waktu shalat. Aku pun masuk dan memberi salam kepada orang-orang.

Tidak ada teman majelisnya yang mengangkatkan kepala melihatku. Aku pun tetap berdiri dan mereka tidak menyuruhku untuk duduk. Aku pun gemetar karena takut bercampur segan terhadap mereka. Surat itu akhirnya aku lemparkan kepada beliau yang sedang shalat.

Tatkala melihat surat tersebut, badan Sufyan gemetar dan segera menjauhinya, seolah surat itu adalah ular yang dilemparkan di hadapannya. Setelah ruku, sujud, dan mengucapkan salam, beliau mengambil surat itu.

Beliau memasukkan tangannya kedalam sampul surat dan melemparkan isinya kepada orang yang berada di belakangnya. “Hendaknya salah seorang di antara kalian membacanya. Sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah dari menyentuh sesuatu yang telah disentuh oleh orang zalim,” katanya. Lalu salah seorang di antara mereka yang duduk menjulurkan tangan tersebut dengan gemetaran, seolah surat itu adalah ular yang akan memagutnya. Ia baca surat itu, sementara Sufyan tersenyum keheranan. Setelah surat itu selesai dibaca, beliau memerintahkan, “Tulis balasan untuk orang zalim itu disebaliknya.” Ada seorang yang menyarankan kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, dia adalah khalifah, kalau menulis surat jawaban dengan lembaran putih dan bersih, saya kira itu lebih baik.” Namun Sufyan tetap pada pendiriannya. “Tulis untuk si zalim itu di balik suratnya, karena jika dia mendapatkan kertas itu dari yang halal, dia pasti akan diberi pahala karenanya. Sebaliknya, jika dia mendapatkannya secara haram, kelak dia akan masuk neraka karenanya. Tidak ada sesuatu yang telah disentuh orang zalim ada pada kita, sehingga merusakkan Agama kita. Tulis untuknya:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Dari: Hamba yang telah mati, Sufyan Ats-Tsauri
Kepada: Hamba yang terpedaya oleh berbagai harapan, Harun, yang telah mengenyahkan (dari dalam hatinya) manisnya iman dan nikmatnya Qira’atul Qur’an,
Amma ba’du,

Sesungguhnya aku menulis surat kepadamu memberitahukan bahwa aku telah memutus tali persaudaraan denganmu dan telah memupus rasa kasih sayangku kepadamu. Sesungguhnya engkau telah menjadikan aku sebagai saksi atasmu dengan pengakuanmu sendiri dalam suratmu bahwa engkau telah berbuat melampaui batas kewenanganmu atas Baitul Mal milik kaum Muslimin. Engkau telah mempergunakannya bukan pada tempatnya dan menghabiskannya tanpa melalui persetujuan mereka dan mereka tidak rela dengan apa yang telah kamu lakukan atas harta Baitul Mal itu. Engkau jauh dariku hingga kau tulis surat kepadaku yang membuatku menjadi saksi atas (perbuatan)mu, adapun aku, maka sesungguhnya aku bersama saudara-saudaraku yang hadir saat membaca suratmu, semua menjadi saksi atasmu, dan besok kami akan memberikan kesaksian di hadapan Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Adil.

Wahai Harun, Engkau telah bertindak melampaui batas kewenanganmu atas Baitul Mal milik kaum Muslimin tanpa kerelaan hati mereka. Apakah para muallaf yang dibujuk hatinya, para amil (pengurus zakat), para mujahid fi sabilillah, dan ibnus sabil (dan mereka yang berhak menerima zakat) rela dengan perbuatanmu? Apakah pemangku Al-Qur’an dan Ahli Ilmu ridha dengan hal itu? Apakah anak-anak yatim dan para janda rela dengan perbuatanmu? Apakah sebagian besar rakyatmu rela dengan hal itu? Maka dari itu, singsingkanlah lengan bajumu wahai Harun dan siapkanlah jawaban bagi pertanyaan tersebut dan siapkan pula penutup bagi bencana yang bakal mengancam

Ketahuilah bahwa engkau akan berdiri di hadapan Yang Mahabijaksana lagi Maha Adil. Takutlah kepada Allah saat terampas dari dalam hatimu manisnya ilmu dan zuhud, lezatnya qira’atul Qur’an, dan bermajelis dengan orang-orang saleh dan saat engkau ridha dirimu menjadi seorang zalim dan Imam bagi orang-orang zalim.

Hai Harun, engkau telah duduk di atas singgasana, mengenakan sulaman sutra dan menurunkan tabir penutup di pintu istanamu menyerupai hijab (tabir penutup) Rabbul ‘Alamin. Kemudian engkau tugaskan pasukan pengawalmu yang zalim di pintu gerbang istanamu dan tabirmu. Mereka meminum khamr namun menghukum had orang yang minum khamr. Mereka berzina namun menghukum had orang yang berzina. Mereka mencuri, namun menghukum potong tangan orang yang mencuri. Mereka membunuh, namun menghukum mati orang yang membunuh. Bukankah hukum tersebut layak untuk diberlakukan kepadamu dan kepada mereka sebelum mereka menghukumi manusia dengannya?

Bagaimana denganmu hai Harun, besok ketika penyeru dari sisi Allah menyeru, “Kumpulkanlah orang-orang zalim itu dan para pendukungnya.” Lalu kamu maju ke hadapan Allah sedangkan kedua tanganmu terbelenggu di belakang leher. Hanya keadilanmu yang bisa melepaskan belenggu tersebut. Dan orang-orang zalim berada di sekelilingmu, sedangkan engkau sebagai pemimpin mereka menuju Neraka. Seolah-olah aku melihat dirimu tengah dihimpit penderitaan melalui tempat penghalauan (menuju Neraka) sedang engkau melihat kebaikan-kebaikanmu berada dalam timbangan amal kebaikan orang lain dan dosa-dosa orang lain berada dalam timbangan amal keburukanmu. Bencana di atas bencana dan kegelapan di atas kegelapan.

Maka takutlah kepada Allah, hai Harun, dalam urusan rakyatmu. Jagalah (wasiat) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya, serta ketahuilah bahwa urusan (kepempininan) itu kalaupun tidak terlimpahkan kepadamu, ia akan terlimpahkan kepada selainmu. Demikian pula dunia, ia berbuat terhadap siapa saja yang memperolehnya satu demi satu, maka di antara mereka ada yang merugi baik dunia maupun akhiratnya. Jangan. Janganlah engkau menulis surat lagi kepadaku sesudah ini, karena sesungguhnya aku tidak akan membalas suratmu.

Wassalam.
           
Selesai ditulis, beliau melemparkan surat tersebut begitu saja tanpa dilipat dan tanpa tanda tangan. Lalu aku mengambilnya dan pergi menuju pasar Kufah. Nasihat Sufyan sungguh membekas di hatiku. Lalu aku memanggil orang-orang di sekelilingku, “Hai penduduk Kufah, siapa yang bersedia membeli lelaki yang lari kepada Allah, maka datanglah kepadaku dengan membawa dirham dan dinar. Aku tidak membutuhkan harta, akan tetapi hanya sebuah jubah bulu serta sebuah mantel katun.” Lalu aku melepaskan pakaian yang aku kenakan saat aku duduk bersama dengan Amirul Mukminin (pakaian istana) dan mengenakan jubah serta mantel. Aku pergi dengan menuntun kuda hingga tiba di pintu gerbang istana Harun Ar-Rasyid dalam keadaan bertelanjang kaki. Penjaga pintu gerbang mencemoohku (karena tidak mengenali keadaannya yang kusut dan kumal), sampai akhirnya aku diizinkan masuk. Tatkala Amirul Mukminin melihatku dengan keadaan seperti itu, beliau bangkit dari duduknya dengan terkejut, lalu duduk kembali seperti memukul kepala dan wajahnya serta menyumpahi dirinya sendiri. ‘Yang diutus memperoleh manfaat sedangkan yang mengutus gagal dan kecewa,’ gumamnya. Aku menyerahkan surat balasan Sufyan kepada beliau. Kemudian beliau membacanya, sementara air matanya jatuh membasahi wajahnya.

Salah seorang penasihatnya berkata, ‘Sufyan telah berani berlaku lancang terhadap tuan. Mengapa tuan tidak menindaknya: memberatinya dengan besi dan mengurungnya dalam penjara agar menjadi pelajaran bagi yang lain.’ Namun Harun Ar-Rasyid hanya berujar, ‘Biarkanlah Sufyan dengan apa yang dilakukannya, hei budak dunia. Orang yang terpedaya adalah yang kalian pedayakan dan orang yang celaka, demi Allah, adalah orang yang kalian jadikan teman duduk (maksudnya adalah dirinya sendiri).’

Demikianlah, Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah sendirian saja laksana satu umat. Surat balasannya kepada Harun Ar-Rasyid rahimahullah masih terus dirawat oleh Harun dan selalu diulang dibaca tiap selesai shalat sambil menangis hingga Allah mewafatkannya. Semoga Allah merahmatinya.
           
Faidah yang bisa diambil dari kisah ini di antaranya adalah:

Pertama, bahwa ketika seseorang telah memangku jabatan sebagai penguasa, tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan dilingkupi oleh hal-hal yang merusak agamanya secara perlahan-lahan. Terlihat dari surat balasan yang diberikan oleh Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah mengenai keadaan Harun Ar-Rasyid rahimahullah yang dikelilingi oleh orang-orang penjilat dan hanya mengharapkan dunia saja. Padahal kita ketahui bersama bahwa hukum yang beliau terapkan pada masanya bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, seburuk-buruk ulama adalah ulama yang datang kepada amir-amir karena pada hakikatnya ulama seperti ini memiliki tujuan keduniawian, sedangkan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang datang kepada para ulama karena hakikatnya pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang memikirkan akhirat. Sebagaimana sebuah hadits dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الأُمَرَاءَ إِذَا خَالَطُوا الْعُلَمَاءَ، وَيَمْقُتُ الْعُلَمَاءَ إِذَا خَالَطُوا الأُمَرَاءَ؛ لأَنَّ الْعُلَمَاءَ إِذَا خَالَطُوا الأُمَرَاءَ رَغِبُوا فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا خَالَطَهُمُ الأُمَرَاءُ رَغِبُوا فِي الآخِرَةِ

“Sesungguhnya Allah mencintai penguasa yang berinteraksi dengan ulama’. Dan membenci ulama’ yang mendekati penguasa, karena ulama’ ketika dekat dengan penguasa yang diinginkan dunia, namun jika penguasa mendekati ulama ingin akhiratnya.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no. 566)

Ketiga, perlunya memiliki sikap wara’ bagi seorang muslim dalam menempuh kehidupan, terlebih ketika ia telah diberi amanah yang besar. Maka hendaknya ia hanya mengambil yang menjadi haknya saja dan jangan berlebihan terhadap dunia serta menghukumi manusia dengan keadilan sebagaimana ia menghukumi untuk dirinya sendiri, karena setiap hal yang mereka kerjakan akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Rabbul ‘Alamin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 58:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.“ (QS. An-Nisa [4] : 58)

Keempat, ketegasan seorang dai dan para ulama dalam menasehati penguasa dan memandang bahwa kepemimpinan adalah sebuah amanah yang berat sehingga mereka sangat berhati-hati terhadap masalah ini.

Semoga kita semua mampu meneladani akhlak para Salaf dalam menyikapi penguasa serta kezuhudan mereka terhadap dunia yang hanya sementara. Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita semua.

Kisah Sultan Murad IV dengan Seorang Wali Allah

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat [49] : 6)


Murad Oğlu Ahmed rahimahullah atau lebih dikenal dengan Sultan Murad IV adalah Khalifah Daulah Utsmaniyah yang menjabat pada tahun 1032 H hingga 1049 H. Diriwayatkan dalam buku harian beliau, bahwa suatu malam Sultan Murad IV merasakan kegalauan yang amat sangat sehingga beliau kesulitan untuk beristirahat, padahal beliau sudah mengambil air wudhu dan juga telah melaksanakan shalat malam, namun kegalauan itu tetap tak kunjung sirna, dia pun ingin mengetahui apa penyebab kegalauan tersebut. Maka dia pun memanggil kepala pengawalnya serta para penasehat kerajaan dan menceritakan apa yang sedang dia rasakan.

Salah satu dari penasehat kerajaan berkata kepada Sultan Murad IV, “Mungkin baginda belum berkeliling melihat keadaan rakyat pagi ini sehingga baginda merasakan kegalauan?” Namun Sultan Murad IV menjawab, “Saya sudah berkeliling pagi ini.” Mendengar itu penasehat tersebut kembali memberikan saran, “Jika demikian wahai baginda, bagaimana jika kita sekali lagi berkeliling melihat keadaan rakyat pada malam ini?” Sultan Murad IV pun mengiyakan usulan tersebut dan berkata, “baiklah, mari kita keluar sejenak.”

            Maka Sultan Murad IV dan pengawal serta para penasehatnya pun keluar dari istana dan berkeliling ke desa-desa dengan pakaian menyamar seperti rakyat biasa. Diriwayatkan, ketika rombongan Sultan Murad IV mencapai sebuah penghujung desa disebuah lorong yang sempit, beliau menemukan seorang laki-laki sedang tergeletak di tanah dengan keadaan tangannya memeganng khamr. Sultan Murad IV pun melihat kondisi laki-laki tersebut dan ternyata ia telah meninggal. Akan tetapi Sultan Murad IV kebingungan, bagaimana mungkin orang-orang disini tidak peduli dengan laki-laki ini padahal banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang disini.

            Melihat hal ini, Sultan Murad IV pun memanggil mereka, “Wahai manusia!!”

Orang-orang yang lewat disana tidak mengetahui bahwa beliau adalah Sultan Murad IV, mereka bertanya, “Ada apa? Apa yang kau inginkan dari kami?”

Sultan Murad IV menjawab, “Mengapa ada seorang yang meninggal disini namun tak ada seorang pun yang mau mengurusnya? Siapa dia? Dimana keluarganya?”

            Mereka menjawab, “Oh itu si Fulan, Dia orang Zindiq, pemabuk dan pezina. Jangan urus jenazahnya!”

            Sultan Murad IV berkata, “Tapi bukankah dia adalah umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ayo, bawa jenazah ini ke rumah keluarganya.”         

Maka mereka pun membawa jenazah laki-laki itu ke rumah keluarganya.

            Sesampainya di rumah keluarganya, melihat suaminya telah meninggal, sang istri pun menangis. Orang-orang yang mengantar jenazahnya pun langsung pergi, dan tinggalah Sultan Murad IV dan pengawal serta penasehatnya.

            Dalam sela tangisannya, sang Istri berkata, “Semoga Allah merahmatimu wahai wali Allah, sesungguhnya aku bersaksi bahwa engkau adalah termasuk orang yang shalih.”

            Mendengar ucapan tersebut, Sultan Murad IV kaget. Dia berfikir, bagaimana mungkin dia ini adalah seorang wali Allah sedangkan orang-orang disekitarnya menghibahi dia dan menuduh dia sebagai orang Zindiq, pemabuk dan pezina hingga tak ada satu pun yang mau memperdulikan kematiannya. Maka dengan rasa penasaran tersebut Sultan Murad IV pun bertanya, “Coba ceritakan kepada kami, ada apa dengan suami anda ini semasa hidupnya, sampai-sampai tidak ada seorang pun yang mau mengurus kematiannya?”

            Dalam helak tangis, sang Istri menjawab, “Sebenarnya saya telah menduga. Akhirnya ketakutanku terjadi juga. Kalau sampai suamiku meninggal pasti tidak ada penduduk yang mengurus dan menguburkannya karena mereka menganggap suamiku pemabuk dan pezinah.”

            Sang istri mengisahkan, “Sesungguhnya kami ini adalah keluarga yang berkecukupan, suamiku setiap malam pergi ke penjual khamr dan suamiku membeli beberapa botol khamr yang dia bisa beli kemudian membawanya pulang ke rumah kami dan menumpahkan seluruh khamr itu di kamar mandi, dan dia berkata, “Semoga aku bisa meringankan keburukan khamr dari kaum Muslimin.” Suamiku juga setiap hari pergi kepada para pelacur dan memberi mereka uang seraya berkata, “Mala mini kau kubayar dan jangan kau buka pintu rumahmu untuk melacur hingga pagi.” Kemudian suamiku kembali pulang ke rumah dan berkata, “Segala puji bagi Allah, semoga dengan itu aku bisa meringankan keburukannya dari pemuda-pemuda Muslim malam ini.” Namun sebagian orang melihat dan mengetahui bahwa suamiku membeli khame dan masuk ke tempat pelacuran. Sehingga mereka mengghibahi suamiku dengan keburukan.”

            Suatu hari aku pernah berkata kepada suamiku mengenai tingkah lakunya, “Sungguh apa yang telah engkau lakukan, jika seandainya engkau mati maka tidak akan ada orang yang akan memandikan, menshalatkan dan menguburkanmu.”

            Suamiku pun tertawa dan berujar, “Jangan khawatir wahai sayangku, jika aku mati maka yang akan menshalatkanku adalah Sultannya Kaum Muslimin, para Ulama dan para pembesar-pembesar negeri.”

            Mendengar hal itu maka Sultan Murad IV pun menangis dan berkata, “Suamimu benar! Demi Allah, aku adalah Sultan Murad IV dan besok pagi kami akan memandikan, menshalatkan dan menguburkannya.”

            Akhirnya, keesokan harinya penyelenggaraan jenazaah laki-laki itu dihadiri oleh Sultan Murad IV, para Ulama, para pembesar-pembesar negeri dan seluruh masyarakat.

Hikmah

Dari kisah Sultan Murad IV dan seorang wali Allah diatas, dapat kita ambil banyak hikmah diantaranya bahwa kita dilarang untuk menilai orang lain dari sisi lahiriahnya saja atau menilainya berdasarkan apa yang kita dengar dari orang lain, apalagi tanpa bertabayun terlebih dahulu. Sungguh banyak sekali hal yang kita tidak ketahui, apalagi hal tersebut berurusan dengan hati yang berada pada relung terdalam. Hendaklah kita bersikap husnuzhan terhadap saudara-saudara Muslim kita. Boleh jadi seseorang yang selama ini kita anggap Ahli Neraka, ternyata justru dia seorang wali Allah dan penghuni surga yang kakinya masih melangkah di bumi. Hendaklah jaga lisan kita dari bahaya ghibah, karena banyak orang yang diseret kedalam neraka karena hasil dari lisan mereka.

Dikutip dari Mudzakirat Sulthan Murad Ar-Rabi’ karya Syaikh Hamid Akram Al-Bukhari hafizhahullah dan berbagai sumber referensi lainnya.

Hukum Berkaitan dengan Undian Berhadiah

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah : 90)


Dalam menguraikan tentang hukum undian diharuskan untuk kembali mengingat beberapa kaidah syari’at Islam yang telah dijelaskan dalam tulisan bagian pertama dalam pembahasan ini. Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama: Kaidah yang tersebut dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari jual beli (dengan cara) gharar.”

Gharar adalah apa yang belum diketahui diperoleh tidaknya atau apa yang tidak diketahui hakikat dan kadarnya.

Kedua: Kaidah syari’at yang terkandung dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)

Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersada:

“Siapa yang berkata kapada temannya: “Kemarilah saya berqimar denganmu”, maka hendaknya ia bershodaqah.” Yaitu hendaknya ia membayar kaffarah (denda) menebus dosa ucapannya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ayat dan hadits di atas menunjukkan haramnya perbuatan maisir dan qimar dalam mu’amalat.

Maisir adalah setiap Mu’amalah yang orang masuk kedalamnya setelah mengeluarkan biaya dengan dua kemungkinan; dia mungkin rugi dan mungkin beruntung.

Qimar menurut sebagian ulama adalah sama dengan maisir, dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada mu’amalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan.

Berdasarkan dua kaidah di atas, berikut ini kami akan berusaha menguraikan bentuk-bentuk undian secara garis besar berserta hukumnya.

Macam-macam Undian

Undian bisa dibagi menjadi tiga bagian:

1.                   Undian tanpa syarat.

Bentuk dan contohnya: Di pusat-pusat perbelanjaan, pasar, pameran dan semisalnya sebagai langkah untuk menarik pengunjung, kadang dibagikan kupon undian untuk setiap pengunjung tanpa harus membeli suatu barang. Kemudian setelah itu dilakukan penarikan undian yang dapat disaksikan oleh seluruh pengunjung.

Hukumnya: Bentuk undian yang seperti ini adalah boleh. Karena asal dalam suatu mu’amalah adalah boleh dan halal. Juga tidak terlihat dalam bentuk undian ini hal-hal yang terlarang berupa kezholiman, riba, gharar, penipuan dan selainnya.

2.                   Undian dengan syarat membeli barang.

Bentuknya: Undian yang tidak bisa diikuti kecuali oleh orang membeli barang yang telah ditentukan oleh penyelenggara undian tersebut.

Contohnya: Pada sebagian supermarket telah diletakkan berbagai hadiah seperti kulkas, radio dan lain-lainnya. Siapa yang membeli barang tertentu atau telah mencapai jumlah tertentu dalam pembelian maka ia akan mendapatkan kupon untuk ikut undian.

Contoh lain: Sebagian perusahaan telah menyiapkan hadiah-hadiah yang menarik seperti mobil, HP, Tiket, biaya Ibadah Haji dan selainnya bagi siapa yang membeli darinya suatu produk yang terdapat kupon/kartu undian. Kemudian kupon/kartu undian itu dimasukkan pada kotak-kotak yang telah disiapkan oleh perusahaan tersebut di berbagai cabang atau relasinya.

Hukumnya: Undian jenis ini tidak lepas dari dua keadaan: Harga produk bertambah dengan terselenggaranya undian berhadiah tersebut.

Hukumnya: Haram dan tidak boleh. Karena ada tambahan harga berarti ia telah mengeluarkan biaya untuk masuk kedalam suatu mu’amalat yang mungkin ia untung dan mungkin ia rugi. Dan ini adalah maisir yang diharamkan dalam syari’at Islam.

Undian berhadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk. Perusahaan mengadakan undian hanya sekedar melariskan produknya.
Hukumnya: Ada dua pendapat dalam masalah ini:
1. Hukumnya harus dirinci. Kalau ia membeli barang dengan maksud untuk ikut undian maka ia tergolong kedalam Maisir/Qimar yang diharamkan dalam syari’at karena pembelian barang tersebut adalah sengaja mengeluarkan biaya untuk bisa ikut dalam undian. Sedang ikut dalam undian tersebut ada dua kemungkinan; mungkin ia beruntung dan mungkin ia rugi. Maka inilah yang disebut Maisir/Qimar. Adapun kalau dasar maksudnya adalah butuh kepada barang/produk tersebut setelah itu ia mendapatkan kupon untuk ikut undian maka ini tidak terlarang karena asal dalam mu’amalat adalah boleh dan halal dan tidak bentuk Maisir maupun Qimar dalam bentuk ini. Rincian ini adalah pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh, Lajnah Baitut Tamwil Al-Kuwaiti dan Haiah Fatwa di Bank Dubai Al-Islamy.
2. Hukumnya adalah haram secara mutlak. Ini adalah pandapat Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Alasannya karena hal tersebut tidak lepas dari bentuk Qimar/Maisir dan mengukur maksud pembeli, apakah ia memaksudkan barang atau sekedar ingin ikut undian adalah perkara yang sulit.

Tarjih

Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama. Karena tidak adanya tambahan harga pada barang dan dasar maksud pembeli adalah membutuhkan barang/pruduk tersebut maka ini adalah mu’amalat yang bersih dari Maisir/Qimar dan ukuran yang menggugurkan alasan pendapat kedua. Dan asal dalam mu’amalat adalah boleh dan halal. Wallahu A’lam.

3.                   Undian dengan mengeluarkan biaya.

Bentuknya: Undian yang bisa diikut setiap orang yang membayar biaya untuk ikut undian tersebut atau mengeluarkan biaya untuk bisa mengikuti undian tersebut dengan mengeluarkan biaya.

Contohnya: Mengirim kupon/kartu undian ke tempat pengundian dengan menggunakan perangko pos. Tentunya mengirim dengan perangko mengeluarkan biaya sesuai dengan harga perangkonya.

Contoh lain: Ikut undian dengan mengirim SMS kelayanan telekomunikasi tertentu baik dengan harga wajar maupun dengan harga yang telah ditentukan.

Contoh lain: Pada sebagian tutup minuman tertera nomor yang bisa dikirim ke layanan tertentu dengan menggunakan SMS kemudian diundi untuk mendapatkan hadiah yang telah ditentukan. Apakah biaya SMS-nya dengan harga biasa maupun tertentu (dikenal dengan pulsa premium).

Hukumnya: Haram dan tidak boleh. Karena mengeluarkan biaya untuk suatu yang mu’amalat yang belum jelas beruntung tidaknya, maka itu termasuk Qimar/Maisir.

Demikian secara global beberapa bentuk undian yang banyak terjadi di zaman ini. Tentunya contoh-contoh undian untuk tiga jenis undian tersebut diatas sangatlah banyak di masa ini. Mudah-mudahan keterangan diatas bermanfaat bagi seluruh pembaca. Wallahu ta’ala a’lam.

Aurat Laki-Laki

“Di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR. Ahmad 2/187 dan Al-Baihaqi 2/229)




Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Aurat artinya sesuatu yang tidak boleh dilihat orang lain. Sering kita dengar pembahasan mengenai aurat wanita. Namun mungkin sedikit atau jarang sekali kita mendengar pembahasan aurat para lelaki. Sering kita lihat bagaimana sebagian pria menampakkan paha atau membuka aurat lainnya. Lalu manakah batasan aurat pria yang terlarang dilihat oleh orang lain? Moga Allah memudahkan dalam membahas hal ini.

Aurat Sesama Lelaki

Aurat sesama lelaki –baik dengan kerabat atau orang lain- adalah mulai dari pusar hingga lutut. Demikian menurut ulama Hanafiyah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِنَّ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ

“Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR. Ahmad 2/187, Al-Baihaqi 2/229. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan sanad hadits ini hasan)

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pusar sendiri bukanlah aurat. Mereka berdalil dengan riwayat bahwa Hasan bin ‘Ali radhiyallhu ‘anhuma pernah menampakkan auratnya lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menciumnya. Akan tetapi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lutut termasuk aurat. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الرُّكْبَةُ مِنَ الْعَوْرَةِ

“Lutut termasuk ‘aurat.” (HR. Ad-Daruquthni 1/506, hadits ini dha’if)

Apa saja yang boleh dilihat oleh laki-laki sesama lelaki, maka itu boleh disentuh.

Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa lutut dan pusar bukanlah aurat. Yang termasuk aurat hanyalah daerah yang terletak antara pusar dan lutut. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Ayyub al-Anshori radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما فوق الرّكبتين من العورة ، وما أسفل السّرّة وفوق الرّكبتين من العورة

“Apa saja yang di atas lutut merupakan bagian dari aurat dan apa saja yang di bawah pusar dan di atas lutut adalah aurat.” (HR. Al-Baihaqi 2/229, hadits ini dha’if)

Pendapat terkuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa aurat lelaki sesama lelaki adalah antara pusar hingga lutut. Artinya pusar dan lutut sendiri bukanlah aurat. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu a’lam.

Apakah Benar Paha Termasuk Aurat?

Sebagian ulama memang berpendapat bahwa paha tidak termasuk aurat, artinya boleh ditampakkan. Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, pendapat ulama Malikiyah, dan pendapat ulama Zhahiriyah. (Shahih Fiqh Sunnah, 3/7) Di antara dalil yang menjadi pendukung adalah berikut ini :

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

وَإِنَّ رُكْبَتِى لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِىِّ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  ، ثُمَّ حَسَرَ الإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِىِّ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم

“Dan saat itu (ketika di Khaibar) sungguh lututku menyentuh paha Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat melihat paha Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang putih.” (HR. al-Bukhari no. 371 dan Muslim no. 1365)

asy-Syaikh Abu Malik menyanggah alasan dari Ibnu Hazm dengan hadits di atas, beliau hafizhahullah berkata, “Hadits di atas dimaksudkan bahwa sarung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersingkap dengan sendirinya, bukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyingkapnya sendiri dan beliau juga tidak menyengajainya. Hal ini didukung dengan riwayat dalam Shahihain yang menyatakan “فانحسر الإزار”, artinya sarung tersebut tersingkap dengan sendirinya.” (Shahih Fiqh Sunnah, 3/7)

Dalil lain yang menjadi pendukung pendapat ini adalah:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُضْطَجِعًا فِى بَيْتِى كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ

(‘Aisyah berkata), “Pada suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berbaring di rumah saya dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abu Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau ….”

asy-Syaikh Abu Malik menyanggah pendapat yang berdalil bahwa paha bukan termasuk aurat berdalil dengan hadits di atas, di mana beliau berkata :

“Tidak bisa kita mempertentangkan hadits yang jelas-jelas mengatakan batasan aurat bagi pria dengan hadits-hadits umum yang telah disebutkan sebelumnya. Bahkan semakin penguat lemahnya pendapat ini, yaitu terdapat dalam riwayat Muslim suatu pertentangan, di mana perowi mengatakan paha dan betisnya. Di riwayat lain dikatakan dengan lafazh “كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ”, beliau menyingkap paha atau betisnya. Dan betis sama sekali bukanlah aurat berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Shahih Fiqh Sunnah, 3/8)

Kesimpulannya, yang lebih tepat dan lebih hati-hati dalam masalah ini, paha adalah aurat. Itulah yang lebih rajih (kuat) berdasarkan alasan yang telah dikemukakan di atas.

Aurat Lelaki dengan Wanita Lainnya

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita boleh melihat selain pusar hingga lutut dengan syarat selama aman dari fitnah (artinya tidak sampai membuat wanita tersebut tergoda). Ulama Malikiyah berpendapat bahwa dibolehkan bagi wanita melihat pria sebagaimana pria dibolehkan melihat mahromnya, yaitu selama yang dilihat adalah wajah dan athrofnya (badannya), ini juga dengan syarat selama aman dari fitnah (godaan).

Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wanita tidak boleh melihat aurat lelaki dan juga bagian lainnya tanpa ada sebab. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS. an-Nur : 31)

Dalil lainnya yang digunakan sebagai hujjah oleh Syafi’iyah adalah hadits dari Ummu Salamah, ia berkata:

كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم احْتَجِبَا مِنْهُ. فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ

“Aku berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah Ibnu Ummi Maktum -yaitu ketika perintah hijab telah turun-. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Berhijablah kalian berdua darinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah ia buta sehingga tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya: “Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat melihat dia?“ ([HR. Abu Daud no. 4112, at-Tirmidzi no. 2778, dan Ahmad 6/296, hadits ini dha’if)

Abu Daud berkata, “Ini hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidakkah engkau lihat bagaimana Fatimah binti Qais di sisi Ibnu Ummi Maktum! Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Fatimah binti Qais, ‘Bukalah hijabmu di sisi Ibnu Ummi Maktum, sebab ia adalah seorang laki-laki buta, maka tidak mengapa engkau letakkan pakaianmu di sisinya.” (Sunan Abi Daud Bab “Firman Allah Ta’ala: وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ “)

Adapun pendapat terkuat menurut madzhab Hambali, boleh  bagi wanita melihat pria lain selain auratnya. Hal ini didukung oleh hadits ‘Aisyah dan haditsnya muttafaqun ‘alaih. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

رَأَيْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ

“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutupiku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda.” (HR. al-Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892)

Yang terkuat adalah pendapat terakhir, yaitu boleh bagi wanita melihat pria lain selain auratnya karena dalil yang mendukung lebih shahih dan lebih kuat. Wallahu a’lam.

Aurat Lelaki di Hadapan Istri

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqoha bahwa tidak ada batasan aurat antara suami istri. Semua bagian tubuhnya halal untuk dilihat satu dan lainnya, sampai pun pada kemaluan. Karena menyetubuhinya saja suatu hal yang mubah (boleh). Oleh karena itu melihat bagian tubuh satu dan lainnya –terserah dengan syahwat atau tidak-, tentu saja dibolehkan.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa dimakruhkan untuk memandang kemaluan satu dan lainnya. Namun hadits yang digunakan adalah hadits yang dha’if. Hadits tersebut adalah:

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ

“Jika salah seorang dari kalian mendatangi isterinya hendaklah dengan penutup, dan jangan telanjang bulat.” (HR. Ibnu Majah no. 1921, hadits ini dha’if)

Hanya Allah yang Maha Sempurna yang dapat memberikan taufiq dan hidayah. Wallahu a’lam.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top