Surat dari Imam Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah
“Sesungguhnya Allah mencintai penguasa yang berinteraksi
dengan ulama’. Dan membenci ulama’ yang mendekati penguasa, karena ulama’
ketika dekat dengan penguasa yang diinginkan dunia, namun jika penguasa
mendekati ulama ingin akhiratnya.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no.
566)
Pada kesempatan kali ini, penulis akan menyampaikan
surat dari salah seorang ulama salaf yang ditujukan kepada Amirul Mukminin,
Harun Ar-Rasyid rahimahullah. Surat tersebut dari Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah,
yang dicatat oleh Ibnu Balyan dan Al-Ghazali rahimahumallah. Ketika
Harun Ar-Rasyid memegang tampuk khilafah, seluruh ulama datang mengunjunginya.
Hanya Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah yang tidak tampak batang hidungnya.
Padahal, mereka berdua adalah sahabat karib. Ketidakmunculan Sufyan menyebabkan
Harun Ar-Rasyid rahimahullah kecewa berat. Ia kemudian menulis surat
kepada Sufyan.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Dari hamba Allah: Harun Ar-Rasyid, Amirul Mukminin
Kepada saudaranya fillah: Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri
Amma ba’du,
Wahai saudaraku...
Aku telah mengetahui bahwa Allah telah mempersaudarakan
orang-orang mukmin. Dan aku telah menjadikan engkau sebagai saudaraku fillah dengan suatu ikatan persaudaraan yang
belum pernah aku berhenti untuk menyayangimu. Aku telah mengulurkan segenap
kecintaanku dan keinginanku yang terdalam kepadamu. Andaikata bukan karena tali
pengikat yang yang diikatkan Allah di leherku ini (jabatan khalifah), pasti aku
akan mendatangimu meski harus merangkak, mengingat betapa besar kecintaan di
dalam hatiku kepadamu. Semua kawan karibku dan kawan karibmu datang
mengunjungiku dan memberikan ucapan selamat atas pengangkatanku. Aku telah
membuka pintu Baitul Mal. Aku ambil sebagian dan kuberikan kepada mereka
sebagai pemberian dan penghormatanku. Namun, hatiku tiada merasa gembira dan
perasaanku belum lega karena keterlambatanmu datang padaku. Oleh karena itu,
aku menulis sepucuk surat kepadamu memberitahukan betapa besar kerinduanku
kepadamu. Telah kamu ketahui, wahai Abu Abdillah, hadits yang mengabarkan
keutamaan mengunjungi orang mukmin dan menyambung tali silaturahmi dengannya.
Jika sudah sampai kepadamu suratku ini. Segera dan segeralah datang
mengunjungiku.”
Kemudian Harun Ar-Rasyid rahimahullah memberikan
surat tersebut kepada Abbad Ath-Thaliqani rahimahullah dan memintanya
untuk menyerahkan kepada Sufyan Ats-Sauri rahimahullah.
Abbad menuturkan, “Aku berangkat menuju Kufah dan aku
mendapati Sufyan Ats-Tsauri sedang berada di masjidnya. Ketika melihatku dari
jauh , beliau berdiri dan mengucapkan doa, A’udzu billahi as-sami’i al-alimi
minasy syaithanir rajim, wa a’udzu bika allahumma min thariqin yathruqu illa bi
khairin.’ (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui, dari setan yang dirajam. Dan aku berlindung kepada-Mu, Ya Allah,
dari orang yang mengetuk pintu kecuali dengan maksud baik). Lalu aku turun dari
kudaku di depan pintu masjid, sementara
beliau berdiri melakukan shalat bukan pada waktu shalat. Aku pun masuk dan
memberi salam kepada orang-orang.
Tidak ada teman majelisnya yang mengangkatkan kepala
melihatku. Aku pun tetap berdiri dan mereka tidak menyuruhku untuk duduk. Aku
pun gemetar karena takut bercampur segan terhadap mereka. Surat itu akhirnya
aku lemparkan kepada beliau yang sedang shalat.
Tatkala melihat surat tersebut, badan Sufyan gemetar
dan segera menjauhinya, seolah surat itu adalah ular yang dilemparkan di
hadapannya. Setelah ruku, sujud, dan mengucapkan salam, beliau mengambil surat
itu.
Beliau memasukkan tangannya kedalam sampul surat dan
melemparkan isinya kepada orang yang berada di belakangnya. “Hendaknya salah
seorang di antara kalian membacanya. Sesungguhnya aku memohon ampun kepada
Allah dari menyentuh sesuatu yang telah disentuh oleh orang zalim,” katanya.
Lalu salah seorang di antara mereka yang duduk menjulurkan tangan tersebut
dengan gemetaran, seolah surat itu adalah ular yang akan memagutnya. Ia baca
surat itu, sementara Sufyan tersenyum keheranan. Setelah surat itu selesai dibaca,
beliau memerintahkan, “Tulis balasan untuk orang zalim itu disebaliknya.” Ada
seorang yang menyarankan kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, dia adalah
khalifah, kalau menulis surat jawaban dengan lembaran putih dan bersih, saya
kira itu lebih baik.” Namun Sufyan tetap pada pendiriannya. “Tulis untuk si
zalim itu di balik suratnya, karena jika dia mendapatkan kertas itu dari yang
halal, dia pasti akan diberi pahala karenanya. Sebaliknya, jika dia
mendapatkannya secara haram, kelak dia akan masuk neraka karenanya. Tidak ada
sesuatu yang telah disentuh orang zalim ada pada kita, sehingga merusakkan Agama
kita. Tulis untuknya:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang.
Dari: Hamba yang telah mati, Sufyan Ats-Tsauri
Kepada: Hamba yang terpedaya oleh berbagai harapan,
Harun, yang telah mengenyahkan (dari dalam hatinya) manisnya iman dan nikmatnya
Qira’atul Qur’an,
Amma ba’du,
Sesungguhnya aku menulis surat kepadamu memberitahukan
bahwa aku telah memutus tali persaudaraan denganmu dan telah memupus rasa kasih
sayangku kepadamu. Sesungguhnya engkau telah menjadikan aku sebagai saksi
atasmu dengan pengakuanmu sendiri dalam suratmu bahwa engkau telah berbuat
melampaui batas kewenanganmu atas Baitul Mal milik kaum Muslimin. Engkau telah
mempergunakannya bukan pada tempatnya dan menghabiskannya tanpa melalui
persetujuan mereka dan mereka tidak rela dengan apa yang telah kamu lakukan atas
harta Baitul Mal itu. Engkau jauh dariku hingga kau tulis surat kepadaku yang
membuatku menjadi saksi atas (perbuatan)mu, adapun aku, maka sesungguhnya aku
bersama saudara-saudaraku yang hadir saat membaca suratmu, semua menjadi saksi
atasmu, dan besok kami akan memberikan kesaksian di hadapan Allah Yang
Mahabijaksana dan Maha Adil.
Wahai Harun, Engkau telah bertindak melampaui batas
kewenanganmu atas Baitul Mal milik kaum Muslimin tanpa kerelaan hati mereka.
Apakah para muallaf yang dibujuk hatinya, para amil (pengurus zakat), para
mujahid fi sabilillah, dan ibnus sabil (dan mereka yang berhak menerima zakat)
rela dengan perbuatanmu? Apakah pemangku Al-Qur’an dan Ahli Ilmu ridha dengan
hal itu? Apakah anak-anak yatim dan para janda rela dengan perbuatanmu? Apakah
sebagian besar rakyatmu rela dengan hal itu? Maka dari itu, singsingkanlah
lengan bajumu wahai Harun dan siapkanlah jawaban bagi pertanyaan tersebut dan
siapkan pula penutup bagi bencana yang bakal mengancam
Ketahuilah bahwa engkau akan berdiri di hadapan Yang
Mahabijaksana lagi Maha Adil. Takutlah kepada Allah saat terampas dari dalam
hatimu manisnya ilmu dan zuhud, lezatnya qira’atul Qur’an, dan bermajelis
dengan orang-orang saleh dan saat engkau ridha dirimu menjadi seorang zalim dan
Imam bagi orang-orang zalim.
Hai Harun, engkau telah duduk di atas singgasana,
mengenakan sulaman sutra dan menurunkan tabir penutup di pintu istanamu
menyerupai hijab (tabir penutup) Rabbul ‘Alamin. Kemudian engkau tugaskan
pasukan pengawalmu yang zalim di pintu gerbang istanamu dan tabirmu. Mereka
meminum khamr namun menghukum had orang yang minum khamr. Mereka berzina namun
menghukum had orang yang berzina. Mereka mencuri, namun menghukum potong tangan
orang yang mencuri. Mereka membunuh, namun menghukum mati orang yang membunuh.
Bukankah hukum tersebut layak untuk diberlakukan kepadamu dan kepada mereka
sebelum mereka menghukumi manusia dengannya?
Bagaimana denganmu hai Harun, besok ketika penyeru dari
sisi Allah menyeru, “Kumpulkanlah orang-orang zalim itu dan para pendukungnya.”
Lalu kamu maju ke hadapan Allah sedangkan kedua tanganmu terbelenggu di
belakang leher. Hanya keadilanmu yang bisa melepaskan belenggu tersebut. Dan
orang-orang zalim berada di sekelilingmu, sedangkan engkau sebagai pemimpin
mereka menuju Neraka. Seolah-olah aku melihat dirimu tengah dihimpit
penderitaan melalui tempat penghalauan (menuju Neraka) sedang engkau melihat
kebaikan-kebaikanmu berada dalam timbangan amal kebaikan orang lain dan
dosa-dosa orang lain berada dalam timbangan amal keburukanmu. Bencana di atas
bencana dan kegelapan di atas kegelapan.
Maka takutlah kepada Allah, hai Harun, dalam urusan rakyatmu.
Jagalah (wasiat) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya, serta
ketahuilah bahwa urusan (kepempininan) itu kalaupun tidak terlimpahkan
kepadamu, ia akan terlimpahkan kepada selainmu. Demikian pula dunia, ia berbuat
terhadap siapa saja yang memperolehnya satu demi satu, maka di antara mereka
ada yang merugi baik dunia maupun akhiratnya. Jangan. Janganlah engkau menulis
surat lagi kepadaku sesudah ini, karena sesungguhnya aku tidak akan membalas suratmu.
Wassalam.
Selesai ditulis, beliau melemparkan surat tersebut
begitu saja tanpa dilipat dan tanpa tanda tangan. Lalu aku mengambilnya dan
pergi menuju pasar Kufah. Nasihat Sufyan sungguh membekas di hatiku. Lalu aku
memanggil orang-orang di sekelilingku, “Hai penduduk Kufah, siapa yang bersedia
membeli lelaki yang lari kepada Allah, maka datanglah kepadaku dengan membawa
dirham dan dinar. Aku tidak membutuhkan harta, akan tetapi hanya sebuah jubah
bulu serta sebuah mantel katun.” Lalu aku melepaskan pakaian yang aku kenakan
saat aku duduk bersama dengan Amirul Mukminin (pakaian istana) dan mengenakan
jubah serta mantel. Aku pergi dengan menuntun kuda hingga tiba di pintu gerbang
istana Harun Ar-Rasyid dalam keadaan bertelanjang kaki. Penjaga pintu gerbang
mencemoohku (karena tidak mengenali keadaannya yang kusut dan kumal), sampai
akhirnya aku diizinkan masuk. Tatkala Amirul Mukminin melihatku dengan keadaan
seperti itu, beliau bangkit dari duduknya dengan terkejut, lalu duduk kembali
seperti memukul kepala dan wajahnya serta menyumpahi dirinya sendiri. ‘Yang
diutus memperoleh manfaat sedangkan yang mengutus gagal dan kecewa,’ gumamnya.
Aku menyerahkan surat balasan Sufyan kepada beliau. Kemudian beliau membacanya,
sementara air matanya jatuh membasahi wajahnya.
Salah seorang penasihatnya berkata, ‘Sufyan telah
berani berlaku lancang terhadap tuan. Mengapa tuan tidak menindaknya:
memberatinya dengan besi dan mengurungnya dalam penjara agar menjadi pelajaran
bagi yang lain.’ Namun Harun Ar-Rasyid hanya berujar, ‘Biarkanlah Sufyan dengan
apa yang dilakukannya, hei budak dunia. Orang yang terpedaya adalah yang kalian
pedayakan dan orang yang celaka, demi Allah, adalah orang yang kalian jadikan
teman duduk (maksudnya adalah dirinya sendiri).’
Demikianlah, Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah sendirian
saja laksana satu umat. Surat balasannya kepada Harun Ar-Rasyid rahimahullah
masih terus dirawat oleh Harun dan selalu diulang dibaca tiap selesai shalat
sambil menangis hingga Allah mewafatkannya. Semoga Allah merahmatinya.
Faidah yang bisa diambil dari kisah ini di antaranya
adalah:
Pertama, bahwa ketika seseorang telah memangku
jabatan sebagai penguasa, tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan dilingkupi
oleh hal-hal yang merusak agamanya secara perlahan-lahan. Terlihat dari surat
balasan yang diberikan oleh Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah mengenai
keadaan Harun Ar-Rasyid rahimahullah yang dikelilingi oleh orang-orang
penjilat dan hanya mengharapkan dunia saja. Padahal kita ketahui bersama bahwa
hukum yang beliau terapkan pada masanya bersumber dari Kitabullah dan Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, seburuk-buruk ulama adalah ulama yang datang
kepada amir-amir karena pada hakikatnya ulama seperti ini memiliki tujuan
keduniawian, sedangkan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang datang kepada
para ulama karena hakikatnya pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang
memikirkan akhirat. Sebagaimana sebuah hadits dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الأُمَرَاءَ إِذَا خَالَطُوا الْعُلَمَاءَ،
وَيَمْقُتُ الْعُلَمَاءَ إِذَا خَالَطُوا الأُمَرَاءَ؛ لأَنَّ الْعُلَمَاءَ إِذَا خَالَطُوا
الأُمَرَاءَ رَغِبُوا فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا خَالَطَهُمُ الأُمَرَاءُ رَغِبُوا فِي
الآخِرَةِ
“Sesungguhnya
Allah mencintai penguasa yang berinteraksi dengan ulama’. Dan membenci ulama’
yang mendekati penguasa, karena ulama’ ketika dekat dengan penguasa yang
diinginkan dunia, namun jika penguasa mendekati ulama ingin akhiratnya.” (HR. Ad-Dailami
dalam Musnad Al-Firdaus no. 566)
Ketiga, perlunya memiliki sikap wara’ bagi seorang
muslim dalam menempuh kehidupan, terlebih ketika ia telah diberi amanah yang
besar. Maka hendaknya ia hanya mengambil yang menjadi haknya saja dan jangan
berlebihan terhadap dunia serta menghukumi manusia dengan keadilan sebagaimana
ia menghukumi untuk dirinya sendiri, karena setiap hal yang mereka kerjakan
akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Rabbul ‘Alamin. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ
إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
ۚ إِنَّ اللَّهَ
نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.“ (QS. An-Nisa [4] : 58)
Keempat, ketegasan seorang dai dan para ulama dalam
menasehati penguasa dan memandang bahwa kepemimpinan adalah sebuah amanah yang
berat sehingga mereka sangat berhati-hati terhadap masalah ini.
Semoga kita semua mampu meneladani akhlak para Salaf
dalam menyikapi penguasa serta kezuhudan mereka terhadap dunia yang hanya
sementara. Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita
semua.