Membunyikan Terompet Adalah Perilaku Orang-Orang Yahudi

“Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.” (HR. Abu Daud no. 498)


Hari ini adalah hari terakhir pada penanggalan kalender Syamsiah atau Masehi. Saudaraku yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sesungguhnya terompet itu budaya Yahudi. Namun kita bisa saksikan apa yang dilakukan oleh saudara-saudara kita sesama muslim dalam memperingati pergantian tahun baru masehi. Merayakan dengan menyalakan kembang api juga meniup-niup terompet dan hanya mengekor budaya Yahudi.

Marilah kita renungkan sepenggal hadits berikut ini. Dari Abu ‘Umair bin Anas dari bibinya yang termasuk shahabiyah Anshar radhiyallahu ‘anha dia berkata:

اهْتَمَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لِلصَّلاَةِ كَيْفَ يَجْمَعُ النَّاسَ لَهَا فَقِيلَ لَهُ انْصِبْ رَايَةً عِنْدَ حُضُورِ الصَّلاَةِ فَإِذَا رَأَوْهَا آذَنَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ قَالَ فَذُكِرَ لَهُ الْقُنْعُ – يَعْنِى الشَّبُّورَ وَقَالَ زِيَادٌ شَبُّورَ الْيَهُودِ فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ وَقَالَ « هُوَ مِنْ أَمْرِ الْيَهُودِ ». قَالَ فَذُكِرَ لَهُ النَّاقُوسُ فَقَالَ « هُوَ مِنْ أَمْرِ النَّصَارَى ». فَانْصَرَفَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk shalat berjama’ah. Ada beberapa orang yang memberikan usulan. Yang pertama mengatakan, ‘Kibarkanlah bendera ketika waktu shalat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu shalat’. Namun Nabi tidak menyetujuinya. Orang kedua mengusulkan agar memakai terompet. Nabi pun tidak setuju, lantas beliau bersabda, ‘Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.’ Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi berkomentar, ‘Itu adalah perilaku Nasrani.’ Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi pun pulang.” (HR. Abu Daud no. 498)

Marilah kita renungkan saudara-saudaraku. Dari hadits di atas menunjukkan bahwa terompet itu perilaku Yahudi. Nah itulah yang diikuti oleh orang-orang yang merayakan tahun baru. Budaya Yahudilah yang diikuti.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia bagian golongan dari mereka.” (HR. Abu Dawud no. 403)

Wahai saudara-saudaraku, dari kedua sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa hukum meniup terompet itu dilarang atau tidak disukai karena itu menyerupai kamu Yahudi. Maka dari itu wahai saudaraku, dalam menyambut tahun baru ini alangkah baiknya kita berdzikir dan bermuhasabah saja. Bagaimana keadaan keimanan kita selama ini, bagaimana ibadah kita, shalat kita, puasa kita, sudahkah kita ikhlas dalam bersedekah atau belum, bagaimana keimanan kita apakah semakin meningkat, statis atau justru menurun. Sungguh bertambahnya tahun itu artinya mengurangi jatah umur kita. Maka tak patut kita merayakannya. Lebih baik isi hari-hari kita dengan hal yang lebih berguna baik bagi kehidupan dunia kita dan khususnya untuk kehidupan kelak di akhirat.

Aspirasi

Masalah akan timbul ketika sang pemimpin punya ego yang ingin dipaksakan.


Dua anak kura-kura saling bertatapan ketika orang yang memeliharanya menempatkan mereka di akuarium kering. Padahal, dua kura-kura kecil itu tergolong kura-kura air. Kontan saja, mereka blingsatan.

“Dasar, manusia kurang pengetahuan!” suara kura-kura yang agak lebih besar. “Iya, kenapa manusia ini tidak belajar dulu tentang kita?” sahut yang kecil menimpali.

Tak lama, keduanya pun merasakan siraman air. Byurr! Dua anak kura-kura menyambut gembira. Tapi, kegembiraan itu tak lama. Karena air yang tersiram begitu banyak, melebihi batas jangkauan leher kura-kura yang butuh nafas di udara bebas.

Lagi-lagi, dua anak kura-kura itu blingsatan. Keduanya tampak mulai pucat karena tak mampu menjangkau permukaan air untuk mengambil nafas. Kalau saja bisa terdengar, mungkin si pemelihara kura-kura akan kaget dengan omelan dua kura-kura kecil itu: “Hei, belajar dulu, dong! Baru ngurusin kita!”

Melihat keanehan itu, si pemelihara kura-kura mulai sadar. Air pun ia kurangi. Dan, wajah puas pun terlihat ketika si pemelihara kura-kura mendapati hewan-hewannya sudah bertingkah normal.

Sesaat kemudian, si pemelihara kura-kura menyeburkan beberapa sobekan roti kedalam akuarium. Ia berharap, kalau peliharaannya akan berebut melahap roti. Tapi, kedua anak kura-kura itu tak peduli.

Kalau saja si manusia pemelihara kura-kura itu mendengar ucapan hewan peliharaannya, ia akan mendengar ucapan ini. “Aduh, gimana sih. Orang butuh cacing air dikasih roti!”

Kehidupan mendudukkan manusia pada posisi yang unik. Manusia berkesempatan dan berkemampuan menjadi pemimpin. Manusia punya kemampuan memimpin hewan, tumbuhan, bahkan sesama manusia lain. Saat itulah, manusia bisa menjadi pengendali.

Masalah akan timbul ketika sang pemimpin punya ego yang ingin dipaksakan. Atau, ia memang tidak paham dengan makhluk-makhluk yang ia pimpin: kapasitas, selera, kecenderungan, budaya, dan berbagai hal lain.

Jangan sampai ia seperti pemelihara kura-kura yang buta dengan semua aspirasi hidup yang ia pimpin. Karena didengar atau tidak, mereka yang dipimpin akan mengatakan, “Gimana sih. Orang butuh ini dikasih itu!”

Pace Alias Mengkudu

“Di antara yang rumit itu, ada kebingungan menemukan tutup peti potensi diri. Semua menjadi seperti misteri. Ada yang mulai mencari-cari, membongkar peti; bahkan ada yang cuma menebak-nebak sambil tetap berpangku tangan.”


Tak banyak buah yang punya pengalaman buruk seperti pace. Sebelum tahun sembilan puluhan, buah yang biasa disebut mengkudu ini nyaris tak punya kebanggaan sedikit pun. Jangankan manusia, kelelawar pun tak sudi mencicipi. Selain baunya apek, rasanya pahit. Pahit sekali!

Belum lagi dengan bentuk buah yang aneh. Bulatnya tidak rata, dan kulit buah ditumbuhi bintik-bintik hitam. Warnanya juga tidak menarik. Mudanya hijau, tuanya pucat kekuning-kuningan. Berbeda jauh dengan apel, jeruk, mangga, dan tomat. Selain kulitnya mulus, warnanya begitu menarik: hijau segar, merah, dan orange.

Sedemikian tidak menariknya pace, orang-orang membiarkan begitu saja buah-buah pace yang sudah masak. Pace tidak pernah dianggap ketika muda, tua; dan di saat masak pun dibiarkan jatuh dan berhamburan di tanah; membusuk, dan kemudian mengering. Pace sudah dianggap seperti sampah.

Kalau saja pace bisa bicara, mungkin ia akan bilang, "Andai aku seindah apel merah. Andai aku seharum jeruk. Andai aku semolek tomat!" Dan seterusnya.

Perubahan besar pun terjadi di tahun sembilan delapan. Seorang pakar tumbuhan menemukan sesuatu yang lain dari pace. Kandungan buahnya ternyata bisa mengobati banyak penyakit: kanker, jantung, tulang, pernafasan, dan lain-lain. Orang pun memberi nama baru buat pace, morinda citrifolia.

Sejak itu, pace menjadi pusat perhatian. Ia tidak lagi diacuhkan, justru menjadi buruan orang sedunia. Kini, tidak ada lagi pace masak yang dibiarkan jatuh dan berhamburan. Ia langsung diolah dengan mesin canggih higienis, dan masuk golongan obat mahal. Kemuliaan pace sudah jauh di atas apel, jeruk, apalagi tomat.

Jalan hidup kadang punya rutenya sendiri. Tidak biasa, lompat-lompat, curam dan terjal. Seperti itulah ketika realitas kehidupan memperlihatkan detil-detilnya yang rumit.

Di antara yang rumit itu, ada kebingungan menemukan tutup peti potensi diri. Semua menjadi seperti misteri. Ada yang mulai mencari-cari, membongkar peti; bahkan ada yang cuma menebak-nebak sambil tetap berpangku tangan. Dalam keputusasaan, orang pun mengatakan, "Ah, saya memang tidak punya potensi." Seribu satu kalimat pengandaian pun mengalir: andai saya…andai saya…andai saya, dan seterusnya.

Kenapa tidak berusaha sabar dengan terus mencari-cari pintu peti potensi. Kenapa tidak mencari alat agar peti bisa terbongkar. Kenapa cuma bisa menebak kalau peti potensi tak berisi. Kenapa cuma diam dan menyesali diri. Padahal boleh jadi, kita bisa seperti pace yang punya potensi tinggi. Sayangnya belum tergali.

Hukum Akad Nikah Dua Kali

“Kami melakukan bai’at kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepadaku: “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at?. Aku menjawab: “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sekarang kali kedua.” (HR. Al-Bukhari no. 7208)


Di masyarakat sering kali kita menyaksikan pasangan pengantin yang menikah dan melakukan dua kali akad umumnya saat mereka akad di KUA dan yang kedua akad di tempat resepsi atau hajatan atau ada pula yang sebelumnya menikah di tempat resepsi atau hajatan dengan di saksikan oleh saksi seperti Pak Kiai atau ulama setempat kemudian pasangan itu melakukan akad kembali saat di KUA. Bagaimana hukum nikah yang akadnya dua kali?

Praktek tersebut dalam pandangan fiqih disebut tajdid nikah atau pembaruan nikah. Tajdid nikah itu hukumnya boleh, apabila bertujuan untuk menguatkan status pernikahan, seperti pada kasus diatas, pernikahan kedua dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh legalitas dan status hukum yang jelas dari pemerintah.

Sedangkan hal yang menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama' Madzhab Asy-Syafi'i adalah tentang status akad nikah dan mengenai pemberian maharnya.

Pertama, Menurut pendapat mayoritas ulama', akad nikah kedua tidak merusak akad pertama, sebab akad yang kedua hanyalah akad nikah yang dalam bentuknya saja, dan hal tersebut bukan berarti merusak akad yang pertama. Pendapat ini merupakan pendapat yang Shahih dalam Madzhab Asy-Syafi'i, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari. Sedangkan dalil bahwa akad kedua tidak merusak akad pertama, seperti yang dijelaskan Imam Ibnul Munir rahimahullah adalah hadits yang diriwayatkan dari Salamah radhiyallahu 'anha:

بَايَعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ، فَقَالَ لِي: «يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ؟»، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ، قَالَ: وَفِي الثَّانِي

“Kami melakukan bai’at kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepadaku: “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at?. Aku menjawab: “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sekarang kali kedua.” (HR. Al-Bukhari no. 7208)

Karena akad yang kedua tidak merusak akad nikah yang pertama, maka akad yang kedua juga tidak mengurangi jatah talak suami, jika sebelumnya belum menjatuhkan talak, maka jatah talaknya masih 3, dan bila sudah menjatuhkan talak satu, maka jatah talaknya tinggal 2 dan seterusnya. Begitu juga pihak laki-laki tidak perlu memberikan mahar lagi.

Kedua, Menurut Syeikh Ardabili rahimahullah, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitab Al-Anwar Li A'malil Abror, dengan melakukan tajdid nikah, maka nikah yang pertama telah rusak, dan tajdid nikah itu dianggap sebagai pengakuan (iqrar) perpisahan, dan tajdid nikah tersebut mengurangi jatah talak suami, dan diharuskan memberikan mahar lagi.

Kesimpulannya, akad nikah yang dilakukan oleh petugas KUA itu diperbolehkan, apalagi hal ini menyangkut legalitas akad nikah, dan menurut pendapat mayoritas ulama' akad nikah yang kedua tidak wajib menggunakan mahar dan akad kedua tersebut tidak mengurangi hitungan nikah suami.

Wallahu ta’alaa a'lam. Semoga bermanfaat.

Ilalang

“Kita adalah pedakwah sebelum semua ada.”


Di sebuah tepian ladang, seorang anak memperhatikan ayahnya yang terus saja bekerja. Sang ayah terlihat menggemburkan tanah dengan cangkul, membaurkan pupuk di sekitar tanaman, dan membabat tumbuhan liar di sekitar ladang. Sesekali, sang ayah harus mencabut ilalang. Anak itu terus memperhatikan dengan heran. “Kenapa ayah melakukan itu? Bukankah ilalang itu masih terlalu kecil untuk dicabut?” teriak si anak sambil berjalan mendekati ayahnya. Ia membawakan air yang baru saja ia tuang ke sebuah gelas kayu. Sambil tangan kiri menghapus peluh, tangan kanan ayah anak itu meraih gelas dari tangan kecil anaknya. “Anakku, inilah pekerjaan petani. Kelak kamu akan tahu,” jawab sang ayah singkat. Setelah minum, petani itu memanggul cangkul di dekatnya. “Hari sudah sore! Mari kita pulang, Nak!” ucap sang ayah sambil meraih pundak anak lelakinya itu. Sepulang dari ladang, petani itu sakit. Hingga beberapa hari, ia dan anaknya tidak bisa ke ladang yang jaraknya sekitar satu jam berjalan kaki, naik dan turun. Petani itu tampak gelisah. Ia seperti ingin memaksakan diri berangkat ke ladang. “Ayah kenapa? Bukankah waktu itu ladangnya sudah ayah bersihkan, dipupuk, dan dipagar,” suara anak itu sambil membantu ayahnya bangun dari tempat tidur. “Itu belum cukup, Nak. Kelak kamu akan tahu!” ucap si petani sambil tertatih-tatih keluar rumah. Ia mengajak anaknya pergi ke ladang. Setibanya di ladang, anak itu terperangah. Ia seperti tidak percaya apa yang dilihat. Hampir seluruh ladang ditutupi ilalang. Cabai dan tomat yang tumbuh mulai membusuk. Daun-daunnya pun dihinggapi ulat. “Anakku, inilah yang ayah maksud tugas petani. Kini kamu paham, kenapa ayah gelisah. Karena seorang petani tidak cukup hanya menanam, menebar pupuk, dan memagar tanamannya. Tapi, ia juga harus merawat. Tiap hari, tiap saat!” jelas sang ayah sambil menatap sang anak yang masih terkesima dengan ilalang di sekitar ladang ayahnya.


Mereka yang terpilih Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pegiat dakwah, sadar betul kalau tugasnya begitu penting, mulia, dan sekaligus berat. Berat karena tugas itu tidak cukup sekadar menanam kesadaran, menebar sarana dakwah, dan memagari ladang dakwah dari terjangan angin dan hewan perusak. Lebih dari itu, ia harus merawat. Seperti halnya ladang tanaman, ladang dakwah bukan benda mati yang akan lurus-lurus saja kalau ditinggal pergi. Tanahnya hidup. Udara di sekitar pun dinamis. Yang akan tumbuh bukan saja tanaman yang diinginkan, tanaman liar seperti ilalang pun akan tumbuh subur merebut energi kesuburan ladang. Belum lagi telur-telur hama yang hinggap ke daun tanaman setelah berterbangan digiring angin. Pegiat dakwah persis seperti seorang petani terhadap tanamannya. Ia sebenarnya sedang berlomba dengan ilalang dan hama. Kalau ia tidak sempat merawat, ilalang dan hama yang akan ambil alih. Kelak, jangan kecewa kalau buah-buah tanaman yang akan dipetik sudah lebih dulu membusuk.

Isyarat

Di pentas dunia ini, alam kerap menampakkan seribu satu isyarat.


Suatu malam di sebuah rumah, seorang anak usia tiga tahun sedang menyimak sebuah suara. "Ting…ting…ting! Ting…ting…ting!" Pikiran dan matanya menerawang ke isi rumah. Tapi, tak satu pun yang pas jadi jawaban.

"Itu suara pedagang bakso keliling, Nak!" suara sang ibu menangkap kebingungan anaknya. "Kenapa ia melakukan itu, Bu?" tanya sang anak polos. Sambil senyum, ibu itu menghampiri. "Itulah isyarat. Tukang bakso cuma ingin bilang, ‘Aku ada di sekitar sini!" jawab si ibu lembut.

Beberapa jam setelah itu, anak kecil tadi lagi-lagi menyimak suara asing. Kali ini berbunyi beda. Persis seperti klakson kendaraan. "Teeet…teeet….teeet!"

Ia melongok lewat jendela. Sebuah gerobak dengan lampu petromak tampak didorong seseorang melewati jalan depan rumahnya. Lagi-lagi, anak kecil itu bingung. Apa maksud suara itu, padahal tak sesuatu pun yang menghalangi jalan. Kenapa mesti membunyikan klakson. Sember lagi!

"Anakku. Itu tukang sate ayam. Suara klakson itu isyarat. Ia pun cuma ingin mengatakan, ‘Aku ada di dekatmu! Hampirilah!" ungkap sang ibu lagi-lagi menangkap kebingungan anaknya. "Kok ibu tahu?" kilah si anak lebih serius. Tangan sang ibu membelai lembut rambut anaknya.

"Nak, bukan cuma ibu yang tahu. Semua orang dewasa pun paham itu. Simak dan pahamilah. Kelak, kamu akan tahu isyarat-isyarat itu!" ucap si ibu penuh perhatian. **

Di antara kedewasaan melakoni hidup adalah kemampuan menangkap dan memahami isyarat, tanda, simbol, dan sejenisnya. Mungkin, itulah bahasa tingkat tinggi yang dianugerahi Allah buat makhluk yang bernama manusia.

Begitu efesien, begitu efektif. Tak perlu berteriak, tak perlu menerabas batas-batas etika; orang bisa paham maksud si pembicara. Cukup dengan berdehem ‘ehm’ misalnya, orang pun paham kalau di ruang yang tampak kosong itu masih ada yang tinggal.

Di pentas dunia ini, alam kerap menampakkan seribu satu isyarat. Gelombang laut yang tiba-tiba naik ke daratan, tanah yang bergetar kuat, cuaca yang tak lagi mau teratur, angin yang tiba-tiba mampu menerbangkan rumah, dan virus mematikan yang entah darimana sekonyong-konyong hinggap di kehidupan manusia.

Itulah bahasa tingkat tinggi yang cuma bisa dimengerti oleh mereka yang dewasa. Itulah isyarat Tuhan: "Aku selalu di dekatmu, kemana pun kau menjauh!"


Simak dan pahamilah. Agar, kita tidak seperti anak kecil yang cuma bisa bingung dan gelisah dengan kentingan tukang bakso dan klakson pedagang sate ayam. 

Melukai Ibumu, Murkalah Tuhanmu

“Dan kami berwasiat kepada manusia tentang kedua orangtuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. (kami berwasiat kepadanya). ’bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu, karena hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman [31] : 14)


Seorang ibu tua yang tinggal di kampung memiliki seorang anak pria yang hidup sukses di kota. Anak tersebut menikah dengan seorang wanita karier dan dikarunia seorang anak yang pintar.

Merasa kesepian, sang ibu yang tinggal di kampung berkirim surat kepada anaknya bahwa dua minggu lagi ia akan pergi ke kota menjumpai anak cucunya dan tinggal di sana demi mengusir rasa sepi. Saat menerima surat dari ibunya, sang anak berdiskusi dengan istrinya tentang bagaimana menyikapi kehadiran sang ibu di tengah mereka. Sang istri berkata, “Mas, engkau bekerja seharian penuh hingga larut malam, demikian pula aku. Aku akan merasa risih bila ibumu tinggal di rumah ini sebab ia akan mencibirku dan mengatakan bahwa aku adalah ibu yang tidak pandai mengurus anak sendiri.”

Sang istri melanjutkan, “Aku pun tak tega bila menyuruhmu untuk menaruh beliau di panti jompo. Nah, bagaimana kalau kita buatkan saja sebuah saung dari bambu di halaman belakang rumah.

Lalu kita tempatkan ibumu di sana. Ia akan bebas melakukan apa saja. Sementara kita dengan kesibukan yang ada tidak akan pernah merasa terusik.”

Sang suami mengangguk tanda setuju atas usul istrinya. Maka dibuatkanlah sebuah saung bambu di belakang rumah untuk sang ibu. Begitu ibunya datang, anak dan menantu tersebut menerimanya dengan penuh kehangatan, namun sayang mereka menempatkan sang ibu di saung bambu di halaman belakang rumah.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan kami berwasiat kepada manusia tentang kedua orangtuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. (kami berwasiat kepadanya). ’bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu, karena hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman [31] : 14)

Ibu yang datang ke kota demi mengusir kesepian di desa, malah merasa terisolasi di tengah anak cucunya sendiri.

“Ma, jangan lupa untuk mengirimkan makan tiga kali sehari untuk ibu ya!” Itulah kalimat yang diucapkan sang suami kepada istrinya setiap kali ia hendak berangkat bekerja. Sang istri pun lalu menyampaikan lagi pesan ini kepada pembantunya untuk melakukan hal yang diminta suaminya. Maka, tiga kali sehari makanan diantar oleh pembantu tersebut ke dalam saung.

Namun karena kesibukan mereka berdua, keduanya kerap lupa untuk mengingatkan pembantu tersebut untuk mengantarkan makanan kepada orangtuanya.

Tadinya tiga kali sehari, terkadang hanya dua kali atau satu kali. Setelah berbulan-bulan tinggal di dalam saung, pesan untuk mengirimkan makanan sudah tidak mereka ingat lagi sehingga pembantunya pun ikut lalai mengirimkan padanya makanan.

Allah subhanahu wa ta’ala sungguh murka terhadap anak yang melalaikan hidup orangtuanya! Piring kotor masih teronggok di pinggir saung. Sudah lama tidak diambil oleh pembantu yang biasa mengantarnya. Karena cahaya yang redup di dalam saung, sang nenek tanpa sengaja menginjak piring itu hingga akhirnya pecah. Tidak ada lagi makanan yang dikirimkan oleh anaknya. Nenek itu lapar. Ia pun pergi ke warung untuk beli makanan untuk sekadar mengganjal rasa lapar. Makanan telah terbeli, lalu dengan apa ia harus meletakkan, sebab tiada lagi alas.

Lalu sang nenek pergi mencari alas untuk makanannya. Tiada yang ia temui selain sebuah batok kelapa. Ia cuci dan bersihkan batok tersebut. Usai dibersihkan, batok itu menjadi teman setia nenek untuk makan. Demikianlah kebiasaan makan yang dilakukan nenek, hingga suatu hari Allah berkenan untuk memberlakukan kehendaknya!!

Di suatu pagi, lepas dari pengawasan baby sitter, seorang bocah lelaki berusia sekitar lima tahun pergi ke halaman belakang. Sudah lama ia tidak bermain ke halaman tersebut. Bocah itu bengong, terperangah saat ia melihat ada sebuah saung bambu di sana. Anak itu pergi menghampiri. Ia dorong pintunya hingga terbuka. Anak tersebut memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Ia pun masuk ke dalamnya. “Eh… ada pangeran kecil rupanya!” suara nenek terdengar mengguratkan senyum di bibir.

“Nenek siapa ya?” Tanya sang bocah polos.

“Aku ini adalah nenekmu. Ibu dari ayahmu!” Nenek itu mencoba menjelaskan.

Beberapa saat kemudian, keduanya sudah menjalin kehangatan. Kehangatan tali persaudaraan. Persaudaraan antara seorang nenek dengan cucunya, yang tidak bisa dipisahkan oleh jarak apa pun. Keduanya membaur tak ubahnya darah dan daging.

Sejak itu, sang bocah sering mengunjungi neneknya meski kedua orangtuanya tak tahu apa yang dilakukan anaknya selama ini. Ketika si bocah melihat sebuah benda aneh di pojok saung, ia bertanya, “Itu benda apa, Nek?” si cucu menunjuk ke sebuah benda dengan perasaan ingin tahu. Si nenek melempar pandangan ke arah yang ditunjuk cucunya. Ia tahu bahwa yang dimaksud cucunya adalah batok kelapa.

“Oh… itu piring nenek. Tempat makan nenek. Lucu ya…?!” Nenek menjawab dengan wajah tersenyum.

“Iya, Nek! Ini bagus sekali,” sambut sang cucu. Sang cucu merekam kejadian itu.

Dalam sebuah liburan akhir pekan, bocah ini diajak tamasya ke luar kota oleh papa dan mamanya. Mereka pergi membawa mobil ke tempat wisata. Sesampainya di sebuah taman wisata yang begitu rimbun, teduh dan indah, mereka pun berbagi tawa dan kebahagiaan. Mereka berlari, berkejaran, berjalan dan melompat. Hari itu penuh keceriaan bagi mereka bertiga.

“Haaaap!” sang papa melompat sambil berteriak. Diikuti suara dan lompatan yang sama dari sang mama. Rupanya keduanya telah melompat melintasi bibir selokan kecil di sana. “Ayo Nak… lompati selokan itu. Kamu pasti bisa!” Teriak keduanya berseru kepada anak mereka.

Sang anak berdiri terdiam di seberang. Ia melemparkan pandangan ke dalam selokan. Ia tak mau melompat, namun malah berujar, “Pa… Ma…, tolong ambilkan benda itu dong!” Papanya melihat ke arah benda yang ditunjuk anaknya, ia tahu benda yang dimaksud adalah ‘batok kelapa’ dalam selokan.

“Apa sih, Nak? Nggak usah diambil. Itu kotor!” kata Si papa. Sang mama menimpali dengan kalimat serupa.

Namun si anak tetap bersikeras, merengek dan mengancam bahwa dirinya tidak mau meneruskan tamasya bila mama atau papanya tidak mau mengambilkan benda tersebut.

Keduanya mengalah. Diangkatlah ‘batok kelapa’ yang telah baunya busuk dari selokan. Keduanya repot mencari keran air untuk mencucinya. Setelah agak bersih, batok itu pun diberikan kepada sang anak. Keduanya merasa heran melihat sang anak begitu hangat memeluk batok kelapa tersebut.

Dalam perjalanan kembali ke rumah. Ketiganya masih berada di dalam mobil. Tak sabar dan penuh rasa ingin tahu, sang mama bertanya kepada anaknya, “Mama jadi bingung sama kamu. Sebenarnya untuk apa sih batok kelapa itu, Nak.?!”

Si anak masih memeluk batok itu. Ia angkat kepalanya lalu berkata, “Aku mau kasih kejutan ke mama!”

Dengan kepolosannya ia melanjutkan, “Kalau sampai di rumah, benda ini akan aku cuci sampai bersih. Setelah itu akan aku beri bungkus yang rapih. Bila sudah rapi, aku akan berikan ini untuk mama sebagai alas untuk makan.”

“Untuk makan?!” Mama bertanya keheranan dengan rasa jijik. “Iya, untuk makan. Aku lihat nenek di saung belakang rumah, ia makan dengan ini. Papa dan Mama yang berikan itu untuk Nenek kan?!” Tanyanya polos.

Keduanya bergidik. Allah subhanahu wa ta’ala sungguh telah menegur mereka berdua lewat lidah anak mereka sendiri. Selama ini, sungguh mereka telah menyia-nyiakan orangtua sendiri. Hingga harus makan dengan alas dari sesuatu yang menjijikkan bagi mereka, yaitu batok kelapa. Apakah Anda masih menyia-nyiakan hidup orangtua Anda?!

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top