Keutamaan Lapar Disisi Allah

Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya saya pernah jatuh tersungkur antara mimbarnya Rasulullah dengan biliknya Aisyah sampai tidak sadarkan diri. Kemudian datanglah padaku seorang yang datang, lalu ia meletakkan kakinya di atas leher saya dan ia menyangka bahwa sesungguhnya saya adalah orang gila, padahal saya tidaklah kejangkitan penyakit gila, tetapi saya jatuh karena kelaparan.” (HR. Bukhari)


  1. Pertanggung jawaban di akhirat 
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, katanya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari atau suatu malam keluar, kemudian tiba-tiba bertemu dengan Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma, lalu beliau bertanya: “Apakah yang menyebabkan engkau berdua keluar ini?” Keduanya menjawab: “Karena lapar ya Rasulullah.” Beliau lalu bersabda: “Adapun saya, demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaanNya, sesungguhnya yang menyebabkan saya keluar ini adalah sesuatu yang juga menyebabkan engkau berdua keluar itu -yakni sama-sama lapar-, Ayolah pergi.” Keduanya pergi bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mendatangi seorang lelaki dari kaum Anshar, tiba-tiba lelaki itu tidak sedang di rumahnya. Ketika istrinya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata: Marhaban wa ahlan. Selamat datang di rumah ini dan harap mendapatkan keluarga yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya: “Di mana Fulan -suamimu?” Istrinya menjawab: “Ia pergi mencari air tawar untuk kita.” Tiba-tiba di saat itu orang Anshar -suaminya itu- datang. Ia melihat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kedua orang sahabatnya, kemudian berkata: “Alhamdulillah. Tiada seorangpun yang pada hari ini mempunyai tamu-tamu yang lebih mulia daripada saya sendiri. Orang itu lalu pergi kemudian datang lagi menemui tamu-tamunya itu dengan membawa sebuah batang kurma -berlobang- berisikan kurma berwarna, kurma kering dan kurma basah. Iapun berkata: “Silahkanlah makan.” Selanjutnya ia mengambil pisau, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan menyembelih yang mengandung air susu.” Orang Anshar itu lalu menyembelih untuk tamu-tamunya itu, kemudian mereka makan kambing itu, juga kurma dari batang kurma tadi serta minum pulalah mereka. Setelah semuanya itu kenyang dan segar -tidak kehausan- lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaanNya, sesungguhnya engkau semua akan ditanya dari kenikmatan yang engkau semua rasakan ini pada hari kiamat. Engkau semua dikeluarkan dari rumahmu oleh kelaparan. Kemudian engkau semua tidak kembali sehingga engkau semua memperoleh kenikmatan ini.” (HR. Muslim)

  1. Kecintaan Allah
Rasulullah tatkala melaksanakan shalat dengan para sahabat, ada beberapa orang yang jatuh dalam shalatnya, disebabkan karena kemisikinan yang teramat. Mereka itu adalah ahlush shuffah, sehingga orang-orang mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang gila. Rasulullah setelah selesai shalat menghadap ke arah mereka itu dan berkata: “Andaikata engkau semua mengetahui apa yang disediakan untukmu semua di sisi Allah Ta’ala, sesungguhnya engkau semua senang kalau engkau semua bertambah fakir (Tirmidzi)

  1. Jalan tol ke surga 
“Utbah bin Ghazwan berkhutbah kepada kita dan ia adalah menjabat sebagai gubernur di Bashrah,dia memuji Allah, kemudian berkata: “Amma ba’du, sesungguhnya dunia telah memberitahukan akan kerusakannya dan akan segera hancur sehingga tidak akan tersisa kecuali sedikit sekali, , sebagaimana sisanya wadah yang dikumpulkan isinya oleh pemiliknya. Sesungguhnya engkau semua pasti berpindah dari dunia ini, ke tempat yang kekal. Maka dari itu berpindahlah dengan sebaik-baik bekal yang ada padamu semua. Sesungguhnya Rasulullah telah menyampaikan bahwa sebuah batu yang dilemparkan dari tepi Jahanam itu lalu jatuh ke dalamnya sampai selama tujuhpuluh tahun, tetapi belum juga mencapai dasarnya. Demi Allah, sesungguhnya Jahanam itu benar-benar akan dipenuhi manusia, apakah engkau semua heran tentang itu? Juga sesungguhnya telah disebutkan kepada kita bahwasanya antara dua daun pintu dari beberapa daun pintu surga itu adalah berjarak sejauh perjalanan empat puluh tahun. Sesungguhnya akan datang pada surga itu suatu hari menjadi penuh sesak – yakni berjejal-jejal orang hendak memasukinya. Saya sendiri telah mengalami bahwa diri saya termasuk yang ketujuh dari tujuh orang yang menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang kita tidak memiliki makanan apapun, melainkan daun-daunan pohon, sehingga banyaklah luka-luka yang timbul di rahang kita, kemudian saya mendapatkan selembar kain, lalu saya sobeklah kain itu untuk dibagikan antara saya sendiri dengan Sa’ad bin Malik, jadi saya bersarung dengan separuh kain itu dan Sa’ad juga bersarung dengan separuhnya lagi. Selanjutnya pada hari ini, seorang diantara kami berdua itu tidaklah menjabat melainkan sebagai seorang gubernur dari sebuah daerah dari sekian banyak daerah yang ada. Sesungguhnya saya mohon perlindungan kepada Allah kalau saya merasa dalam diri sendiri itu sebagai orang yang agung, sedang di sisi Allah hanyalah kecil belaka.” (HR. Muslim)

  1. Keadaan ahlus suffah
“Sungguh-sungguh saya telah melihat tujuh puluh orang dari golongan ahlush shuffah -kaum fakir miskin di Madinah, tiada seorangpun diantara mereka itu yang berselendang. Ada kalanya mengenakan sarung dan ada kalanya pula baju. Mereka mengikatkan itu pada leher-lehernya. Di antaranya ada yang sampai pada separuh kedua betisnya dan diantaranya ada yang sampai pada kedua mata kakinya, lalu dikumpulkan -kedua belahannya itu- karena enggan kalau sampai terlihat auratnya.” (HR. Bukhari)

  1. Rahasia kecerdasan Abu hurairah
Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya saya pernah jatuh tersungkur antara mimbarnya Rasulullah dengan biliknya Aisyah sampai tidak sadarkan diri. Kemudian datanglah padaku seorang yang datang, lalu ia meletakkan kakinya di atas leher saya dan ia menyangka bahwa sesungguhnya saya adalah orang gila, padahal saya tidaklah kejangkitan penyakit gila, tetapi saya jatuh karena kelaparan.” (HR. Bukhari)

  1. Lapar seperti awan
Abu Yazid al Bustami Rahmatullahu ‘alaih berkata, ” lapar adalah seperti awan, apabila seseorang itu lapar maka awan itu akan menurunkan hujan hikmah kedalam hatinya”

Kisah Sang Kekasih dan Kesederhanaannya

“Rasulullah bersabda: “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad ini makanan sekadar menutup kelaparan. (HR. Bukhari dan Muslim)


Dalam Shahih Muslim ‘Umar menceritakan: “Aku pernah melihat Rasulullah SAW melewati harinya tanpa ada sesuap makanan pun mengisi perutnya.

Aisyah berkata: “Tidak pernah kenyang keluarga Muhammad dari roti gandum selama dua hari terus menerus, keadaan sedemikian ini sampai beliau dicabut ruhnya.” (HR. Bukhari, Muslim)

Dari Urwah dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Aisyah pernah berkata: “Demi Allah, hai anak saudaraku, sesungguhnya kita melihat ke bulan sabit, kemudian timbul pula bulan sabit, kemudian timbul pula bulan sabit. Jadi tiga bulan sabit yang berarti dalam dua bulan lamanya, sedang di rumah-rumah keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah ada nyala api.” Saya -yakni Urwah- berkata: “Hai bibi, maka apakah yang dapat menghidupkan Anda sekalian?” Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab: “Dua benda hitam, yaitu kurma dan air belaka, hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai beberapa tetangga dari kaum Anshar, mereka itu mempunyai beberapa ekor unta manihah, lalu mereka kirimkanlah air susunya itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian memberikan minuman itu kepada kita.” (HR. Bukhari, Muslim)

Dari Said al-Maqburi dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya ia berjalan melalui kaum yang di hadapan mereka ada seekor kambing yang sedang dipanggang. Mereka memanggilnya, tetapi ia enggan untuk ikut memakannya dan ia berkata: “Rasulullah keluar dari dunia -yakni wafat- dan tidak pernah kenyang dari roti gandum.” (Riwayat Bukhari)

Anas berkata: “Nabi itu tidak pernah makan di atas meja sehingga beliau wafat, juga tidak pernah makan roti yang diperhaluskan buatannya sehingga beliau wafat.” (HR. Bukhari)

an-Nu’man bin Basyir berekata: “Sungguh-sungguh saya pernah melihat Nabimu semua dan beliau tidak mendapatkan kurma bermutu rendahpun yang dapat digunakan untuk mengisi perutnya.” (HR. Muslim)

Dari Asma’ binti Yazid radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Ujung lengan baju gamisnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah sampai di pergelangan tangan.” (HR. Tirmidzi)

“Barangsiapa diantara engkau semua telah merasa aman dari musuh, sehat badannya, memiliki makanan pada hari itu, maka ia telah dikaruniai dunia dengan keseluruhan isinya.” (HR. Tirmidzi)

“Rasulullah dalam beberapa malam yang berturut-turut itu bermalam dalam keadaan terlipat -maksudnya terlipat perutnya karena lapar, sedang para keluarganya tidak mendapatkan sesuatu untuk makan malam, juga sebagian banyak roti yang dimakan itu adalah roti terbuat dari gandum. (HR. Tirmidzi)

Abu Musa al-Asy’ari berkata: “Aisyah  mengeluarkan untuk kita  sebuah baju dan sarung kasar, lalu ia berkata: “Rasulullah wafat sewaktu mengenakan kedua pakaian ini.” (HR. Bukhari, Muslim)

Sa’ad bin Abu Waqqash berkata: “Sesungguhnya saya itu orang Arab pertama yang melempar panah fisabilillah. Kita semua waktu itu berperang beserta Rasulullah dan kami tidak mempunyai makanan sedikitpun melainkan daun pohon hublah dan daun pohon samurini, sehingga seorang dari kami mengeluarkan kotoran besar sebagaimana keadaan kambing kalau mengeluarkan kotoran besarnya dan tidak dapat bercampur dengan lainnya -yakni bulat-bulat serta kering, karena tidak ada yang dimakan.” (HR. Bukhari, Muslim)

Abu Hurairahberkata: “Demi Dzat yang tiada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya saya menempelkan perutku ke tanah karena kelaparan dan mengikatkan batu pada perut saya karena kelaparan. Saya pernah duduk-duduk pada suatu hari di jalan, orang-orang keluar melalui jalan itu -untuk mencari nafkahnya masing-masing. Kemudian Nabi berjalan melalui tempat saya dan beliau tersenyum ketika melihat saya, karena mengetahui raut wajah dan keadaan diriku, kemudian beliau bersabda: “Abu Hir.” Saya menjawab: “Labbaik ya Rasulullah.” Beliau bersabda lagi: “Mari ikut,” dan beliau terus berlalu dan saya mengikutinya. Selanjutnya beliau masuk ke rumah keluarganya, saya mohon izin lalu beliau mengizinkan masuk untukku. Sayapun masuklah, di situ beliau menemukan susu dalam gelas. Beliau bertanya: “Dari manakah susu ini?” Keluarganya berkata: “Fulan atau Fulanah itu menghadiahkan untuk Tuan.” Beliau bersabda: “Abu Hir.” Saya menjawab: “Labbaik ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Susullah para ahlush shuffah, lalu panggillah mereka untuk datang padaku.” Abu Hurairah berkata: “Ahlush shuffah itu adalah merupakan tamu-tamu Islam, karena tidak bertempat pada sesuatu keluarga, tidak pula berharta dan tidak berkerabat pada seorangpun. Jikalau ada sedekah -zakat- yang datang pada Nabi lalu sedekah -atau zakat- itu dikirimkan semuanya oleh beliau kepada mereka dan beliau sendiri tidak mengambil sedikitpun daripadanya, tetapi kalau beliau menerima hadiah, maka dikirimkanlah kepada orang-orang itu dan beliau sendiri mengambil sebagian daripadanya. Jadi beliau bersama-sama dengan para ahlush shuffah itu untuk menggunakannya.” Perintah Nabi memanggil ahlush shuffah itu membuat perasaanku tidak enak. Oleh sebab itu saya berkata –dalam diri-: “Bagaimana susu ini (yang sedikit ini) akan diberikan kepada seluruh ahlush shuffah?. Padahal sekali saya minum saja akan habis?” Kemudian, jikalau orang-orang itu datang, Nabi tentu akan meminta saya memberikan itu kepada mereka dan Barangkali saya tidak akan kebagian. Namun tidak ada pilihan kecuali melaksanakan perintah Nabi. Oleh karena itu mereka saya datangi dan saya panggillah semuanya. Mereka menghadap dan meminta izin, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan mereka masuk, lalu semua mengambil tempat duduk sendiri-sendiri dalam rumah. Beliau lalu bersabda: “Abu Hir.” Saya menjawab: “Labbaik ya Rasulullah.” Beliau bersabda lagi: “Ambillah susu itu dan berikanlah kepada mereka.” Abu Hurairah berkata: “Saya lalu mengambil gelas, kemudian saya berikan pada seorang dulu. Ia minum sampai kenyang lalu gelas dikembalikan. Seterusnya saya berikan kepada yang lain, ia pun minumlah sampai kenyang pula, lalu dikembalikanlah gelasnya, sehingga akhirnya sampai giliran saya memberikan itu kepada Nabi, sedang orang-orang ahlush shuffah itu sudah puas minum semuanya. Beliau mengambil gelas lalu diletakkan di tangannya, kemudian beliau melihat saya dan tersenyum, kemudian bersabda: “Abu Hir.” Saya menjawab: “Labbaik ya Rasulullah.” Beliau bersabda pula: “Sekarang tinggallah saya dan engkau -yang belum minum.” Saya menjawab: “Benar Tuan, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Duduklah dan minumlah.” Saya pun duduklah lalu saya minum. Beliau bersabda lagi: “Minumlah lagi.” Sayapun minumlah. Beliau tidak henti-hentinya bersabda: “Minumlah lagi,” sehingga saya berkata: “Tidak, demi Allah yang mengutus Tuan dengan benar, saya sudah tidak mendapatkan jalan lagi untuk minum itu -artinya sudah amat kenyang minumnya itu. Setelah itu beliau bersabda: “Kalau begitu, berikanlah saya gelas itu.” Gelaspun saya berikan, kemudian beliau memuji kepada Allah Ta’ala dan membaca bismillah di permulaan minumnya lalu beliau minumlah sisanya itu.” (HR. Bukhari)

“Rasulullah wafat sedang baju besinya sedang digadaikan pada seorang Yahudi dengan nilai tiga puluh sha’ -gantang- dari gandum.” (HR. Bukhari, Muslim)

“Rasulullah bersabda: “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad ini makanan sekadar menutup kelaparan. (HR. Bukhari, Muslim)

Hukum Minum Kopi Luwak

Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata: “Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis.” (Nihayatuz Zain, hal. 50)


Kopi luwak yaitu kopi yang diperoleh dari biji-biji kopi yang sebelumnya telah dimakan oleh binatang luwak, lalu dikeluarkan lagi bersama kotorannya. Kopi luwak sendiri sekarang sudah menjadi konsumsi masyarakat terlebih lagi sekarang sudah dijual dalam kemasan sachet dari berbagai merk dengan harga yang sangat terjangkau. Namun karena keadaan dari kopi luwak yang berasal dari kotoran luwak inilah yang mengakibatkan syubhat-syubhat di kalangan muslim, sebagian menghalalkan namun sebagian lagi mengharamkan karena hal itu najis dan menjijikan. Namun manakah pendapat yang benar?

Sebelum kita menjawab hukum mengkonsumsikan kopi luwak ini, perlu dijelaskan bahwa para ulama telah menjelaskan bahwa biji-bijian yang ditelan hewan kemudian dikeluarkan baik dengan cara dimuntahkan ataupun dikeluarkan melalui anus bersama kotorannya, rincian hukumnya adalah sebagai berikut:

1.       Mutanajjis (benda bernajis, secara dzat maka benda ini hukum asalnya tidak najis) bila ketika keluar biji tersebut masih baik, bila ditanam akan tumbuh, maka cukup disucikan dengan dibersihkan kotoran-kotoran yang menempel padanya kemudian dicuci dengan air, maka biji tersebut menjadi suci dan dapat dimakan
2.       Najis, bila telah hancur atau busuk, bila ditanam tidak akan tumbuh lagi. Najis tidak dapat disucikan lagi dan tidak boleh dikonsumsi.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpandangan bahwa kopi luwak itu halal alias tidak haram. Dalam fatwanya disebutkan bahwa memang awalnya biji kopi itu terkena najis, sehingga hukumnya menjadi mutanajjis, lantaran keluar dari anus luwak. Mereka membedakan antara benda najis dengan benda yang mutanajjis. Benda najis adalah benda itu sendiri yang najis. Walaupun dicuci sampai bersih tetap saja benda itu masih menjadi benda najis. Sedangkan benda yang mutanajjis sesungguhnya benda yang suci namun terkena najis. Apabila dicuci hingga bersih dan hilang semua najis yang menempel, maka benda itu adalah benda suci.

Dalam kasus biji kopi yang dimakan oleh luwak, mereka berpendapat bahwa biji keluar dari anus luwak bukan sebagai benda najis, tetapi sebagai benda mutanajjis. Sehingga bila biji kopi itu dicuci dengan bersih, sehingga semua feses atau kotoran yang najis itu hilang, maka biji kopi itu menjadi bersih dan suci kembali.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat dalam Fatwa No. 07 Tahun 2010 menetapkan sebagai berikut:

1.       Kopi luwak adalah mutanajjis, bukan najis
2.       Kopi luwak adalah halal setelah disucikan
3.       Mengkonsumsikan kopi luwak adalah boleh
4.       Memproduksikan dan memperjualbelikan kopi luwak adalah boleh

Dalam berfatwa, MUI menggunakan logika bahwa biji kopi itu diibaratkan seperti biji tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh hewan dan keluar lewat kotoran. Biji itu tidak tercerna di dalam perut hewan itu dan keluar dalam keadaan utuh dan tetap keras. Bahkan biji itu bisa ditanam kembali dan tumbuh menjadi pohon.

Pembahasan mengenai biji-bijian yang ditelan hewan kemudian dikeluarkan kembali sudah sangat umum sekali dalam pembahasan Fiqih khususnya dalam Madzhab Asy-Syafi’i, beberapa ulama Madzhab Asy-Syafi’i berfatwa mengenai hal ini dalam karya-karya mereka, antara lain:

1.       Imam Abu Zakariyya An-Nawawi rahimahullah berkata:

قال أصحابنا رحمه الله إذا أكلت البهمية حبا وخرج من بطنها صحيحا فإن كانت صلابتها باقية بحيث لو زرع نبت فعينه طاهرة لكن يجب غسل ظاهره لملاقاة النجاسة لانه وان صار غذاء لها فما تغير الى الفساد فصار كما لو ابتلع نواة وخرجت فأن باطنها طاهر ويطهر قشرها بالغسل وإن كانت صلابتها قد زالت بحيث لو زرع لم ينبت فهو نجس ذكر هذا التفصيل هكذا القاضى حسين والمتولى والبغوى وغيرهم

“Sahabat kami rahimahullah berkata, ‘Ketika binatang menelan sebuah biji, lalu keluar dari perutnya dalam keadaan utuh, maka harus dilihat dari kerasnya biji itu. Kalau kerasnya biji itu tetap dalam arti ketika biji itu ditanam lantas tumbuh, maka hukum biji itu suci. Tetapi wajib dicuci permukaan biji itu karena bersentuhan dengan najis. Karena, meskipun biji itu merupakan makanan binatang itu, tetapi biji tersebut tidak  menjadi rusak. Ini sama halnya dengan biji yang ditelan binatang, lalu keluar dari duburnya, maka bagian dalam bijinya adalah suci dan suci kulit bijinya dengan dibasuh. Tetapi jika kekerasan biji itu hilang artinya ketika biji ditanam tidak tumbuh, maka hukum biji itu najis.’ Demikian disebutkan secara rinci. Begitulah dikatakan Qadhi Husein, Al-Mutawalli, Al-Baghawi, dan ulama lain.” (Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Jilid 2 hal. 591)

2.       Imam Ramli Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا ، وَيُحْمَلُ كَلَامُ مَنْ أَطْلَقَ نَجَاسَتَهُ عَلَى مَا إذَا لَمْ يَبْقَ فِيهِ تِلْكَ الْقُوَّةِ .وَمَنْ أَطْلَقَ كَوْنَهُ مُتَنَجِّسًا عَلَى بَقَائِهَا فِيهِ كَمَا فِي نَظِيرِهِ مِنْ الرَّوْثِ ، وَقِيَاسُهُ فِي الْبَيْضِ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ صَحِيحًا بَعْدَ ابْتِلَاعِهِ بِحَيْثُ تَكُونُ فِيهِ قُوَّةُ خُرُوجِ الْفَرْخِ أَنْ يَكُونَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا

“Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis. Karena itu, dapat  difahami bahwa pendapat yang menyebutkan kenajisannya secara mutlaq kemungkinan jika tidak dalam kondisi kuat. Sementara itu, pendapat yang menyebut secara mutlaq sebagai mutanajjis kemungkinan dalam kondisi tetap, sebagaimana barang yang terkena kotoran lain. Yang serupa dengan biji-bijian adalah pada  telur, maka jika keluar dalam kondisi utuh setelah ditelan dengan sekira ada kekuatan untuk dapat menetas, maka hukumnya mutanajjis bukan najis.” (Nihayah Al-Muhtaj, Jilid 1 hal. 240)

3.       Syaikh Zainuddin Al-Malibari rahimahullah berkata:

ولو راثت أو قاءت بهيمة حبا، فإن كان صلبا بحيث لو زرع نبت، فمتنجس يغسل ويؤكل، وإلا فنجس

“Seandainya seekor binatang mengeluarkan kotoran atau memuntahkan biji-bijian, jika biji itu tersebut masih keras sekira kalau ditanam masih tumbuh, maka hukumnya adalah mutanajjis yang dapat dibasuh dan kemudian dimakan, tetapi jika tidak keras lagi, maka najis.” (Fathul Muin, Jilid 1 hal. 82)

4.       Ulama besar Nusantara Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata:

نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا

“Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis.” (Nihayatuz Zain, hal. 50)

Dalil atas fatwa-fatwa diatas adalah karena tidak ada keterangan dari dalil syara’ yang mengharamkannya. Karena itu, berlakukan qaidah fiqh berbunyi:

الاصل في الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم

“Asal sesuatu adalah mubah sehingga ada dalil yang mengharamkannya.”

Sedangkan menurut pendapat Madzhab Hambali, untuk hewan yang dagingnya halal dimakan, air kencing dan kotorannya tidak najis. Kalau air kencing atau kotorannya tidak najis, tidak ada `illat untuk mengharamkannya. Dengan kata lain, bisa saja kopi luwak ini dianggap tidak haram karena dalam pandangan Madzhab Hambali kotoran luwak bukan benda najis.

Dasar pengambilan hukum atas ketidaknajisan kotoran hewan yang halal dagingnya adalah hadits berikut:

كَانَ النَّبِىُّ يُصَلِّى قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ

“Dahulu sebelum dibangun Masjid Nabawi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat di kandang kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 429)

قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا

“Beberapa orang dari kabilah 'Ukel dan Urainah singgah di kota Madinah. Tidak berapa lama perut mereka menjadi kembung dan bengkak karena tak tahan dengan cuaca Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mendatangi onta-onta milik Nabi yang digembalakan di luar kota Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu onta-onta tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6805 dan Muslim no. 1671)

Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat disimpulkan bahwa kopi luwak adalah halal dan tidak najis. Yang demikian itu dikarenakan luwak tidak termasuk binatang buas, karena tidak menyerang manusia. Luwak termasuk binatang herbifora yang makanannya adalah buah-buahan. Sebagaimana tidak ada dalil khusus yang mengharamkannya. Dengan demikian kotoran luwak adalah suci dan tidak najis, dan kopi yang keluar bersama kotorannya pun suci dan tidak najis. Terlebih-lebih kopi tersebut sebelum dijadikan minuman telah dicuci dan dibersihkan dari kotoran. Sehingga tidak ada alasan untuk mengharamkannya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Setan Tertawa Ketika Kita Menguap

“Bila seorang menguap hendaklah dia menahan semampunya. Bila seorang menguap sampai keluar ucapan ‘haaah’, maka setan akan menertawainya.” (HR. Al-Bukhari no. 6223 dan Muslim no. 2994)


Perkara yang dianggap sepele, yang sudah menjadi kebiasaan kebayakan orang, padahal merupakan sebuah kekeliruan yang perlu diluruskan, adalah bersuara ketika menguap. Sepertinya sepele, tapi tunggu dulu. Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa setan itu tertawa bila mendengar seorang bersauara “haah” ketika menguap. Apalagi kalau sampai teriak?!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنْ الشَّيْطَانِ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِذَا قَالَ هَا ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ

“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Oleh karena itu bila salah seorang dari kalian bersin lantas dia memuji Allah, maka wajib atas setiap muslim yang mendengarnya untuk ber-tasymit kepadanya (mengucapkan “yarhamukallah”). Adapun menguap, maka dia dari setan, bila seorang menguap hendaklah dia menahan semampunya. Bila seorang menguap sampai keluar ucapan ‘haaah’, maka setan akan menertawainya.” (HR. Al-Bukhari no. 6223 dan Muslim no. 2994)

Inilah diantara adab yang perlu diperhatikan ketika menguap. Yaitu menahan semampunya, bila tidak mampu maka menutup mulut dengan tangan, kemudian adab selanjutnya adalah menahan suara ketika menguap.

Membuat musuh bahagia tentu terlarang dalam Islam. Yang diperintahkan oleh Islam adalah memasukkan kebahagiaan ke dalam hati seorang mukmin. Karena orang yang mukmin adalah saudara kita. Mafhum mukhalafah-nya adalah bila memasukkan kebahagiaan ke dalam hati seorang mukmin yang mana seorang mukmin itu saudara itu diperintahkan, maka memasukkan kebahagiaan ke dalam hati musuh orang-orang yang beriman tentu terlarang.

Bila seorang membuat setan tertawa karena keisengannya mengeluarkan suara ketika menguap, berarti ia telah membuat setan bahagia. Karena tertawa merupakan ekspresi bahagia atau ridho. Ini jelas-jelas terlarang, terlebih setan adalah musuh yang senyata-nyatanya. Secara tegas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 168)

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak pengikutnya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir [35] : 6)

Bila menguap itu sendiri sudah termasuk perbuatan yang mengundang ridho setan, lalu bagaimana lagi dengan seorang yang menguap plus dibarengi suara sekuat tenaga?! Yang secara jelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan dalam sabda beliau, “Bila seorang menguap sampai keluar ucapan ‘haaah’, setan akan menertawainya.”

Ini baru ucapan ‘haah’ saja sudah membuat setan tertawa, sekedar desiran suara ringan yang keluar tatkala menguap. Bagaimana lagi bila yang diucapkan adalah ucapan dengan intonasi suara yang lebih kencang dan nadanya lebih panjang. Tentu lebih girang lagi setan dibuatnya.

Maka dari itu mulai saat ini mari kita ubah kebiasaan kurang baik tersebut. Yaitu berusaha menahan suara ketika menguap. Jangan sampai kita menjadi penyebab setan tertawa. Dan juga berusaha melestarikan adab-adab lainnya yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menguap. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Kafirkah Orang Yang Belum Mengenal Islam?

“Sungguh Kami tidak akan mengadzab sebelum mengutus seorang Rasul.” (QS. Al-Isra : 15)


Orang yang hidup di pelosok yang jauh dari peradaban, atau orang yang sama sekali belum terjamah sama sekali oleh dakwah islam, kafirkah mereka?? Banyak kaum muslimin yang bingung menghadapi pertanyaan semacam ini, tidak jarang pula yang akhirnya meragukan Islam dan menganggap semua agama benar. Padahal andaikan mereka sedikit berusaha mempelajari Islam dengan benar, mereka akan menemukan para ulama kita sudah menjelaskan dengan panjang-lebar jawaban dari pertanyaan semacam ini. Berikut ini kami kutipkan penjelasan bagus dari Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Wuhaibi rahimahullah dalam kitabnya, Nawaqidhul Iman Wa Dhawabitut Takfir ‘Indas Salaf (1/294) :

Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah tentang hukum di akhirat, bukan hukum di dunia. Tidak ada satupun para ulama yang mengatakan bahwa orang yang tidak pernah mendengar Islam itu adalah muslim, atau pada mereka diberlakukan hukum orang muslim di dunia. Oleh karena itu, perbedaan pendapat yang ada bukanlah tentang hukum di dunia. Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Wajib bagi setiap orang untuk meyakini bahwa setiap manusia yang tidak beragama dengan agama Islam adalah kafir. Namun wajib juga meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala (di akhirat) tidak akan mengadzab orang yang belum disampaikan hujjah. Ini secara umum. Adapun secara khusus per individu, hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang mengetahuinya. Ini semua berkaitan dengan balasan dan hukuman di akhirat. Sedangkan hukum di dunia, diterapkan berdasarkan apa yang nampak. Oleh karena itu, anak-anak kecil orang kafir dan orang gila yang kafir, di dunia diberlakukan hukum orang kafir kepada mereka.” (Thariqul Hijratain, 384)

Pembahasan mengenai nasib orang yang belum pernah mendengar Islam di akhirat adalah permasalahan ijtihadiyah yang banyak dibahas para ulama. Namun bahasan ini tidak termasuk ushuluddin (pokok agama) dan bukan ‘ijma. Oleh karena itu tidak dibahas pada kebanyakan kitab aqidah yang terkenal. Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini :

Pendapat pertama : Orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, masuk surga

As-Suyuthi rahimahullah berkata: “Para imam Asy‘ariyah yang termasuk ahlul kalam dan ahlul ushul, serta ulama ahli fiqih madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, ia masuk surga” (Al-Haawi Lil Fatawa, 2/202). Sebagian ulama juga berpendapat bahwa anak-anak kecil orang musyrik masuk surga, sebagaimana pendapat Ibnu Hazm rahimahullah, beliau berkata: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak-anak kecil orang musyrik masuk surga, dan saya juga berpendapat demikian” (Al-Fashl, 4/73). Juga Imam An-Nawawi rahimahullah (Syarh Shahih Muslim, 16/208), Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah juga mengatakan bahwa pendapat ini adalah pilihan Imam Al-Bukhari rahimahullah (Fathul Baari, 3/246), juga Imam Al-Qurthubi rahimahullah (At-Tadzkirah, 612) dan Imam Ibnul Jauzi rahimahullah (Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam, 24/372).

Pendapat kedua : Orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, masuk neraka

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Ini adalah pendapat dari sejumlah ulama ahlul kalam, ulama ahli tafsir, juga salah satu pendapat dari murid-murid Imam Ahmad bi Hanbal rahimahullah. Al-Qadhi rahimahullah membawakan riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah tentang hal ini, namun telah dibantah oleh guru kami (Syaikhul Islam)” (Thariqul Hijratain, 362). Pendapat ini juga diambil oleh sejumlah murid Imam Abu Hanifah rahimahullah (Jam’ul Jawami’ Imam As Subki, 1/62).

Pendapat ketiga : Tawaqquf (Abstain), dan menyatakan nasib mereka terserah pada kehendak Allah

Ini adalah pendapat Al-Hamidain, Ibnul Mubarak, Ishaq Ibnu Rahawaih rahimahullah. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: “Nasib mereka tergantung kepada keputusan Al-Malik, dan dalam hal ini tidak ada nash yang menjelaskan, kecuali riwayat dari para sahabat yang menegaskan bahwa anak-anak kecil muslim akan masuk surga dan anak-anak kecil kafir tergantung pada keputusan Allah” (At-Tamhid, 18/111-112).

Pendapat keempat : Mereka akan dites di depan pintu neraka.

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka masuk ke dalamnya. Jika mereka patuh, mereka akan merasakan hawa dingin dan mereka selamat. Namun yang enggan masuk, berarti ia telah membangkang kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dimasukkan ke dalam neraka.

Pendapat ini adalah pendapat mayoritas para ulama salaf, sebagaimana disampaikan oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah (Al-Ibanah, 33). Pendapat ini dipilih oleh Muhammad bin Nashir Al Marwazi, Al Baihaqi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dan Ibnu Katsir rahimahullah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Manusia yang belum ditegakkan hujjah padanya, seperti anak-anak kecil, orang gila, ahlul fathrah, nasih mereka sebagaimana terdapat pada banya atsar, yaitu mereka akan dites pada hari qiamat. Ada yang diutus untuk memerintahkan mereka pada ketaatan. Jika mereka taat, mereka diberi surga. Jika mereka enggan taat, diberi neraka”. Imam Ibnu Qayyim rahimahullah setelah menjelaskan perbedaan pendapat dan dalil-dalilnya, beliau berkata: “Pendapat ke delapan, mereka berpendapat bahwa anak-anak kecil orang kafir akan dites di sebuah dataran di hari kiamat. Setiap orang dikirimkan Rasul (utusan). Orang yang mematuhi utusan tersebut, akan dimasuk surga. Yang membangkang akan masuk neraka. Dengan kata lain, sebagain mereka ada yang masuk surga dan sebagiannya ada yang masuk neraka. Pendapat ini yang mencakup dalil-dalil yang ada, dan didukung oleh banyak hadits.” (Thariqul Hijratain, 369)

Kemudian Ibnu Qayyim rahimahullah memaparkan dalil-dalil yang mendukung pendapat ini, lalu berkata: “Hadits-hadits ini saling menguatkan. Dikuatkan juga dengan ushul dan kaidah syariat. Dan pendapat yang sesuai dengan hadits-hadits ini adalah mazhab salafush shalih, sebagaimana dinukil oleh Imam Al-‘Asy’ari rahimahullah.” (Thariqul Hijratain, 371)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Para ulama terdahulu dan ulama masa sekarang berbeda pendapat mengenai anak kecil yang meninggal dalam keadaan kafir, bagaimana statusnya? Demikian juga orang gila, orang tuli, orang tua yang pikun dan ahlul fatrah yang belum pernah mendengar dakwah, terdapat beberapa hadits yang membahas status mereka. Dengan inayah dan taufiq Allah subhanahu wa ta’ala, akan saya sampaikan kepada anda”. Kemudian beliau memaparkan hadits-hadits tersebut, lalu menjelaskan pendapat-pendapat yang ada, dan memilih pendapat yang menyatakan bahwa mereka akan dites kelak di hari kiamat. Beliau berkata: “Pendapat inilah yang mencakup semua dalil yang ada. Dan hadits-hadits yang telah saya sebutkan pun menegaskannya dan saling menguatkan” (Tafsir Ibni Katsir, 3/30).

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah, setelah menyatakan memilih pendapat ini, beliau berkata: “Ulama bersepakat bahwa selagi masih mungkin, wajib hukumnya untuk menggabungkan dalil-dalil yang ada. Karena mengamalkan dua dalil lebih utama daripada beramal dengan salahsatu saja. Dan tidak ada pendapat yang bisa mencakup seluruh dalil kecuali pendapat ini, yaitu mereka akan diberi udzur lalu dites.” (Adhwa’ul Bayan, 3/440)

Dalil penting yang mendasari pendapat ini ada 2 macam :

1. Dalil Al Qur’an

Para ulama yang berpegang pada pendapat yang terakhir ini berdalil dengan keumuman ayat-ayat tentang tidak adanya azab sebelum disampaikan hujjah. Contohnya firman Allah subhanahu wa ta’ala :

كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ. قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا

“Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan? Mereka menjawab: “Benar ada”, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami mendustakan(nya).” (QS. Al-Mulk : 8-9)

Juga firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

“Sungguh Kami tidak akan mengadzab sebelum mengutus seorang Rasul.” (QS. Al-Isra : 15)

Dan ayat-ayat yang lain yang menunjukkan adanya udzur bagi ahlul fatrah, karena utusan yang memberi peringatan belum datang kepada mereka (Dalil Al Qur’an yang lain silakan lihat Adhwa’ul Bayan, 3/429-433). Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini: “Allah Ta’ala Maha Adil. Allah tidak akan mengadzab seseorang, kecuali orang tersebut sudah ditegakkan hujjah padanya lalu ia menentang. Sedangkan orang yang belum disampaikan hujjah, maka ia tidak akan diadzab. Ayat ini dijadikan dalil bahwa Ahlul Fatrah dan anak-anak kecil kafir tidak akan diadzab oleh Allah, sampai seorang utusan datang kepada mereka. Karena Allah tidak mungkin berbuat zhalim” (Tafsir As Sa’di, 4/266)

2. Dalil Hadits

Para ulama yang berpegang pada pendapat ini berdalil dengan hadits-hadits yang tegas menunjukkan bahwa orang yang belum pernah disampaikan hujjah akan dites kelak di hari kiamat. Hadits yang paling terkenal dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Aswad bin Sari’ radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa salam bersabda :

يكون يوم القيامة رجل أصم لا يسمع شيئاً، ورجل أحمق، ورجل هرم ورجل مات في فترة فأما الأصم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أسمع شيئاً، وأما الأحمق فيقول: رب لقد جاء الإسلام والصبيان يحذفونني بالبعر، وأما الهرم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أعقل شيئاً، وأما الذي مات في الفترة فيقول: رب ما أتاني لك رسول، فيأخذ مواثيقهم ليطيعنه، فيرسل إليهم أن ادخلوا النار، قال: فوالذي نفس محمد بيده لو دخلوها لكانت عليهم برداً وسلاماً

“Di hari kiamat ada seorang yang tuli, tidak mendengar apa-apa, ada orang yang idiot, ada orang yang pikun, ada yang mati pada masa fatrah. Orang yang tuli berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang saat itu aku tuli, tidak mendengar Islam sama sekali’. Orang yang idiot berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang, saat itu anak-anak nakal sedang memasung aku di dalam sumur’. Orang yang pikun berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang aku sedang hilang akal’. Orang yang mati pada masa fatrah berkata: ‘Ya Rabb, tidak ada utusan yang datang untuk mengajakku kepada Islam’. Lalu diuji kecenderungan hati mereka pada ketaatan. Diutus utusan untuk memerintahkan mereka masuk ke neraka. Nabi bersabda: ‘Demi Allah, jika mereka masuk ke dalamnya, mereka akan merasakan dingin dan mereka mendapat keselamatan.” (HR. Ahmad no. 16344, Ath-Thabrani 2/79. Di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1434)

Terdapat juga hadits semisal yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu, namun lafadz akhirnya berbunyi :

فمن دخلها كانت عليه برداً وسلاماً، ومن لم يدخلها سحب إليها

“Diantara mereka yang patuh memasuki neraka akan merasakan dingin dan akhirnya selamat. Sedangkan yang enggan memasukinya justru akan diseret ke dalamnya” (HR. Ahmad no. 16345)

Pendapat yang didasari hadits ini merupakan pendapat yang mencakup keseluruhan dalil, sebagaimana nukilan dari para imam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dengan penjelasan hadits ini, maka tuntaslah perdebatan yang berupa pembicaraan panjang lebar sampai menimbulkan perdebatan. Karena bagi yang berpendapat bahwa mereka semua masuk neraka, terdapat nash yang menyalahkannya. Dan bagi yang berpendapat bahwa mereka semua masuk surga, juga terdapat nash yang menyalahkannya” (Dar’ut Ta’arudh, 8/401). Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah setelah memilih pendapat ini ia berkata: “Hadits in shahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wa salam. Dan keshahihan hadits adalah solusi dari perdebatan. Maka tidak ada lagi sisi yang dapat didebat dengan adanya hadits ini” (Adhwa’ul Bayan, 3/438)

Sebagian ulama membantah pendapat ini, semisal Ibnu Abdil Barr, Al Qurthubi dan Al Hulaimi rahimahullah, ringkasnya mereka mengatakan bahwa hadits-hadits tentang hal ini tidak shahih, dan ini bertentangan dengan prinsip pokok bahwa akhirat bukan lagi tempat manusia diuji (At-Tadzkirah, 611-612, At-Tamhiid, 18/130)

Namun sanggahan ini dijawab dengan 2 poin :

1. Hadits-hadits tentang hal ini shahih dan diriwayatkan dari jalur yang banyak. Telah kami paparkan sedikit penjelasannya.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Takliif (beban syariat) berakhir di alam pembalasan, yaitu di neraka atau di surga. Sedangkan mereka yang dites di halaman akhirat itu sebagaimana pertanyaan di alam barzakh. Yaitu mereka ditanya: Siapa Rabb-mu? Apa agamamu? Siapa Nabimu? Dan Allah ta’ala berfirman :

يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa. (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (QS. Al Qalam : 42-43)

At-Thibbi rahimahullah berkata: “Jangan menetapkan bahwa dunia itu alam ujian dan akhirat itu alam pembalasan. Karena tidak ada pengkhususan seperti itu. Buktinya di alam kubur, yang merupakan pintu gerbang akhirat, terdapat ujian dan terdapat kesulitan dengan adanya pertanyaan” (Fathul Baari, 11/451). Ibnul Qayyim rahimahullah pun membuat telaah singkat dalam membantah sanggahan ini, beliau berkata: “Jika ada yang berkata bahwa akhirat adalah alam pembalasan bukan lagi alam pembebanan, maka bagaimana mungkin mereka dites di akhirat? Jawabannya, pembenanan itu berhenti jika telah memasuki darul qarar (surga dan neraka). Sedangkan di barzakh dan di halaman akhirat, pembebanan belum berhenti. Ini dapat dipahami dengan mudah walau tanpa menelaah, dengan adanya pertanyaan malaikat di alam barzakh dan ini merupakan takliif (pembebanan). Sedangkan di halaman akhirat, Allah ta’ala berfirman :

يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ

“Dan ini jelas sekali. Karena Allah ta’ala menyuruh makhluk-Nya untuk bersujud di hari kiamat kelak dan orang kafir ketika itu dihalangi oleh Allah sehingga tidak mampu bersujud” (Thariqul Hijratain, 373).

Dan hadits-hadits banyak menyebutkan tentang adanya pembebanan di hari kiamat, sebagaimana pada hadits-hadits yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dan Ibnu Katsir, rahimahullah serta ulama yang lain.


Kesimpulannya, di dunia mereka tetap dianggap sebagai orang kafir. Jika meninggal tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak boleh dikubur di pemakaman kaum muslimin. Namun tentang nasib mereka di akhirat kelak, pendapat yang paling kuat, mereka akan diuji. Jika dapat melewati ujian tersebut mereka akan masuk surga, jika tidak akan masuk neraka. Sebagaimana telah dipaparkan di atas. Demikian, semoga dapat dipahami. Semoga Allah menetapkan hati kita di jalan-Nya.

Pengkhususan Pada Shalat Shubuh Hari Jum'at

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca pada shalat Shubuh di hari Jum’at “Alif lam mim tanzil” (surat As-Sajdah) pada raka’at pertama dan “Hal ataa ‘alal insaani hiinum minad dahri lam yakun syai-am madzkura.” (surat Al-Insan) pada raka’at kedua.” (HR. Muslim no. 880)


Hari Jum’at adalah hari yang sangat agung. Banyak keistimewaan yang terdapat pada hari Jum’at ini. Salah satu keistimewaan hari Jum'at atas hari selainnya karena di dalamnya terdapat shalat Jum'at. Keutamaan di hari yang mulia ini bukan hanya pada kegiatan shalat Jum'at-nya saja. Tapi juga pada shalat-shalat lainnya, khususnya shalat Shubuhnya. Yaitu shalat Shubuh di hari Jum'at dengan berjama'ah itu lebih baik daripada shalat yang dikerjakan seorang muslim selama satu pekan.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن أفضل الصلوات عند الله صلاة الصبح يوم الجمعة في جماعة

“Seutama-utamanya shalat di sisi Allah adalah shalat Shubuh pada hari Jum'at secara berjamaah.” (HR. Al-Baihaqi)

Selain itu, terdapat keistimewaan lain dalam shalat Shubuh di hari Jum’at ini. Keistimewaan atau keutamaan shalat Shubuh di hari Jum'at ini adalah dengan disunnahkan untuk membaca surat As-Sajdah pada rakaat pertama dan surat Al-Insan pada rakaat kedua. 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقْرَأُ فِى الصُّبْحِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِ (الم تَنْزِيلُ) فِى الرَّكْعَةِ الأُولَى وَفِى الثَّانِيَةِ هَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca pada shalat Shubuh di hari Jum’at “Alif lam mim tanzil” (surat As-Sajdah) pada raka’at pertama dan “Hal ataa ‘alal insaani hiinum minad dahri lam yakun syai-am madzkura.” (surat Al-Insan) pada raka’at kedua.” (HR. Muslim no. 880)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ini jadi dalil dalam Madzhab Asy-Syafi’i -madzhab kami- dan yang sependapat dengan kami bahwa dianjurkan membaca surat As-Sajdah dan surat Al-Insan pada hari Jum’at saat shalat Shubuh.” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 6 hal. 150)

Berikut dijelaskan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada shalat Shubuh hari Jum’at surat Alif Lam Mim Tanzil (surat As-Sajdah) dan surat Hal Ataa ‘alal Insani (surat Al-Insan). Kebanyakan orang yang tidak memiliki ilmu menyangka bahwa yang dimaksud ketika shalat Shubuh hari Jum’at adalah mengadakan sujud tambahan yang mereka sebut dengan “sajadah jum’at“. Jika surat As-Sajdah tidak dibaca, maka dianjurkan -menurut mereka- untuk membaca surat lain yang terdapat ayat sajadah. Karena ada sebab semacam ini, ada ulama yang memakruhkan merutinkan membaca surat tadi pada Shubuh hari Jum’at supaya orang yang tidak punya ilmu tidak salah paham akan hal ini. Aku pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dua surat tersebut di Shubuh Hari Jum’at karena kedua surat itu menjelaskan kejadian-kejadian besar pada hari Jum’at. Di hari Jum’at, Adam diciptakan. Di hari tersebut, kita teringat akan terjadinya kiamat dan manusia akan dikumpulkan. Itu terjadi pada hari Jum’at. Jadi surat tersebut dibaca untuk mengingat apa yang terjadi pada hari Jum’at dan apa yang akan terjadi pada hari tersebut. Jadi sujud tilawah hanyalah ikutan dan bukan tujuan utama sampai-sampai ingin memaksakan tetap ada sujud tilawah. Dan penjelasan ini menunjukkan kekhususan hari Jum’at dibanding hari lainnya.” (Zaadul Ma’ad, Jilid 1 hal. 364)

Demikianlah penjelasan ringkas mengenai sunnah pengkhususan membaca surat As-Sajdah dan Al-Insan pada Shalat Shubuh pada hari Jum’at. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Tafakur Tentang Rumus Matematika

“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. At-Tirmidzi no. 2260)


Bismillah, Alhamdulillah, Allahumma shalli 'alaa Sayyidina Muhammad.

Pernahkah kita bertafakur tentang hal yang sepele namun memiliki hikmah yang luar biasa dari suatu rumus matematika sederhana…???
1. Mengapa PLUS di kali PLUS hasilnya PLUS?
2. Mengapa MINUS di kali PLUS atau sebaliknya PLUS di kali MINUS hasilnya MINUS?
3. Mengapa MINUS di kali MINUS hasilnya PLUS?

Hikmah

Hikmahnya adalah jika (+) PLUS mewakili BENAR dan (-) MINUS mewakili SALAH, maka:

1. Mengatakan BENAR terhadap sesuatu hal yang BENAR adalah suatu tindakan yang BENAR.
Rumus matematikanya :
+ x + = +

2. Mengatakan BENAR terhadap sesuatu yang SALAH, atau sebaliknya mengatakan SALAH terhadap sesuatu yang BENAR adalah suatu tindakan yang SALAH.
Rumus matematikanya :
+ x – = -

- x + = -

3. Mengatakan SALAH terhadap sesuatu yang SALAH adalah suatu tindakan yang BENAR.
Rumus matematikanya :
- x – = +

Maka katakanlah Al-Haq walau kadang itu berat, janganlah membenarkan suatu yang salah walau itu sudah menjadi tradisi, janganlah menyalahkan suatu kebenaran jika sudah di datangkan hujjah yang kuat. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ

“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. At-Tirmidzi no. 2260)

Wallahu a’lam, Semoga Bermanfaat.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top