Pangkal

“Jangan pernah aman dengan sebuah ‘pohon ketinggian’ ketika kita tak lagi akrab dengan pangkal di mana ‘pohon’ yang meninggikan kita itu berada.”


Seekor tupai tampak berlari kencang. Ia juga melompat dari satu ranting ke ranting dengan begitu lincahnya. Ia terus berlari dan melompat, hingga akhirnya berhenti di pucuk sebuah pohon. Di situlah akhirnya tupai bernafas lega, “Ah, akhirnya aku bisa selamat dari kejaran petani itu!” ucapnya sambil menoleh-noleh ke arah bawah pohon.

Tak jauh dari situ, seorang petani tampak berlari sambil mendongak ke atas. Ia seperti mencari-cari sesuatu. “Aku harus bisa menangkap tupai itu,” ucapnya sambil menahan nafas yang mulai tersengal-sengal. Hingga akhirnya, ia berhasil menemukan jejak tupai yang bertengger di puncak sebuah pohon.

“Hei, tupai. Mau lari kemana lagi, kau? Aku akan terus memburumu. Gara-gara ulahmu, ladang coklatku tak bisa dipanen!” teriak sang petani sambil menunjuk-nunjuk ke arah tupai yang tetap bergeming di atas pohon.

“Hei petani, silakan saja kau berteriak-teriak. Kau tidak akan pernah mampu menangkapku, karena aku terlalu tinggi untukmu!” balas teriak tupai kepada petani.

Apa yang dikatakan tupai mungkin ada benarnya. Puncak pohon itu begitu tinggi dengan dahan dan ranting yang begitu jarang. Bisa dipastikan, sang petani tidak akan mampu meraih tubuh sang tupai yang berada di jauh ketinggian.

“Tidak! Aku akan cari cara untuk menangkapmu!” teriak sang petani sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam keranjang jinjingnya.

Sang petani mengeluarkan sebilah kampak. Beberapa saat kemudian, ia pun mulai mengarahkan kampak tajamnya itu ke pangkal pohon. Walau tinggi, pohon itu tergolong kurus dan begitu mudah untuk dirobohkan.

Benar saja, hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama, sang petani berhasil membuat pohon seperti berada di ujung tanduk. Pangkalnya nyaris putus. Ia hanya perlu sedikit mendorong batang pohon itu untuk kemudian menumbangkannya.

Hal yang tidak terpikirkan oleh tupai, ia akhirnya tidak sekadar jatuh, tapi juga tertimpa pohon yang saat ini ia tenggerkan.

Jangan pernah aman dengan sebuah ‘pohon ketinggian’ ketika kita tak lagi akrab dengan pangkal di mana ‘pohon’ yang meninggikan kita itu berada. Karena setinggi apa pun kita berada, ketika pangkal tak lagi kuat menopang, kita akan jatuh bersama ‘pohon tinggi’ itu dan terjerembab ke posisi yang paling bawah.

Berhadats Ketika Salam

“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya adalah takbir dan yang menghalalkannya adalah salam.” (HR. Abu Dawud no. 61 dan Ibnu Majah no. 618)


Ada suatu persoalan yang cukup sederhana yang mungkin sebagian dari kita belum mengetahui mengenai hukum dari hal ini. Persoalan ini biasanya hanya menjadi bahan obrolan saja dimana dari obrolan itu bisa diambil beberapa faedah, namun kadangkala hal ini justru menimpa beberapa kaum Muslim khususnya yang mudah sekali terkena penyakit was-was. Persoalan ini adalah berhadats setelah salam pertama.

            Salam sendiri merupakan salah satu dari rukun shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai tahlil ash-shalah (yang menjadi batas halalkan antara shalat dengan aktivitas di luar shalat), sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah dan Imam Ibnu Majah rahimahullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya adalah takbir dan yang menghalalkannya adalah salam.” (HR. Abu Dawud no. 61 dan Ibnu Majah no. 618)

Menurut pendapat jumhur ulama, salam yang statusnya rukun shalat adalah salam pertama, sedangkan salam kedua hukumnya sunnah. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

أَجْمَعَ الْعُلَمَاء الَّذِينَ يُعْتَدُّ بِهِمْ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِب إِلَّا تَسْلِيمَة وَاحِدَة, فَإِنْ سَلَّمَ وَاحِدَة اُسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يُسَلِّمهَا تِلْقَاء وَجْهه, وَإِنْ سَلَّمَ تَسْلِيمَتَيْنِ جَعَلَ الْأُولَى عَنْ يَمِينه, وَالثَّانِيَة عَنْ يَسَاره, وَيَلْتَفِت فِي كُلّ تَسْلِيمَة حَتَّى يَرَى مَنْ عَنْ جَانِبه خَدّه, هَذَا هُوَ الصَّحِيح

“Para ulama yang diakui telah sepakat bahwa yang wajib hanyalah salam pertama. Jika seorang telah salam, maka disunahkan baginya untuk salam kedua. Jika dia melakukan dua kali salam, maka salam pertama menoleh ke kanan sedangkan yang kedua menoleh ke kiri. Hendaknya pada setiap salam, dia menoleh sehingga pipinya terlihat oleh orang yang berada di sampingnya. Ini yang benar.” (Syarah Shahih Muslim, Jilid 5 hal. 83)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah pun menjelaskan tentang hukum salam dalam shalat, beliau berkata:

والواجب تسليمة واحدة والثانية سنة قال ابن المنذر: أجمع كل من أحفظ عنه من أهل العلم أن صلاة من اقتصر على تسليمة واحدة جائزة

“Yang wajib adalah salam pertama. Sementara salam kedua hukumnya anjuran. Ibnul Mundzir mengatakan, ‘Semua ulama yang saya kenal telah sepakat bahwa orang melaksanakan shalat yang hanya melakukan salam sekali, hukumnya boleh..” (Al-Mughni, Jilid 1 hal. 623)

Landasan mengenai hal ini adalah berdasarkan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan salam sekali. Berikut diantaranya:

Pertama, hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan tata cara shalat malam yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمَةً ثُمَّ يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ، حَتَّى يُوقِظَنَا

“Kemudian beliau salam sekali, beliau mengeraskan suaranya, sehingga membangunkan kami.” (HR. Ahmad no. 26030)

Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً تِلْقَاءَ وَجْهِهِ يَمِيلُ إِلَى الشِّقِّ الْأَيْمَنِ قَلِيلًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salam sekali ketika shalat ke arah depan dengan menoleh sedikit ke kanan.” (HR. At-Tirmidzi no. 297 dan Ad-Daruquthni no. 1368)

Kedua, hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan:

أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يسلم تسليمة واحدة

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan salam sekali.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra no. 3107 dan Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath no. 8473)

Berdasarkan hadits di atas, salam yang statusnya rukun shalat adalah salam pertama dan salam kedua adalah sunnah. Artinya, ketika ada orang shalat yang hanya melakukan sekali salam, maka shalatnya sah. Dengan demikian, siapa yang melakukan salam sekali, kemudian wudhunya batal setelah salam pertama selesai, maka shalatnya sah, tidak perlu mengulanginya berdasarkan pendapat kuat menurut jumhur ulama, sebagaiman dijelaskan sebelumnya.

Syaikh Muhammad Asy-Syinqithi rahimahullah berkata:

المراد به التسليمة الأولى، فلو أنه سلَّم التسليمة الأولى ثم أحدث فإن صلاته تصح وتجزيه

“Yang dimaksud salam yang menjai rukun adalah salam pertama. Jika ada orang yang melakukan salam pertama, kemudian dia berhadats, maka shalatnya sah dan telah memenuhi kewajiban.” (Syarh Zadul Mustaqni, Jilid 47 hal. 8)

Akan tetapi jika orang yang berhadats tersebut melanjutkan ke salam yang kedua maka shalatnya menjadi batal karena dia telah memenuhi syarat pembatal shalat padahal shalat belum usai jika seandainya dia melanjutkan ke salam kedua.

Syaikh Abu Bakar Ad-Dimyathi rahimahullah menjelaskan mengenai hadats yang terjadi setelah salam pertama, beliau berkata:

أي ولا تبطل صلاته لفراغها بالأولى وإنما حرمت الثانية حينئذ لأنه انتقل إلى حالة لا تقبل فيها الصلاة فلا تقبل فيها توابعها

“Itu tidaklah membatalkan shalatnya karena shalatnya telah selesai dengan salam pertama, akan tetapi diharamkan melakukan salam kedua karena jika dilakukan berarti dia telah melakukan tindakan yang tidak diperkenankan dalam shalat. Maka tidak diperbolehkan pula tindakan tersebut dilakukan dalam hal-hal yang mengikuti shalat (sunnah shalat).” (I’anah Ath-Thalibin, Jilid 1 hal. 176)

            Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan jika hadats terjadi ketika salam pertama maka shalatnya batal. Jika terjadi setelah salam pertama namun tidak melanjutkan kepada salam kedua maka shalatnya sah. Akan tetapi jika hadats terjadi setelah salam pertama, namun melanjutkan ke salam yang kedua maka shalatnya batal. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top