Wasiat Syaikh Ahmad Penjaga Hujroh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam

“Dialah (Allah) Yang Mengetahui perkara ghaib, maka Dia tidak memperlihatkannya kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhainya, sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jinn : 26-27)


Sering kita temukan selebaran wasiat dusta yang dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad, penjaga hujrah Nabi. Sebuah selebaran yang sangat laris manis, banyak beredar di berbagai negara semenjak puluhan tahun yang lalu. Dalam wasiat tersebut terdapat janji kebaikan bagi orang yang menulisnya tiga puluh kali dan membagikan kepada kenalannya, sebaliknya petaka akan menimpa bagi seorang yang mengabaikannya dan tidak berpartisipasi dan menulis dan mengedarkannya. Dalam selebaran tersebut dikatakan bahwa Syaikh Ahmad, sang penjaga hujroh Nabi bertemu dengan Nabi dan mendapatkan wasiat-wasiat dari beliau untuk disebarkan.

Ulama Ramai Membantah

Telah banyak para ulama yang memperingatkan dari wasiat bohong ini, diantaranya adalah Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Fatawa-nya 1/240-242, Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam risalahnya At-Tahdzir Minal Bida’, Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam Al-Bayan li Akhta’ Ba’dhi Kuttab hal. 221-227 dan lain sebagainya.

Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Saya tidak menyangka sebelumnya kalau wasiat batil ini laris di kalangan orang yang sedikit memiliki pengetahuan dan fithrah yang sehat, tetapi banyak diantara saudaraku memberikan informasi kepadaku bahwa wasiat ini laris manis di tengah-tengah mayoritas manusia, bahkan sebagian diantara mereka membenarkannya. Oleh karenanya, saya memandang bahwa kewajiban orang sepertiku untuk menulis penjelasan tentang kebatilan isi wasiat ini dan kebohongan terhadap Rasulullah agar manusia tidak tertipu dengannya. Setiap orang yang memiliki ilmu dan keimanan serta fithrah sehat apabila mau merenunginya, niscaya dia kan mengetahui bahwa wasiat ini bohong belaka ditinjau dari berbagai sudut pandangannya.

Saya telah bertanya kepada sebagian kerabat Syaikh Ahmad yang dinisbatkan kedustaan wasiat ini kepadanya, lalu dia memberikan jawaban kepadaku bahwa ini hanyalah kedustaan yang dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad, beliau tidak pernah mengatakannya sedikitpun, Syaikh Ahmad tersebut telah lama meninggal dunia. Anggaplah memang benar kalau Syaikh Ahmad atau bahkan orang yang lebih tinggi darinya mengaku bahwa dia melihat Nabi dalam keadaan mimpi atau sadar lalu Nabi memberikan wasiat ini kepadanya, niscaya kita akan mendustakannya secara pasti, dan sebenarnya yang mengatakannya adalah Syetan, bukan Nabi…”.

Lembaga riset fatwa dan dakwah Saudi Arabia telah mengeluarkan penjelasan yang mengingatkan manusia agar berwaspada dari wasiat bohong ini. Berikut teks fatwa mereka :

Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam bagi rasulnya, keluarga dan para sahabatnya. Amma Ba’du: Memang mungkin saja secara akal dan syari’at seorang muslim bisa bermimpi melihat Nabi dalam bentuk aslinya, sehingga mimpinya itu benar, karena Syetan tidak mungkin menyerupai beliau. Hal ini berdasarkan sabdanya :

مَنْ رَآنِيْ فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِيْ, فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِيْ

Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sesungguhnya dia benar-benar melihatku, karena Syetan tidak mungkin bisa menyerupaiku. (HR. Ahmad dan Al-Bukhari dari Anas)

Namun seorang bisa jadi berdusta mengaku mimpi melihat Nabi tetapi dia mensifatkannya kepada kita ciri-ciri Nabi dengan benar, atau bisa jadi juga dia mimipi melihat seorang yang tidak sesuai dengan sifat Nabi, tetapi syetan membisikan kepadanya bahwa itu adalah Nabi padahal sebenarnya bukan.

Mimpi yang dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad, penjaga hujrah Nabi tidak benar adanya, cerita ini hanya dibuat-buat belaka. Hal ini sangat nampak jelas sekali, betapa sering seorang tak dikenal mengaku bernama Syaikh Ahmad dan mengaku mimpi melihat Nabi. Syaikh Ahmad, penjaga hujrah Nabi telah lama meninggal dunia sebagaimana informasi para kerabatnya ketika diklarifikasikan masalah ini, dan mereka mengingkari adanya mimpi ini, padahal mereka adalah orang yang paling dekat dan paling mengerti tentang keadaannya. Seandainya penisbatan ini benar, maka hanya ada dua kemingkinan; mungkin ini adalah dusta kepada Nabi, atau ini hanyalah impian dan khayalan belaka yang didesuskan oleh Syetan kepada orang yang bermimpi, bukan mimpi sebenarnya. Hal yang menunjukkan batilnya mimpi ini adalah banyaknya hal yang sangat bertentangan dengan fakta dan syari’at Rasulullah. Adapun bertentangan dengan fakta, karena selebaran ini tetap disebarkan padahal kerabat dekatnya sendiri mengingkarinya. Sedangkan pertentangannya dengan syari’at maka banyak sekali, diantaranya:

Pertama: Informasi tentang jumlah umat ini yang mati tidak di atas Islam setiap jum’atnya. Hal ini merupakan perkara ghaib yang tidak diketahui oleh manusia, ini hanya diketahui oleh Allah dan para rasul yang diberi wahyu pada saat mereka masih hidup, sedangkan wahyu kerasulan sekarang telah terputus dengan wafatnya Nabi Muhammad.

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّـهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ ٦٥

“Katakanlah: Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml : 65)

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا ﴿٢٦﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا٢٧

“Dialah (Allah) Yang Mengetahui perkara ghaib, maka Dia tidak memperlihatkannya kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhainya, sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya”. (QS. Al-Jinn : 26-27)

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَـٰكِن رَّسُولَ اللَّـهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗوَكَانَ اللَّـهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا ٤٠

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (QS. Al-Ahzab : 40)

Kedua: Dia mengkhabarkan bahwa Nabi mengatakan: “Saya sangat malu dengan perbuatan manusia yang penuh dosa, saya tidak bisa menghadap Rabbku dan Malaikat”. Ini termasuk kebohongan dan kedustaan, sebab Nabi Muhammad tidak mengetahui keadaan umatnya setelah meningal dunia, bahkan ketika masih hidup-pun beliau tidak tahu kecuali yang beliau lihat sendiri atau informasi dari orang yang menyaksikannya, atau mendapatkan wahyu dari Allah. Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah pernah berkhutbah: Wahai sekalian manusia, kalian akan dikumpulkan di hadapan Allah dengan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak khitan, beliau lalu membacakan firman Allah :

يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ ۚ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُّعِيدُهُ ۚ وَعْدًا عَلَيْنَا ۚ إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ ١٠٤

“Sebagaimana kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti kami tepati.” (QS. Al-Anbiya’ : 104)

Kemudian beliau melanjutkan: “Ketahuilah bahwa nanti akan didatangkan beberapa orang umatku dari arah kiri, lalu saya berkata: Wahai Rabbku! Mereka sahabatku!!, kemudian dikatakan: Engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat setelah kematianmu. Maka saya mengatakan seperti ucapan hamba shalih :

مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّـهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ ۚ وَكُنتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَّا دُمْتُ فِيهِمْ ۖ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنتَ أَنتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ ۚ وَأَنتَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ ١١٧

“Aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada diantara mereka. Maka setelah engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah : 117)

Lalu dikatakan: Sesungguhnya mereka tetap dalam kemurtadan mereka semenjak engkau meninggalkan mereka”. (HR. Bukhari)

Anggaplah bahwa beliau mengetahui keadaan umatnya setelah wafat, namun tumpukan dosa umatnya tidaklah membuat beliau harus malu dan keberatan diri. Telah shahih dalam hadits syafa’at bahwa karena dahsyatnya hari itu, maka manusia baik yang kafir maupun mukmin meminta syafa’at kepada Nabi mereka masing-masing, lalu seluruh para nabi mengemukakan alasan tidak bisa memberikan syafa’at, sehingga sampailah mereka kepada Nabi Muhammad dan memintanya agar memberikan syafa’at kepada Allah, kemudian Nabipun memenuhi permintaan mereka dan tidak menolak permohonan mereka atau marasa malu karena banyaknya dosa mereka, beliau kemudian sujud di bawah Arsy dan memuji Allah sehingga diperintahkan untuk mengangkat kepalanya dan memberikan syafa’at keada mereka. Setelah itu mereka pergi untuk berurusan denga hisab (pembalasan). Semua itu beliau lakukan tanpa terhalangi oleh rasa malu untuk bertemu dengan Rabbnya dan para Malaikat.

Ketiga: Dalam wasiat itu diberitakan tentang pahala menulis wasiat ini dan menyebarkannya dari tempat ke tempat lainnya, padahal penentuan pahala perbuatan merupakan perkara ghaib yang tidak diketahui kecuali hanya Allah semata, sedangkan wahyu telah terputus dengan wafatnya penutup para Nabi. Dengan demikian, maka pengakuan mengetahui hal tersebut merupakan kebatilan nyata. Hal ini telah diakui oleh syaikh Ahmad dalam wasiat bohongnya: “Barangsiapa menulisnya sedangkan dia miskin papa, niscaya Allah menjadikannya kaya raya, kalau dia berhutang niscaya Allah akan melunasinya, kalau dia berdosa niscaya Allah akan mengampuninya dan juga kedua orang tuanya”. Semua ini hanyalah kebohongan semata.

Demikian pula ancaman kerasnya terhadap orang yang tidak menulisnya dan menyebarkannya bahkan dia menvonis orang tersebut bakal tidak mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad dan wajahnya akan menjadi hitam di dunia dan akherat. Ini juga termasuk perkara ghaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah, maka menginformasikannya sedangkan wahyu telah terputus merupakan kedustaan. Demikian pula ucapannya: “Barangsiapa mempercayainya, niscaya akan selamat dari siksa Neraka dan barangsiapa yang mendustakannya maka dia telah kafir, keluar dari agama”. Hal ini juga kedustaan dan kebohongan, sebab tidak memercayai mimpi selain Nabi tidak termasuk kekufuran dengan kesepakatan kaum muslimin.

Keempat: Semua yang dia khabarkan berupa janji dan ancaman tersebut mengandung sebuah unsur syari’at untuk menganjurkan penulisan wasiat ini dan menyebarkannya di tengah-tengah manusia agar supaya diamalkan dan diyakini pahala yang tertera di dalamnya. Demikian pula mengandung syari’at haramnya menyembunyikannya, tidak menyebarkannya, atau memperingatkan manusia darinya, karena khawatir tertimpa ancaman keras berupa haramnya Syafa’at Nabi baginya serta hitamnya wajah di dunia dan akherat kelak.

Kelima: Tidak ada kesesuaian antara amalan dan ganjarannya. Hal ini membuktikan kedustaan wasiat ini. Dan masih banyak lagi hal-hal lain yang merupakan kedustaan nyata. Oleh karenanya maka kewajiban bagi setiap muslim untuk waspada dari wasiat ini dan berusaha untuk melenyapkannya.


Hanya kepada Allah kita memohon taufiq. Shalawat dan salam bagi Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.

Sambutan Kedatangan Nabi Di Madinah

“Sambutan mereka saat itu adalah berupa ucapan takbir: “Muhammad Rasulullah telah datang, Allahu Akbar.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah)


Al-Mubarakfury mengatakan dalam Ar-Rahiqul Makhtum (hal.177) : “Hari itu merupakan hari monumental. Semua rumah dan jalan ramai dengan suara tahmid dan taqdis. Sementara anak-anak gadis mereka mendendangkan bait-bait sya’ir karena senang dan gembira :

طَلَـعَ الْبَدْرُ عَلَـيْنَا مِنْ ثَنِيَّـاتِ الْوَدَاعْ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَا دَعَا لِلَّــهِ دَاعْ
أَيُّـهَا الْمَبْعُوْثُ فِيْنَا جِئْتَ بِالأَمْرِ الْمُطَاعْ

Purnama telah terbit di atas kami
Dari arah Tsaniyyatul Wada’
Kita wajib mengucap syukur
Atas apa yang dia dakwahkan karena Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau datang membawa urusan yang ditaati.

Takhrij Kisah

Kisah ini sangat masyhur di kalangan kita semua bahkan dibuat lagu dan nyanyian. Parahnya, kisah ini dijadikan dalil bolehnya membentuk group qashidah, orkes dangdut dan lain sebagainya.

Diriwayatkan oleh Abu Hasan Al-Khal’iy rahimahullah dalam Al-Fawaid (2/59) dan Imam Al-Baihaqi rahimahullah dalam Dalail Nubuwwah (2/506) dari jalan Fadhl bin Hubab (Abu Kholifah) berkata: Saya mendengar Ubaidullah bin Muhammad bin Aisyah mengatakan…(lalu menyebutkan kisah di atas).

Derajat Kisah

DHA’IF atau LEMAH. Disebabkan kecolongan beberapa rawi dalam sanadnya. Karena Ibnu Aisyah, sang pencerita kejadian di atas (kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke kota Madinah) bukan termasuk sahabat, bukan pula termasuk tabi’in (murid sahabat), bahkan bukan pula termasuk tabi’ tabi’in (murid tabi’in). Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam At-Taqrib (1/538): “Termasuk tingkatan kesepuluh”. Maksud tingkatan ini dijelaskan dalam Muqaddimah kitabnya yaitu orang-orang yang belajar kepada tabi’ tabi’in dan tidak berjumpa dengan tabi’in.

Dengan demikian maka dalam sanad ini kecolongan tiga tabaqah (tingkatan) utama yaitu tabaqah sahabat, tabaqah tabi’in dan tabaqah tabi’ tabi’in. Berarti, sanad kisah ini minimal kecalongan tiga rawi secara berurutan. Dalam Ilmu Musthalah hadits, keadaan seperti ini disebut dengan “Mu’dhal”. Imam As-Sakhawi rahimahullah mengatakan : “Mu’dhal secara istilah yaitu suatu hadits yang kecolongan dalam sanadnya dua tabaqah atau lebih secara berurutan.”

Komentar Ulama

Imam Al-Hafizh Al-‘Iraqi rahimahullah berkata: “Hadits tentang nasyid para wanita menyambut kedatangan Nabi diriwayatkan Ima Al-Baihaqi rahimahullah dalam Dalail Nubuwwah secara Mu’dhal tanpa ada lafadz rebana dan alunan melodi.

Muridnya, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Dikeluarkan oleh Abu Said dalam “Syaraful Musthafa” dan diriwayatakan dalam “Fawaid Khal’iy” dari jalan Ubaidullah bin Aisyah secara terputus…(lalu beliau membawakan kisah ini) kemudian beliau berkata: “Sanad ini mu’dhal, barangkali kejadian ini adalah ketika pulangnya Nabi dari perang Tabuk.”

Syeikh Al-Albani rahimahullah juga berkata : “Perhatian, Imam Al-Ghazali rahimahullah membawakan kisah ini dengan tambahan: “dengan rebana dan alunan melodi”. Tambahan ini tidak ada asalnya sebagaimana diisyaratkan Al-Hafidh Al-‘Iraqi rahimahullah tadi dengan perkataannya: “tanpa ada lafadz rebana dan alunan melodi”. Sebagian orang tertipu dengan tambahan ini sehingga menampilkan kisah di atas beserta tambahannya sebagai dalil bolehnya nasyid-nasyid Nabawiyyah yang populer di zaman ini!

Maka kita katakan kepadanya: “Pastikan dahulu, baru berdalil”! seandainya toh memang shahih, tetap saja tak ada hujjah bagi mereka sebagaimana dijelaskan tadi ketika membahas hadits (579).”

Kejanggalan Matan

Ada sisi kejanggalan dalam kisah ini, karena posisi Tsaniyyatul Wada’ (jalan-jalan yang diapit bukit-bukit Al-Wada’) berada di sbelah utara kota Madinah. Seandainya riwayat penyambutan Nabi dengan qashidah ini shahih, tentulah hal itu terjadi ketika Nabi pulang dari Tabuk, sebab Tabuk berada di utara Madinah, bukan ketika Nabi datang dari Mekkah. Apalagi terdapat beberapa riwayat yang dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah bahwa sambutan mereka saat itu adalah berupa ucapan takbir: “Muhammad Rasulullah telah datang, Allahu Akbar”. maka hal ini semakin memperkuat lemahnya kisah ini. Wallahu a’lam.

Setan Dalam Celah Shaf Shalat

“Ketika adzan dikumandangkan, setan menjauh sambil terkentut-kentut, sehingga tidak mendengarkan adzan. Setelah adzan selesai, dia datang lagi. Ketika iqamah dikumandangkan, dia pergi. Setelah selesai iqamah, dia balik lagi, lalu membisikkan dalam hati orang yang shalat: ingatlah ini, ingatlah itu, mengingatkan sesuatu yang tidak terlintas dalam ingatan. Hingga dia lupa berapa jumlah raka’at yang dia kerjakan.” (HR. Al-Bukhari no. 608 dan Muslim no. 885)


Seringkali kita merasakan ketidak khusyuan ketika melaksanakan shalat. Mengapa itu bisa terjadi? Mungkin salah satu penyebabnya adalah gangguan setan akibat dari kelalaian kita dalam merapatkan shaf ketika shalat.

Sebelumnya harus kita perhatikan bahwa semua setan bisa disebut Iblis, karena setan merupakan sifat yang bertindak sesuai kemauan Iblis. Berikut ini adalah beberapa hadits yang berisi perintah merapatkan shaf ketika shalat berjama’ah:

Pertama, hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan shaf shalat jama’ah. Beliau memerintahkan makmum:

أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلاَئِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِى أَيْدِى إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ

“Luruskan shaf, agar kalian bisa meniru shafnya malaikat. Luruskan pundak-pundak, tutup setiap celah, dan buat pundak kalian luwes untuk teman kalian. Serta jangan tinggalkan celah-celah untuk setan. Siapa yang menyambung shaf maka Allah Ta’ala akan menyambungnya dan siapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya.” (HR. Abu Dawud no. 666 dan Ahmad no. 5724)

Kedua, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan shaf shalat jama’ah dengan memerintahkan:

رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالأَعْنَاقِ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

“Rapatkan shaf kalian, rapatkan barisan kalian, luruskan pundak dengan pundak. Demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, Sungguh aku melihat setan masuk di sela-sela shaf, seperti anak kambing.” (HR. Abu Dawud no. 667 dan Ibnu Hibban no. 2166)

Ketiga, hadits dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika merapatkan shaf, beliau mengatakan:

وَسُدُّوا الْخَلَلَ؛ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ فِيمَا بَيْنَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْحَذَفِ

“Tutup setiap celah shaf, karena setan masuk di antara shaf kalian, seperti anak kambing.” (HR. Ahmad no. 22263)

Wajib Diyakini !!!

Setan tidak bisa kita lihat. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa melihatnya. Sangat mudah bagi Allah untuk membuat Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa melihat setan.

Kita telah mengikrarkan syahadat, menyatakan beliau sebagai utusan Allah subhanahu wa ta’ala. Konsekuensinya, kita wajib mengimani dan meyakini setiap informasi yang beliau sampaikan. Ketika beliau menyatakan, “Setan masuk di celah shaf kalian ketika shalat, seperti anak kambing..” akankah kita tertawakan? Di mana pengagungan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Kita bisa bayangkan, andai tokoh ormas besar yang beberapa saat lalu menjadikan hal ini menjadi bahan tertawaan ada di tengah shaf sahabat, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk merapatkan shafnya, agar tidak diisi setan. Lalu dia komentar, “Ya Rasulullah, alhamdulillah kalo setan mau jama’ah…” Di mana kira-kira pukulan Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu akan melayang??

Semoga kita dilindungi dari kejahilan dan kejahatan hawa nafsu yang dapat membinasakan kita.

Tujuan Setan Hadir di Tengah Shaf

Semua orang yang membaca tentu sadar, bahwa kehadiran setan di sela-sela shaf tentu saja bukan untuk ikut shalat jama’ah. Kehadiran setan adalah untuk menggoda peserta shalat jama’ah. Kita simak hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا نُودِىَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِينَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ، حَتَّى إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَرَ، حَتَّى إِذَا قَضَى التَّثْوِيبَ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطُرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ ، يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا، اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ، حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ لاَ يَدْرِى كَمْ صَلَّى

“Ketika adzan dikumandangkan, setan menjauh sambil terkentut-kentut, sehingga tidak mendengarkan adzan. Setelah adzan selesai, dia datang lagi. Ketika iqamah dikumandangkan, dia pergi. Setelah selesai iqamah, dia balik lagi, lalu membisikkan dalam hati orang yang shalat: ingatlah ini, ingatlah itu, mengingatkan sesuatu yang tidak terlintas dalam ingatan. Hingga dia lupa berapa jumlah raka’at yang dia kerjakan.” (HR. Al-Bukhari no. 608 dan Muslim no. 885)

Disamping menggoda ingatan, setan juga menggoda konsentrasi dengan diganggu fisiknya, agar dia merasa telah berhadats. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menasehatkan kepada orang yang suka was-was dengan hadats ketika shalat:

إنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِي أَحَدَكُمْ وَهُوَ فِي الصَّلاَة فَيَبَلُّ إحْلِيلَهُ حَتَّى يَرَى أَنَّهُ قَدْ أَحْدَثَ ، وَأَنَّهُ يَأْتِيهِ فَيَضْرِبُ دُبُرَهُ ، فَيُرِيهِ أَنَّهُ قَدْ أَحْدَثَ ، فَلاَ تَنْصَرِفُوا حَتَّى تَجِدُوا رِيحًا ، أَوْ تَجِدُوا بَلَلا

“Sesungguhnya setan mendatangi kalian ketika shalat, lalu dia basahi tempat keluarnya kencing, hingga kalian merasa berhadats (ada kencing yang keluar). Dia juga datang dan menabok dubur kalian, sehingga kalian merasa telah berhadats (kentut). Karena itu, jangan kalian batalkan shalat, sampai mencium bau kentut atau ada yang basah di celana.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 8083)

Setan itu Bernama Khinzib

Dalam hadits dari Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan gangguan yang dia alami ketika shalat. Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خِنْزِبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا

“Itu adalah setan. Namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguannya dan meludahlah ke kiri tiga kali.” (HR. Muslim no. 2203)

Setelah mendengar sabda Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut kemudian Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu pun pun melakukannya, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menghilangkan gangguan itu darinya.

Benci Karena Nafsu, Menyebabkan Benci Kebenaran

Berkali-kali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada para sahabat akan kehadiran setan pada saat kita shalat. Dan tidak ada sahabat yang terbayang, setan ikut shalat jamaah…!!!

Kita sangat menyayangkan ketika setingkat tokoh ormas besar di Indonesia yang menjabat sebagai ketua umum memiliki pemahaman konyol seperti itu. Meskipun kita semua sangat yakin, tokoh ini tidak sebodoh yang kita bayangkan. Dia tahu haditsnya, dia paham sunnahnya, tapi semangat kedengkian menutupi itu semua. Setelah dia menyebut Wahhabi (yang dia maksud Salafi Ahlussunnah wal Jama’ah) berusaha merapatkan shaf ketika shalat jama’ah, dia membencinya dan sekaligus membenci sunnahnya. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Seperti itulah kebencian karena hawa nafsu. Akhirnnya yang menjadi sasaran kedengkiannya bukan hanya pelaku, sampai atribut kebenaran yang selalu dibawa pelaku. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melindungi kaum muslimin dari kejahatan pemikiran orang munafiq. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Puncak

Namun, di saat-saat lelah, segala kemungkinan bisa terjadi. Kalau cuma fisik yang lelah, langkah masih bisa diayunkan, walaupun lambat. Tapi jika hati yang letih, bunga-bunga yang lemah pun bisa memperdaya.


Di sebuah dataran tinggi pada tepian hutan, seorang kakek tampak berbicara dengan tiga pemuda. Sesekali janggutnya yang lebat bergerak-gerak dipermainkan angin.

"Murid-muridku, aku akan mengujimu dengan puncak bukit di belakangku," ucap sang kakek sambil menoleh ke arah belakang. Tampak sebuah bukit hijau yang begitu tinggi. "Siapa yang bisa meraih puncak bukit itu, kalian lulus!" tambah sang kakek kemudian. "Tapi, ingat! Berhati-hatilah dengan bunga-bunga nan harum di sepanjang jalan setapak, ia bisa melemahkanmu."

"Baik, Guru!" jawab ketiga murid itu sambil bergegas menuju kaki bukit. Mereka pun mulai melakukan pendakian.

Di penghujung hari pertama, seorang murid tampak bergerak melambat. Ia begitu asyik menikmati keindahan bunga-bunga di sekelilingnya. "Hmm, indahnya. Andai aku bisa menghirup keharuman di balik keindahan bunga-bunga itu!" ucap sang murid sambil mendekati sebuah bunga. Dan, ia pun berhenti. Ia tampak berduduk santai sambil memegang beberapa kuntum bunga.

Di penghujung hari kedua, murid kedua yang mulai melambat. Ia memang tidak terpengaruh dengan keindahan bunga. Tapi, ia merasa begitu letih. Dan ia pun terduduk sambil menyaksikan murid ketiga yang terus bergerak ke puncak bukit. "Ah, andai aku bisa sekuat dia!" ucapnya sambil memijat-mijat kakinya yang tampak kaku. Dari arah itu, ia bisa melihat pemandangan luas pada lereng bukit.

"Kau lulus, muridku," ucap sang guru saat ketiganya tiba di kaki bukit. Murid ketiga tampak senyum. Sementara yang lain tetap terdiam. "Bagaimana kamu bisa terus mendaki, saudaraku?" tanya murid kedua kepada yang ketiga.

"Sederhana. Aku tidak pernah menoleh ke bawah. Pandanganku terus ke puncak bukit," jawab murid ketiga begitu mantap.

Para pegiat kebaikan paham betul kalau jalan hidup bukan sekadar ujian dan cobaan. Tapi juga perjuangan. Perjuangan agar bisa memberi dengan nilai yang paling tinggi.

Namun, di saat-saat lelah, segala kemungkinan bisa terjadi. Kalau cuma fisik yang lelah, langkah masih bisa diayunkan, walaupun lambat. Tapi jika hati yang letih, bunga-bunga yang lemah pun bisa memperdaya.

Itu pun masih belum cukup. Karena di saat lelah, orang kerap menoleh ke bawah. Ia pun dibuai fatamorgana prestasi, "Ah, ternyata aku sudah begitu tinggi mendaki!" Padahal, puncak yang ia tuju masih sangat jauh.

Alqamah Anak Yang Durhaka

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Dosa-dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa serta sumpah palsu.” (HR. Al-Bukhari)


Alkisah, konon dikisahkan bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam ada seorang pemuda yang bernama Alqamah. Dia seorang pemuda yang giat beribadah, rajin shalat, banyak puasa dan suka bersedekah. Suatu ketika dia sakit keras, maka istrinya mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam untuk memberitahukan kepada beliau akan keadaan Alqamah. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pun mengutus Ammar bin Yasir, Shuhaib ar-Rumi dan Bilal bin Rabah radhiallahu ‘anhum untuk melihat keadaannnya. Beliau bersabda, “Pergilah ke rumah Alqamah dan talqin-lah untuk mengucapkan La Ilaha Illallah ”Akhirnya mereka berangkat kerumahnya, ternyata saat itu Alqamah sudah dalam keadaan naza’, maka segeralah mereka men-talqin-nya, namun ternyata lisan Alqamah tidak bisa mengucapkan La ilaha illallah.

Langsung saja mereka laporkan kejadian ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pun bertanya, “Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua?”

Ada yang menjawab, “Ada wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, dia masih mempunyai seorang ibu yang sudah sangat tua renta.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam  mengirim utusan untuk menemuinya, dan beliau berkata kepada utusan tersebut, “Katakan kepada ibunya Alqamah, ‘Jika dia masih mampu untuk berjalan menemui Rasulullah maka datanglah, namun kalau tidak, maka biarlah Rasulullah yang datang menemuimu.’”

Tatkala utusan itu telah sampai pada ibunya Alqamah dan pesan beliau itu disampaikan, maka dia berkata, “Sayalah yang lebih berhak untuk mendatangi Rasulullah.”

Maka, dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Sesampainya di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, dia mengucapkan salam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pun menjawab salamnya.

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya, “Wahai ibu Alqamah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, sebab jika engkau berbohong, maka akan datang wahyu dari Allah yang akan memberitahukan kepadaku, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqamah?”

Sang ibu menjawab, “Wahai Rasulullah, dia rajin mengerjakan shalat, banyak puasa dan senang bersedekah.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bertanya lagi, “Lalu apa perasaanmu padanya?”

Dia menjawab, “Saya marah kepadanya Wahai Rasulullah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bertanya lagi, “Kenapa?”

Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan diapun durhaka kepadaku.”

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqamah, sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”

Kemudian beliau bersabda, “Wahai Bilal, pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak.”

Si ibu berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang akan engkau perbuat?”

Beliau menjawab, “Saya akan membakarnya dihadapanmu.”

Dia menjawab, “Wahai Rasulullah , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku.”

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab, “Wahai Ibu Alqamah, sesungguhnya adzab Allah lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqamah, demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, shalat, puasa dan sedekahnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,”

Maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini, bahwa saya telah ridha pada anakku Alqamah”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pun berkata kepada Bilal radhiallahu ‘anhu, “Wahai Bilal, pergilah kepadanya dan lihatlah apakah Alqamah sudah bisa mengucapkan syahadat ataukah belum, barangkali ibu Alqamah mengucapkan sesuatu yang bukan berasal dari dalam hatinya, barangkali dia hanya malu kepadaku.”

Maka, Bilal radhiallahu ‘anhu pun berangkat, ternyata dia mendengar Alqamah dari dalam rumah mengucapkan La Ilaha Illallah. Maka, Bilal radhiallahu ‘anhu pun masuk dan berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu Alqamah telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat, dan ridhanya telah menjadikanya mampu mengucapkan syahadat.”

Kemudian, Alqamah pun meninggal dunia saat itu juga.

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam melihatnya dan memerintahkan untuk dimandikan lalu dikafani, kemudian beliau menshalatkannya dan menguburkannya,

Lalu, di dekat kuburan itu beliau bersabda, “Wahai sekalian kaum Muhajirin dan Anshar, barangsiapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, dia akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertobat dan berbuat baik pada ibunya serta meminta ridhanya, karena ridha Allah tergantung pada ridhanya dan kemarahan Allaoh tergantung pada kemarahannya.”

Kemasyhuran Kisah Ini

Kisah ini dengan perincian peristiwanya di atas sangat masyhur dikalangan kaum muslimin, para penceramah selalu menyebutkannya kalau berbicara tentang durhaka pada kedua orang tua. Sepertinya jarang sekali kaum muslimin yang tidak mengenal kisah ini. Dan yang semakin membuat masyhurnya kisah ini adalah bahwa kisah ini terdapat dalam kitab Al-Kaba’ir yang disandarkan kepada Imam Adz-Dzahabi rahimahullah.

Padahal kitab Al-Kaba’ir yang terdapat kisah ini bukanlah karangan Imam Adz-Dzahabi rahimahullah, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman rahimahullah dalam kitab beliau Kutubun Hadzara Minha Ulama’ juga dalam muqaddimah kitab Adz-Dzahabi yang sebenarnya.

Kisah ini juga terdapat dalam kitab-kitab yang membicarakan tentang kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua. Namun, itu semua tidaklah menjadi jaminan bahwa kisah ini shahih.

Takhrij Hadits Kisah Ini

Hadits yang menyebutkan kisah ini secara umum diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam Al-Musnad 4/382, Imam Ath-Thabrani rahimahullah, Imam Al-Baihaqi rahimahullah dalam Syu’abul Iman 6/197 dan dalam Dala’ilun Nubuwwah 6/205. Semuanya dari jalan Yazid bin Harun berkata, telah menceritakan kepada kami Fa’id bin Abdur Rahman berkata, saya mendengar Abdullah bin Abu Aufa berkata, ada seseorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, di sini ada seorang pemuda yang sedang sakaratul maut, dia disuruh untuk mengucapkan syahadat namun tidak bisa mengucapkannya.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bertanya, “Bukankah dia mengatakannya selama hidupnya?” Dijawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam kembali bertanya, “Lalu apa yang menghalanginya untuk mengucapkan syahadat saat akan mati?” … Lalu selanjutnya diceritakan tentang kisah pemuda itu yang durhaka kepada ibunya dan keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam untuk membakarnya yang akhirnya ibunya meridhainya dan diapun bisa mengucapkan syahadat lalu meninggal dunia, dan akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Segala puji bagi Allah yang menyelamatkannya dari api Neraka.”

Derajat kisah

Kisah ini LEMAH SEKALI dan BATHIL.

Sisi kelemahannya adalah bahwa kisah ini diriwayatkan hanya dari jalur Abul Warqa’ Fa’id bin Abdur Rahman dan dia adalah seorang yang ditinggalkan haditsnya (matrukul hadits) dan seorang yang tertuduh berdusta.

Berkata Imam Ibnu Hibban rahimahullah, “Dia termasuk orang yang meriwayatkan hadits-hadits munkar dari orang-orang yang terkenal, dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa dengan hadits-hadits yang mu’dhal, tidak boleh ber-hujjah dengannya.”

Berkata Imam Al-Bukhari rahimahullah, “Dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa dan dia seorang yang munkar hadits.”

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah, “Dia orang yang lemah, tidak tsiqah dan ditinggalkan haditsnya dengan kesepakatan para ulama.”

Oleh karena itu, para ulama melemahkan hadits ini, di antaranya:


  • ·         Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam Musnad beliau.
  • ·         Al -Qoili rahimahullah dalam Adh-Dhu’afa al-Kabir, 3/461.
  • ·         Imam Al-Baihaqi rahimahullah dalam Syu’abul Iman, 6/198.
  • ·         Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Al-Maudhu’at, 3/87.
  • ·         Al-Mundziri rahimahullah dalam At-Targhib wat Tarhib, 3/222.

Karena beliau meriwayatkan kisah ini dengan lafadz: (روي: diriwayatkan). Sedangkan beliau mengatakan dalam muqaddimah kitab tersebut, “Apabila dalam sanad sebuah hadits terdapat seorang pendusta, pemalsu hadits, tertuduh berdusta, disepakati untuk ditinggalkan haditsnya, lenyap haditsnya, lemah sekali, lemah atau saya tidak menemukan penguat yang memungkinkan untuk mengangkat derajat haditsnya menjadi hasan, maka saya mulai dengan lafadz (روي: diriwayatkan). Dan saya tidak menyebutkan siapa pe-rawi-nya juga tidak saya sebutkan sisi cacatnya sama sekali. Dari sini, maka sebuah sanad yang lemah bisa diketahui dengan dua tanda, pertama dimulai dengan lafadz (روي: diriwayatkan), dan tidak ada keterangan sama sekali setelahnya.”


  • ·         Imam Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Tartibul Maudhu’at, no. 874.
  • ·         Al-Haitsami rahimahullah dalam Majma’uz Zawa’id, 8/148.
  • ·         Ibnu ‘Araq rahimahullah dalam Tanzihusy Syari’ah, 2/296.
  • ·         Asy-Syaukani rahimahullah dalam Al-Fawa’id al-Majmu’ah.
  • ·         Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam Dha’if Targhib.

Setelah diketahui kelemahan hadits ini, maka tidak boleh bagi siapapun untuk menceritakan kisah ini saat membahas tentang kewajiban berbakti kepada kedua orang tua dan larangan durhaka kepadanya.

Namun perlu diketahui, bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah sebuah kewajiban syar’i dan durhaka adalah sebuah keharaman yang nyata. Banyak ayat dan hadits yang menyebutkan hal ini, di antaranya:

Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23)

عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال جئت أبايعك على الهجرة وتركت أبوي يبكيان فقال ارجع إليهما فأضحكهما كما أبكيتهما

Dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu berkata, “Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam seraya berkata, ‘Saya datang demi berbaiat kepadamu untuk berhijrah, namun saya meninggalkan kedua orang tuaku menangis.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau membuat keduanya menangis.’” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih, lihat Shahih Targhib, 2481)

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال كان تحتي امرأة أحبها وكان عمر يكرهها فقال لي طلقها فأبيت فأتى عمر رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكر ذلك له فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم طلقها

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Saya mempunyai seorang istri yang saya cintai, namun Umar membencinya, dan dia mengatakan kepadaku, ‘Ceraikan dia.’ Sayapun enggan untuk menceraikannya. Maka, Umar datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam lalu menyebutkan kejadian itu, maka Rasulullah berkata kepadaku, ‘Ceraikanlah dia.’” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dan beliau menshahikannya. Berkata At-Tirmidzi, “Hadits ini hasan shahih.”)

عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الكبائر الإشراك بالله وعقوق الوالدين وقتل النفس واليمين الغموس

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Dosa-dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa serta sumpah palsu.” (HR. Al-Bukhari)

Dan untuk mengetahui banyak hadis tentang pahala berbuat bakti pada kedua orang tua dan ancaman bagi yang durhaka kepada keduanya, lihatlah Shahih Targhib wat Tarhib oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah pada bab yang membicarakan mengenai hal ini. Wallahu a’lam.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top