Sunan Ad-Darimi

“Barangsiapa menghidupkan sunnahku maka ia telah mencintaiku dan barangsiapa mencintaiku maka ia akan bersamaku di surga.” (HR. Ath-Thabrani)


Dari dua ahli sejarah lama, Adz-Dzahabi dan Ibnul Imad, menyebutnya dengan “al-Musnad” juga dalam photo copy manuskrip (makhtuth) di Tendiyas India. Dan dari dua ahli sejarah kontemporer, Umar Ridla Kahalah dan ad-Darakli, menyebutkan dengan “as-Sunan atau Sunan ad-Darimi”. Dan setelah mempelajari susunan bab-bab (kitab yang telah di cetak) disusun sesuai dengan bab-bab fiqh, maka lebih tepat di sebut dengan “Sunan”.

Sunan ad-Darimi, mendapatkan perhatian lebih dari para peneliti (bahitsin), terutamanya setelah muncul al-Mujtamul Mufahrats Li Alfazdil Hadits, dimana Sunan ad-Darimi menjadi salah satu rujukan Mu’jam tersebut, sehingga jika kemudian disebut Kutub at-Tis’ah, maka masuklah Sunan ad-Darimi di dalamnya.

Adapun dalam tulisan-tulisan ulama terdahulu, tentang pembahasan-pembahasan atau istilah-istilah tertentu yang berkaitan dengan kitab-kitab hadits, maka jarang di masukkan, contoh: ketika membahas tentang syarat-syarat kitab-kitab hadits tertentu, seperti Abu Bakar Muhamad Musa al-Hazimi (w. 584 H) dalam kitabnya syurutul……….khamsah, atau Abu Fadhl bin Thahir al-Maqdisi (w. 507 H), (dalam kitabnya syurutul….sittah lebih lanjut, apakah tesis/desertasi atau kajian/tulisan non akademis? Saya belum melihatnya), hanya melihat 5/6 kitab dan tidak termasuk di dalamnya Sunan ad-Darimi. Wallahu a’lam.

Penulis

Beliau adalah Al-Hafizh al-Imam Abdullah bin Abdul Rahman bin Fadhl bin Bahram bin Abdillah abu Muhmad ad-Darimi as-Samarqandi.  ad-Darimi adalah nama lengkapnya Darim bin Malik bin Handalah bin Zaid bin Munah bin Tamim. Ia di lahirkan pada taun 181 H (ada juga yang berpendapat 182) atau bertepatan dengan tahun 797 M. Sebagai seorang yang bertekad menjadi penyebar hadits dan sunnah, maka syarat-syarat sebagai seorang rawi sejati menjadi satu kemestian untuk dimiliki. Diantaranya ia mesti terlebih dahulu belajar dan berguru. Beliau meninggal dunia pada hari Kamis, 8 Dzulhidjah (hari tasriah) setelah ashar tahun 225 H /69 M, dalam usia 75 tahun. Dan dikuburkan keesokan harinya, Jumat (hari Arafah).

Kandungan Kitab

Dari contoh-contoh riwayat yang di nukil sebagian oleh adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar ‘Ilam Nubala, dapat disimpulkan, bahwa sebagian hadits beliau ada yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, artinya riwayatnya termasuk kategori shahih. Dan ada yang masuk dalam kategori Gharibul Isnad. Seperti halnya karakter dari kitab sunan yang menekankan kepada hadits-hadits hukum, maka kemungkinan adanya hadits-hadits yang tidak shahih adalah wajar. Karena para penulis (mukharrij sunan) tidak mensyaratkan hal itu (hanya meriwayatkan yang shahih saja). Wallahu ‘alam.

Kitab Sunan Ad-Darimi sendiri merupakan salah satu dari 9 Kitab Induk Hadits (Kutubu Tis’ah). 9 Kitab Induk Hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah :

Uwais Al-Qarni Rahimahullah, Tidak Terkenal Di Bumi Tapi Terkenal Di Langit

Uwais berkata, “Saya bersumpah kepada Anda wahai Amirul Mukminin agar engkau tidak melakukannya. Biarkanlah saya berjalan di tengah lalu lalang banyak orang tanpa dipedulikan orang.”


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita mengenai Uwais Al-Qarni rahimahullah tanpa pernah melihatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia seorang penduduk Yaman, daerah Qarn, dan dari kabilah Murad. Ayahnya telah meninggal. Dia hidup bersama ibunya dan dia berbakti kepadanya. Dia pernah terkena penyakit kusta. Dia berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, lalu dia berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, lalu dia diberi kesembuhan, tetapi masih ada bekas sebesar dirham di kedua lengannya. Sungguh, dia adalah pemimpin para tabi’in.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu: “Jika kamu bisa meminta kepadanya untuk memohonkan ampun (kepada Allah subhanahu wa ta’ala) untukmu, maka lakukanlah!”

Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu telah menjadi Amirul Mukminin, dia bertanya kepada para jamaah haji dari Yaman di Baitullah pada musim haji: “Apakah di antara warga kalian ada yang bernama Uwais Al-Qarni?” “Ada,” jawab mereka.

Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan: “Bagaimana keadaannya ketika kalian meninggalkannya?”

Mereka menjawab tanpa mengetahui derajat Uwais, “Kami meninggalkannya dalam keadaan miskin harta benda dan pakaiannya usang.”

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada mereka: “Celakalah kalian. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita tentangnya. Kalau dia bisa memohonkan ampun untuk kalian, lakukanlah!”

Dan setiap tahun Umar radhiyallahu ‘anhu selalu menanti Uwais. Dan kebetulan suatu kali dia datang bersama jemaah haji dari Yaman, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu menemuinya. Dia hendak memastikannya terlebih dahulu, makanya dia bertanya: “Siapa namamu?”

“Uwais,” jawabnya.

Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan: “Di Yaman daerah mana?’

Dia menjawab: “Dari Qarn.”

“Tepatnya dari kabilah mana?” Tanya Umar radhiyallahu ‘anhu.

Dia menjawab, “Dari kabilah Murad.”

Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi: “Bagaimana ayahmu?”

“Ayahku telah meninggal dunia. Saya hidup bersama ibuku,” jawabnya.

Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan: “Bagaimana keadaanmu bersama ibumu?’

Uwais berkata: “Saya berharap dapat berbakti kepadanya.”

“Apakah engkau pernah sakit sebelumnya?” lanjut Umar radhiyallahu ‘anhu.

“Iya. Saya pernah terkena penyakit kusta, lalu saya berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala sehingga saya diberi kesembuhan.”

Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi: “Apakah masih ada bekas dari penyakit tersebut?”

Dia menjawab, “Iya. Di lenganku masih ada bekas sebesar dirham.” Dia memperlihatkan lengannya kepada Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu melihat hal tersebut, maka dia langsung memeluknya seraya berkata, “Engkaulah orang yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohonkanlah ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala untukku!”

Dia berkata, “Masa saya memohonkan ampun untukmu wahai Amirul Mukminin?”

Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Iya.”

Umar radhiyallahu ‘anhu meminta dengan terus mendesak kepadanya sehingga Uwais memohonkan ampun untuknya.

Selanjutnya Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya mengenai ke mana arah tujuannya setelah musim haji. Dia menjawab, “Saya akan pergi ke kabilah Murad dari penduduk Yaman ke Irak.”

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya akan kirim surat ke walikota Irak mengenai kamu?”

Uwais berkata, “Saya bersumpah kepada Anda wahai Amirul Mukminin agar engkau tidak melakukannya. Biarkanlah saya berjalan di tengah lalu lalang banyak orang tanpa dipedulikan orang.”



Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah.

Tata Cara Wudhu

“Shalat salah seorang di antara kalian tidak akan diterima -ketika masih berhadats- sampai dia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225)


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menjelaskan mengenai tata cara wudhu. Semoga dengan pembahasan ini pula dapat meluruskan kesalahan-kesalahan yang selama ini ada. Hanya Allah yang beri taufik.

Shalat Tidak Sah Tanpa Berwudhu

Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidak ada shalat kecuali dengan thoharoh. Tidak ada sedekah dari hasil pengkhianatan.” (HR. Muslim no. 224)

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini adalah nash mengenai wajibnya thoharoh untuk shalat. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa thoharoh merupakan syarat sah shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 3/102)

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Shalat salah seorang di antara kalian tidak akan diterima -ketika masih berhadats- sampai dia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225)

Tata Cara Wudhu

Mengenai tata cara berwudhu diterangkan dalam hadits berikut :

حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ – رضى الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلاَةِ.

Humran pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu pernah meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh mukanya 3 kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki yang kiri seperti itu juga. Kemudian Utsman berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk (tidak memikirkan urusan dunia dan yang tidak punya kaitan dengan shalat), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. Ibnu Syihab berkata, “Ulama kita mengatakan bahwa wudhu seperti ini adalah contoh wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seorang hamba untuk shalat. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini dan hadits lainnya, kita dapat meringkas tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut :
  • Berniat dalam hati untuk menghilangkan hadats.
  • Membaca basmalah: ‘bismillah’.
  • Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali.
  • Mengambil air dengan tangan kanan, lalu dimasukkan dalam mulut (berkumur-kumur atau madmadho) dan dimasukkan dalam hidung (istinsyaq) sekaligus –melalui satu cidukan-. Kemudian air tersebut dikeluarkan (istintsar) dengan tangan kiri. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.
  • Membasuh seluruh wajah sebanyak tiga kali dan menyela-nyela jenggot.
  • Membasuh tangan –kanan kemudian kiri- hingga siku dan sambil menyela-nyela jari-jemari.
  • Membasuh kepala 1 kali dan termasuk di dalamnya telinga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk bagian dari kepala” (HR Ibnu Majah, disahihkan oleh Al-Albani). Tata cara membasuh kepala ini adalah sebagai berikut, kedua telapak tangan dibasahi dengan air. Kemudian kepala bagian depan dibasahi lalu menarik tangan hingga kepala bagian belakang, kemudian menarik tangan kembali hingga kepala bagian depan. Setelah itu langsung dilanjutkan dengan memasukkan jari telunjuk ke lubang telinga, sedangkan ibu jari menggosok telinga bagian luar.
  • Membasuh kaki 3 kali hingga ke mata kaki dengan mendahulukan kaki kanan sambil membersihkan sela-sela jemari kaki.

Berikut catatan penting yang perlu diperhatikan dalam tata cara wudhu di atas.

  • Niat Cukup dalam Hati

Yang dimaksud niat adalah Al-Qosd (keinginan) dan Al-Irodah (kehendak). (Majmu’ Al-Fatawa, 22/242).Sedangkan yang namanya keinginan dan kehendak pastilah dalam hati, sehingga niat pun letaknya dalam hati.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Letak niat adalah di hati bukan di lisan. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin dalam segala macam ibadah termasuk shalat, thoharoh, zakat, haji, puasa, memerdekakan budak, jihad dan lainnya.” (Al-Fatawa Al-Kubro, 2/87)

Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal wudhu tidak pernah mengucapkan “nawaitu rof’al hadatsi (aku berniat untuk menghilangkan hadats …)”. Beliau pun tidak menganjurkannya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat pun yang mengajarkannya. Tidak pula terdapat satu riwayat baik dengan sanad yang shahih maupun dho’if (lemah) yang menyebutkan bahwa beliau mengucapkan bacaan tadi.” (Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/196)

  • Berkumur-kumur dan Memasukkan Air dalam Hidung Dilakukan Sekaligus Melalui Satu Cidukan Tangan

Ibnul  Qayyim menyebutkan, “Ketika berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (istinsyaq), terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan satu cidukan tangan, terkadang dengan dua kali cidukan dan terkadang pula dengan tiga kali cidukan. Namun beliau menyambungkan (tidak memisah) antara kumur-kumur dan istinsyaq. Beliau menggunakan separuh cidukan tangan untuk mulut dan separuhnya lagi untuk hidung. Ketika suatu saat beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan satu cidukan maka kemungkinan cuma dilakukan seperti ini yaitu kumur-kumur dan istinsyaq disambung (bukan dipisah). Adapun ketika beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan dua atau tiga cidukan, maka di sini baru kemungkinan berkumur-kumur dan beristinsyaq bisa dipisah. Akan tetapi, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan adalah memisahkan antara berkumur-kumur dan istinsyaq. Sebagaimana disebutkan dalam shahihain (HR. Al-Bukhari dan Muslim)dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tamadh-madho (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui air satu telapak tangan dan seperti ini dilakukan tiga kali. Dalam lafazh yang lain disebutkan bahwa  tamadh-madho (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui tiga kali cidukan. Inilah riwayat yang lebih shahih dalam masalah kumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung).
Tidak ada satu hadits shahih pun yang menyatakan bahwa kumur-kumur dan istinsyaq dipisah. Kecuali ada riwayat dari Tholhah bin Mushorrif dari ayahnya dari kakeknya yang mengatakan bahwa dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antara kumur-kumur dan istinsyaq. (HR. Abu Daud, sanadnya dhoif) Dan riwayat tersebut hanyalah berasal dari Tholhah dari ayahnya, dari kakeknya. Padahal kakekanya tidak dikenal sebagai seorang sahabat.” (Zaadul Ma’ad, 1/192-193)

  • Membasuh Kepala Cukup Sekali

Ibnul Qayyim menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membasuh kepalanya seluruh dan terkadang beliau membasuh ke depan kemudian ke belakang. Sehingga dari sini sebagian orang mengatakan bahwa membasuh kepala itu dua kali. Akan tetapi yang tepat adalah membasuh kepala cukup sekali (tanpa diulang). Untuk anggota wudhu lain biasa diulang. Namun untuk kepala, cukup dibasuh sekali. Inilah pendapat yang lebih tegas dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berbeda dengan cara ini. Adapun hadits yang membicarakan beliau membasuh kepala lebih dari sekali, terkadang haditsnya shahih, namun tidak tegas. Seperti perkataan sahabat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap tiga kali tiga kali. Seperti pula perkataan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh kepala dua kali. Terkadang pula haditsnya tegas, namun tidak shahih. Seperti hadits Ibnu Al Bailamani dari ayahnya dari ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap tangannya tiga kali dan membasuh kepala juga tiga kali. Namun perlu diketahui bahwa Ibnu Al Bailamani dan ayahnya adalah periwayat yang lemah.” (Zaadul Ma’ad, 1/193)

  • Kepala Sekaligus Diusap dengan Telinga

Telinga hendaknya diusap berbarengan setelah kepala karena telinga adalah bagian dari kepala. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

“Dua telinga adalah bagian dari kepala.” (HR. Abu Daud no. 134, At-Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 443, dan Ahmad 5/264)Hadits ini adalah hadits yang lemah jika marfu’ (dianggap ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Akan tetapi hadits di atas dikatakan oleh beberapa ulama salaf di antaranya adalah Ibnu ‘Umar. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/118)

Ash-Shon’ani menjelaskan, ”Walaupun sanad hadits ini dikritik, akan tetapi ada berbagai riwayat yang menguatkan satu sama lain. Sebagai penguat hadits tersebut adalah hadits yang mengatakan bahwa membasuh dua telinga adalah sekaligus dengan kepala sebanyak sekali. Hadits yang menyebutkan seperti ini amatlah banyak, ada dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ar-Robi’ dan ‘Utsman. Semua hadits tersebut bersepakat bahwa membasuh kedua telinga sekaligus bersama kepala dengan melalui satu cidukan air, sebagaimana hal ini adalah makna zhohir (tekstual) dari kata marroh (yang artinya: sekali). Jika untuk membasuh kedua telinga digunakan air yang baru, tentu tidak dikatakan, “Membasuh kepala dan telinga sekali saja”. Jika ada yang memaksudkan bahwa beliau tidaklah mengulangi membasuh kepala dan telinga, akan tetapi yang dimaksudkan adalah mengambil air yang baru, maka ini pemahaman yang jelas keliru. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa air yang digunakan untuk membasuh kedua telinga berbeda dengan kepala, itu bisa dipahami kalau air yang ada di tangan ketika membasuh kepala sudah kering, sehingga untuk membasuh telinga digunakan air yang baru.” (Subulus Salam, 1/136-137)

  • Seluruh Kepala Dibasuh, Bukan Hanya Ubun-Ubun Saja

Allah Ta’ala berfirman :

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

“Dan basuhlah kepala kalian.” (QS. Al Maidah: 6)

Fungsi huruf baa’ dalam ayat di atas adalah lil ilsoq artinya melekatkan dan bukan li tab’idh (menyebutkan sebagian). Maknanya sama dengan membasuh wajah ketika tayamum, sebagaimana dalam ayat :

فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ

“Dan basuhlah wajah kalian.” (QS. Al Maidah : 6). Dua dalil di atas masih berada dalam konteks ayat yang sama. Mengusap wajah pada tayamum bukan hanya sebagian (namun seluruhnya) sehingga yang dimaksudkan dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh kepala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Apabila ayat yang membicarakan tentang tayamum tidak mengatakan bahwa mash (membasuh) wajah hanya sebagian padahal tayamum adalah pengganti wudhu dan tayamum jarang-jarang dilakukan, bagaimana bisa ayat wudhu yang menjelaskan mash (membasuh) kepala cuma dikatakan sebagian saja yang dibasuh padahal wudhu sendiri adalah hukum asal dalam berthoharoh dan sering berulang-ulang dilakukan?! Tentu yang mengiyakan hal ini tidak dikatakan oleh orang yang berakal.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/123)

Begitu pula terdapat dalam hadits lain dijelaskan bahwa membasuh kepala adalah seluruhnya dan bukan sebagian. Dalilnya :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَتَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْرَجْنَا لَهُ مَاءً فِى تَوْرٍ مِنْ صُفْرٍ فَتَوَضَّأَ ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِهِ وَأَدْبَرَ ، وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ

Dari ‘Abdullah bin Zaid, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lalu kami mengeluarkan untuknya air dalam bejana dari kuningan, kemudian akhirnya beliau berwudhu. Beliau mengusap wajahnya tiga kali, mengusap tangannya dua kali dan membasuh kepalanya, dia menarik ke depan kemudian ditarik ke belakang, kemudian terakhir beliau mengusap kedua kakinya. (HR. Al-Bukhari no. 197)

Dalam riwayat lain dikatakan :

وَمَسَحَ رَأْسَهُ كُلَّهُ

“Beliau membasuh seluruh kepalanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah 1/81)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Tidak ada satu pun sahabat yang menceritakan tata cara wudhu Nabi yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mencukupkan dengan membasuh sebagian kepala saja.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/122)

Namun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh ubun-ubun, beliau juga sekaligus membasuh imamahnya. Sedangkan untuk wanita muslimah tata cara membasuh kepala tidak dibedakan dengan pria. Akan tetapi, boleh bagi wanita untuk membasuh khimarnya saja. Akan tetapi, jika ia membasuh bagian depan kepalanya disertai dengan khimarnya, maka itu lebih bagus agar terlepas dari perselisihan para ulama. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/118)

Wallahu a’lam. Semoga tulisan ini menjadi risalah dalam berwudhu’ yang benar serta merupakan pedoman kita sehari-hari. Semoga bermanfaat.

Untuk Tata Cara Mandi Wajib klik disni

Ketika Virus Merah Jambu Menyelinap Di Hati Ini

“Seseorang akan bersama dengan orang yang ia cintai. Dan engkau akan bersama orang yang engkau cintai.” (HR. At-Tirmidzi no. 2385)


Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia, sampai kapan pun. Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf ini : “C-I-N-T-A”. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya.

Definisi Cinta

Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim Al-Jauziah rahimahullah berkata: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, Jilid 3 hal. 9)

Cinta Tabiat Anak Manusia

Inilah tabiat dan fitrah kita sebagai anak Adam. Anak cinta orang tua, orang tua cinta anak, kita cinta pada uang, kaum hawa cinta pada perhiasan dll, dsb, dst. Begitu pula cinta pada lawan jenis, semua diantara kita yang laki-laki mencintai wanita dan yang wanita cinta laki-laki, barangsiapa yang tidak memilikinya maka dipertanyakan kejantanan dan kefemininannya. Setuju nggak???

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan pada apa-apa yang dia ingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran [3] : 14)

Bila Si Cinta Dengan Gaun Merah Jambu Itu Hadir !!!

Saya tidak tahu persis sejak kapan warna merah jambu dan daun waru dinobatkan sebagai lambang cinta, apapun jawabannya, itu tidak terlalu penting bagi kita. Namun yang sangat penting adalah bahwasannya bila masa kanak-kanak itu telah beranjak pergi meninggalkan kehidupan kita, lalu kita pun menyandang predikat baru sebagai remaja untuk menyongsong kehidupan manusia dewasa yang mandiri.

Ada sesuatu yang terasa hadir mengisi indahnya hidup ini. Itulah cinta. Yang jelas cinta ini bukan lagi cinta pada mainan atau jajan bungkusan anak-anak, namun cinta pada sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Saat itu tersenyumlah seraya berucap: “Selamat datang cinta.”

Kasihan Si Cinta: Sering Dijadikan Kambing Hitam !!!

Cinta adalah sesuatu yang agung, dengan cinta seorang yang pengecut menjadi pemberani, orang yang bakhil menjadi dermawan, yang bodoh menjadi pintar, menjadikan orang pandai merangkai kata dan tulisan. Begitulah kira-kira yang diungkapkan para dokter cinta. Oleh karena itu jangan salahkan cinta, kasihan dia. Bukankah karena cinta seseorang bisa masuk surga?

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah? “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab: “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Al-Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639)

Dalam riwayat lain, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai). Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pun mengatakan: “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 3688)

Dalam riwayat Imam At-Tirmidzi rahimahullah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ وَأَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“Seseorang akan bersama dengan orang yang ia cintai. Dan engkau akan bersama orang yang engkau cintai.” (HR. At-Tirmidzi no. 2385)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: “Maksud ‘sesungguhnya engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai’ adalah engkau akan didekatkan dengan mereka, begitu pula hal ini termasuk dalam golongan yang ia cintai. Bagaimana jika kedudukan di surga di antara mereka bertingkat-tingkat derajat? Apakah masih tetap dikatakan bersama? Jawabnya, tetap masih disebut bersama. Selama masih ada kesamaan, seperti sama-sama masuk surga, maka itu pun disebut bersama. Jadi tidak mesti bersama dalam segala sisi. Jika semuanya tadi masuk surga, itu sudah disebut bersama walau berbeda-beda derajat.” (Fathul Bari, Jilid 10 hal. 555)
Nah kita akan dibangkitkan dengan orang yang kita cintai. Jika kita mencintai orang-orang kafir maka?? Cinta itu akan menjadi sangat agung kalau diletakkan pada tempatnya, namun bisa menjadi bencana kalau disalah gunakan. Oleh karena itu berhati-hatilah.

Cinta Karena Allah

“Akhi, Ukhti, saya mencintaimu karena Allah.” Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umatnya untuk cinta ada orang lain karena Allah dalam artian kalau orang itu semakin membuat kita dekat pada-Nya maka cintailah dia, dan begitu pula sebaliknya kalau ada orang yang semakin menjauhkan kita dari-Nya, maka jauhilah dia.

Bukankah orang yang melakukannya akan merasakan manisnya iman dan akan mendapatkan mimbar cahaya yang diingingkan oleh para Nabi dan Syuhada?

Tapi perlu diingat, kita harus berhati-hati tatkala mengatakan: “Akhi atau Ukhti, saya mencintaimu karena Allah.” Karena ucapan tersebut bisa menjadi FITNAH yang sangat besar tatkala disampaikan kepada lawan jenis khususnya bagi para ikhwan maupun akhwat yang masih nge-Jomblo (Belum Nikah). Inget tuch.....!!!

Itulah Agungnya Cinta: Jangan Di Perkosa !!!

“Pemerkosaan arti cinta” -maaf kalau kalimat ini kedengaran kasar- namun itulah kenyataannya. Betapa banyak wanita yang menyerahkan mahkota hidupnya kepada orang yang belum berhak lalu dia berucap ini sebagai tanda cintaku padanya, sebaliknya betapa banyak kaum laki-laki yang harus melakukan kemaksiatan atas nama cinta.

Subhanallah...!!! Akankah cinta kita pada Allah Dzat yang Maha Agung dikalahkan oleh cinta pada seseorang yang berasal dari air mani yang kotor, saat hidupnya selalu membawa kotoran, dan saat meninggal pun akan berubah menjadi sesuatu yang sangat menjijikkan?

Malulah pada Nabi Yusuf ‘alaihis salam, yang mampu mempertahankan kehormatannya dihadapan seorang wanita cantik, kaya raya, bangsawan lagi. Jangan engkau berkata: “Diakan seorang Nabi.” karena kisah serupa pun dialami oleh Abdurrahman bin Abu Bakr, Muhammad Al-Miski dan lainnya.

Cinta Dalam Pacaran?

Kata sebagian orang: “Sulit untuk menjelaskan sesuatu yang sudah jelas”. Istilah pacaran adalah sebuah istilah yang sudah sangat akrab ditelinga serta lengket dalam pandangan mata. Namun saya masih agak kesulitan untuk mendefinisikannya.

Mudahan-mudahan tidak salah kalau saya katakan bahwa setiap kali istilah ini disebut maka yang terlintas dibenak kita adalah sepasang anak manusia –tertama kawula muda dan para remaja- yang tengah dilanda cinta dan dimabuk asmara, saling mengungkapkan rasa sayang, cinta dan rindu, yang kemudian akhirnya biduk ini akan menuju pada pantai pernikahan.

Inilah paling tidak anggapan dan harapan sebagian pelakunya. Namun ada satu hal yang banyak luput dari banyak kalangan bahwa segala sesuatu itu ada etika dan aturannya, kalau masuk terminal saja ada aturannya, akankah masalah cinta yang kata sebagian orang “suci” ini tanpa aturan?

Istilah pacaran itu tidak pernah dikenal dalam sejarah islam, bahkan islam sangat melarang keras yang namanya pacaran. Karena pacaran adalah salah satu sarana menuju perzinahan.

Jangan ada yang berfikir bahwasannya yang terlarang dalam islam hanyalah zina dalam pengertian masuknya timba dalam sumur sebagaimana bahasa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang terlarang adalah semua hal yang mendekati pada perzinaan tersebut. Jangan hal ini dianggap keras.....!!! Karena sesungguhnya Allah dan rasul-Nya telah memerintahkan seperti itu, jadi kita harus sami’na wa atha’na, kita dengar dan kita taat.

Perhatikanlah firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا

“Janganlah kalian mendekati zina.” (QS. Al-Isra’ [17] : 32)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina. Dia mengetahui yang demikian tanpa dipungkiri. Mata bisa berzina, dan zinanya adalah pandangan (yang diharamkan). Zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan). Lidah (lisan) bisa berzina, dan zinanya adalah perkataan (yang diharamkan). Tangan bisa berzina, dan zinanya adalah memegang (yang diharamkan). Kaki bisa berzina, dan zinanya adalah ayunan langkah (ke tempat yang haram). Hati itu bisa berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan membenarkan yang demikian itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)

Dan fakta telah berbicara, bahwa orang yang melakukan hubungan pacaran tidak akan pernah terlepas dari zina-zina yang telah disebutkan dalam hadits di atas. Ayo ngaku.....!!!

TIDAK!!! Islam Tidak Mengharamkan Cinta, Islam Hanya Mengatur!!!

Islam sebagai agama paripurna, tidak membiarkan satu pun masalah tanpa aturan. Lha wong cara berpakaian, mandi, buang air dan hal-hal kecil lainnya ada aturanya, maka bagaimana mungkin urusan cinta yang menjadi keharusan hidup manusia normal akan tanpa aturan. Itu mustahil. Benarlah Salman Al-Farisi radhiyallahu ’anhu tatkala ditanya: “Apakah nabimu sudah mengajarkan segala sesuatu sampai masalah adab buang air besar?”, maka beliau menjawab: Ya, Rasulullah sudah mengajarkannya, beliau melarang kami untuk menghadap dan membelakangi kiblat dan memerintahkan kami untuk beristinjak dengan tiga batu dan melarang kami untuk beristinjak dengan kotoran dan tulang.”

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah kusempurnakan agama kalian, dan telah Ku sempurnakan nikmatku kepadamu dan Aku rela islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah [5] : 3)

            Maka jagalah cinta kita, jangan sampai salah kita melabuhkan cinta kita sehingga kita dapat terjerumus kepada hal-hal yang justru kita kehilangan cinta yang hakiki yaitu cinta Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Syair Ibnu Taimiyah Rahimahullah di Penghujung Hayat Beliau

“Akulah hamba yang sangat fakir terhadap Tuhan segenap makhluk. Akulah hamba yang miskin lagi kerdil, di setiap keadaanku. Akulah hamba yang sangat zalim terhadap jiwanya sendiri (senantiasa berdosa), dan jiwa tersebut adalah kezalimanku.”


Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengisahkan dalam kitabnya Madarijus Salikin Jilid 1 hal 520-521: “Suatu ketika -di akhir-akhir hayatnya- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengirimi aku tulisan tangan beliau tentang Kaidah Tafsir. Di balik tulisan tersebut terdapat bait-bait syair yang beliau tulis sendiri dengan tangan beliau. Tulisan tersebut berbunyi :

أَنَا الْفَقِيرُ إِلَى رَبِّ الْبَرِيَّاتِ
أَنَا الْمُسَيْكِينُ فِي مَجْمُوعِ حَالَاتِي
أَنَا الظَّلُومُ لِنَفْسِي وَهِيَ ظَالِمَتِي
وَالْخَيْرُ إِنْ يَأْتِنَا مِنْ عِنْدِهِ يَأْتِي
لَا أَسْتَطِيعُ لِنَفْسِي جَلْبَ مَنْفَعَةٍ
وَلَا عَنِ النَّفْسِ لِي دَفْعُ الْمَضَرَّاتِ
وَلَيْسَ لِي دُونَهُ مَوْلًى يُدَبِّرُنِي
وَلَا شَفِيعٌ إِذَا حَاطَتْ خَطِيئَاتِي
إِلَّا بِإِذْنٍ مِنَ الرَّحْمَنِ خَالِقِنَا
إِلَى الشَّفِيعِ كَمَا قَدْ جَاءَ فِي الْآيَاتِ
وَلَسْتُ أَمْلِكُ شَيْئًا دُونَهُ أَبَدًا
وَلَا شَرِيكٌ أَنَا فِي بَعْضِ ذَرَّاتِ
وَلَا ظُهَيْرٌ لَهُ كَيْ يَسْتَعِينَ بِهِ
كَمَا يَكُونُ لِأَرْبَابِ الْوِلَايَاتِ
وَالْفَقْرُ لِي وَصْفُ ذَاتِ لَازِمٍ أَبَدًا
كَمَا الْغِنَى أَبَدًا وَصْفٌ لَهُ ذَاتِي
وَهَذِهِ الْحَالُ حَالُ الْخَلْقِ أَجْمَعِهِمْ
وَكُلُّهُمْ عِنْدَهُ عَبْدٌ لَهُ آتِي
فَمَنْ بَغَى مَطْلَبًا مِنْ غَيْرِ خَالِقِهِ
فَهُوَ الْجَهُولُ الظَّلُومُ الْمُشْرِكُ الْعَاتِي

Akulah hamba yang sangat fakir terhadap Tuhan segenap makhluk
Akulah hamba yang miskin lagi kerdil, di setiap keadaanku
Akulah hamba yang sangat zalim terhadap jiwanya sendiri (senantiasa berdosa), dan jiwa tersebut adalah kezalimanku
Kebaikan dari sisi-Nya, jika hendak menghampiri kita, pasti akan menghampiri

Aku tak mampu mengusahakan manfaat buat diriku sendiri
Aku pun tak sanggup menolak kemudaratan dari diriku
Aku tidak punya pelindung selain-Nya yang akan mengaturku
Dan tidak pula pemberi syafa’at jika dosa-dosaku telah meliputi aku

Kecuali dengan izin dari Ar-Rahman (Yang Mahapengasih), Pencipta kita
Kepada Sang Pemberi Syafa’at, sebagaimana yang telah datang dari ayat-ayat Tanpa-Nya, selama-lamanya aku tidak memiliki secuil apapun juga
Sedikitpun aku bukan sekutu dalam mewujudkan sebagian butir yang terkecil

Tidak pula aku ini ‘Si Pembantu Kecil’ buat-Nya yang bisa Dia minta pertolongannya
Sebagaimana keadaan ‘Tuhan-Tuhan Palsu’ dari kalangan makhluk (yang dianggap) wali di wilayah-wilayah tertentu
Yang mana mereka itu justru sangat butuh bantuan makhluk lain
Kefakiran, adalah sifat yang senantiasa melekat pada diriku selama-lamanya
Sebagaimana sifat Mahakaya akan abadi melekat pada diri-Nya

Demikianlah keadaan segenap makhluk
Mereka semua di sisi-Nya adalah hamba yang akan datang kepada-Nya
Barangsiapa mencari sesuatu dari selain Penciptanya
Maka dialah Si Bodoh lagi zalim dan musyrik yang kurang ajar

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top