Hubungan antara Iman, Islam dan Ihsan

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3] : 19)


Kembali melanjutkan pembahasan mengenai rukun Islam. Pada kesempatan ini, penulis akan membahas secara ringkas mengenai hubungan antara Islam, Iman dan Ihsan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan.
           
Islam jika disebutkan secara mandiri tanpa disertai dengan Iman dan Ihsan, maka yang dimaksud adalah seluruh ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Hal tersebut sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”[1]

Akan tetapi, jika Islam disebutkan bersamaan dengan Iman, maka yang dimaksud adalah amal lahiriyah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قَالَتِ ٱلْأَعْرَابُ ءَامَنَّا قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَانُ فِى قُلُوبِكُمْ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah berislam (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.”[2]

Begitu juga dengan Iman, jika Iman itu disebutkan secara mandiri tanpa disertai dengan Islam dan Ihsan, maka yang dimaksudkan adalah seluruh ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Namun, jika Iman disebut bergandengan dengan Islam, maka yang dimaksudkan dengan Iman di sini adalah mencakup amal bathin. Hal ini dapat kita perhatikan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا ٱلصَّالِحَاتِ

“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shalih.”[3]

Maka yang dimaksudkan dengan orang yang beriman di sini adalah orang yang melakukan amalan bathin. Sedangkan Ihsan adalah memperbaiki amalan lahir maupun bathin. Gabungan dari ketiganya disebut dengan ad-Din yaitu Islam. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] QS. Ali Imran [3] : 19
[2] QS. al-Hujurat [49] : 14
[3] QS. an-Nisa’ [4] : 57



Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim

Makna Islam

“Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk patuh kepada-Nya dengan ketaatan dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.” (al-Ushul ats-Tsalatsah wa Adilatuha, hal. 14)


Melanjutkan pembahasan mengenai rukun Islam. Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas mengenai makna Islam baik secara umum maupun secara khusus. asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab at-Tamimi rahimahullah berkata:

الإسلام هو الاستسلام لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة ، والبراءة من الشرك وأَهله

“Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk patuh kepada-Nya dengan ketaatan dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.”[1]

asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

الإسلام بالمعنى العام هو التعبد لله بما شرع منذ أن أرسل الله الرسل إلى أن تقوم الساعة . والإسلام بالمعنى الخاص بعد بعثة النبي صلى الله عليه وسلم يختص بما بعث به محمد صلى الله عليه وسلم لأن ما بعث به النبي صلى الله عليه وسلم نسخ جميع الأديان السابقة فصار من أتبعه مسلماً ومن خالفه ليس بمسلم .

“Islam secara umum bermakna beribadah kepada Allah sesuai dengan yang telah disyari’atkan, sejak Allah mengutus para rasul hingga hari kiamat. Sedangkan Islam secara khusus bermakna islam setelah diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khusus dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus semua syari’at sebelumnya. Sehingga pengikutnya adalah orang islam, sementara yang menyelisihi dari syari’at beliau, maka dia bukan orang islam.”[2]

Dari penjelasan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah di atas, maka dapat difahami bahwa Islam memiliki dua makna yaitu makna secara umum dan khusus. Secara umum Islam bermakna agama seluruh Nabi dan Rasul beserta umatnya yang beriman, walaupun rincian syari’at yang diturunkan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalil yang melandasi makna Islam secara umum yaitu pernyataan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang menyatakan bahwa beliau dan anak keturunannya adalah Islam.

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”[3]

Allah subhanahu wa ta’ala juga mengingkari pernyataan sebagian manusia bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam penganut Yahudi dan Nasrani.

أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ

“Kalian (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?”[4]

Sedangkan makna Islam secara khusus bermakna ajaran yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syari’at beliau menghapus syari’at sebelumnya yang bertentangan dengannya. Maka dalam hal ini, para pengikut nabi terdahulu adalah Islam ketika syari’at nabi mereka masih berlaku. Akan tetapi ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka syari’at nabi mereka terhapus dan mereka tidak bisa disebut Islam kembali kecuali jika mereka mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagai contoh, jika ada seorang Nasrani yang komitmen dengan ajaran Nabi ‘Isa ‘alaihis salam yang lurus dengan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dan menyatakan bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihis salam adalah hamba dan rasul-Nya bukan inkarnasi Allah maupun anak-Nya, mengikuti seluruh perintah Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Injil seperti tidak berjudi, tidak berzina, tidak makan babi dan lain sebagainya, akan tetapi dia menolak untuk mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau diutus, maka orang ini kafir dan bukan Islam. Seandainya orang ini hidup pada zaman Nabi ‘Isa ‘alaihis salam atau setelahnya sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus maka dia disebut orang Islam.

            Demikianlah penjelasan mengenai makna Islam secara umum dan khusus. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kemudahan untuk memahaminya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
 

[1] al-Ushul ats-Tsalatsah wa Adilatuha, hal. 14
[2] Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 20
[3] QS. al-Baqarah [2] : 132
[4] QS. al-Baqarah [2] : 140


Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim
  • asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. al-Ushul ats-Tsalatsah wa Adilatuha. 1420 H. Dar ats-Tsuriyya lin Nasyr wa at-Tauzi’ Riyadh.
  • asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Syarh Tsalatsah al-Ushul. 1420 H. Dar ats-Tsuriyya lin Nasyr wa at-Tauzi’ Riyadh.

Rukun Islam

“Islam dibangun diatas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwasanya tiada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah dan puasa Ramadhan.” (HR. al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)


Kembali melanjutkan pembahasan Matan Safinah an-Najah karya asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami rahimahullah. pada kesempatan kali ini, penulis akan menjelaskan mengenai rukun Islam serta dalil-dalil yang melandasi rukun Islam. asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami rahimahullah berkata:

(فصل) أركان الإسلام خمسة :
شهادة أن لا إله إلاالله وأن محمد رسول الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، و صوم رمضان ، وحج البيت من استطاع إليه سبيلا .

“(Pasal) Rukun Islam itu ada lima: Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu menempuh perjalananya.”[1]

(أركان الإسلام خمسة)

asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

أركان الإسلام خمسة ، فلا ينبغي بغيرها ، فإضافة الأركان من إضافة الأجزاء إلى الكل ، أي الدعائم و الأساس و الأجزاء التي يتركب الإسلام منها خمسة ، فلا يكون من غيرها .

“Rukun Islam itu ada lima, maka Islam tidak dapat terbangun dengan selainnya. Adapun idhafah lafazh al-Arkan tergolong idhafah al-Ajzai ilal Kulli (penyandaran bagian-bagian dari sesuatu kepada keseluruhannya). Maksudnya adalah tiang-tiang penyangga, asas-asas dan bagian-bagian yang agama Islam disusun darinya itu ada lima, maka tidak ada dari selainnya.”[2]

asy-Sayyid Ahmad bin ‘Umar asy-Syathiri rahimahullah berkata:

الركن لغة جائب الشيء الاقوى ، واصطلاحا عبارة عن جزء من الماهية لا تتحقق إلا به . والإسلام لغة الإستسلام والإنقياد ، وإصطلاحا الإنقياد للأحكام الشرعية .

“Rukun secara bahasa adalah bagian dari sesuatu yang terkuat, dan secara istilah adalah bagian dari sesuatu yang tidak dapat mencapai hakikatnya kecuali dengan rukun tersebut. Sedangkan Islam secara bahasa adalah pasrah dan tunduk, dan secara istilah adalah tunduk dan patuh sesuai hukum-hukum syari’at.”[3]

asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab at-Tamimi rahimahullah berkata:

الإسلام هو الاستسلام لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة ، والبراءة من الشرك وأَهله .

“Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk patuh kepada-Nya dengan ketaatan dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.”[4]

Arkan (أركان) merupakan bentuk jamak dari rukun (ركن) yang secara bahasa adalah bagian dari sesuatu yang terkuat, dan secara istilah adalah bagian dari sesuatu yang tidak dapat mencapai hakikatnya kecuali dengan rukun tersebut. Makna Islam (الإسلام) secara bahasa adalah tunduk, patuh dan berserah diri. Sedangkan secara istilah bermakna  berserah diri kepada Allah subahanhu wa ta’ala  dengan bertauhid, tunduk patuh kepada-Nya dengan ketaatan dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya dengan mengikuti syari’at yang telah dibawakan oleh Nabi Muhammad shalalllahu ‘alaihi wa sallam.

Sehingga makna dari Rukun Islam (أركان الإسلام) adalah bagian atau asas yang Islam dibentuk darinya, yaitu ada lima perkara yang tidak ada selain darinya. Dan bagian atau asas ini berjumlah lima yaitu: 1) Bersaksi bahwasanya tiada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah subhanahu wa ta’ala dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, 2) Mendirikan shalat, 3) Menunaikan zakat, 4) Puasa Ramadhan dan 5) Haji ke Baitullah bagi yang mampu dalam perjalanan. Dalil yang mejadi landasan tentang rukun Islam ini adalah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ .

“Islam dibangun diatas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwasanya tiada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah dan puasa Ramadhan.”[5]

Juga riwayat dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً .

“Islam itu adalah bersaksi bahwasanya tiada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menuju ke sana.”[6]

Jika diperhatikan dari segi pengamalan, maka rukun Islam ini terbagi menjadi empat kelompok, yaitu:
1.       Amal i’tiqadiyah yaitu Syahadat,
2.       Amal badaniyah yaitu shalat dan puasa,
3.       Amal maliyah yaitu zakat,
4.       Amal badaniyah dan maliyah yaitu haji.

Demikianlah penjelasan mengenai makna Rukun Islam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita untuk memahaminya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] Matan Safinah an-Najah, hal. 15-16
[2] Kasyifah as-Saja, hal. 35-36
[3] Nail ar-Raja’, hal. 10
[4] al-Ushul ats-Tsalatsah wa Adilatuha, hal. 14
[5] HR. al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16
[6] HR. Muslim no. 8


Referensi

  • al-Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • as-Sayyid Ahmad bin Umar asy-Syathiri. Nail ar-Raja’ bi Syahr Safinah an-Naja’. 1392 H. Mathba’ah al-Madani Kairo.
  • asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. al-Ushul ats-Tsalatsah wa Adilatuha. 1420 H. Dar ats-Tsuriyya lin Nasyr wa at-Tauzi’ Riyadh.
  • asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kasyifah as-Saja Syarh Safinah an-Naja. 1432 H. Dar Ibn Hazm Beirut.
  • asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami. Matnu Safinah an-Najah fii Maa Yajibu ‘Ala al-Abdi li Maulah. 1430 H. Dar Ibn Hazm Beirut.

Fatwa-fatwa Ulama Madzhab asy-Syafi'i mengenai keberadaan Allah di Atas Langit

“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya dalam Kemulyaan-Nya dengan Dzat-Nya. Dia dekat dengan Ilmu-Nya dari hamba-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala perkara. Dan Dia mewujudkan dalam penciptaan-Nya (sesuai) yang telah ditakdirkan sebelumnya. Dan Dia Yang Maha Dermawan lagi Maha Pengampun. Dia Mengetahui pandangan-pandangan mata yang berkhianat dan segala yang disembunyikan (dalam) dada.” (al-Imam al-Muzani rahimahullah dalam Syarh as-Sunnah lil Muzani, hal. 75)


Melanjutkan pembahasan kitab Matan Safinah an-Najah karya asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami rahimahullah, pada kesempatan kali ini penulis akan kembali menjelaskan mengenai sifat Allah yang Maha Tinggi (العلي), tinggi di atas langit yang ketujuh, bersemayam di atas ‘Arsy. Pembahasan kali ini menjelaskan mengenai perkataan-perkataan ulama syafi’iyyah mengenai ijma’ akan keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala di atas langit.

Para ulama syafi’iyyah mayoritas dalam hal ini terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang membela madzhab Asy’ariyyah dengan mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah dan juga golongan yang mengikuti aqidah Salafiyyah Ahlussunnah wal Jama’ah yang menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berada di langit dan bersemayam di atas ‘Arsy. Berikut adalah ulama-ulama syafi’iyyah yang mengikuti aqidah Salafiyyah Ahlussunnah wal Jama’ah dalam masalah ini:

1.       al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah

al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

القول في السّنّة الّتي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الّذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة أن لا إله إلّا الله وأنّ محمّدا رسول الله وأنّ الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وينزل إلى السّماء الدّنيا كيف شاء .

“Pendapat dalam sunnah yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawan saya ahlul hadits yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya dekat dengan para hamba-Nya sekehendak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendak-Nya.”[1]

2.      al-Imam al-Humaidi rahimahullah

al-Imam al-Humaidi rahimahullah juga berkata:

وما أشبه هذا من القرآن والحديث ، لا نزيد فيه ولا نفسره . نقف على ما وقف عليه القرآن والسنة . ونقول : الرحمن على العرش استوى ، ومن زعم غير هذا فهو معطل جهمي .

“Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang serupa dengan ini (tentang Asma dan Sifat Allah), maka kami tidak menambah-nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti atas apa-apa yang al-Qur’an dan as-Sunnah berhenti padanya. Dan kami berkata: Allah Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy’. Barangsiapa yang berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil Jahmiy.”[2]

3.      al-Imam Ishaq bin Rahuyah rahimahullah

            al-Imam Ishaq bin Rahuyah rahimahullah berkata:

إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة .

“Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.”[3]

4.      al-Imam al-Muzani rahimahullah

            al-Imam al-Muzani rahimahullah berkata:

عال على عرشه في مجده بذاته وهو دان بعلمه من خلقه أحاط علمه بالأمور وأنفذ في خلقه سابق المقدور وهو الجواد الغفور يعلم خائنة الأعين وما تخفي الصدور .

“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya dalam Kemulyaan-Nya dengan Dzat-Nya. Dia dekat dengan Ilmu-Nya dari hamba-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala perkara. Dan Dia mewujudkan dalam penciptaan-Nya (sesuai) yang telah ditakdirkan sebelumnya. Dan Dia Yang Maha Dermawan lagi Maha Pengampun. Dia Mengetahui pandangan-pandangan mata yang berkhianat dan segala yang disembunyikan (dalam) dada.”[4]

5.      al-Imam ‘Usman bin Sa‘id ad-Darimi rahimahullah

al-Imam Abu Sa’id ‘Usman bin Sa‘id ad-Darimi rahimahullah berkata:

وقد اتفقت الكلمة من المسلمين أن الله تعالى فوق عرشه فوق سمواته .

“Kaum Muslimin telah bersepakat mengenai kalimat bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya.”[5]

فالله تبارك وتعالى فوق عرشه فوق سمواته بائن من خلقه ، فمن لم يعرفه بذلك لم يعرف إلهه الذي يعبد .

“Allah tabaraka wa ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Barangsiapa yang tidak mengetahui hal itu, maka berarti ia tidak mengetahui tuhan yang ia sembah.”[6]

6.      al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah

al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata:

أن عرش ربنا جل وعلا فوق جنته ، وقد أعلمنا جل وعلا أنه مستو على عرشه ، فخالقنا عال فوق عرشه الذي هو فوق جنته .

“Bahwasanya ‘Arsy Rabb kita berada di atas surga-Nya, dan Allah telah mengabarkan kepada kita bahwasanya Ia beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya. Maka pencipta kita tinggi di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas surga-Nya.”[7]

7.      al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari rahimahullah

al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullah berkata:

وأن الله استوى على عرشه كما قال الرحمن على العرش استوى .

“Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya,  الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى “Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.[8][9]

Dan juga perkataan beliau rahimahullah mengomentari kesesatan Mu’tazillah, Jahmiyyah dan Khawarij Haruriyyah:

وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية إن معنى استوى إستولى وملك وقهر ، وأنه تعالى في كل مكان ، وجحدوا أن يكون على عرشه ، كما قال أهل الحق ، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش و الأرض فالله سبحانه وتعالى قادر عليها وعلى الحشوش .

“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij), “Sesungguhnya makna istiwa’ adalah menguasai (istila’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat.” Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul Haq (Ahlussunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwa’ kepada kekuasaan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.”[10]

إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى) . ولا نتقدم بين يدي الله بالقول ، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خَلَقْتُ بِيَدَيَّ) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث .

“Mereka berbeda pendapat tentang permasalahan ini (yaitu permasalahan di manakah Allah?) menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlussunnah dan Ashhabul Hadits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya, الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى “Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.”[11] Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya: خَلَقْتُ بِيَدَيَّ “Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku.”[12] Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits.”[13]

8.     al-Imam Abu al-Qasim al-Lalikai rahimahullah

Dalam kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, al-Imam al-Lalikai rahimahullah berkata:

سياق ما روي في قوله تعالى الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى وأن الله على عرشه في السماء وقال عز وجل إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وقال أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ وقال وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً فدلت هذه الآية أنه تعالى في السماء وعلمه بكل مكان من أرضه وسمائه .

“Penjelasan mengenai apa yang telah diriwayatkan dalam firman Allah ta’ala, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى “Yang Maha Pengasih bersemayam  di atas ‘Arsy.”[14] Dan bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit. Allah ‘azza wa jalla berfirman, إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikan-Nya.”[15] Dan firman-Nya Ta‘āla: ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersama kamu.’[16]. Dan firman-Nya, أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga.”[17] Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah ta’ala berada di langit dan ilmu-Nya meliputi seluruh tempat di bumi-Nya dan langit-Nya.”[18]

9.      al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni rahimahullah

al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni rahimahullah di dalam karya beliau Aqidah as-Salaf Ashab al-Hadits berkata:

ويعتقد أصحاب الحديث ويشهدون أن الله سبحانه وتعالى فوق سبع سمواته على عرشه مستوٍ ، كما نطق به كتابه في قوله عز وجل في سورة يونس : إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ .

“Para ahli hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwasannya Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas tujuh langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Kitab-Nya dalam surat Yunus, إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.”[19][20]

10.  al-Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah

Dari Abu Ja’far bin Abi ‘Ali al-Hamadani al-Hafidz, ia berkata :

سمعت أبا المعالي الجويني وقد سُئل عن قوله تعالى : الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى . فقال : كان الله ولا عرش وجعل يتخبط في الكلام . فقلت : قد علمنا ما أشرت إليه ، فهل عندك للضرورات من حيلة . فقال : ما تريد بهذا القول وما تعني بهذه الإشارة?، فقلت : ما قال عارف قط : يا رباه إلا قبل أن يتحرك لسانه ، قام من باطنه قصد لا يلتفت يمنة ولا يسرة يقصد الفوق، فهل لهذا القصد الضروري عندك من حيلة . فنبئنا نتخلص من الفوق والتحت . وبكيت ، وبكى الخلق ، فضرب الأستاذ بكمه على السرير وصاح : يا للحيرة ، ونزل ، ولم يجبني إلا : يا حبيبي الحيرة الحيرة ، والدهشة الدهشة . فسمعت بعد ذلك أصحابه يقولون : سمعناه يقول : حيرني الهمداني .

“Aku mendengar Abu al-Ma’ali al-Juwaini ditanya tentang firman Allah, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى “Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.”[21] Ia berkata, “Allah ada tanpa adanya ‘Arsy” Dan mulai berbicara dengan pembicaraan yang kacau (untuk menolak istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy-Nya) Aku berkata, “Wahai Guru, kami telah paham apa yang engkau maksudkan. Tapi apakah engkau memiliki jawaban untuk kemestian-kemestian yang harus terjadi itu?” Ia berkata, “Apa yang engkau inginkan dengan ucapanmu? Apa yang engkau maksudkan?” Aku berkata, “Tidaklah seseorang berdoa dengan mengucapkan, “Ya Rabb” sebelum ia menggerakkan lisannya, keluarlah dari batinnya satu kehendak yang tidak akan menoleh ke kanan dan ke kiri, namun dia mengarah ke atas. Apakah engkau memiliki jawaban untuk sebuah kehendak dan tujuan yang mesti terjadi seperti ini?” Beritakanlah kepada kami agar kami terlepas dari persoalan (Allah berada) di atas atau di bawah.” Aku pun menangis, dan orang-orang pun menangis. Sang Guru pun memukulkan lengannya di kursinya dan berteriak, “Oohh.. Alangkah membingungkan (persoalan ini).” Ia pun turun dan tidak menjawab pertanyaanku kecuali mengatakan: “Oh kekasihku, membingungkan… membingungkan…” Setelahnya aku mendengar sahabat-sahabatnya mengatakan, “Kami mendengar ia berkata, “al-Hamadani telah membuat aku bingung.”[22]

Akhirnya Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah pun mendapatkan hidayah Allah subhanahu wa ta’ala dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau. Amiin.

11.   al-Imam al-Baghawi rahimahullah

al-Imam al-Baghawi rahimahullah berkata:

وأولت المعتزلة الاستواء بالاستيلاء ، وأما أهل السنة فيقولون : الاستواء على العرش صفة لله تعالى ، بلا كيف ، يجب على الرجل الإيمان به ، ويكل العلم فيه إلى الله عز وجل .

“Kaum mu'tazilah mentakwil sifat al-istiwa' dengan al-istila' (menguasai), adapun Ahlussunnah maka mereka berkata, “Beristiwa’ di atas 'Arsy merupakan sifat Allah, tanpa ditanyakan bagaimananya, wajib bagi seseorang untuk beriman akan hal ini dan menyerahkan ilmu bagaimananya kepada Allah.”[23]

12.  al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah

al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya, beliau berkata:

وأما قوله تعالى : ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا ، ليس هذا موضع بسطها ، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح : مالك ، والأوزاعي ، والثوريوالليث بن سعد ، والشافعي ، وأحمد بن حنبل ، وإسحاق بن راهويه وغيرهم ، من أئمة المسلمين قديما وحديثا ، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل .

“Sedangkan firman Allah ta’ala, ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ “Kemudian Dia beristiwa’ di atas ‘Arsy”[24], maka orang-orang dalam masalah ini mempunyai pendapat yang sangat banyak. Dan ini bukanlah tempat untuk menjabarkannya. Pendapat  inilah yang ditempuh oleh mazhabnya as-Salaf ash-Shalih yaitu Malik, al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah dan imam-imam kaum muslimin baik yang dahulu dan sekarang, yakni membiarkannya tanpa takyif, tasybih dan ta’thil.”[25]

13.  al-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani rahimahullah

al-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani rahimahullah berkata:

وأن الأحاديث التي ثبتت في العرش واستواء الله عليه يقولون بها ، ويثبتونها من غير تكييف ولا تمثيل ، وأن الله بائن من خلقه ، والخلق بائنون منه ، لا يحل فيهم ولا يمتزج بهم ، وهو مستو على عرشه في سمائه دون أرضه .

“Dan bahwasanya telah jelas hadits-hadits yang menyebutkan tentang ‘Arsy dan istiwa’nya Allah di atasnya yaitu tanpa melakukan takyif dan tamtsil, dan sesungguhnya Allah terpisah dari makhluk-Nya dan makhluk pun terpisah dari-Nya, Allah tidak menempatinya juga tidak menyatu dengannya dan Dia beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya bukan di bumi-Nya.”[26]

14.  al-Imam al-Baihaqi rahimahullah

al-Imam al-Baihaqi rahimahullah dalam kitabnya al-I’tiqad wa al-Hidayah ilaa Sabil ar-Rasyad berkata:

وقال أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ وأراد من فوق السماء ، كما قال وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ يعني على جذوع النخل ، وقال فَسِيحُوا فِي الْأَرْضِ يعني على الأرض ، وكل ما علا فهو سماء ، والعرش أعلى السماوات ، فمعنى الآية والله أعلم : أأمنتم من على العرش ، كما صرح به في سائر الآيات .

“Dan Allah ta’ala berfirman, أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ “Apakah kalian merasa aman dari Dia yang di langit”[27], dan maksudnya adalah Dia yang di atas langit sebagaimana firman Allah ta’ala, وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ “Dan sungguh aku akan menyalib kalian di pangkal kurma”[28] yaitu di atas pangkal kurma. Dan Allah ta’ala berfirman, فَسِيحُوا فِي الْأَرْضِ “Maka berjalanlah kalian di bumi”[29] maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap yang di atas maka dia adalah sama’, dan ‘Arsy itu adalah yang paling tinggi dari semua yang di atas, maka makna ayat itu wallahu a’lam adalah, “Apakah kalian merasa aman dari Dia yang di atas ‘Arsy?” sebagaimana telah jelas tentang hal tersebut dalam banyak ayat-ayat.”[30]

15.   al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah

al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:


مقالة السلف وأئمة السنة ؛ بل والصحابة والله ورسوله والمؤمنون ، أن الله عز وجل في السماء ، وأن الله على العرش ، وأن الله فوق سماواته ، وأنه ينزل إلى السماء الدنيا ، وحجتهم على ذلك النصوص والآثار .

“Ucapan para salaf dan imam-imam Sunnah bahkan para sahabat, Allah, Rasul-Nya dan seluruh kaum mukmin, bahwasanya Allah ‘azza wa jalla di langit, dan bahwasanya Allah di atas ‘Arsy, dan bahwasanya pula Allah di atas langit-langit-Nya, dan sesungguhnya Dia turun ke langit dunia. Hujah-hujah mereka adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang sangat banyak.”[31]

Bahkan beliau menulis sebuah kitab berjudul al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar yang berisi dalil-dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, atsar para salaf hingga ulama-ulama yang menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy di atas langit-Nya.

16.  al-Imam an-Nawawi rahimahullah

al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi rahimahullah berkata:

وأنه لو قال لا إله إلا الله الملك الذي في السماء ، أو إلا ملك السماء ، كان مؤمنا ، قال الله تعالى أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ .

“Sesungguhnya jika dia berkata, tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah, Maha Raja yang berada di langit atau kecuali raja langit, maka dia beriman. Allah ta’ala berfirman, أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ “Apakah kalian merasa aman dari Dia yang di langit.”[32][33]  

Sangat banyak sekali dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahihah yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas ‘Arsy di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Demikian banyaknya dalil itu sehingga tidak terhitung jumlahnya. al-Imam Abu ats-Tsana’ Mahmud al-Alusi asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan:

وأنت تعلم أن مذهب السلف إثبات الفوقية لله تعالى كما نص عليه الإمام الطحاوي وغيره ، واستدلوا لذلك بنحو ألف دليل .

“Dan engkau mengetahui bahwasanya madzhab Salaf menetapkan ketinggian Allah ta’ala sebagaimana disebutkan oleh al-Imam ath-Thahawi dan yang lainnya, mereka berdalil dengan sekitar 1000 dalil.”[34]

Dari berbagai penjelasan di atas, maka pendapat yang menyatakan bahwa dzat Allah ada dimana-mana atau Allah ada tanpa tempat dan arah atau Allah itu ada dalam hati setiap hamba-Nya adalah pendapat yang keliru karena bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah, atsar para salaf, ijma’ para ulama juga fitrah manusia. Bahkan al-Imam Abu Hanifah rahimahullah dengan tegas berpendapat bahwa seseorang yang tidak mengetahui di manakah Allah maka dia jatuh dalam kekafiran, sebagaimana riwayat dari Abu Muthi’ al-Hakam bin Abdillah al-Balkhi rahimahullah, beliau berkata:

سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته  فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم .

“Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah ta’ala sendiri berfirman, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىYang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.[35] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[36]

Demikianlah pembahasan mengenai perkataan-perkataan ulama madzhab asy-Syafi’I dalam keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit ke tujuh. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita dalam memahaminya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar, hal. 165
[2] Ushul as-Sunnah, hal. 42
[3] al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar, hal. 179
[4] Syarh as-Sunnah, hal. 75
[5] Naqdh al-Imam Abi Sa’id ‘Utsman bin Sa’id ‘alaa al-Mirisi al-Jahmi al-‘Anid, hal. 120
[6] ar-Ra’du ‘ala al-Jahmiyyah, hal. 53
[7] Kitab at-Tauhid, hal. 241
[8] QS. Thaha [20] : 5
[9] al-Ibanah, hal. 9
[10] al-Ibanah, hal. 34-37
[11] QS. Thaha [20] : 5
[12] QS. Shad [38] : 75
[13] Maqalat al-Islamiyyin, hal. 260-261
[14] QS. Thaha [20]: 5
[15] QS. Fathir [35]: 10
[16] QS al-Mulk [67]: 16
[17] QS. al-An‘am [6] : 61
[18] Syarh Ushul I‘tiqad, hal. 319
[19] QS. Yunus [10] : 3
[20] ‘Aqidah as-Salaf wa Ashhab al-Hadits, hal. 44
[21] QS. Thaha [20] : 5
[22] al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar, hal. 259
[23] Tafsir al-Baghawi , Juz 3 hal. 235
[24] QS. al-A’raf [7] : 54
[25] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 3 hal. 426-427
[26] al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar, hal. 243
[27] QS. al-Mulk [67] : 16
[28] QS. Thaha [20] : 71
[29] QS. at-Taubah [9] : 2
[30] al-I’tiqad wa al-Hidayah ilaa Sabil ar-Rasyad, hal. 116
[31] al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar, hal. 143
[32] QS. al-Mulk [67] : 16
[33] Raudhah ath-Thalibin, Juz 10 hal. 85
[34] Ruh al-Ma’ani, Juz 7 hal. 114
[35] QS. Thaha [20] : 5
[36] al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar, hal. 135-136



Referensi

  • al-Imam Abu ‘Utsman Isma’il bin ‘Abdurrahman ash-Shabuni. ‘Aqidah as-Salaf wa Ashhab al-Hadits. 1423 H. Dar al-Minhaj Kairo.
  • al-Imam al-Hafizh Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz adz-Dzahabi. al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar fii Idhah Shahih al-Akhbar wa Saqimuha. 1416 H. Maktabah Adhwa’ as-Salaf Riyadh.
  • al-Imam Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa al-Baihaqi. al-I’tiqad wa al-Hidayah ilaa Sabil ar-Rasyad. 1420 H. Dar al-Fadhilah Kairo.
  • al-Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin ‘Abdullah bin Abu Musa al-‘Asy’ari. al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. Dar Ibn Zaidun Beirut.
  • al-Imam Abu Sa’id ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi. ar-Ra’du ‘ala al-Jahmiyyah. 1431 H. al-Maktabah al-Islamiyyah Kairo.
  • al-Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin ‘Abdullah bin Abu Musa al-‘Asy’ari. Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin. 1369 H. Maktabah an-Nahdlah al-Mishriyyah Kairo.
  • al-Imam Abi Sa’id ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi. Naqdh al-Imam Abi Sa’id ‘Utsman bin Sa’id ‘alaa al-Mirisi al-Jahmi al-‘Anid fii maa Iftira ‘alaa Allah ‘Azza wa Jalla min at-Tauhid. 1433 H. al-Maktabah al-Islamiyyah Kairo.
  • al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi. Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin. 1412 H. al-Maktab al-Islamiy Beirut.
  • al-Imam Abu Fadhl Syihabuddin as-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi. Ruh al-Ma’ani fii Tafsir al-Quran al-‘Azhim wa as-Sab’ al-Matsani. Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi Beirut
  • al-Imam Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin Isma’il al-Muzani. Isma’il bin Yahya al-Muzani wa Risalah Syarh as-Sunnah. 1415 H. Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyyah Madinah.
  • al-Imam Abu al-Qasim Hibatullah bin al-Hasan bin Manshur ar-Razi ath-Thabari al-Lalika’i. Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Dar al-Bashirah al-Iskandariyyah.
  • al-Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ud al-Baghawi. Tafsir al-Baghawi Ma'alim at-Tanzil. 1409 H. Dar Thayyibah Riyadh.
  • al-Hafizh Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimsyaqi. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Tafsir Ibnu Katsir). 1420 H. Dar Thayyibah Riyadh.
  • al-Imam Abu Bakar ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi. Ushul as-Sunnah. 1418 H. Dar Ibn al-Atsir Kuwait.
  • al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Kitab at-Tauhid wa Itsbat Shifat ar-Rabb Azza wa Jalla. 1408 H. Dar ar-Rasyid Riyadh.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top