Larangan Mencela Para Sahabat radhiyallahu ‘anhum

“Muhammad adalah Rasul Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir dan bersikap kasih sayang serta belas kasihan sesama mereka.” (QS. al-Fath [48] : 29)


Mencela para sahabat radhiyallahu ‘anhum sebagaimana yang biasa dilakukan oleh kalangan Syi’ah Rafidhah merupakan dosa yang sangat besar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ .

“Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Maka demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka hal itu tidak akan menyamai satu mud pun dari (kebaikan) mereka atau bahkan tidak pula separuhnya.”[1]

Hadits ini secara tegas melarang kita mencela sahabat Nabi. Larangan dalam hadits di atas sifatnya mutlak artinya berlaku bagi seluruh sahabat Nabi, jika seseorang mencela salah satu sahabat Nabi saja maka hukumnya adalah haram. Termasuk di dalamnya adalah semua bentuk celaan dan sindiran negatif yang ditujukan kepada mereka atau salah seorang dari mereka. Sebab, mencela sahabat Nabi, berarti secara tidak langsung telah menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ada beberapa alasan mengapa kita dilarang keras untuk mencela para sahabat Nabi, diantaranya adalah:

  • Terdapat dalil larangan yang melarang untuk mencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ .

“Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Maka demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka hal itu tidak akan menyamai satu mud pun dari (kebaikan) mereka atau bahkan tidak pula separuhnya.”[2]

  • Mencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ghibah yang haram.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

“Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”[3]

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”[4]

  • Allah subhanahu wa ta’ala melaknat seorang yang mencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Barangsiapa mencela salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan melaknat orang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

Barangsiapa mencela sahabatku, maka dia akan mendapatkan laknat Allah.[5]

  • Allah subhanahu wa ta’ala telah meridhai para sahabat.

Allah subhanahu wa ta’ala telah meridhai para sahabat, maka mencela para sahabat menunjukan ketidakridhaan kepada mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

لَّقَدْ رَضِىَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَافِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَة عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

Sungguh Allah telah meridhai kaum mukminin ketika mereka memba’iatmu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).[6]

  • Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk memohonkan ampun bagi para sahabat, bukan mencelanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang.[7]

Mengenai ayat di atas, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada keponakannya yaitu Urwan bin az-Zubair radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

يَا ابْنَ أُخْتِي أُمِرُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبُّوهُمْ

“Wahai keponakanku, mereka diperintahkan untuk memohon ampunan bagi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka justru mencacinya.”[8]

            Mengenai perkataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas, al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

الظاهر أنها قالت هذا عندما سمعت أهل مصر يقولون في عثمان ما قالوا ، وأهل الشام في علي ما قالوا ، والحرورية في الجميع ما قالوا ، وأما الأمر بالاستغفار الذي أشارت إليه فهو قوله تعالى : وَٱلَّذِينَ جَاءوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلإيمَانِ

“Tampaknya, beliau menyatakan mengenai hal ini ketika penduduk Mesir mencela ‘Utsman dan penduduk Syam mencela ‘Ali, sedangkan al-Haruriyah mencela keduanya. Adapun perintah memohon ampunan yang beliau isyaratkan, maka ia adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِDan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.[9][10]

Demikianlah pembahasan mengenai alasaan mengapa kita dilarang untuk mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita dalam memahaminya dan menjauhkan kita dari sifat ini. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] HR. Muslim no. 2540
[2] HR. Muslim no. 2540
[3] QS. al-Hujurat [49] : 12
[4] QS. al-Ahzab [33] : 58
[5] HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1001
[6] QS. al-Fath [48] : 18
[7] QS. al-Hasyr [59] : 10
[8] HR. Muslim no. 3022
[9] QS. al-Hasyr [59] : 10
[10] Syarh Shahih Muslim, Juz 18 hal. 158


Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim.
  • al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu Bakar bin Abi ‘Ashim adh-Dhahhak bin Mukhlad asy-Syaibani. Kitab as-Sunnah wa Ma'ah Zhilal al-Jannah fii Takhrij as-Sunnah. 1400 H. al-Maktab al-Islami Beirut.
  • al-Imam Abu Zakariyyah Yahya bin Syaraf an-Nawawi. al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. 1347 H. al-Mathba'ah al-Mishriyyah bi al-Azhar Kairo.

Keutamaan Para Sahabat radhiyallahu ‘anhum

“Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku, kemudian kurun berikutnya dan kemudian kurun berikutnya. (HR al-Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533)


Para sahabat adalah mereka yang pernah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam. Mereka adalah sebaik-baik umat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala keluarkan ke muka bumi. Mereka memiliki keutamaan yang sangat banyak, beberapa keutamaan para sahabat antara lain:

  • Para sahabat adalah umat terbaik

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa sebaik-baik umat adalah pada masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Para sahabat adalah sebaik-baik umat secara mutlak. Tidak ada generasi yang lebih baik daripada generasi para  sahabat radhiyallahu ‘anhum. Maka barangsiapa yang mengatakan bahwa ada generasi yang lebih baik daripada mereka maka dia termasuk orang munafik. Dalil yang melandasi akan hal ini adalah sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ 

“Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku, kemudian kurun berikutnya dan kemudian kurun berikutnya. Lalu akan datang satu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian.”[1]

  • Para sahabat adalah umat yang telah diridhai oleh Allah subhanahu wa ta'ala

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ 

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”[2]

  • Para sahabat adalah orang yang paling wala dan bara

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا 

“Muhammad adalah Rasul Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir dan bersikap kasih sayang serta belas kasihan sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”[3]

  • Sahabat sebagai sumber rujukan saat terjadi perselisihan

Dari al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat, beliau bersabda:

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ 

“Sungguh telah kutinggalkan kalian di atas jalan yang putih bersih, siang dan malamnya sama terangnya. Barangsiapa yang menyimpang darinya maka pasti dia akan binasa. Barangsiapa yang hidup sepeninggalkanku, dia pasti melihat perselisihan yang sangat banyak. Hendaklah kalian tetap memegang teguh sunnahku yang kalian ketahui dan juga sunnah khalafa’ ar-Rasyidin yang berada di atas petunjuk. Hendaklah kalian patuh dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasy. Peganglah erat-erat. Sesungguhnya seorang yang beriman itu laksana unta yang jinak. Apabila diarahkan maka dia pasti menurut.”[4]

Dalam wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita diperintahkan kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah khalafa’ ar-Rasyidin atau sunnahnya para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika mengalami perselisihan.

  • Sahabat sebagai pedoman pemahaman

Dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً ، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ . قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ، مَنْ هُمْ ؟ قَالَ : اَلْجَمَاعَةُ .

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Yahudi berpecah-belah menjadi 71 golongan, maka hanya satu golongan yang masuk surga dan 70 golongan masuk neraka. Nasrani berpecah-belah menjadi 72 golongan dan 71 golongan masuk neraka dan hanya satu golongan yang masuk surga. Dan demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh akan berpecah-belah ummatku menjadi 73 golongan, hanya satu yang akan masuk surga dan 72 golongan masuk neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Wahai Rasulullah, Siapakah mereka (satu golongan yang selamat) itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “al-Jama’ah.”[5]

Dalam hadits di atas yang dimaksud satu golongan dari umat Yahudi yang masuk surga adalah mereka yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam. Sedangkan satu golongan dari umat Nasrani yang masuk surga adalah mereka yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada Nabi Isa ‘alaihis salam serta mengakui bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam adalah seorang manusia yang diangkat menjadi Nabi serta Rasul dan bukan Allah atau anak Allah sebagaimana doktrin yang diajarkan oleh ulama-ulama mereka. Adapun setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka semua umat Yahudi dan Nasrani wajib masuk Islam dan beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala juga kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Dalil yang melandasi akan hal ini adalah sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ .

“Demi yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang dari ummat Yahudi dan Nasrani yang mendengar tentangku, kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman terhadap ajaran yang telah aku bawa, niscaya ia termasuk penghuni Neraka.”[6]

Sedangkan satu golongan yang selamat dari umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ .

“Semua golongan tersebut tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya.”[7]

            Maka karena hal inilah wajib bagi kita menjalankan Islam berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat karena para sahabat berjalan di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

  • Sahabat sebagai pengawas dan pengaman umat ini

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ 

“Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku. Jika aku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Jika sahabatku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas umatku.”[8]

            Maksud hadits diatas adalah bahwasanya para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah pengawas dan pengaman umat ini, yaitu pengawas dan pengaman umat ini dari kesesatan, penyimpangan serta kebid’ahan karena mereka para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menjalankan agama ini senantiasa menempuh jalan yang ditempuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau masih hidup. Maka dari itu, wajiblah seorang muslim dalam menjalankan agamanya mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman para salaf ash-Shalih, khususnya dalam hal ini adalah mengikuti jalan yang ditempuh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

  • Berpedoman pada Para Sahabat adalah jaminan kemenangan

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ 

“Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim (untuk berperang).” Mereka mengatakan: “Coba lihat, adakah di antara kalian seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ternyata ada satu orang sahabat Nabi. Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan kedua. Dikatakan kepada mereka: “Adakah di antara mereka yang pernah melihat sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga. Dikatakan: “Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah melihat sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Maka didapatkan satu orang. Maka Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan keempat. Dikatakan: “Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah seseorang yang melihat sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Maka didapatkan satu orang. Akhirnya Allah memenangkan mereka.”[9]

            Hadits di atas menjelaskan mengenai kemuliaan kedudukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka. Allah subhanahu wa ta’ala memberikan jaminan kemenangan bagi para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka, yaitu orang-orang yang mengikuti pedoman para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Selain keutamaan-keutamaan yang tertulis diatas, masih banyak lagi keutamaan-keutamaan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik dan hidayah kepada kita untuk senantiasa menjadikan mereka para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan serta rujukan dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ



[1] HR al-Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533
[2] QS. at-Taubah [9] : 100
[3] QS. al-Fath [48] : 29
[4] HR. Ahmad no. 17077
[5] HR. Ibnu Majah no. 3992
[6] HR. Muslim no. 153
[7] HR. at-Tirmidzi no. 2641
[8] HR. Muslim no. 2531
[9] HR. Muslim no. 2523


Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim.
  • al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. al-Musnad. 1416 H. Dar al-Hadits Kairo.
  • al-Imam Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi. Jami’ at-Tirmidzi. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah al-Quzwaini. Sunan Ibnu Majah. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top