Ulat

Begitu banyak pelajaran bertebaran dalam dinamika alam raya ini. Ada yang mudah ditafsirkan, dan tidak sedikit yang butuh perenungan.


Seorang gadis cilik tampak asyik bermain di halaman rumah yang penuh bunga. Ada bunga mawar, melati, ros, dan lain-lain. Sesekali, ia pandangi bunga itu satu per satu. “Aih, cantiknya bunga ini!” ucap gadis cilik sambil menyentuh tangkai bunga.

Tapi, ia pun terkejut saat akan memetik bunga yang hampir di genggamannya itu. Seekor ulat bulu begitu asyik menikmat dedaunan di sekitar bunga. Sebegitu lahapnya, sang ulat tak menyadari kalau ia sedang diperhatikan seseorang.

Langkah sang gadis kecil pun menyurut. Ia pun mencari-cari sesuatu untuk menghentikan kerakusan ulat bulu yang bisa merusak bunga kesayangannya itu. “Ha, ada kayu!” ucapnya sambil mengarahkan kayu kecil itu ke tubuh sang ulat. Dan….

“Jangan, sayang! Biarkan sang ulat itu menampakkan kerakusannya!” ucap seseorang yang ternyata ibu gadis itu. Saat itu juga, gadis kecil itu pun menghentikan langkahnya dan merapat ke sang ibu. “Tapi, Bu…” ujarnya sambil menggenggam jari sang ibu.

“Anakku, biarkanlah. Saat ini, kita sedang diajari Tuhan tentang siapa ulat bulu,” jelas sang ibu sambil membelai rambut gadis kecilnya.

“Apa selamanya dia serakus itu, Bu?” sergah sang gadis kecil kemudian.

“Tidak, anakku. Ia serakus itu karena ingin sukses menjadi kupu-kupu yang indah!” jelas sang ibu sambil senyum.

Begitu banyak pelajaran bertebaran dalam dinamika alam raya ini. Ada yang mudah ditafsirkan, dan tidak sedikit yang butuh perenungan.

Serangan ulat bulu seolah memberikan kita sebuah teguran. Bahwa keindahan fisik berupa penampilan, citra, wibawa, dan segala kemegahan jasadiyah lain yang dicita-citakan; semestinya tidak diraih dari menghalalkan segala cara dan penuh kerakusan.

Perahu

“Berlatihlah untuk bisa menangkap pandangan dari sudut pandang orang-orang yang bersama kita. Karena dengan begitulah, perahu kebersamaan akan bisa terus melaju ke arah tujuan yang diinginkan.”


Sebuah perahu kayu berpenumpang tampak melintas di sungai nan jernih. Sepanjang jalan, para penumpang perahu benar-benar terbuai dengan pepohonan hijau yang memagari tepian sungai. Para penumpang yang berada di lantai atas ini benar-benar beruntung dengan pemandangan indah itu.

Dua lantai perahu penumpang itu memang punya harga sewa yang berbeda. Lantai atas lebih mahal dari yang di bawah. Bahkan mencapai dua kali lipat. Walau begitu, penumpang di lantai bawah masih bisa melihat pemandangan dari balik jendela kecil yang tertutup kaca.

Kelebihannya, penumpang lantai bawah bisa lebih asyik dalam kesunyian tidur. Tak ada suara burung, tak ada terik matahari, dan tak ada angin kencang. Kalau sudah tertidur, waktu menjadi tidak lagi panjang.

Suatu kali, masih dalam aliran sungai nan jernih, pompa air perahu macet. Krisis air minum pun terasa begitu cepat. Beruntungnya, para penumpang masih bisa menikmati segarnya air yang bisa mereka ambil langsung dari sungai yang mereka lewati. Tinggal ambil wadah dan tali, air pun bisa diperoleh.

Beberapa teriakan dari penumpang lantai bawah terus terdengar. “Hei, bagi kami air!” ucap para penumpang bawah. “Ya, kalian bisa ambil ke atas sini!” jawab para penumpang lantai atas.

Di sinilah persoalannya. Kalau penumpang lantai atas bisa mengambil langsung air, sementara yang di bawah mesti meniti anak-anak tangga agar bisa mencapai atas perahu. Dan ini begitu merepotkan.

Suatu malam, masih dalam perahu, beberapa penumpang di lantai bawah merasakan haus yang luar biasa. Kantuk yang mereka rasakan kadang menyelingi rasa haus itu. Saat itulah, rasa enggan menghinggapi mereka untuk bersusah payah menuju atas.

Seseorang dari mereka mengatakan, “Kenapa mesti repot ke atas, toh air yang kita butuhkan ada di kaki kita.” Dan ucapan itu pun seolah menyadarkan para penumpang lain kalau merekalah yang sebenarnya paling dekat dengan letak air daripada penumpang atas.

Salah seorang mereka pun berusaha keras melubangi dinding bawah perahu dengan sebuah linggis. Di benak mereka cuma satu: bagaimana bisa dapat air tanpa mesti susah payah ke atas. Karena toh, yang di atas pun tidak merasa perlu untuk berbagi dengan yang bawah.

Kebersamaan dalam sebuah wadah, apakah itu perusahaan, organisasi, dan rumah tangga; tidak cukup hanya meletakkan pandangan dari sudut diri sendiri.

Berlatihlah untuk bisa menangkap pandangan dari sudut pandang orang-orang yang bersama kita. Karena dengan begitulah, perahu kebersamaan akan bisa terus melaju ke arah tujuan yang diinginkan.

Berapa Harga Tuhanmu?

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4031)


Sebagai seorang muslim, tentulah sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengikuti semua apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan juga menjauhi apa-apa yang dilarang oleh-Nya. Inilah konsep keimanan yang kita yakini selama ini. Namun ternyata masih saja ada sebagian umat Islam yang tak mengendahkan perihal tersebut. Bukannya mentaati perintah dan menjauhi larangan-Nya, sebagaian umat ini justru melakukan hal yang sebaliknya. Mengerjakan yang dilarang, dan menjauhi yang seharusnya dikerjakan. Tak sedikit juga yang melakukan hal tersebut karena “dipaksa” oleh keadaan. Sehingga mau tak mau, harus melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya.

Pada bulan Desember misalnya, banyak umat islam yang dengan terpaksa ataupun suka rela, menggunakan atribut-atribut kaum Nasrani. Ini biasa terjadi dan dilakukan oleh beberapa umat islam yang statusnya adalah pekerja mall, restoran, perkantoran, ataupun tempat hiburan lainnya. Alih-alih tuntutan pekerjaan, mereka akhirnya memakai atribut tersebut. Padahal ini justru bertentangan dengan hakikat keimanan kita. Meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan melakukan dengan perbuatan. Mengaku sebagai orang yang beriman, mengucapkan kalimat syahadat, namun pada prakteknya justru mengikuti cara-cara orang kafir, sama saja kita telah “membohongi” keimanan kita. “kalau kami menolak, maka kami akan dipecat”. Beberapa orang akan melontarkan hal yang demikian, jadi seolah-olah, ancaman pemecatan itu boleh dijadikan alasan untuk tetap menggunakan atribut kaum Nasrani. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4031)

Ada sebuah contoh lagi. Kejadian ini mungkin banyak menimpa kaum muslimin yang bekerja sebagai buruh pabrik. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa setiap hari jumat laki-laki yang beragama islam wajib hukumnya untuk melaksanakan shalat jumat berjamaan di Masjid. Namun, pada kenyataannya, tidak sedikit yang justru meninggalkan shalat jumat hanya karena alasan pekerjaan. “Mesin tidak boleh dimatikan, harus ada yang jaga, jadi kami tidak bisa shalat jumat karena jaga mesin”. Ini umumnya terjadi disejumlah pabrik-pabrik tekstil yang ada di Negeri ini. Para pegawainya yang muslim, ketika hari jumat tiba, mereka kesulitan untuk shalat jumat, lantaran “perintah” atasan yang melarang untuk menghentikan mesin. Alasannya, bila mesin dimatikan, perusahaan akan mengalami kerugiaan yang besar. Dan “kerugian besar” dalam hal material menjadi alasan untuk tidak mengerjakan kewajiban yang satu ini. Padahal sebagai umat islam, kita telah sepakat meyakini bahwa shalat merupakan salah satu dari 5 (lima) rukun islam setelah syahadat. Bahkan shalat adalah batas yang membedakan seorang muslim dengan orang kafir.

Bila sampai hari kita masih saja meninggalkan kewajiban kita sebagai seorang muslim, hanya kerena alasan duniawi, maka seperti itu pula kita memperlakukan Allah subhanahu wa ta’ala. Kita akan menyembah Allah, apabila ada keuntungan material yang kita dapati, bila tidak, bisa jadi Allah pun tak lagi kita sembah. Memang sudah semestinya kita sadari “sudah sejauh mana keimanan kita terhadap Allah?” Jangan-jangan, statment kalau kita beriman itu hanya sekedar di bibir saja, tapi hati kita tak meyakininya. Akibat hati yang tak sepenuhnya meyakini, akhirnya, perbuatan kita pun tak mencerminkan seperti orang yang beriman. Kita, disadari atau tidak, telah menukar keimanan kita dengan dunia. Kita telah “menghargai” Tuhan kita dengan harga yang sangat murah. Kita mengkhawatirkan kehidupan dunia yang sementara, dengan menjadikan akhirat kita sebagai taruhannya.

Ya Allah, janganlah Kau palingkan hati kami, dari kesenangan dunia yang semu. Jangan pula Kau sesatkan kami, dari jalan kebanaran ini, dari jalan islam yang mulia ini. Aamiin.
Naik

Naik

“Mengejar karir yang terus menaik, jabatan-jabatan tinggi, kerap membuat sebagian kita terbius dengan obsesi yang tidak pernah mengenal puas itu. Hingga kita pun lupa kalau sudah berada sangat jauh dengan suasana bawah yang di situlah nanti kita akan turun.”

Seekor orang utan tampak asyik bergelantungan di sebuah dahan pohon. Hutan tropis itu memang setia menyediakan berbagai buahan yang dibutuhkan jenis kera berukuran besar ini.

Persoalannya, hewan ini tidak pernah berpikir untuk puas dengan makanan yang ada di dekatnya. Ia selalu mencari dan mencari aneka buahan yang belum pernah ia coba sebelumnya. Walaupun, itu berada di pohon yang tinggi sekali.

Bagi si orang utan, ketinggian pohon bukan hal yang mesti ia perhatikan. Nafsu untuk meraih buah baru nan segar dan menarik, kerap membuatnya melupakan soal ketinggian pohon. Ia terus naik…dan naik, bergelantungan dari satu pohon ke pohon yang lain.Dari pohon yang tidak tinggi ke yang tinggi, dan yang lebih tinggi lagi.

Suatu kali, ketika sang orang utan sedang asyik menikmati buah segar di sebuah pohon yang tinggi, seekor burung kakak tua menyapa. “Hai orang utan, apa kau selalu naik ke pohon yang lebih tinggi hanya untuk mencari buah baru?”

Sang orang utan pun menoleh ke arah burung kakak tua yang tidak berada jauh dari dahan yang ia rangkul. “Ya, aku selalu tertantang untuk mencoba aneka buah baru, walaupun di pohon yang lebih tinggi dari biasanya,” jawab si orang utan.

“Apa kamu tidak takut terjatuh dari sebuah ketinggian yang luar biasa?” tanya si kakak tua.

“Takut jatuh dari ketinggian? Aku tidak pernah merasakan sesuatu yang mengkhawatirkan dari sebuah ketinggian. Bagiku, semua pohon sama saja,” jawab si orang utan.

“Apa kamu pernah menoleh ke bawah dari atas pohon ini?” tanya si kakak tua lagi. Hal itu akhirnya ditanyakan kakak tua karena pohon itu adalah yang tertinggi dari pohon yang ada di hutan tropis itu. Hampir tidak ada hewan yang tak bersayap berada di puncak ketinggian pohon itu.

Mendapati pertanyaan si kakak tua, orang utan pun tersadar, kalau selama ini ia memang tidak pernah menoleh ke bawah. Pandangannya selalu tertuju ke atas, ke arah buahan baru yang akan ia raih.

Dan, betapa terkejutnya si orang utan ketika menoleh ke bawah. ”Hiii, kenapa aku setinggi ini? Bagaimana aku bisa turun?” ujar si orang utan ketika melihat benda-benda di bawah sana yang terlihat seperti batu-batu kecil yang sulit dikenali. Ia pun bergidik ketakutan. Rangkulannya pada dahan kian kuat, hingga membuat otot-ototnya sulit digerakkan.

“Hai orang utan, perhatikanlah suasana bawah ketika kamu ingin naik di sebuah ketinggian. Karena suatu saat, kamu pasti turun dan tidak selamanya berada di puncak ketinggian,” ucap burung kakak tua sambil terbang meninggalkan orang utan yang ketakutan.

Mengejar karir yang terus menaik, jabatan-jabatan tinggi, kerap membuat sebagian kita terbius dengan obsesi yang tidak pernah mengenal puas itu. Hingga kita pun lupa kalau sudah berada sangat jauh dengan suasana bawah yang di situlah nanti kita akan turun.

Kenapa tidak disiapkan anak-anak tangga yang bisa ditapaki secara wajar. Agar di saat akan turun kelak, kita tidak takut dan bingung, apalagi sampai terjatuh.

Ayam

Tidak banyak pemimpin yang mampu menimbang dengan adil antara keinginan dan obsesinya yang begitu tinggi dengan kemampuan yang dimiliki orang-orang yang dipimpinnya.


Seekor induk ayam tampak sibuk dengan kelahiran tiga ekor anaknya yang baru saja menetas. Seperti komandan barisan, ia memimpin ketiga anaknya mencari makan di sekitar kandang. Kemana ia pergi dan bertingkah, seperti itu pula anak-anaknya mengikuti.

Suatu kali, induk ayam ini menginginkan hal lain bagi anak-anaknya. Ia ingin ketiga anaknya kelak menjadi ayam istimewa, bukan ayam kebanyakan. Ia ingin anaknya bisa belajar terbang seperti burung, berlari kencang seperti kuda, dan mahir berenang seperti ikan.

Sang induk ayam pun mengajak anak-anaknya mengunjungi burung bangau. “Hei bangau sahabatku! Bisakah kau ajari salah satu anakku bagaimana terbang?”

Walau agak keheranan, sang bangau menuruti permintaan induk ayam untuk mengajari seekor anak ayam terbang. Sang bangau mengajak anak ayam itu menaiki sebuah bukit. Dan setelah mengajari bagaimana mengepakkan sayap, sang bangau ‘mendorong’ sang anak ayam untuk lompat dari atas bukit. Ia berharap, sang anak ayam bisa terbang, sebagaimana ia diajari induknya ketika masih kecil.

Ternyata, bukan terbang yang bisa dilakukan sang anak ayam. Ia terjatuh dari atas bukit dan membentur sebuah batu cadas di dasarnya. Anak ayam itu pun mati.

Tanpa peduli dengan kematian itu, kini sang induk ayam mengajak dua anaknya mengunjungi kuda. “Hei kuda sahabatku, maukah kau mengajari salah satu anakku bagaimana berlari kencang?” ucap sang induk ayam sedikit agak memaksa.

Walau agak keheranan, sang kuda pun mengajak salah satu anak ayam ke tanah lapang. Setelah mengajari bagaimana menggerakkan kaki agar lebih cepat berlari, sang kuda mengikatkan sebuah tali yang menghubungkan antara ia dengan tubuh anak ayam. Dan, ia pun ‘memaksa’ anak ayam itu berlari kencang. Cara itulah yang ia dapatkan ketika ia diajari induknya ketika masih kecil.

Ternyata, bukan kecepatan berlari yang didapat si anak ayam malang itu. Justru, ia terseret dan tubuhnya tergesek bebatuan di sekitar tanah yang dilalui kuda. Sang anak ayam itu pun mati.

Kini, tinggal satu peluang yang dimiliki induk ayam. Ia dan anaknya yang tinggal satu pun pergi meninggalkan kuda untuk mengunjungi ikan. Sang induk ayam berharap, anaknya yang satu ini bisa belajar berenang seperti ikan.

“Hei ikan sahabatku, maukah kau mengajari anakku berenang?” teriak sang induk ayam ke ikan sahabatnya di tepian sebuah sungai.

Walau agak keheranan, sang ikan pun terpaksa mengajak anak ayam itu belajar berenang. Setelah mengajari bagaimana menggerakkan tubuh ketika dalam air, sang ikan ‘memaksa’ anak ayam menceburkan diri ke air sungai. Cara itulah yang pernah diajarkan kepada sang ikan ketika ia masih kecil.

Ternyata, bukan kemahiran berenang yang didapatkan anak ayam, justru, ia tak bisa nafas karena tersedak air yang terus masuk ke saluran nafas kecilnya. Anak ayam itu pun mati.

Kini, tinggal si induk ayam melamun dalam kesendirian. Ia masih terpaku dalam kebimbangan: anak-anaknya yang tidak bermutu, atau ia yang salah memperlakukan anak-anaknya.

Tidak banyak pemimpin yang mampu menimbang dengan adil antara keinginan dan obsesinya yang begitu tinggi dengan kemampuan yang dimiliki orang-orang yang dipimpinnya.

Alih-alih ingin meraih hal yang istimewa dari yang ia pimpin, justru orang-orang yang mengikutinya ‘berguguran’ tergilas obsesi para pemimpinnya.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top