Hukuman Bagi Pelaku LGBT Menurut Syariat Islam

Ibnu ‘Abbas pernah ditanya: “Apa hadd pelaku homoseks (liwath)?”. Ia berkata: Dinaikkan ke bangunan paling tinggi di satu kampung/daerah, lalu dilemparkan dengan posisi terbalik (kepala di bawah kaki di atas). Setelah itu (jika belum mati), dilempar dengan batu (dirajam).” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 17024 dan Ibnu Abi Syaibah no. 28925)


Akhir-akhir ini sering kita mendengar dan membaca berita di berbagai media cetak maupun elektronik tentang perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Perilaku menyimpang dan sangat tercela melebihi perzinahan ini hinggap di berbagai kalangan masyarakat. Bahkan kita bisa saksikan sendiri beberapa publik figur pun terjebak dalam perilaku LGBT ini seperti yang terjadi pada artis SJ yang diduga melakukan kejahatan seksual LGBT kepada anak dibawah umur, atau pengakuan artis RF yang pernah dipaksa oleh artis berinisial IB untuk melakuakn tindakan asusila LGBT ini. Kejahatan LGBT ini ada yang dilakukan dengan paksaan dan ancaman, ada pula yang dilakukan suka sama suka. Bahkan beberapa negara kafir sudah melegalkan perilaku LGBT ini dengan mengesahkan pernikahan sesama jenis. Sungguh sangat memprihatinkan dan mengiris hati. Penyakit disorientasi seksual buatan kaum Nabi Luth ‘alaihis salam yang durhaka yaitu kaum Soddom ini terwarisi umat manusia hingga sekarang. Allah subhanahu wa ta’ala mengabadikan dalam Al-Quran mengenai disorientasi seksual ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ

“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Asy-Syu’ara’ [26] : 165-166)

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ

“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu". Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” (QS. Al-Ankabut [29] : 28-29)

            Mengenai surat Al-Ankabut ayat 28 dan 29, Amru bin Dinar rahimahullah menjelaskan:

عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ: إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ، قَالَ: مَا نَزَا ذَكَرٌ عَلَى ذَكَرٍ حَتَّى كَانَ قَوْمُ لُوطٍ

Dari ‘Amru bin Dinar tentang firman Allah ta’ala: ‘Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu’ (QS. Al-Ankabut : 28), ia berkata: “Tidak ada seorang laki-laki yang berhubungan badan dengan laki-laki lain hingga kaum Luth melakukannya. (HR. Ad-Darimi no. 1120)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya:

وقال الوليد بن عبد الملك الخليفة الأموي، باني جامع دمشق: لولا أن الله، عز وجل، قص علينا خبر لوط، ما ظننت أن ذكرًا يعلو ذكرًا.

“Al-Walid bin Malik, seorang khalifah Dinasti Umawiyyah yang membangun masjid Damaskus berkata: ‘Seandainya Allah ‘azza wa jalla tidak mengisahkan kepada kita kabar Luth, aku tidak pernah membayangkan ada laki-laki yang mendatangi laki-laki. (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3 hal. 445)

Ya, sebagai orang normal, kita tidak bisa membayangkan bagaimana kejahatan itu terjadi. Akan tetapi setan memang punya banyak muslihat untuk menyesatkan manusia dari fitrah dan jalan yang lurus.

Para ulama telah sepakat bahwa kejahatan homoseksual termasuk dosa besar yang diharamkan sangat keras oleh Islam. Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

قد نص الله علينا قصة قوم لوط في غير ما موضع من كتابه العزيز، وأنه أهلكهم بفعلهم الخبيث وأجمع المسلمون من أهل الملل أن التلوط من الكبائر

“Sungguh Allah telah mengisahkan kepada kita kisah kaum Luth di beberapa tempat dalam Kitab-Nya, dan bahwasannya Dia telah membinasakan mereka karena perbuatan keji mereka itu. Kaum muslimin dari semua aliran telah sepakat bahwa perbuatan kaum Luth (homoseksual) tersebut termasuk di antara dosa-dosa besar. (Al-Kabair hal. 52)

Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku homoseksual, sebagaimana dikatakan Imam At-Tirmidzi rahimahullah:

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي حَدِّ اللُّوطِيِّ، فَرَأَى بَعْضُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِ الرَّجْمَ أَحْصَنَ أَوْ لَمْ يُحْصِنْ، وَهَذَا قَوْلُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاق، وقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ فُقَهَاءِ التَّابِعِينَ مِنْهُمْ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ، وَعَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ، وَغَيْرُهُمْ قَالُوا: حَدُّ اللُّوطِيِّ حَدُّ الزَّانِي، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَأَهْلِ الْكُوفَةِ

“Para ulama berbeda pendapat dalam had pelaku homoseks. Sebagian mereka berpendapat untuk dirajam, baik yang pernah menikah maupun yang belum pernah menikah. Inilah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Sebagian ulama dari kalangan fuqaha’ tabi’iin seperti Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, ‘Atha’ bin Abi Rabbah, dan yang lainnya berpendapat : Hadd pelaku homoseks adalah hadd pelaku zina. Inilah pendapat Ats-Tsauri dan penduduk Kufah. (Jami’ At-Tirmidzi, Jilid 3 hal. 125)

Imam Al-Baghawi rahimahullah menambahkan bahwa Abu Hanifah berpendapat hukumannya adalah ta’zir, bukan had. (Syarh As-Sunnah, 10/310)

Pendapat ta’zir ini pun dipegang oleh ulama Nusantara Syeikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah, beliau berkata:

وتساحق النساء حرام ويعزرون بذلك لأنه فعل محرم. قال القاضي أبو الطيب وإثم ذلك كإثم الزنا، لقوله صلى الله عليه وسلم إذا أتت المرأة المرأة فهما زانيان

“Hubungan seksual sesama perempuan (sihaq) adalah haram. Pelakunya dikenakan sanksi level ta’zir karena sihaq merupakan tindakan yang diharamkan. Qadhi Abut Thayyib mengatakan, ‘Dosa sihaq serupa dengan dosa zina berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Bila perempuan melakukan seksual dengan sejenisnya, keduanya telah berzina’,’” (Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, hal. 349)

Berikut dibawakan beberapa riwayat yang beredar di kalangan para salaf kita dalam hal ini:

1.       Dihukum bunuh seperti hukuman pelaku zina, yaitu dirajam jika pelaku pernah menikah atau dicambuk 100 kali jika belum pernah menikah.

عَنْ عَطَاءٍ فِي الرَّجُلِ يَأْتِي الرَّجُلَ، قَالَ: سُنَّتُهُ سُنَّةُ الْمَرْأَةِ

“Dari ‘Atha’ (bin Abi Rabbah) tentang seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki lain, ia berkata: “Sunnah yang berlaku baginya adalah sunnah yang berlaku pada wanita (yaitu : hadd zina).” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 28928)

عَنِ الْحَسَنِ، وَعَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، قَالَا: اللُّوطِيُّ بِمَنْزِلَةِ الزَّانِي

“Dari Al-Hasan (Al-Bashri) dan dari Abu Ma’syar dari Ibrahim (An-Nakha’i), keduanya (Al-Hasan dan Ibrahim) berkata: “Pelaku homoseks kedudukannya seperti pelaku zina.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 28932)

عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، فِي الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، قَالَ: يُرْجَمُ إِنْ كَانَ مُحْصَنًا وَيُجْلَدُ، وَيُنْفَى إِنْ كَانَ بِكْرًا، وَقَالَهُ ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ

“Dari Ibnu Juraij tentang orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, ia berkata: “Dirajam jika ia pernah menikah serta dicambuk dan diasingkan jika ia belum menikah.” Dikatakan juga oleh Ibnu ‘Uyainah, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid (HR. ‘Abdurrazzaq no. 13484)

عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: يُرْجَمُ إِنْ كَانَ مُحْصَنًا، وَيُجْلَدُ إِنْ كَانَ بِكْرًا، وَيُغَلَّظُ عَلَيْهِ فِي الْحَبْسِ وَالنَّفْيِ

“Dari Az-Zuhri, ia berkata: “(Pelaku homoseks) dirajam jika ia pernah menikah, serta dicambuk jika ia belum menikah dan ditambahi hukuman untuk dijebloskan ke penjara dan diasingkan.” (HR. ‘Abdurrazzaq no. 13485)

عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: فِي الرَّجُلِ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ حَدُّ الزِّنَا، إِنْ كَانَ مُحْصَنًا رُجِمَ، وَإِلا جُلِدَ

“Dari Ibrahim (An-Nakha’i), ia berkata: “Tentang laki-laki yang melakukan perbuatan kaum Luth, diberikan hadd zina. Jika pernah menikah, dirajam; dan jika belum pernah menikah dicambuk.” (HR. ‘Abdurrazzaq no. 13487)

2.       Dihukum bunuh dengan dirajam secara mutlak, tidak membedakan antara yang pernah menikah atau belum pernah menikah.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ فِي الْبِكْرِ يُوجَدُ عَلَى اللُّوطِيَّةِ، قَالَ: يُرْجَمُ

“Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata tentang jejaka yang didapati melakukan perbuatan kaum Luth, ia berkata: “Dirajam.” (HR. ‘Abdurrazzaq no. 13488)

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: عَلَى اللُّوطِيِّ الرَّجْمُ، أُحْصِنَ أَوْ لَمْ يُحْصَنْ، سُنَّةٌ مَاضِيَةٌ

“Dari Sa’id bin Al-Musayyib, ia berkata: “Terhadap pelaku homoseks dijatuhi hukuman rajam, baik yang pernah menikah maupun yang belum pernah menikah. Itulah sunnah yang berlaku.” (HR. Ibnu Basyran dalam Al-Amali no. 240)

قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ بِلالٍ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ، وَرَبِيعَةَ، يَقُولُ: إِنَّ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَعَلَيْهِ الرَّجْمُ، أُحْصِنُ، أَوْ لَمْ يُحْصِنْ

“Telah berkata Sulaimaan bin Bilal: Aku mendengar Yahya bin Sa’id (Al-Amshari) dan Rabi’ah (bin Abi ‘Abdirrahman At-Taimi) berkata: “Sesungguhnya siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, baginya hukuman rajam baik yang telah menikah ataupun belum menikah.” (HR. Al-Hakim 4/350)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وَبِهَذَا نَأْخُذُ يرْجُمُ اللُّوطِيَّ مُحْصَنًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مُحْصَنٍ

“Kami memegang pendapat ini, yaitu pelaku homoseks dirajam baik yang pernah menikah maupun yang belum pernah menikah.” (Ma’rifatus Sunan wal Atsar lil Baihaqi, Jilid 6 hal. 349)

إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ الْكَوْسَجُ، قَالَ: قُلْتُ لأَحْمَدَ يَعْنِيَ ابْنَ حَنْبَلٍ: اللُّوطِيُّ أُحْصِنَ أَوْ لَمْ يُحْصَنْ؟، قَالَ: يُرْجَمُ أُحْصِنَ أَوْ لَمْ يُحْصَنْ، قَالَ إِسْحَاقُ يَعْنِي ابْنَ رَاهَوَيْهِ كَمَا قَالَ

“Ishaq bin Manshur Al-Kausaj, ia berkata : Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: “Apa hukuman pelaku homoseks yang pernah menikah atau yang belum pernah menikah?”. Ia menjawab: “Dirajam baik yang pernah menikah atau yang belum pernah menikah”. Ishaq bin Rahawaih berkata sebagaimana yang dikatakan Ahmad. (Dzammul Liwath no. 51)

Al-Baji rahimahullah menukil:

قَالَ مَالِكٌ وَلَمْ نَزَلْ نَسْمَعُ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُمَا يُرْجَمَانِ أَحْصَنَا أَوْ لَمْ يُحْصِنَا

“Malik berkata : Kami senantiasa mendengar dari kalangan ulama bahwa kedua pelaku homoseks dirajam, baik yang pernah menikah maupun yang belum pernah menikah.” (Al-Muntaqa’, Jilid 4 hal. 150)

3.       Dihukum bunuh dengan dilemparkan dari tempat/bangunan yang tertinggi.

سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ: " مَا حَدُّ اللُّوطِيِّ؟ قَالَ: يُنْظَرُ أَعْلَى بِنَاءٍ فِي الْقَرْيَةِ فَيُرْمَى بِهِ مُنَكَّسًا، ثُمَّ يُتْبَعُ الْحِجَارَةَ "

Ibnu ‘Abbas pernah ditanya: “Apa hadd pelaku homoseks (liwath)?”. Ia berkata: Dinaikkan ke bangunan paling tinggi di satu kampung/daerah, lalu dilemparkan dengan posisi terbalik (kepala di bawah kaki di atas). Setelah itu (jika belum mati), dilempar dengan batu (dirajam).” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 17024 dan Ibnu Abi Syaibah no. 28925)

4.       Dihukum dengan ta’zir, bukan had.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa sanksi homoseksual tidak sampai batas hudud, level sanksi terberat dalam hukum Islam seperti rajam. Mereka hanya dikenakan ta’zir, satu tingkat sanksi di bawah hudud. Beliau berkata:

المفاخذات ومقدمات الوطء وإتيان المرأة المرأة لا حد فيها

“Aktivitas pemenuhan seksual dengan mempertemukan paha, pendahuluan-pendahuluan dalam bersetubuh (foreplay), dan tindakan lesbian, tidak dikenakan sanksi hudud,” (Raudhatut Thalibin, Jilid 8 hal. 415)

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah dalam Tuhfatul Muhtaj yang pun berpendapat demikian yang kemudian diuraikan lebih jauh oleh Ibnu Qasim Al-Abbadi rahimahullah, beliau berkata:

ولا حد بمفاخذة وغيرها مما ليس فيه تغييب حشفة كالسحاق عبارة المغني ولا بإتيان المرأة المرأة بل تعزران ولا باستمنائه باليد بل يعزر اما بيد من يحل الاستمتاع بها فمكروه لأنه في معنى العزل لعدم الإيلاج السابق

“Tiada sanksi hudud bagi tindakan seksual dengan paha dan aktivitas seksual lain yang tidak sampai memasukan kelamin laki-laki seperti sihaq,” redaksi dalam Mughni, “Tiada sanksi hudud bagi pelaku lesbian. Keduanya cukup dita’zir. Begitu juga mereka yang melakukan masturbasi dengan tangannya. Mereka dita’zir. Sedangkan masturbasi pria dengan menggunakan tangan istri atau budak perempuannya, hukumnya makruh karena masuk kategori ‘azal’ karena tidak ada masuknya kelamin laki-laki seperti keterangan lalu,” (Hawasyi Tuhfatil Muhtaj, Jilid 9 hal. 104)

Terdapat satu riwayat mengenai Ta’zir ini dari kalangan salaf, seperti sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah rahimahullah dalam Al-Mushannaf:

عَنِ الْحَكَمِ فِي اللُّوطِيِّ: يُضْرَبُ دُونَ الْحَدِّ

“Dari Al-Hakam (bin ‘Utbah Al-Kindi) tentang pelaku homoseks: “Dipukul yang bukan termasuk hukuman had." (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 28813)

Hanya saja riwayat diatas menyelisihi riwayat sebelumnya yang menyatakan hukuman pelaku homoseks adalah seperti hukuman bagi pezina. Kemungkinan memang ada dua pendapat yang ternukil darinya, namun penulis belum mengetahui pendapat mana yang paling akhir darinya.

Ada beberapa riwayat dari kalangan shahabat seperti Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan Ibnuz Zubair radhiallahu ‘anhum dalam bahasan ini, namun kualitasnya lemah semua. Adapun riwayat marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang menjelaskan tentang hukuman homoseksual atau liwath, juga lemah.

Kesimpulan

Dari berbagai pendapat diatas, pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat kedua dan ketiga yaitu dihukum dengan cara dibunuh secara mutlak baik dirajam atau dilempar dari tempat yang tinggi dengan alasan:
·         Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan perilaku kaum Luth dengan Al-Fahisyah, yaitu dengan alif lam ma’rifah. Artinya, perbuatan homoseks itu adalah diantara perbuatan penyimpangan yang paling keji diantara perbuatan-perbuatan keji yang ada.
·         Qiyas antara homoseks dengan zina adalah qiyas terhadap sesuatu yang berbeda, karena homoseks lebih keji dibandingkan zina.
·         Allah subhanahu wa ta’ala mengadzab kaum Luth dengan menimpakan batu kepada mereka dari langit, sebagaimana firman-Nya:

فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ

“Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. Maka Kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (QS. Al-Hijr [15] : 73-75)

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (QS. Hud [11] : 82-83)

Para shahabat telah berijma’ akan dibunuhnya pelaku homoseks secara mutlak, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

وفى السنن عن النبى من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به ولهذا اتفق الصحابة على قتلهما جميعا لكن تنوعوا فى صفة القتل

“Dan dalam hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dinyatakan): ‘Barangsiapa yang engkau dapati melakukan perbuatan kaum Luth, bunuhlah pelakunya dan orang yang dijadikan objeknya’. Oleh karena itu, para shahabat bersepakat untuk membunuh kedua-duanya, akan tetapi mereka berbeda-beda dalam sifat (cara) pembunuhannya.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 11 hal. 543)

Kesepakatan ini juga dinukil oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni, Jilid 10 hal. 160-162 dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam Al-Jawabul Kafi, hal. 240.

Kesepakatan ini membatalkan pendapat pertama sehingga pengqiyasan terhadap zina termasuk qiyas rusak (faasid) atau tidak sesuai dan juga pendapat keempat.

Pelaku LGBT memang pantas mendapatkan hukuman itu, apalagi mereka yang terang-terangan dan mengkampanyekannya. Mereka adalah kaum paling hina yang binatang ternak pun enggan meniru perbuatan mereka. Sungguh ketika seekor anjing jantan dilanda birahi pasti mereka akan mencari anjing betina, lalu mengapa mereka para pelaku LGBT justru mendatangi sejenisnya?? Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita, keluarga kita dan saudara-saudara kita dilindungi oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari perilaku menyimpang ini. Amiin. Wallahu a’lam bish shawwab. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Hukum Dzikir Berjama'ah

“Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghaib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Al-Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704)


Dzikir berjama’ah adalah hal yang biasa di kalangan kaum muslimin. Mereka biasa berdzikir dengan membacakan wirid-wirid tertentu dan dipimpin oleh seseorang. Biasanya dzikir berjama’ah ini dilakukan setelah shalat fardhu, bahkan dalam beberapa tarekat sering melakukan dzikir berjama’ah ini dengan ghuluw (berlebih-lebihan) dengan berteriak-teriak sehingga mengganggu orang lain yang sedang shalat maupun istirahat. Lalu bagaimanakah sebenarnya hukum dari dzikir berjama’ah ini. Berikut ulasannya.

Berdzikir sendiri merupakan salah satu wujud dari bentuk berdoa. Berdoa bersama kalau yang dimaksud adalah satu orang berdoa sedangkan yang lain mengamini, maka ini ada 2 keadaan:

Pertama. Hal tersebut dilakukan pada amalan yang memang disyariatkan doa bersama, maka berdoa bersama dalam keadaan seperti ini disyariatkan seperti di dalam shalat Al-Istisqa’ (minta hujan), dan Qunut.

Kedua. Hal tersebut dilakukan pada amalan yang tidak ada dalilnya dilakukan doa bersama di dalamnya, seperti berdoa bersama setelah shalat fardhu, setelah majelis ilmu, setelah membaca Al-Quran dll, maka ini boleh jika dilakukan kadang-kadang, tanpa kesengajaan dan juga jika ada kebutuhan seperti ingin mengajari makmum do’a atau dzikir. Namun jika dilakukan terus-menerus maka itu dilarang bahkan bisa menjadi bid’ah.

            Untuk hal yang pertama mengenai dzikir berjama’ah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencontohkannya suatu waktu dan beliau pun mengeraskan suaranya dengan tujuan agar para sahabat dapat menghapal dzikir dan do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu beliau meninggalkan perkara itu dan kembali memelankan dzikirnya.

            Dalam melihat perkara dzikir berjama’ah ini, kita perhatikan beberapa hadits berikut:

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

“Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)

Dalam riwayat lainnya disebutkan:

كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالتَّكْبِيرِ

“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Al-Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا، فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، إِنَّهُ مَعَكُمْ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ »

“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghaib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Al-Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704)

            Jika kita perhatikan, ketiga hadits di atas terkesan saling kontradiksi, hadits pertama dan kedua menyatakan bahwa dzikir setelah shalat fardhu itu dikeraskan suaranya. Akan tetapi, di hadits ketiga justru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memelankan suara ketika berdzikir. Maka dalam hal ini, kita perlu memperhatikan para salafush shalih dalam menjelaskan perkara ini. Agar kita bisa memahami bagaimana sunnahnya berdzikir ini, kemudian bolehkan dilakukan berjama’ah dengan dikomandoi dan satu suara.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

واختيار للامام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماما يجب أن يتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تعلم منه ثم يسر

“Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berdzikir selepas selesai shalat. Hendaklah mereka memelankan (secara sirr) dzikir kecuali jika imam ingin mengajar bacaan-bacaan dzikir tersebut, maka ketika itu dzikir dikeraskanlah, hingga dia menduga bahwa telah dipelajari darinya (bacaan-bacaan dzikir tersebut), lalu setelah itu ia memelankan kembali dzikirnya.” (Al-Umm, Jilid 1 hal. 150)

وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه ذلك لان عامة الروايات التى كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم تهليل ولا تكبير وقد يذكر أنه ذكر بعد الصلاة بما وصفت ويذكر انصرافه بلا ذكر وذكرت أم سلمة مكثه ولم يذكر جهرا وأحسبه لم يكث إلا ليذكر ذكرا غير جهر

“Menurutku Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan (dzikir) sedikit agar orang-orang bisa belajar dari beliau. Kerana kebanyakan riwayat yang telah kami tulis bersama ini atau selainnya, tidak menyebut selepas salam terdapat tahlil dan takbir. Kadangkala riwayat menyebut Nabi berdzikir selepas shalat seperti yang aku nyatakan, kadangkala disebut bahwa Nabi pergi tanpa berdzikir. Ummu Salamah menyebutkan bahwa Nabi selepas shalat menetap di tempat shalatnya akan tetapi tidak menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan jahr (keras). Aku rasa beliau tidaklah menetap kecuali untuk berdzikir dengan dzikir yang tidak dikeraskan.” (Al-Umm, Jilid 1 hal. 150-151)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya:

يكره أن يجتمع القوم يدعون الله سبحانه وتعالى ويرفعون أيديهم؟

“Apakah diperbolehkan sekelompok orang berkumpul, berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan mengangkat tangan?”

Maka beliau mengatakan:

ما أكرهه للإخوان إذا لم يجتمعوا على عمد، إلا أن يكثروا

“Aku tidak melarangnya jika mereka tidak berkumpul dengan sengaja, kecuali kalau terlalu sering.”

Berkata Al-Marwazi rahimahullah:

وإنما معنى أن لا يكثروا: يقول: أن لا يتخذونها عادة حتى يعرفوا به

“Dan makna ‘jangan terlalu sering’ adalah jangan menjadikannya sebagai kebiasaan, sehingga dikenal oleh manusia dengan amalan tersebut.” (Masail Imam Ahmad bin hanbal wa Ishaq bin Rahuyah, Jilid 9 hal. 4879)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Demikian pula perkataan para ashab (para ulama besar madzhab syafi'i) bahwasanya dzikir dan do'a setelah shalat disunnahkan untuk dibaca dengan sirr (pelan). Kecuali sang imam ingin mengajari orang-orang maka ia membacanya dengan keras, dan jika mereka (para makmum) telah mengetahui maka sang imam kembali membaca dengan pelan.” (Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Jilid 3 hal. 468)

Syaikh Zainuddin Al-Malibari rahimahullah berkata: “Adapun (berdzikir atau berdo'a) dengan suara yang sangat keras di dalam masjid, sehingga mengganggu orang yang sedang shalat, maka sudah selayaknya hal seperti ini untuk diharamkan.” (Fathul Mu'in, Jilid 3 hal. 185-186)

Adapun dzikir bersama, dipimpin oleh seseorang kemudian yang lain mengikuti secara bersama-sama, terlebih lagi hal ini dilakukan bukan setelah shalat fardhu akan tetapi menyengaja berkumpul dengan tujuan ini, maka ini termasuk bid’ah, tidak ada dalilnya dan tidak diamalkan para salaf. Bahkan mereka mengingkari dzikir dengan cara seperti ini, sebagaimana dalam kisah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berikut:

أخبرنا الحكم بن المبارك، أنبأنا عمرو بن يحيى قال: سمعت أبي يحدث، عن أبيه قال: كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - قَبْلَ صَلَاةِ الغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - فَقَالَ: أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا: لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيْعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ - وَالْحَمْدُ للهِ - إِلَّا خَيْرًا. قَالَ: فَمَا هُوَ ؟ فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوْسًا يَنْتَظِرُوْنَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلَقَةٍ رَجُلٌ، وَفِيْ أَيْدِيْهِمْ حَصًا، فَيَقُوْلُ: كَبِّرُوا مِئَةً، فَيُكَبِّرُوْنَ مِئَةً، فَيَقُوْلُ: هَلِّلُوا مِئَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِئَةً، فَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِئَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِئَةً. قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ: أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِهِم، ثَمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلَقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ: مَا هَذا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ ؟ قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًا نَعُدَّ بِهِ التَّكْبِيْرَ والتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيْحَ. قَالَ: فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتكُمْ ! هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ. قَالُوا: وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ تُصِيْبَهُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلَّ أَكْتَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.

“Telah memberi kabar kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubarak, Telah memberitakan kepada kami ‘Amru bin Yahya, ia berkata: Aku mendengar ayahku meriwayatkan hadits dari ayahnya, ia berkata: Sebelum shalat shubuh, kami biasa duduk di depan pintu ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Jika dia sudah keluar rumah, maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba kami didatangi oleh Abu Musa Al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu, seraya bertanya: “Apakah Abu ‘Abdirrahman (‘Abdullah bin Mas’ud) sudah keluar menemui kalian ?”. Kami menjawab: “Belum”. Lalu dia pun duduk bersama kami hingga ‘Abdullah bin Mas’ud keluar rumah. Setelah dia keluar, kami pun bangkit menemuinya. Abu Musa berkata: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, tadi aku melihat kejadian yang aku ingkari di masjid, namun aku menganggap –segala puji bagi Allah– hal itu adalah baik”. Kata Ibnu Mas’ud: “Apakah itu ?”. Abu Musa menjawab: “Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang di masjid, mereka duduk ber-halaqah sedang menunggu shalat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan halaqah tadi berkata: ‘Bertakbirlah seratus kali’, maka mereka pun bertakbir seratus kali. ‘Bertahlillah seratus kali’, maka mereka pun bertahlil seratus kali. ‘Bertasbihlah seratus kali’, maka mereka pun bertasbih seratus kali”. Ibnu Mas’ud bertanya: “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abu Musa menjawab: “Aku tidak berkata apa-apa hingga aku menunggu apa yang akan engkau katakan atau perintahkan”. Ibnu Mas’ud berkata: “Tidakkah engkau katakan kepada mereka agar mereka menghitung kesalahan mereka dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan”. Lalu Ibnu Mas’ud berlalu menuju masjid tersebut dan kami pun mengikuti di belakangnya hingga sampai di tempat itu. Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka: “Benda apa yang kalian pergunakan ini?”. Mereka menjawab: “Kerikil wahai Abu ‘Abdirrahman. Kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan mempergunakannya”. Ibnu Mas’ud berkata: “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad! Betapa cepat penyimpangan yang kalian lakukan. Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga retak. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya! Apakah kalian merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud menjawab: “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada kami: ‘Akan ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati kerongkongannya’. Demi Allah, aku tidak tahu, boleh jadi kebanyakan dari mereka adalah sebagian di antara kalian”. ‘Amr bin Salamah berkata: “Kami melihat mayoritas diantara orang-orang yang ikut dalam halaqah itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrawan yang bergabung bersama orang-orang Khawarij.” (HR. Ad-Darimi no. 204)

Berkata Imam Asy-Syathibi rahimahullah:

فإذا ندب الشرع مثلا إلى ذكر الله فالتزم قوم الاجتماع عليه على لسان واحد وبصوت أو في وقت معلوم مخصوص عن سائر الأوقات ـ لم يكن في ندب الشرع ما يدل على هذا التخصيص الملتزم بل فيه ما يدل على خلافه لأن التزام الأمور غير اللازمة شرعا شأنها أن تفهم التشريع وخصوصا مع من يقتدى به في مجامع الناس كالمساجد

“Jika syariat telah menganjurkan untuk dzikrullah misalnya, kemudian sekelompok orang membiasakan diri mereka berkumpul untuknya (dzikrullah) dengan satu lisan dan satu suara,atau pada waktu tertentu yang khusus maka tidak ada di dalam anjuran syariat yang menunjukkan pengkhususan ini,justru di dalamnya ada hal yang menyelisihinya, karena membiasakan perkara yang tidak lazim secara syariat akan dipahami bahwa itu adalah syariat, khususnya kalau dihadiri oleh orang yang dijadikan teladan di tempat-tempat berkumpulnya manusia seperti masjid-masjid.” (Al-I’tisham, Jilid 2 hal. 190)

Tarjih

Dzikir secara berjama’ah dengan satu suara dengan suara yang dikeraskan (jahr) pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selepas shalat fardhu, namun kemudian beliau meninggalkan hal itu. Beliau melakukan hal demikian untuk mengajari para sahabat bacaan do’a dan dzikir. Maka imam diperbolehkan melakukan hal tersebut jika tujuannya adalah untuk mengajarkan makmum do’a dan dzikir, akan tetapi jika makmum sudah hafal maka imam disunnahkan untuk meninggalkan perkara tersebut. Sedangkan menyengaja berkumpul dengan tujuan untuk dzikir berjama’ah terlebih lagi dengan dikomandoi, satu suara serta mengeraskan suara, maka ini termasuk bid’ah yang sangat tercela sebagaimana pengingkaran Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam hadits riwayat Imam Ad-Darimi rahimahullah di atas. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Bid'ah Dalam Proses Penguburan Jenazah

“Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An-Nasa’I no. 1578)


Proses penguburan Jenazah adalah salah satu rukun dalam proses pengurusan jenazah setelah memandikan, mengkafani dan mengshalatkan. Hukum dari penguburan jenazah adalah fardhu kifayah. Tahap penguburan jenazah sendiri dimulai sejak pengantaran jenazah ke pemakaman hingga mengubur jenazah dengan tanah. Jika kita perhatikan banyak sekali ritual-ritual khusus yang dilakukan ketika pelaksanaan penguburan jenazah ini. Akan tetapi apakah yang dilakukan dalam ritual pelaksanaan penguburan jenazah itu sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau justru malah bid’ah-bid’ah yang tercela. Berikut ini adalah bentuk bid’ah-bid’ah yang biasa terjadi pada prosesi ritual penguburan jenazah yang penulis nukil dari kitab Ahkamul Janaaiz wa Bida’uha yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.

Beberapa praktek bid’ah dalam pemakaman dan pengiringannya antara lain :

  1. Menyembelih kerbau sesampainya jenazah di kuburan sebelum pemakamannya dan kemudian membagikannya kepada semua orang yang mengiringinya. (Al-Ibda, hal. 114)
  2. Meletakkan darah hewan yang disembelih saat keluarnya jenazah dari rumah di kuburan
  3. Mengumandangkan dzikir di sekitar tempat pembaringan mayit sebelum pemakamannya.
  4. Mengumandangkan adzan saat memasukkan mayit di kuburan. (Hasyiyatu Ibni Abidin, Jilid 1 hal. 837)
  5. Menurunkan mayit ke dalam kuburan dari arah kepala.
  6. Menaruh sedikit tanah Al-Husain ke mayit saat menurunkannya ke dalam kuburan, karena tanah tersebut akan memberi rasa aman dari segala yang menakutkan. (Miftah Al-Karamah, Jilid 1 hal. 497)
  7. Meletakkan pasir di bawah mayit bukan karena suatu keperluan yang mendesak. (Al-Madkhal, Jilid 3 hal. 261)
  8. Meletakkan bantal atau yang semisalnya di bawah kepala mayit di dalam kuburnya. (Al-Madkhal, Jilid 3 hal. 260)
  9. Memercikkan air ke mayit di dalam kuburnya. (Al-Madkhal, Jilid 3 hal. 262 dan Jilid 2 hal. 222)
  10. Menaburkan tanah denan punggung telapak tangan seraya mengucapkan : “Inna Lillahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un.” (Ini adalah agama Syi’ah Imamiyah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Miftah Al-Karamah, Jilid 1/ hal. 99. Seakan-akan mereka melakukan hal seperti itu dalam rangka menyalahi apa yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah yang menaburkan tanah, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menaburkan tanah dengan kedua telapak tangan bukan punggungnya)
  11. Membaca ayat : “Minhaa khalaqnaakum” pada taburan pertama, lalu ayat : “Wa fiihaa Nu’iidukum” pada taburan kedua, dan ayat : “Wa minhaa Nukhrijukum taaratan ukhra” pada taburan ketiga.
  12. Ucapan pada taburan pertama : “Bismillah”, pada taburan kedua : “Al-Mulku lillahi”, pada taburan ketiga : “Al-Qudratu lillahi”, pada taburan keempat : “Al-izzatu lillahi”, pada taburan kelima : “Al-Afwu wa al-Ghufraanu lillahi”, pada taburan keenam : “Ar-Rahmatu lillah”, dan kemudian pada taburan ketujuh membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala : “Kullu man ‘alaihaa faan”, dan membaca pada firman-Nya : ”Minhaa khalanaakum”.
  13. Membaca tujuh surat, yaitu : Al-Fatihah, Al-Falaq, An-Nas, Al-Ikhlash, (Idzaa jaa’a nashrullaahi) juga (ulyaa ayyuhal kaafiruun), serta (Innaa anzalnaahu). Dan juga do’a berikut ini : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan menyebut nama-Mu yang agung, aku juga memohon kepada-Mu yang merupakan pilar penegak agama, dan aku memohon kepada-Mu.. Juga memohon kepada-Mu, Serta memohon kepada-Mu, Dan aku memohon kepada-Mu dengan menyebut nama-Mu, yang jika Engkau diminta dengannya, niscaya Engkau pasti akan memberikan, dan jika dipanjatkan do’a kepada-Mu dengan menyebutnya, pasti Engkau akan mengabulkannya, wahai Rabb Jibril, Mika’il, Israfil, dan Uzra’il… sampai akhir : Semuanya ini dibaca saat pemakaman jenazah. (Hal tersebut dan juga yang sebelumnya dianjurkan dibaca, seperti di dalam kitab Syarhu Asy-Syir’ah, hal. 568. Dan diantara yang menunjukkan pembuatan hal tersebut adalah bahwa di dalamnya disebutkan nama Uzra’il, dan hal itu tidak mempunyai dasar sama sekali di dalam Sunnah, sebagaimana yang telah diperingatkan sebelumnya.)
  14. Membaca Al-Fatihah di kepala mayit dan juga pembukaan surat Al-Baqarah di bagian kedua kakinya. Hal tersebut diriwayatkan dalam hadits yang bersumber dari Ibnu Umar secara marfu, tetapi dinilai dha’if oleh Al-Haitsami dan diriwayatkan pula darinya secara mauquf dengan status dhaif.
  15. Membaca Al-Qur’an pada saat menaburkan tanah ke mayit. (Al-Madkhal, Jilid 3 hal. 262-263)
  16. Mentalqin orang yang sudah meninggal dunia. (As-Sunnan, hal. 67 Subulus Salam karya Ash-Shan’ani)
  17. Memasang dua buah batu di atas kuburan wanita. (Nailul Authar, Jilid 4 hal. 73 karya Imam Asy-Syaukani)
  18. Membaca sya’ir duka cita di kuburan setelah selesai pemakaman. (Al-Ibda, hal. 124-125)
  19. Memindahkan mayit sebelum atau sesudah pemakaman ke tempat-tempat yang dinilai mulia. Ini merupakan ajaran Agama Syi’ah Imamiyyah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Miftahu Al-Karamah, Jilid 1 hal. 500 dan 507
  20. Berdiam di sisi mayit seusai pemakamannya, baik di rumah, atau di pekuburan, atau di dekatnya. (Al-Madkhal, Jilid 3 hal. 278)
  21. Penolakan mereka untuk memasuki rumah jika kembali dari pemakaman sehingga menyuci bagian-bagian yang bersentuhan dengan mayit. (Al-Madkhal, Jilid 3 hal. 276)
  22. Meletakkan makanan dan minuman di atas kuburan supaya orang-orang mengambilnya.
  23. Bersedekah di kuburan. (Al-Iqtidha Ash-Shirath, hal. 183 dan Kasyfu Al-Qina, Jilid 2 hal. 134)
  24. Menyiramkan air di atas kuburan di bagian kepalanya, dilanjutkan dengan mengitari kuburan, setelah itu air yang masih tersisa di siramkan kembali ke bagian tengah kuburan. Ini merupakan ajaran Agama Syi’ah Imamiyyah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Miftahu Al-Karamah, Jilid I hal. 500 dan 507)

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top