Hukuman Bagi Pelaku LGBT Menurut Syariat Islam
Ibnu
‘Abbas pernah ditanya: “Apa hadd pelaku homoseks (liwath)?”. Ia berkata:
Dinaikkan ke bangunan paling tinggi di satu kampung/daerah, lalu dilemparkan
dengan posisi terbalik (kepala di bawah kaki di atas). Setelah itu (jika belum
mati), dilempar dengan batu (dirajam).” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no.
17024 dan Ibnu Abi Syaibah no. 28925)
Akhir-akhir ini
sering kita mendengar dan membaca
berita di berbagai media cetak maupun elektronik tentang perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Perilaku
menyimpang dan sangat tercela melebihi perzinahan ini hinggap di berbagai
kalangan masyarakat. Bahkan kita bisa saksikan sendiri beberapa publik figur
pun terjebak dalam perilaku LGBT ini seperti yang terjadi pada artis SJ yang
diduga melakukan kejahatan seksual LGBT kepada anak dibawah umur, atau
pengakuan artis RF yang pernah dipaksa oleh artis berinisial IB untuk melakuakn
tindakan asusila LGBT ini. Kejahatan LGBT ini ada yang dilakukan dengan paksaan dan
ancaman, ada pula yang dilakukan suka sama suka. Bahkan beberapa negara kafir
sudah melegalkan perilaku LGBT ini dengan mengesahkan pernikahan sesama jenis.
Sungguh sangat memprihatinkan dan mengiris hati. Penyakit disorientasi seksual buatan kaum Nabi Luth ‘alaihis salam yang durhaka yaitu kaum Soddom ini terwarisi umat manusia hingga sekarang. Allah subhanahu wa ta’ala
mengabadikan dalam Al-Quran mengenai disorientasi seksual ini. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ
لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ
“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki
di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu
untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Asy-Syu’ara’ [26] : 165-166)
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ
مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ
الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata
kepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang
amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum
kamu". Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan
mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” (QS. Al-Ankabut [29] : 28-29)
Mengenai surat Al-Ankabut ayat 28
dan 29, Amru bin Dinar rahimahullah menjelaskan:
عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ: إِنَّكُمْ
لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ،
قَالَ: مَا نَزَا ذَكَرٌ عَلَى ذَكَرٍ حَتَّى كَانَ قَوْمُ لُوطٍ
Dari ‘Amru bin Dinar tentang firman Allah ta’ala: ‘Sesungguhnya
kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah
dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu’ (QS. Al-Ankabut : 28),
ia berkata: “Tidak ada seorang laki-laki yang berhubungan badan dengan
laki-laki lain hingga kaum Luth melakukannya.” (HR. Ad-Darimi no. 1120)
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata dalam kitab tafsirnya:
وقال الوليد بن عبد الملك الخليفة
الأموي، باني جامع دمشق: لولا أن الله، عز وجل، قص علينا خبر لوط، ما ظننت أن
ذكرًا يعلو ذكرًا.
“Al-Walid bin
Malik, seorang khalifah Dinasti Umawiyyah yang membangun masjid Damaskus
berkata: ‘Seandainya Allah ‘azza wa jalla tidak mengisahkan kepada kita kabar
Luth, aku tidak pernah membayangkan ada laki-laki yang mendatangi laki-laki.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3 hal. 445)
Ya, sebagai orang
normal, kita tidak bisa membayangkan bagaimana kejahatan itu terjadi. Akan
tetapi setan memang punya banyak muslihat untuk menyesatkan manusia dari fitrah
dan jalan yang lurus.
Para ulama telah
sepakat bahwa kejahatan homoseksual termasuk dosa besar yang diharamkan sangat
keras oleh Islam. Imam Adz-Dzahabi rahimahullah
berkata:
قد نص الله علينا قصة قوم لوط في غير ما موضع من كتابه العزيز، وأنه
أهلكهم بفعلهم الخبيث وأجمع المسلمون من أهل الملل أن التلوط من الكبائر
“Sungguh Allah telah mengisahkan
kepada kita kisah kaum Luth di beberapa tempat dalam Kitab-Nya, dan bahwasannya
Dia telah membinasakan mereka karena perbuatan keji mereka itu. Kaum muslimin
dari semua aliran telah sepakat bahwa perbuatan kaum Luth (homoseksual)
tersebut termasuk di antara dosa-dosa besar.” (Al-Kabair hal. 52)
Para ulama berbeda
pendapat tentang hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku homoseksual, sebagaimana
dikatakan Imam At-Tirmidzi rahimahullah:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي حَدِّ اللُّوطِيِّ، فَرَأَى
بَعْضُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِ الرَّجْمَ أَحْصَنَ أَوْ لَمْ يُحْصِنْ، وَهَذَا قَوْلُ
مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاق، وقَالَ بَعْضُ أَهْلِ
الْعِلْمِ مِنْ فُقَهَاءِ التَّابِعِينَ مِنْهُمْ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ،
وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ، وَعَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ، وَغَيْرُهُمْ
قَالُوا: حَدُّ اللُّوطِيِّ حَدُّ الزَّانِي، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ،
وَأَهْلِ الْكُوفَةِ
“Para ulama berbeda pendapat dalam had
pelaku homoseks. Sebagian mereka berpendapat untuk dirajam, baik yang pernah
menikah maupun yang belum pernah menikah. Inilah pendapat Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad, dan Ishaq. Sebagian ulama dari kalangan fuqaha’ tabi’iin seperti
Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, ‘Atha’ bin Abi Rabbah, dan yang lainnya
berpendapat : Hadd pelaku homoseks adalah hadd pelaku zina. Inilah pendapat
Ats-Tsauri dan penduduk Kufah.” (Jami’ At-Tirmidzi, Jilid 3 hal. 125)
Imam Al-Baghawi rahimahullah
menambahkan bahwa Abu Hanifah berpendapat hukumannya adalah ta’zir, bukan had. (Syarh As-Sunnah,
10/310)
Pendapat ta’zir ini
pun dipegang oleh ulama Nusantara Syeikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah, beliau
berkata:
وتساحق النساء حرام ويعزرون بذلك لأنه فعل محرم. قال القاضي أبو الطيب
وإثم ذلك كإثم الزنا، لقوله صلى الله عليه وسلم إذا أتت المرأة المرأة فهما زانيان
“Hubungan
seksual sesama perempuan (sihaq) adalah haram. Pelakunya dikenakan sanksi level
ta’zir karena sihaq merupakan tindakan yang diharamkan. Qadhi Abut Thayyib
mengatakan, ‘Dosa sihaq serupa dengan dosa zina berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Bila perempuan melakukan seksual dengan sejenisnya,
keduanya telah berzina’,’” (Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, hal. 349)
Berikut
dibawakan beberapa riwayat yang beredar di kalangan para salaf kita dalam hal
ini:
1. Dihukum
bunuh seperti hukuman pelaku zina, yaitu dirajam jika pelaku pernah menikah
atau dicambuk 100 kali jika belum pernah menikah.
عَنْ
عَطَاءٍ فِي الرَّجُلِ يَأْتِي الرَّجُلَ، قَالَ: سُنَّتُهُ سُنَّةُ الْمَرْأَةِ
“Dari
‘Atha’ (bin Abi Rabbah) tentang seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki
lain, ia berkata: “Sunnah yang berlaku baginya adalah sunnah yang berlaku pada
wanita (yaitu : hadd zina).” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 28928)
عَنِ
الْحَسَنِ، وَعَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، قَالَا: اللُّوطِيُّ بِمَنْزِلَةِ
الزَّانِي
“Dari
Al-Hasan (Al-Bashri) dan dari Abu Ma’syar dari Ibrahim (An-Nakha’i), keduanya
(Al-Hasan dan Ibrahim) berkata: “Pelaku homoseks kedudukannya seperti pelaku
zina.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 28932)
عَنِ
ابْنِ جُرَيْجٍ، فِي الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، قَالَ: يُرْجَمُ إِنْ كَانَ
مُحْصَنًا وَيُجْلَدُ، وَيُنْفَى إِنْ كَانَ بِكْرًا، وَقَالَهُ ابْنُ عُيَيْنَةَ،
عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ
“Dari Ibnu Juraij
tentang orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, ia berkata: “Dirajam jika ia
pernah menikah serta dicambuk dan diasingkan jika ia belum menikah.” Dikatakan
juga oleh Ibnu ‘Uyainah, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid (HR. ‘Abdurrazzaq
no. 13484)
عَنِ
الزُّهْرِيِّ، قَالَ: يُرْجَمُ إِنْ كَانَ مُحْصَنًا، وَيُجْلَدُ إِنْ كَانَ بِكْرًا،
وَيُغَلَّظُ عَلَيْهِ فِي الْحَبْسِ وَالنَّفْيِ
“Dari
Az-Zuhri, ia berkata: “(Pelaku homoseks) dirajam jika ia pernah menikah, serta
dicambuk jika ia belum menikah dan ditambahi hukuman untuk dijebloskan ke
penjara dan diasingkan.” (HR. ‘Abdurrazzaq no. 13485)
عَنْ
إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: فِي الرَّجُلِ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ حَدُّ الزِّنَا،
إِنْ كَانَ مُحْصَنًا رُجِمَ، وَإِلا جُلِدَ
“Dari Ibrahim
(An-Nakha’i), ia berkata: “Tentang laki-laki yang melakukan perbuatan kaum
Luth, diberikan hadd zina. Jika pernah menikah, dirajam; dan jika belum pernah
menikah dicambuk.” (HR. ‘Abdurrazzaq no. 13487)
2. Dihukum
bunuh dengan dirajam secara mutlak, tidak membedakan antara yang pernah menikah
atau belum pernah menikah.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ فِي الْبِكْرِ يُوجَدُ عَلَى اللُّوطِيَّةِ، قَالَ:
يُرْجَمُ
“Dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata tentang jejaka yang didapati melakukan perbuatan kaum Luth, ia berkata:
“Dirajam.” (HR. ‘Abdurrazzaq no. 13488)
عَنْ
سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: عَلَى اللُّوطِيِّ الرَّجْمُ، أُحْصِنَ أَوْ لَمْ
يُحْصَنْ، سُنَّةٌ مَاضِيَةٌ
“Dari Sa’id bin
Al-Musayyib, ia berkata: “Terhadap pelaku homoseks dijatuhi hukuman rajam, baik
yang pernah menikah maupun yang belum pernah menikah. Itulah sunnah yang
berlaku.” (HR. Ibnu Basyran dalam Al-Amali no. 240)
قَالَ
سُلَيْمَانُ بْنُ بِلالٍ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ، وَرَبِيعَةَ، يَقُولُ: إِنَّ
مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَعَلَيْهِ الرَّجْمُ، أُحْصِنُ، أَوْ لَمْ يُحْصِنْ
“Telah
berkata Sulaimaan bin Bilal: Aku mendengar Yahya bin Sa’id (Al-Amshari) dan
Rabi’ah (bin Abi ‘Abdirrahman At-Taimi) berkata: “Sesungguhnya siapa saja yang
melakukan perbuatan kaum Luth, baginya hukuman rajam baik yang telah menikah
ataupun belum menikah.” (HR. Al-Hakim 4/350)
Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وَبِهَذَا نَأْخُذُ يرْجُمُ اللُّوطِيَّ مُحْصَنًا كَانَ أَوْ غَيْرَ
مُحْصَنٍ
“Kami
memegang pendapat ini, yaitu pelaku homoseks dirajam baik yang pernah menikah
maupun yang belum pernah menikah.” (Ma’rifatus Sunan wal Atsar lil Baihaqi,
Jilid 6 hal. 349)
إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ الْكَوْسَجُ، قَالَ: قُلْتُ لأَحْمَدَ
يَعْنِيَ ابْنَ حَنْبَلٍ: اللُّوطِيُّ أُحْصِنَ أَوْ لَمْ يُحْصَنْ؟، قَالَ: يُرْجَمُ
أُحْصِنَ أَوْ لَمْ يُحْصَنْ، قَالَ إِسْحَاقُ يَعْنِي ابْنَ رَاهَوَيْهِ كَمَا قَالَ
“Ishaq
bin Manshur Al-Kausaj, ia berkata : Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: “Apa
hukuman pelaku homoseks yang pernah menikah atau yang belum pernah menikah?”.
Ia menjawab: “Dirajam baik yang pernah menikah atau yang belum pernah menikah”.
Ishaq bin Rahawaih berkata sebagaimana yang dikatakan Ahmad. (Dzammul Liwath
no. 51)
Al-Baji
rahimahullah menukil:
قَالَ
مَالِكٌ وَلَمْ نَزَلْ نَسْمَعُ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُمَا يُرْجَمَانِ أَحْصَنَا
أَوْ لَمْ يُحْصِنَا
“Malik berkata : Kami
senantiasa mendengar dari kalangan ulama bahwa kedua pelaku homoseks dirajam,
baik yang pernah menikah maupun yang belum pernah menikah.” (Al-Muntaqa’, Jilid
4 hal. 150)
3. Dihukum
bunuh dengan dilemparkan dari tempat/bangunan yang tertinggi.
سُئِلَ
ابْنُ عَبَّاسٍ: " مَا حَدُّ اللُّوطِيِّ؟ قَالَ: يُنْظَرُ أَعْلَى بِنَاءٍ فِي
الْقَرْيَةِ فَيُرْمَى بِهِ مُنَكَّسًا، ثُمَّ يُتْبَعُ الْحِجَارَةَ "
Ibnu ‘Abbas pernah
ditanya: “Apa hadd pelaku homoseks (liwath)?”. Ia berkata: Dinaikkan ke
bangunan paling tinggi di satu kampung/daerah, lalu dilemparkan dengan posisi
terbalik (kepala di bawah kaki di atas). Setelah itu (jika belum mati),
dilempar dengan batu (dirajam).” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 17024 dan
Ibnu Abi Syaibah no. 28925)
4. Dihukum
dengan ta’zir, bukan had.
Imam
An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa sanksi homoseksual tidak sampai
batas hudud, level sanksi terberat dalam hukum Islam seperti rajam. Mereka
hanya dikenakan ta’zir, satu tingkat sanksi di bawah hudud. Beliau berkata:
المفاخذات
ومقدمات الوطء وإتيان المرأة المرأة لا حد فيها
“Aktivitas
pemenuhan seksual dengan mempertemukan paha, pendahuluan-pendahuluan dalam
bersetubuh (foreplay), dan tindakan lesbian, tidak dikenakan sanksi hudud,” (Raudhatut
Thalibin, Jilid 8 hal. 415)
Syekh
Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah dalam Tuhfatul Muhtaj yang pun
berpendapat demikian yang kemudian diuraikan lebih jauh oleh Ibnu Qasim
Al-Abbadi rahimahullah, beliau berkata:
ولا
حد بمفاخذة وغيرها مما ليس فيه تغييب حشفة كالسحاق عبارة المغني ولا بإتيان المرأة
المرأة بل تعزران ولا باستمنائه باليد بل يعزر اما بيد من يحل الاستمتاع بها فمكروه
لأنه في معنى العزل لعدم الإيلاج السابق
“Tiada
sanksi hudud bagi tindakan seksual dengan paha dan aktivitas seksual lain yang
tidak sampai memasukan kelamin laki-laki seperti sihaq,” redaksi dalam Mughni, “Tiada
sanksi hudud bagi pelaku lesbian. Keduanya cukup dita’zir. Begitu juga mereka
yang melakukan masturbasi dengan tangannya. Mereka dita’zir. Sedangkan
masturbasi pria dengan menggunakan tangan istri atau budak perempuannya,
hukumnya makruh karena masuk kategori ‘azal’ karena tidak ada masuknya kelamin
laki-laki seperti keterangan lalu,” (Hawasyi Tuhfatil Muhtaj, Jilid 9 hal. 104)
Terdapat satu riwayat mengenai Ta’zir
ini dari kalangan salaf, seperti sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah rahimahullah dalam Al-Mushannaf:
عَنِ
الْحَكَمِ فِي اللُّوطِيِّ: يُضْرَبُ دُونَ الْحَدِّ
“Dari Al-Hakam (bin
‘Utbah Al-Kindi) tentang pelaku homoseks: “Dipukul yang bukan termasuk hukuman
had." (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 28813)
Hanya saja riwayat diatas menyelisihi
riwayat sebelumnya yang menyatakan hukuman pelaku homoseks adalah seperti
hukuman bagi pezina. Kemungkinan memang ada dua pendapat yang ternukil darinya,
namun penulis belum mengetahui pendapat mana yang paling akhir darinya.
Ada beberapa riwayat dari kalangan
shahabat seperti Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan Ibnuz Zubair radhiallahu
‘anhum dalam bahasan ini, namun kualitasnya lemah semua. Adapun riwayat
marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang menjelaskan tentang
hukuman homoseksual atau liwath, juga lemah.
Kesimpulan
Dari
berbagai pendapat diatas, pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah
pendapat kedua dan ketiga yaitu dihukum dengan cara dibunuh secara mutlak baik
dirajam atau dilempar dari tempat yang tinggi dengan alasan:
·
Allah subhanahu wa ta’ala telah
menyebutkan perilaku kaum Luth dengan Al-Fahisyah, yaitu dengan alif lam
ma’rifah. Artinya, perbuatan homoseks itu adalah diantara perbuatan
penyimpangan yang paling keji diantara perbuatan-perbuatan keji yang ada.
·
Qiyas antara homoseks dengan zina
adalah qiyas terhadap sesuatu yang berbeda, karena homoseks lebih keji
dibandingkan zina.
·
Allah subhanahu wa ta’ala
mengadzab kaum Luth dengan menimpakan batu kepada mereka dari langit,
sebagaimana firman-Nya:
فَأَخَذَتْهُمُ
الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ
حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ
“Maka
mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan
terbit. Maka Kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami
hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang
yang memperhatikan tanda-tanda.” (QS. Al-Hijr [15] : 73-75)
فَلَمَّا
جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً
مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ
بِبَعِيدٍ
“Maka
tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke
bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang
terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu
tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (QS. Hud [11] : 82-83)
Para shahabat telah berijma’ akan
dibunuhnya pelaku homoseks secara mutlak, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
وفى
السنن عن النبى من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به ولهذا اتفق
الصحابة على قتلهما جميعا لكن تنوعوا فى صفة القتل
“Dan
dalam hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dinyatakan):
‘Barangsiapa yang engkau dapati melakukan perbuatan kaum Luth, bunuhlah
pelakunya dan orang yang dijadikan objeknya’. Oleh karena itu, para shahabat
bersepakat untuk membunuh kedua-duanya, akan tetapi mereka berbeda-beda dalam
sifat (cara) pembunuhannya.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 11 hal. 543)
Kesepakatan ini juga dinukil oleh Ibnu
Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni, Jilid 10 hal. 160-162 dan Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam Al-Jawabul Kafi, hal. 240.
Kesepakatan ini membatalkan pendapat
pertama sehingga pengqiyasan terhadap zina termasuk qiyas rusak (faasid) atau
tidak sesuai dan juga pendapat keempat.
Pelaku LGBT memang pantas mendapatkan
hukuman itu, apalagi mereka yang terang-terangan dan mengkampanyekannya. Mereka
adalah kaum paling hina yang binatang ternak pun enggan meniru perbuatan
mereka. Sungguh ketika seekor anjing jantan dilanda birahi pasti mereka akan
mencari anjing betina, lalu mengapa mereka para pelaku LGBT justru mendatangi
sejenisnya?? Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita, keluarga kita dan
saudara-saudara kita dilindungi oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari
perilaku menyimpang ini. Amiin. Wallahu a’lam bish shawwab. Semoga
bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ