Muslim Yang Memilih Pemimpin Kafir

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin bagimu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 51)



Setelah sebelumnya dijelaskan mengenai hukum memilih pemimpin kafir pada artikel Haram Menjadikan Orang Kafir Sebagai Pemimpin. Sekarang penulis akan menjelaskan tentang orang-orang yang tetap ngotot memilih pemimpin Kafir dengan berbagai dalih mereka. Ya, memang mengherankan walaupun banyak sekali dalil baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah yang menjelaskan mengenai haramnya memilih pemimpin kafir tapi tetap saja segelintir muslim ‘KTP’ masih ngotot tetap membolehkan bahkan mengkampanyekan untuk memilih pemimpin kafir, khususnya yang sekarang sedang ramai yaitu Pilkada Jakarta yang kita semua tahu bahwa calon gubernur inkumben adalah seorang yang jelas Kafir, bahkan tidak segan si Kafir itu mengolok-olok ayat Al-Quran dan Ulama dengan mengatakan ‘Jangan mau dibodoh-bodohi dengan Al-Maidah ayat 51’.

Kembali ke masalah orang-orang yang memilih pemimpin kafir. Setelah mencuat kasus penistaan agama oleh si Kafir dengan mengolok-olok ayat Al-Quran dan Ulama. Maka munculah jongos-jongosnya yang membelanya mati-matian ‘panutannya’ yang ironinya mereka mengaku sebagai seorang Muslim, mereka bahkan membawa bendera Islam, bahkan ada yang sampai membela habis-habisan hingga akhirnya dia pun menghina para Ulama dalam hal ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menyatakan pernyataan yang sangat bodoh yaitu menyatakan bahwa Al-Quran itu mutitafsir dan yang paling berhak menafsirkan Al-Quran adalah Allah dan Rasul-Nya, bukan Ulama. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni dosanya dan memberinya hidayah.

Lalu apa yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala mengenai orang-orang seperti ini? Yaitu orang-orang yang mengaku Muslim tapi justru loyal kepada mereka orang-orang Kafir dan menjadikan mereka sebagai pemimpin dan teman setia?

1.       Kafir

Orang yang memilih pemimpin kafir ya orang-orang kafir itu sendiri. Mereka akan loyal kepada saudaranya mereka yang jelas memiliki tujuan untuk menghancurkan umat Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin bagimu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 51)

Simaklah firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, ayat diatas sangat jelas melarang seorang Muslim untuk memilih pemimpin kafir. Pada ayat tersebut menggunakan kata ‘أَوْلِيَاءَ’ yang merupakan bentuk jamak dari kata ‘ولي’ yang memiliki banyak makna, namun pada ayat ini maknanya berarti pemimpin. Dalam ayat diatas pun dikatakan ‘وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ’ ‘Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka’ Sangat jelas sekali, jika seseorang memilih pemimpin kafir maka dia juga adalah kafir. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala mengancam akan menghilangan petunjuk atau hidayah-Nya bagi orang tersebut. Lalu masih maukah saudara-saudara kita yang masih mengaku Muslim tetap ngotot memilih si Kafir menjadi pemimpin? Ingat ancamannya sangat berat ayaitu batal keislamannya atau menjadi Kafir!

2.       Munafik

Secara bahasa, kata Munafik berasal dari kata ‘نَفَقَ’, ‘نِفَاقًا’ yang mengandung arti mengadakan, mengambil bagian dalam, membicarakan sesuatu yang dalam pandangan keagamaan. Pengakuannya dari satu orang berbeda-beda dengan yang lainnya. Adapun dalam pengertian syara’, Munafik adalah orang yang lahirnya beriman padahal hatinya kufur. Dan orang-orang yang mengaku Muslim akan tetapi memilih pemimpin Kafir maka dia termasuk ke dalam golongan ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا  وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam neraka Jahannam. (QS. An-Nisa’[4] : 138-140)

            Perhatikanlah ancaman Allah subhanahu wa ta’ala pada ayat ke-140, Allah ta’ala berfirman ‘إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا’ yang bermakna ‘Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam neraka Jahannam’. Lalu masihkan saudara-saudara kita yang tetap ngotot memilih si Kafir tetap berada dalam pendiriannya setelah melihat ancaman ini?

3.       Zhalim

Zhalim bermakna meletakkan sesuatu perkara bukan pada tempatnya. Maksudnya adalah seseorang yang zhalim telah melampaui batas terhadap dirinya sendiri karena menempatkan hal yang sudah ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam syari’atnya bukan pada tempatnya yaitu dengan melanggarnya. Orang-orang yang menjadikan seorang Kafir sebagai pemimpin, maka dia termasuk dalam golongan ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi pemimpin(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. At-Taubah [9] : 23)

Dalam ayat diatas, kata ‘أَوْلِيَاءَ’ memiliki makna Teman Setia juga bisa memiliki makna Pemimpin. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang tidak turut berhijrah karena alasan keluarga dan usaha perdagangannya yang tidak dapat ditinggalkan. Mereka lebih mencintai harta-harta dan dunianya dan lebih loyalitas terhadap orang-orang Kafir. Padahal Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar memiliki sikap yang berbeda dengan orang-orang kafir, sekalipun mereka adalah bapak-bapak dan anak-anaknya. Dan Allah subhanahu wa ta’ala melarang orang-orang mukmin menjadikan mereka yaitu orang-orang Kafir sebagai pemimpin.

4.       Fasik

Fasik secara bahasa dalam dialek masyarakat Arab adalah ‘الخروجُ عن الشيء’ yang artinya keluar dari sesuatu. Karena itu, tikus gurun dinamakan fuwaisiqah (فُوَيْسِقة) karena dia sering keluar dari tempat persembunyiannya. Sedangkan definifi fasik secara istilah adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Seorang yang mengaku Muslim namun tidak mengindahkan perintah Allah dan Rasul-Nya adalah orang fasik, dalam hal ini maka seseorang yang memilih dan menjadikan seorang Kafir sebagai pemimpin termasuk orang fasik karena telah melanggar dan keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, padahal banyak sekali dalil yang menjelaskan hal ini. Bahkan ulama pun sudah berijma’ akan keharamannya. Hal ini pun semakin ditegaskan lagi dalam Al-Quran, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Kamu melihat banyak di antara mereka tolong menolong dengan orang-orang kafir. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka siapkan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan Allah, dan mereka akan kekal dalam azab. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi pemimpin, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah [5] : 81)

Ayat diatas berkenaan dengan kefasikan kaum Bani Israil karena telah menjadikan orang-orang Musyrik sebagai Pemimpin. Allah subhanahu wa ta’ala telah melaknat perbuatan mereka dan Dia menjanjikan kepada mereka keburukan yaitu kemurkaan Allah dan azab neraka yang kekal. Lalu, masih beranikah para kacung si Kafir tetap keukeuh dengan pendiriannya untuk memilih serta mendukung si Kafir? Tak takutkah mereka dengan azab Allah subhanahu wa ta’ala? Tak takutkah mereka termasuk dalam 4 golongan diatas? Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hidayah kepada saudara-saudara kita yang hatinya masih dibutakan dengan hawa nafsu dan kejahilan. Amiin. Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Hukum Membaca Al-Quran Bagi Wanita Haidh

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.” (QS. Al-Waqi’ah [56] : 79)


Al-Quran merupakan petunjuk hidup. Al-Quran adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Membaca dan mengamalkannya adalah hal yang sangat dianjurkan bagi umat Islam. Bahkan membaca ataupun mendengarkannya saja seseorang akan mendapatkan berkah. Pahala yang akan didapatkan seseorang yang membaca Al-Quran dengan ikhlas adalah 10 kebaikan setiap hurufnya, sebagaimana sebuah riwayat yang sudah sangat masyhur, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu senilai dengan sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan ‘Alif Lam Mim’ itu satu huruf, akan tetapi ‘Alif’ satu huruf, ‘Lam’ satu huruf, dan ‘Mim’ satu huruf.” (HR. At-Tirmizi no. 2910)

Akan tetapi adakalanya justru kita dilarang untuk membaca Al-Quran. Ada beberapa keadaan yang diharamkan untuk membaca Al-Quran bahkan menyentuhnya yaitu dalam keadaan tidak suci atau berhadats. Dalam hal ini, penulis akan lebih fokus pada permasalahan wanita haidh. Apakah diperbolehkan atau tidak seorang wanita membaca Al-Quran ketika dia haidh.

Imam Abu Zakariya An-Nawawi rahimahullah berkata:

فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي قِرَاءَةِ الْحَائِضِ الْقُرْآنَ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا الْمَشْهُورَ تَحْرِيمُهَا وَلَا يُنْسَى غَالِبًا فِي هَذَا الْقَدْرِ وَلِأَنَّ خَوْفَ النِّسْيَانِ يَنْتَفِي بِإِمْرَارِ الْقُرْآنِ عَلَى القلب

“Pendapat para ulama mengenai hukum wanita haidh membaca Al-Quran adalah haram. Masa haidh yang berangsung beberapa hari biasanya tidak sampai bisa membuat orang lupa pada hafalannya. Dan jika tetap khawatir lupa pada hafalannya, maka cukuplah ia menghafal di dalam hatinya.” (Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Jilid 2 hal. 356)

            Imam Abu Zakariya An-Nawawi rahimahullah pun menegaskan kembali hal ini dalam perkaataannya:

يحرم على المحدث مس المصحف وحمله سواء إن حمله بعلاقته أو في كمه أو على رأسه وحكى القاضي حسين والمتولي وجها أنه يجوز حمله بعلاقته وهو شاذ في المذهب وضعيف قال أصحابنا : وسواء مس نفس الأسطر أو ما بينها أو الحواشي أو الجلد فكل ذلك حرام . وفي مس الجلد وجه ضعيف أنه يجوز وحكى الدارمي وجها شاذا بعيدا أنه لا يحرم مس الجلد ولا الحواشي ولا ما بين الأسطر ولا يحرم إلا نفس المكتوب . والصحيح الذي قطع به الجمهور تحريم الجميع

“Haram bagi orang yang berhadats menyentuh dan membawa Al-Quran baik membawanya dengan gantungan, atau pada lengan atau pada kepalanya. Qadhi Husain dan Mutawalli meriwayatkan pendapat lain bahwa membawa dengan gantungan itu boleh tapi ini pendapat yang minoritas dan lemah dalam Madzhab Asy-Syafi'i. Ulama Asy-Syafi'i berkata: (keharaman itu) meliputi menyentuh tulisannya atau di antara tulisan atau bagian pinggir atau kulitnya. Semua itu haram. Namun dalam soal menyentuh kulit Al-Quran ada pendapat yang dhaif bahwa itu dibolehkan. Al-Darimi meriwayatkan pendapat yang sangat syadz (langka) bahwa menyentuh kulit kitab suci itu tidak haram termasuk juga menyentuh bagian pinggir, antara tulisan tidak haram kecuali tulisan itu sendiri. Pendapat yang sahih seperti yang ditetapkan jumhur (mayoritas) ulama adalah haram semuanya.” (Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Jilid 2 hal. 80)

Syaikhul Islam Abu Yahya Zakaria Al-Anshari rahimahullah berkata:

وَلَمْ يَحِلَّ وَطْؤُهَا وَلَا غَيْرُهُ مِنْ التَّمَتُّعِ الْمُحَرَّمِ وَالْقِرَاءَةِ وَمَسِّ الْمُصْحَفِ وَنَحْوِهَا

“Dan tidak di halalkan seorang wanita untuk digauli pada saat haidh, begitu juga percumbuan yang diharamkan, serta melafazhkan Al-Quran serta menyentuhnya.” (Asnal Mathalib Syarh Raudh Ath-Thalib, Jilid 1 hal. 102)

Dan tidak di perbolehkan bagi wanita haidh membaca Al-Quran diluar shalat. Maksudnya adalah, jika ia sudah waktunya bersuci dan tidak mendapati air untuk mandi besar, maka baginya boleh bertayammum lalu shalat, dan di dalam shalatnya ia boleh membaca ayat-ayat Al-Quran. Dan tidak di perbolehkan ketika diluar shalat. Namun jika ia takut akan lupa hafalan Al-Qurannya, maka diperbolehkan membacanya di dalam hati.

Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:

إمَّا فِي الصَّلَاةِ فَجَائِزَةٌ مُطْلَقًا

“Melafazhkan Al-Quran pada saat menunaikan shalat itu boleh baginya.” (Al-Minhaj Al-Qawim, Jilid 1 hal. 408)

Perkataan menjelaskan bahwa jika seorang wanita haidh sudah tidak keluar lagi darahnya, namun tidak menemukan air sama sekali untuk bersuci, boleh baginya bertayammum sekedar untuk bisa melaksanakan shalat. Walaupun nanti ketika ia menemukan air, wajib baginya mandi janabah. Dalam keadaan  shalat itu, ia boleh melafazhkan Al-Quran. Namun tidak demikian jika diluar shalat.

Imam Muhammad Khatib Asy-Syirbini rahimahullah berkata:

أَمَّا فِي الصَّلَاةِ فَجَائِزَةٌ مُطْلَقًا، وَقِيلَ تُبَاحُ لَهَا الْقِرَاءَةُ مُطْلَقًا خَوْفَ النِّسْيَانِ بِخِلَافِ الْجُنُبِ لِقَصْرِ زَمَنِ الْجَنَابَةِ، وَقِيلَ تَحْرُمُ الزِّيَادَةُ عَلَى الْفَاتِحَةِ فِي الصَّلَاةِ كَالْجُنُبِ الْفَاقِدِ لِلطَّهُورَيْنِ

“Bagi wanita haidh, boleh membaca Al-Quran dalam shalat. Dan ada yang berpendapat: diperbolehkan bagi wanita haidh membaca Al-Quran karena takut akan lupa hafalannya, karena masa haidh lebih lama di banding dengan junub. Dan ada juga yang berpendapat diharamkan wanita haidh membaca lebih dari Al-Fatihah dalam shalat. Sebagaimana keterangan dalam pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami, jika wanita haidh tidak menemukan air untuk bersuci, lalu ia bertayammum dan shalat, maka baginya boleh membaca ayat Al-Quran dalam shalatnya.” (Mughni Al-Muhtaj, Jilid 1 hal. 290)

            Para ulama menyatakan bahwa membaca dan menyentuh mushaf Al-Quran adalah dilarang bagi wanita yang sedang haidh atau junub, mereka mengambil pendapat ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada Kitab yang terpelihara (mashaf). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci, yang diturunkan dari Tuhan Semesta Alam.” (QS. Al-Waqi’ah [56] : 77-80)

Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Ad-Damsyiqi rahimahullah menyatakan bahwa dhamir ‘hu’ pada perkataan ‘لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ’ kembali kepada kitab Al-Quran dan ‘الْمُطَهَّرُونَ’ bermakna orang yang suci. Sehingga makna ayat tersebut adalah “Tidak menyentuh kitab Al-Quran itu kecuali oleh orang yang suci.” Mengembalikan dhamir ‘hu’ kepada kitab Al-Quran karena Al-Quran adalah lafazh yang dekat penyebutannya. Tidak mungkin memaknai ‘الْمُطَهَّرُونَ’ dengan makna malaikat, karena ayat ini adalah kalam istitsna yang mengandung nafi dan itsbat. Kalam nafi dan itsbat, hanya pada sesuatu yang mempunyai kemungkinan diitsbat dan juga kemungkinan dinafikannya. Ini hanya ada pada manusia, tidak pada malaikat, karena malaikat diciptakan Allah dalam keadaan selalu suci.” (Kifayatul Akhyar, Jilid 1 hal. 81)

            Juga terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan mengenai larangan ini, salah satunya adalah suatu riwayat yang menjelaskan mengenai surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikirimkan kepada keluarga Amr bin Hazm radhiyallahu ‘anhum di Yaman. Didalam surat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يمس القرآن إلا طاهر

“Tidaklah boleh menyentuh mushaf kecuali orang yang bersuci.” (HR. Malik no. 469, Al-Hakim no. 1447 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13039)

            Hal ini dikuatkan pula oleh sebuah atsar dari Imam Nafi rahimahullah, beliau menyatakan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak pernah menyentuh mushhaf kecuali dalam keadaan suci. Sebagaimana dijelaskan dalam atsar dibawah ini:

عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ لَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إِلَّا وَهُوَ طَاهِرٌ

“Dari Nafi’, dari Ibnu Umar: Bahwasannya ia tidak pernah menyentuh mushhaf kecuali dalam keadaaan suci.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 7506)

            Juga dari hadits Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni rahimahullah dalam Kitab Sunan Ad-Daruquthni:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كُنَّا مَعَ  سَلْمَانَ  فَخَرَجَ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، لَوْ تَوَضَّأْتَ لَعَلَّنَا أَنْ نَسْأَلَكَ عَنْ آيَاتٍ، فَقَالَ: إِنِّي لَسْتُ أَمَسُّهُ إِنَّمَا لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ، فَقَرَأَ عَلَيْنَا مَا شئنا

“Dari Abdurrahman bin Yazid, ia berkata: Kami pernah bersama Salman (Al-Farisi). Lalu ia keluar untuk menunaikan hajatnya. Tidak lama kemudian ia kembali. Aku berkata: “Wahai Abu Abdirrahman, seandainya engkau berwudhu, karena barangkali kami akan bertanya kepadamu tentang beberapa ayat Al-Quran.” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku tidak menyentuhnya, karena tidaklah menyentuh Al-Quran kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Lalu ia membacakan kepada kami (beberapa ayat) sesuai yang kami inginkan.” (HR. Ad-Daruquthni no. 443)

            Berdasarkan penjelasan para ulama di atas dan juga dikuatkan dengan dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran, As-Sunnah serta Atsar Para Sahabat. Dapat disimpulkan bahwa wanita haidh dilarang untuk membaca Al-Quran juga memegang mushhafnya hingga dia kembali suci yaitu dengan berakhirnya masa haidh serta dibarengi dengan mandi junub atau tayamum jika tidak ditemukannya air. Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Ghibah Yang Diperbolehkan

“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya.” (QS. An-Nisa’ [4] : 148)


Seperti sudah dijelaskan sebelumnya mengenai Tercelanya Perilaku Ghibah. Pada artikel kali ini akan dibahas mengenai pengecualian dalam masalah haramnya ghibah. Dalam beberapa hal, ghibah ini diperbolehkan bahkan statusnya bisa menjadi wajib. Lalu dalam perkara apa saja ghibah itu diperbolehkan?

            Imam Abu Zakariya An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa ada 6 perkara yang diperbolehkan untuk ghibah, sebagaimana beberapa bait sya’ir Imam An-Nawawi rahimahullah yang disebutkan dalam Al-Adzkar. Beliau bersya’ir:

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍ فِيْ سِتـَّةٍ
مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ
وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok
Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan
Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa
Dan orang yang mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran

6 perkara yang diperbolehkan untuk ghibah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah antara lain:

1 – Pengaduan

Pengaduan maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah menganiaya saya demikian-demikian.” Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta’ala:

لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ

“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya.” (QS. An-Nisa’ [4] : 148)

Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukan bahwa bolehnya orang yang dizhalimi mengghibahi orang yang menzhaliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kezhaliman yang telah dialaminya dari orang yang menzhaliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan bantuan mereka.

2 – Untuk Pengenalan

 Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’araj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharamkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.

3 – Untuk Memperingatkan Kaum Muslimin dari Kejelekan

Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil. Mereka berdalil dengan ijma’ akan bolehnya bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh orang-orang yang berhak mendapatkannya dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at. Seperti perkataan ahlul hadits: “Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, “Si fulan ditinggalkan periwayatannya” dan lain-lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Seperti para imam kebid’ahan yaitu orang-orang yang mengucapkan perkataan-perkataan yang menyimpang dari Al-Kitab dan As-Sunnah atau yang telah melakukan ibadah-ibadah yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari (bahaya) mereka adalah wajib dengan kesepakatan kaum muslimin. Hingga dikatakan kepada Imam Ahmad: “Seorang laki-laki puasa dan shalat dan beri’tikaf lebih engkau sukai atau membicarakan tentang (kejelekan) ahlul bid’ah?” Maka beliau menjawab: “Jika laki-laki itu sholat dan i’tikaf maka hal itu (kemanfaaatannya) adalah untuk dirinya sendiri, dan jika dia membicarakan (kejelekan) ahlul bid’ah maka hal ini adalah demi kaum muslimin, maka hal ini (membicarkan kejelekan ahlul bid’ah) lebih baik.” Maka Imam Ahmad telah menjelaskan bahwasanya hal ini (membicarakan ahlul bid’ah) bermanfaat umum bagi kaum muslimin dalam agama mereka dan termasuk jihad fi sabilillah dan pada agama-Nya dan manhaj-Nya serta syari’at-Nya. Dan menolak kekejian dan permusuhan ahlul bid’ah atas hal itu adalah wajib kifayah dengan kesepakatan kaum muslimin. Kalaulah bukan karena orang-orang yang telah Allah tegakkan untuk menghilangkan kemudhorotan para ahlul bid’ah ini maka akan rusak agama ini, yang kerusakannya lebih parah dari pada kerusakan (yang timbul) akibat dikuasai musuh dari ahlul harbi (orang kafir yang menyerang). Karena musuh-musuh tersebut tidaklah merusak hati dan agama yang (telah tertanam) dalam hati kecuali hanya belakangan. Sedangkan para ahlul bid’ah mereka merusak hati sejak semula.” (Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 26 hal. 131 dan 232)

Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nashihat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah binti Qois radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ

“Saya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya.” Dan dalam riwayat yang lain di Muslim: “Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan jika nasehat hukumnya wajib untuk memperoleh kemaslahatan yang sifatnya khusus bagi orang-orang tertentu sebagaimana pada hadits-hadits di atas, maka bagaimanakah dengan nasehat yang berkaitan dengan banyak orang? tidak diragukan lagi maka hukumnya lebih wajib lagi. Contohnya seperti menjelaskan kesalahan-kesalahan para perawi hadits. Berkata Yahya bin Sa’id, “Aku bertanya kepada Malik, Ats-Tsauri, dan Al-Laits bin Sa’ad dan aku rasa juga Al-Auza’i tentang seseorang yang tertuduh berdusta dalam hadits atau seorang perawi yang tidak hafal?” mereka berkata, بَيِّنْ أَمْرَهُ “Jelaskanlah perkaranya.” Ada orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Aku merasa berat untuk berkata si fulan demikian, si fulan demikian…”. Maka Imam Ahmad berkata,  إِذَا سَكَتَّ أَنْتَ وَسَكَتُّ أَنَا فَمَتَى يَعْرِفُ الْجَاهِلُ الصَّحِيْحَ مِنَ السَّقِيْمِ “Jika engkau diam (tidak menjelaskan) dan aku juga diam (tidak menjelaskan) maka kapankah orang jahil membedakan antara yang benar dari yang salah?”

Contohnya juga (yang berkaitan dengan kemaslahatan orang umum) adalah menjelaskan kesalahan-kesalahan pemuka-pemuka bid’ah, para pencetus pemikiran-pemikiran dan model-model ibadah baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan Al-Hadits maka menjelaskan kesalahan mereka dan memperingatkan umat dari bahaya mereka hukumnya adalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. (Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 28 hal. 230-231)

Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata: “Perbedaan antara nasehat dan gibah adalah tujuan dari nasehat adalah untuk memperingatkan seorang muslim dari (bahaya) seorang mubtadi’, maka engkau menjelaskan kondisi mubtadi’ tersebut (kepadanya) jika ia meminta pendapatmu karena ingin bersahabat dengan mubtadi’ tersebut atau ingin bermu’amalah dengannya atau ingin berhubungan dengannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Fathimah binti Qois. Jika ghibah disampaikan dalam bentuk nasehat untuk Allah, Rasul-Nya, dan hamba-hamba-Nya kaum muslimin maka jadilah ghibah tersebut merupakan qurbah (ibadah) kepada Allah yang merupakan sebuah kebaikan. Dan jika ghibah disampaikan dalam bentuk celaan terhadap saudaramu dan untuk mengoyak kehormatannya dan bersenang-senang memakan daging (tubuhnya) serta untuk merendahkan dirinya agar kedudukannya jatuh di hati orang-orang maka ini merupakan penyakit yang bahaya dan api yang membakar kebaikan-kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar.” (Ruh, hal 240)

4 – Terhadap Orang Yang Menampakan Kefasikan

            Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khamer, mengambil harta manusia dengan zhalim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Hal ini sebagaimana hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ

“Seseorang datang minta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi tetap diharamkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya. (Bahjatun Nadzirin, Jilid 3 hal. 35)

5 – Meminta Fatwa

            Ghibah diperbolehkan dalam perkara meminta fatwa atas suatu hukum. Misalnya ada seseorang berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat zhalim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah menzhalimiku, apakah dia mendapatkan hukuman ini? Dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kezhaliman?” dan yang semisalnya. Tetapi yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya seseorang itu berkata kepada si mufti: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian?” Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentu pun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata:

إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ: خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ

“Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup belanja untukku dan unutuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar pengetahuannya.” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

6 – Mencari Bantuan untuk Menghilangkan Kemungkaran

Meminta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran. Maka dia dibolehkan berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah haram. Hal ini sebagai bentuk aplikasi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

“Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Tercelanya Perilaku Ghibah

“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat [49] : 12)


Umat Islam adalah umat yang sangat istimewa dimana umat Islam dibangun atas azas saling tolong menolong dan umat yang penuh cinta serta kasih sayang. Akan tetapi, didalam keistimewaan umat ini terdapat sebuah penyakit berbahaya yang dapat merusak kekohonan bangunan Islam ini. Penyakit itu adalah ghibah atau pergunjingan. Bahkan pada saat ini, seakan-akan pergunjingan menjadi hal biasa dan dianggap halal, kita bisa saksikan hampir setiap hari di media sosial maupun elektronik kita disuguhi berita-berita ghibah, membuka aib orang lain dan mereka membungkus semua kemaksiatan ini dengan nama gossip. Juga kita saksikan, ketika ibu-ibu berkumpul dalam acara kegiatan ibu-ibu, maka yang dibicarakan tak jauh dari ghibah. Sungguh sangat berbahaya sekali penyakit ini.

Definisi Ghibah

Ghibah memiliki makna membicarakan sesuatu tentang orang lain yang ada pada dirinya, yang apabila dia mendengar hal tersebut maka ia akan membenci perkataan tersebut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya.” (Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874 dan At-Tirmidzi no 1999)

            Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ. وَإِذَا قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ الْبُهْتَانُ

“Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan.” (Ash-Shamt Ibnu Abi Dunya, hal 211)

Larangan Ghibah

            Mengenai larangan ghibah, Allah subhanahu wa ta’ala secara tegas melarangnya sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49] : 12)

Dalam Tafsir Jalalain mengenai QS. Al-Hujurat ayat 12, disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” artinya, menjerumuskan kepada dosa, jenis prasangka itu cukup banyak, antara lain ialah berburuk sangka kepada orang mukmin yang selalu berbuat baik. Orang-orang mukmin yang selalu berbuat baik itu cukup banyak, berbeda keadaannya dengan orang-orang fasik dari kalangan kaum muslimin, maka tiada dosa bila kita berburuk sangka terhadapnya menyangkut masalah keburukan yang tampak dari mereka. “Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain” lafal Tajassasuu pada asalnya adalah Tatajassasuu, lalu salah satu dari kedua huruf Ta dibuang sehingga jadilah Tajassasuu, artinya janganlah kalian mencari-cari aurat dan keaiban mereka dengan cara menyelidikinya. “Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain” artinya, janganlah kamu mempergunjingkan dia dengan sesuatu yang tidak diakuinya, sekalipun hal itu benar ada padanya. “Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati?” lafal Maytan dapat pula dibaca Mayyitan; maksudnya tentu saja hal ini tidak layak kalian lakukan. “Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya” maksudnya, mempergunjingkan orang semasa hidupnya sama saja artinya dengan memakan dagingnya sesudah ia mati. Kalian jelas tidak akan menyukainya, oleh karena itu janganlah kalian melakukan hal ini. “Dan bertakwalah kepada Allah” yakni takutlah akan azab-Nya bila kalian hendak mempergunjingkan orang lain, maka dari itu bertobatlah kalian dari perbuatan ini, “Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat” yakni selalu menerima tobat orang-orang yang bertobat. “Lagi Maha Penyayang” kepada mereka yang bertobat.

Renungkanlah bahasa yang Allah subhanahu wa ta’ala gunakan dalam ayat ini. Sebuah larangan yang diiringi dengan perumpamaan, sehingga membuat permasalahan ini bertambah besar dan perbuatannya menjadi sangat buruk : “Sukakah salah seorang diantara kalianmemakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya.” Memakan daging manusia merupakan perbuatan yang sangat menjijikkan bagi setiap watak dan tabiat, meskipun orang kafir. Kemudian, bagaimana ketika yang dimakan adalah saudara seagama? Tentu rasa kejijikan akan semakin besar. Bahkan, bagaimana lagi jika yang dimakan itu adalah bangkai yang sudah mati??

Bahaya Ghibah

Ghibah merupakan perilaku buruk dan berbahaya. Para ulama terdahulu telah menyebutkan tentang bahaya ghibah. Bahkan beberapa ulama menyatakan bahwa ghibah termasuk salah satu dosa besar.

Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Demi Allah, menggunjing lebih cepat merusak agama seorang mukmin melebihi dari penyakit yang menggerogoti tubuhnya.” Imam Qatadah rahimahullah berkata: “Disebutkan kepada kita bahwa siksa kubur itu terdiri dari tiga perkara: sepertiga dari ghibah, sepertiga dari kencing (tanpa besuci), dan sepertiga dari namimah (mengadu domba).” Diceritakan, suatu ketika ada seseorang yang sedang menggunjing di hadapan ulama salaf, maka dia menegurnya dan berkata, “Hai kamu! Berhati-hatilah seperti engkau berhati-hati terhadap jilatan anjing.” (Ash Shamt, Ibnu Abi Dunya, hal. 129)

Imam Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan bahwa ghibah itu termasuk dosa besar, sebanding dengan dosa pembunuhan, riba, zina, dan dosa-dosa besar yang lain. (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Jilid 16 hal. 337)

Azab Bagi Pelaku Ghibah

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ: الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

“Pada malam isra’ aku melewati sebuah kaum yang mereka melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku bertanya: ”Siapakah mereka wahai Jibril?” Beliau menjawab: “Yaitu orang-orang yang mengghibahi manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia.”

Dalam riwayat yang lain, dengan matan yang hampir sama dikabarkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ: هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

“Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya: “Siapakah mereka wahai Jibril?” Beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia.” (HR. Ahmad 3/223, Abu Dawud no. 4879)

Ghibah Yang Dibolehkan

Adakalanya ghibah itu diperbolehkan, dan hal-hal yang dibolehkan ghibah itu ada enam perkara sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Adzkar, sebagaimana tergabung dalam suatu syair:

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍ فِيْ سِتـَّةٍ
مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ
وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok
Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan
Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa
Dan orang yang mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan ada beberapa ghibah yang diperbolehkan dengan tujuan yang benar secara syar’i, yang tujuan tersebut tidak bisa tercapai kecuali dengan ghibah tersebut, diantaranya:

1 - Pengaduan, maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya.
2 - Minta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran.
3 - Meminta fatwa, misalnya dia berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat zhalim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah menzhalimiku, apakah dia mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kezhaliman?”, dan yang semisalnya.
4 - Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan.
5 - Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khomer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya.
6 - Untuk pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’araj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan.

Untuk penjelasan mengenai ghibah yang diperbolehkan bisa disimak pada artikel Ghibah Yang Diperbolehkan.

Anjuran Untuk Menjaga Lisan

Seorang pujangga Arab pernah berkata, “Lidah itu lebih tajam dari ujung tombak yang terhunus.” Atau barangkali, sebagian kita ada yang berfikir lebih dari apa yang diperumpamakan pujangga Arab itu. Bahwa sebilah ujung tombak belumlah memadai untuk melukiskan perihnya lidah. Bisa jadi, kejahatan lewat lidah itu memiliki daya penghancur layaknya sebuah dinamit yang mampu meluluhlantahkan satu bangunan megah atau lebih kuat daripada bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki.

Begitulah, betapa tutur kata yang keluar dari sepotong lidah bisa lebih menyakitkan ketimbang benda-benda tajam lainnya. Ia bukan sekedar sebaris kalimat yang meluncur dari mulut kita, lalu hilang bersama angin. Tapi juga sederet makna dan pesan yang bisa ditangkap oleh setiap orang dengan segala tafsirnya. Dan kemudian, ia menyelinap ke dalam sanubari sang pendengar. Ada yang terluka karena kata-kata yang kita sampaikan, ada pula yang merasa dibahagiakan.

Persoalannya kita tidak tahu, apakah kata yang kita ucapkan itu menyakitkan atau meneduhkan? Kata-kata itu mbrojol keluar begitu saja, entah dalam perbincangan sehari-hari, diskusi atau pun dalam sekedar senda gurau belaka. Bagi kita yang bertutur, mungkin tidak jadi masalah, namun belum tentu bagi orang yang mendengar.

Bagi mereka, sejumlah kata yang melukai akan memiliki pengaruh yang luar biasa. Mulai dari orang yang menerimanya dengan tangis, dendam kesumat, sumpah serapah, kutukan, merasa terhina, baku hantam, putus apa, sampai pembunuhan sekalipun. Karena itu, pernahkan kita merenungkan dampak-dampak tersebut di hati mereka? Pernahkah kita membayangkan sakitnya berada dalam posisi mereka?

Dari sini nampak, bahwa kejahatan lidah lebih berbisa dari sekadar bisa ular. Ia bahkan menjadi tempat segala keburukan bermuara. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyodorkan ‘diam’ sebagai solusinya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau (kalau tidak) diamlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari sinilah, diam menjadi teramat penting maknanya. Dengan diam, kita belajar menyaring kata sesuai porsi dan keperluannya. Dan, sekiranya kita harus mengeluarkan kata-kata, sebaiknya sederet kalimat yang kita lahirkan telah tersaring menjadi sebuah ungkapan yang benar-benar berfaedah. Begitu pula, dalam bersenda gurau.

Dengan cara ini, kita tidak hanya menjadi penutur yang baik, tapi juga pendengar yang bijak. Jika tidak, maka bersiap-siaplah memasuki pintu neraka sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, “Tidak mungkin manusia akan terus di dalam neraka kecuali karena hasil panen lidah mereka.” Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top