2 Perkara Yang Pasti

2 Perkara Yang Pasti

“Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia akan masuk Surga, dan barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka dia akan masuk Neraka.” (HR. Muslim)

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa ketaatan terbesar yang wajib kita laksanakan adalah tauhid; (mentauhidkan Allah Ta'ala), sebagaimana kemaksiatan terbesar yang harus kita hindari adalah kesyirikan.

Mentauhidkan Allah Ta'ala merupakan tujuan diciptakannya makhluk, tujuan diutusnya para rasul, tujuan diturunkannya kitab-kitab, dan merupakan pijakan pertama dan paling utama.

Kemudian lawan dari tauhid adalah syirik.

Kesyirikan memiliki banyak bahaya yang mengerikan, dan seharusnya kita benar-benar merasa takut terhadapnya. Karena orang yang meninggal dalam kesyirikan balasannya adalah neraka. Wana'udzu billah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan pada sebuah hadits,

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الْمُوْجِبَتَانِ؟ فَقَالَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ. مُسْلِمٌ

Dari Jabir radhiallahu 'anhu berkata, ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dia bertanya:  Ya Rasulullah, Apakah 2 keniscayaan itu (2 perkara yang pasti) ?

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ
.
“Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia akan masuk Surga, dan barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka dia akan masuk Neraka.” (HR. Muslim)

Semoga kita dijadikan hamba-hamba Allah yang selalu mentauhidkan-Nya, dan senantiasa menjauhi kesyirikan kepada Allah Ta'ala.

Aamiin...

Oleh: al-Ustadz Fuad Hamzah Baraba hafizhahullah

Sedekah yang Paling Besar Pahalanya

“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam seraya bertanya: “Wahai Rasulullah! Sedekah seperti apakah yang paling besar pahalanya? Beliau lalu menjawab: “Kamu bersedekah dalam kondisi sehat dan kikir, takut miskin dan mengangankan kekayaan. Jangalah kamu menyepelekan, hingga ketika nyawa sudah berada di kerongkongan, kamu baru mengatakan: “Bagi si fulan bagiannya segini dan segitu”, padahal harta tersebut sudah milik orang lain.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)


Manusia diciptakan dengan kecenderungan mencintai harta benda. Semua manusia memiliki kecenderungan ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا

“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. al-Fajr [89] : 20)

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

“Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada harta” (Al-‘Adhiyat [100] : 8)

Allah subhanahu wa ta’ala yang telah mewahyukan kecintaan ini kepada seluruh manusia untuk hikmah tertentu, yaitu agar Allah subhanahu wa ta’ala menguji manusia. Dengan demikian, tidak ada manusia yang tidak mencintai hartanya. Orang-orang beriman yang rajin bersedekah pun, bukan orang-orang yang tidak mencintai hartanya. Orang-orang yang rajin bersedekah adalah orang yang mampu menekan kecintaan itu sehingga tidak melebihi batasnya.

Seseorang yang beriman kemudian menyedekahkan hartanya hakikatnya menyadari bahwa harta yang akan ia sedekahkan tersebut adalah harta yang sebetulnya sangat ia cintai. Akan tetapi, karena seruan Allah lebih ingin ia dengarkan dari pada seruan perasaan yang ada dalam hatinya, ia rela berbuat kemuliaan tersebut.
Perhatikan firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut ini:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2] : 177)

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

“Dan mereka memberikan makanan yang dicintainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. al-Insan [76] : 8)

Jadi, para pensedekah itu tetap mencintai hartanya. Namun, kerelaan hatinya lebih besar, imannya lebih kuat, cita-citanya lebih tinggi, kegembiraannya saat orang lain ikut berbahagia lebih menyenangkan baginya dan kedigdayaan agamanya lebih diharapkan olehnya. Ia tidak segan berkorban. Bukan hanya dengan hartanya, jiwanya pun selalu siap ia korbankan untuk meraih kemuliaan itu. Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَاسۡمَعُوۡا وَاَطِيۡعُوۡا وَاَنۡفِقُوۡا خَيۡرًا لِّاَنۡفُسِكُمۡ​ؕ وَمَنۡ يُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِهٖ فَاُولٰٓـئِكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ اِنۡ تُقۡرِضُوا اللّٰهَ قَرۡضًا حَسَنًا يُّضٰعِفۡهُ لَـكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَـكُمۡ​ؕ وَاللّٰهُ شَكُوۡرٌ حَلِيۡمٌۙ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. at-Taghabun [64] : 16-17)

Sedekah yang dilakukan dalam kondisi hati sangat terpaut dengan harta, dengan faktor-faktor yang membuat seseorang menjadi kikir, ternyata memiliki nilai tersendiri. Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ فَقَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا أَلَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ

“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam seraya bertanya: “Wahai Rasulullah! Sedekah seperti apakah yang paling besar pahalanya? Beliau lalu menjawab: “Kamu bersedekah dalam kondisi sehat dan kikir, takut miskin dan mengangankan kekayaan. Jangalah kamu menyepelekan, hingga ketika nyawa sudah berada di kerongkongan, kamu baru mengatakan: “Bagi si fulan bagiannya segini dan segitu”, padahal harta tersebut sudah milik orang lain.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Begitu pun dengan harta benda, harta tidak tercela karena dzatnya. Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an justru membahasakannya sebagai “khair”, yang artinya kebaikan. Seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan Khairan (harta) yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2] : 180)

Sedekah adalah salah satu manfaat dan kebaikan harta. Banyak jenis ibadah yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan harta. Keterbatasan dalam harta bisa menjadi keterbatasan dalam beribadah. Pada kisah para sahabat yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tadi, dalam riwayat lain dikisahkan, setelah para sahabat mendapat penjelasan dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tentang sedekah dengan selain harta, mereka kemudian pulang. Namun tidak lama kemudian, mereka datang lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengatakan bahwa orang-orang berharta juga mendengar apa yang kami lakukan dan mereka pun mengamalkannya. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam hanya bisa menjawab dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ

“Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Maidah [5] : 54)

Walau demikian, manusia harus tetap berhati-hati. Allah subhanahu wa ta’ala sering mengingatkan, bahwa harta adalah fitnah. Daya tarik harta terlalu sering menjerumuskan manusia pada kemaksiatan, sikap takabbur dan prilaku melebihi batas. Sebagaimana dengan sebab harta manusia bisa beribadah, dengan sebab harta pula manusia bisa dengan mudah berbuat kemungkaran. Inilah diantara hikmah mengapa Allah subhanahu wa ta’ala membatasi rizki-Nya kepada sebagian manusia. Agar manusia tidak melakukan perbuatan melampaui batas. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura [42] : 27)

Dengan harta biasanya manusia menjadi orang yang suka bermewah-mewahan. Dan Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa orang-orang yang hidup mewahlah yang selalu menjadi penentang para utusan Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ


“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (QS. Saba’ [34] : 34)

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top