“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam seraya bertanya: “Wahai Rasulullah! Sedekah
seperti apakah yang paling besar pahalanya? Beliau lalu menjawab: “Kamu
bersedekah dalam kondisi sehat dan kikir, takut miskin dan mengangankan
kekayaan. Jangalah kamu menyepelekan, hingga ketika nyawa sudah berada di
kerongkongan, kamu baru mengatakan: “Bagi si fulan bagiannya segini dan
segitu”, padahal harta tersebut sudah milik orang lain.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Manusia diciptakan dengan kecenderungan
mencintai harta benda. Semua manusia memiliki kecenderungan ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
“Dan
kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. al-Fajr [89] : 20)
وَإِنَّهُ
لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
“Dan
sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada harta” (Al-‘Adhiyat [100] : 8)
Allah subhanahu
wa ta’ala yang telah mewahyukan kecintaan ini kepada seluruh manusia untuk
hikmah tertentu, yaitu agar Allah subhanahu
wa ta’ala menguji manusia. Dengan demikian, tidak ada manusia yang tidak
mencintai hartanya. Orang-orang beriman yang rajin bersedekah pun, bukan
orang-orang yang tidak mencintai hartanya. Orang-orang yang rajin bersedekah
adalah orang yang mampu menekan kecintaan itu sehingga tidak melebihi batasnya.
Seseorang yang beriman kemudian
menyedekahkan hartanya hakikatnya menyadari bahwa harta yang akan ia sedekahkan
tersebut adalah harta yang sebetulnya sangat ia cintai. Akan tetapi, karena
seruan Allah lebih ingin ia dengarkan dari pada seruan perasaan yang ada dalam
hatinya, ia rela berbuat kemuliaan tersebut.
Perhatikan firman Allah subhanahu wa ta’ala
berikut ini:
لَيْسَ الْبِرَّ
أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ
مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ
وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ
وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ
الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ
الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah
timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2] : 177)
وَيُطْعِمُونَ
الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan
mereka memberikan makanan yang dicintainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang yang ditawan.” (QS. al-Insan [76] : 8)
Jadi, para pensedekah itu tetap mencintai
hartanya. Namun, kerelaan hatinya lebih besar, imannya lebih kuat, cita-citanya
lebih tinggi, kegembiraannya saat orang lain ikut berbahagia lebih menyenangkan
baginya dan kedigdayaan agamanya lebih diharapkan olehnya. Ia tidak segan
berkorban. Bukan hanya dengan hartanya, jiwanya pun selalu siap ia korbankan
untuk meraih kemuliaan itu. Allah subhanahu
wa ta’ala juga berfirman:
فَاتَّقُوا
اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَاسۡمَعُوۡا وَاَطِيۡعُوۡا وَاَنۡفِقُوۡا خَيۡرًا
لِّاَنۡفُسِكُمۡؕ وَمَنۡ يُّوۡقَ
شُحَّ نَفۡسِهٖ فَاُولٰٓـئِكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ اِنۡ
تُقۡرِضُوا اللّٰهَ قَرۡضًا حَسَنًا يُّضٰعِفۡهُ لَـكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَـكُمۡؕ وَاللّٰهُ شَكُوۡرٌ حَلِيۡمٌۙ
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah
dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Jika
kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat
gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa
lagi Maha Penyantun.” (QS. at-Taghabun [64] : 16-17)
Sedekah yang
dilakukan dalam kondisi hati sangat terpaut dengan harta, dengan faktor-faktor
yang membuat seseorang menjadi kikir, ternyata memiliki nilai tersendiri.
Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berikut ini:
أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ
أَعْظَمُ فَقَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ
وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ
لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا أَلَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ
“Seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam seraya bertanya: “Wahai
Rasulullah! Sedekah seperti apakah yang paling besar pahalanya? Beliau lalu
menjawab: “Kamu bersedekah dalam kondisi sehat dan kikir, takut miskin dan
mengangankan kekayaan. Jangalah kamu menyepelekan, hingga ketika nyawa sudah
berada di kerongkongan, kamu baru mengatakan: “Bagi si fulan bagiannya segini
dan segitu”, padahal harta tersebut sudah milik orang lain.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Begitu pun dengan harta benda, harta
tidak tercela karena dzatnya. Allah subhanahu
wa ta’ala dalam al-Qur’an justru membahasakannya sebagai “khair”, yang artinya kebaikan. Seperti
dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ
تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan Khairan (harta)
yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2] : 180)
Sedekah adalah salah satu manfaat dan
kebaikan harta. Banyak jenis ibadah yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan
harta. Keterbatasan dalam harta bisa menjadi keterbatasan dalam beribadah. Pada
kisah para sahabat yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tadi, dalam riwayat lain dikisahkan,
setelah para sahabat mendapat penjelasan dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tentang sedekah dengan selain harta,
mereka kemudian pulang. Namun tidak lama kemudian, mereka datang lagi kepada Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam dan
mengatakan bahwa orang-orang berharta juga mendengar apa yang kami lakukan dan
mereka pun mengamalkannya. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam hanya bisa menjawab dengan firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
“Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Maidah
[5] : 54)
Walau demikian, manusia harus tetap
berhati-hati. Allah subhanahu wa ta’ala
sering mengingatkan, bahwa harta adalah fitnah. Daya tarik harta terlalu sering
menjerumuskan manusia pada kemaksiatan, sikap takabbur dan prilaku melebihi
batas. Sebagaimana dengan sebab harta manusia bisa beribadah, dengan sebab
harta pula manusia bisa dengan mudah berbuat kemungkaran. Inilah diantara
hikmah mengapa Allah subhanahu wa ta’ala
membatasi rizki-Nya kepada sebagian manusia. Agar manusia tidak melakukan
perbuatan melampaui batas. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَلَوْ بَسَطَ
اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ
بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada
hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah
menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura [42] : 27)
Dengan harta biasanya manusia menjadi
orang yang suka bermewah-mewahan. Dan Allah subhanahu
wa ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa orang-orang yang hidup mewahlah
yang selalu menjadi penentang para utusan Allah subhanahu wa ta’ala:
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ
مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri
seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri
itu berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk
menyampaikannya.” (QS. Saba’ [34] : 34)