Pengorbanan Sang Pahlawan

"Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar." (Sayyid Qutb)


Seseorang disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya, karena kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Jika engkau mencoba menghitung kesalahan dan kelebihannya, niscaya engkau menemui kesalahan dan kelemahannya itu "tertelan" tertelan oleh kebaikan dan kekuatnnya.

Akan tetapi, kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan merupakan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia. Itulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Hanya apabila kebaikan dan kekuatan menjelma jadi matahari yang menerangi kehidupan, atau purnama yang merubah malam jadi indah, atau mata air yang menghilangkan dahaga.

Nilai sosial setiap kita terletak pada apa yang kita berikan kepada masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan performance kepribadian kita. Maka, Rasulullah saw berkata, "Sebak-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain."

Demikianlah, kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka, takdir seorang pahlawan adalah bahwa ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam lingkup dirinya sendiri. Ia telah melampaui batas-batas kebutuhan psikologis dan biologisnya. Batas-batas kebutuhan itu bahkan telah hilang dan lebur dalam batas kebutuhan kolektif masyarakatnya dimana segenap pikiran dan jiwanya tercurahkan.

Dalam makna inilah pengorbanan menemukan dirinya sebagai kata kunci kepahlawanan seseorang. Di sini ia betemu dengan pertanggungjawaban, keberanian, dan kesabaran. Tiga hal terakhir ini adalah wadah-wadah kepribadian yang hanya akan menemukan makna dan fungsi kepahlawanannya apabila ada pengorbanan yang mengisi dan menggerakkannya. Pengorbananlah yang memberi arti dan fungsi kepahlawanan bagi sifat-sifat pertanggungjawaban, keberanian dan kesabaran.

Maka, keempat makna dan sifat ini: rasa tanggungjawab keagamaan, semangat pengorbanan, keberanian jiwa, dan kesabaran, adalah rangkaian dasar yang seluruhnya terkandung dalam ayat-ayat jihad. Dorongannya adalah tanggung jawab keagamaan (semacam semangat penyebaran dan pembelaan). Hakikat dan tabiatnya adalah pengorbanan. Perisainya keberanian jiwa. Namun, nafas panjangnya adalah kesabaran.

Maka, benarlah apa yang dikatakan Sayyid Qutb, "Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar."

Kaidah itu tidak saja berlaku bagi kehidupan individu, tetapi juga merupakan kaidah universal yang berlaku bagi komunitas manusia. Syaikh Arselan, pemikir Muslim asal Syiria, yang menulis buku Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Orang Barat Maju menjelaskan jawabannya dalam kalimat yang sederhana, "karena," kata Syaikh Arselan. "orang-orang barat lebih banyak berkorban daripada kaum Muslimin. Mereka memberi lebih banyak demi agama mereka ketimbang apa yang diberikan kaum Muslimin bagi agamanya".

Sekarang, mengertilah kita. Dan ketika ada pertanyaan, "Apakah yang dibutuhkan untuk menegakkan agama ini dalam realitas kehidupan?" Maka jawabnya adalah hadirnya para pahlawan sejati yang tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri, tetapi hidup bagi orang lain dan agamanya, serta mau mengorbankan semua yang ia miliki bagi agamanya.

Gula Pasir

Sadar atau tidak, kadang ada keinginan untuk diakui, dihargai, bahkan disebut-sebut namanya sebagai yang paling berjasa.


Tak ada yang lebih gusar melebihi makhluk Allah yang bernama gula pasir. Pemanis alami dari olahan tumbuhan tebu ini membandingkan dirinya dengan makhluk sejenisnya yang bernama sirop.

Masalahnya sederhana. Gula pasir merasa kalau selama ini dirinya tidak dihargai manusia. Dimanfaatkan, tapi dilupakan begitu saja. Walau ia sudah mengorbankan diri untuk memaniskan teh panas, tapi manusia tidak menyebut-nyebut dirinya dalam campuran teh dan gula itu. Manusia cuma menyebut, "Ini teh manis." Bukan teh gula. Apalagi teh gula pasir.

Begitu pun ketika gula pasir dicampur dengan kopi panas. Tak ada yang mengatakan campuran itu dengan ‘kopi gula pasir’. Melainkan, kopi manis. Hal yang sama ia alami ketika dirinya dicampur berbagai adonan kue dan roti.

Gula pasir merasa kalau dirinya cuma dibutuhkan, tapi kemudian dilupakan. Ia cuma disebut manakala manusia butuh. Setelah itu, tak ada penghargaan sedikit pun. Tak ada yang menghargai pengorbanannya, kesetiaannya, dan perannya yang begitu besar sehingga sesuatu menjadi manis. Berbeda sekali dengan sirop.

Dari segi eksistensi, sirop tidak hilang ketika bercampur. Warnanya masih terlihat. Manusia pun mengatakan, "Ini es sirop." Bukan es manis. Bahkan tidak jarang sebutan diikuti dengan jatidiri yang lebih lengkap, "Es sirop mangga, es sirop lemon, kokopandan, " dan seterusnya.

Gula pasir pun akhirnya bilang ke sirop, "Andai aku seperti kamu."

Sosok gula pasir dan sirop merupakan pelajaran tersendiri buat mereka yang giat berbuat banyak untuk umat. Sadar atau tidak, kadang ada keinginan untuk diakui, dihargai, bahkan disebut-sebut namanya sebagai yang paling berjasa. Persis seperti yang disuarakan gula pasir.


Kalau saja gula pasir paham bahwa sebuah kebaikan kian bermutu ketika tetap tersembunyi. Kalau saja gula pasir sadar bahwa setinggi apa pun sirop dihargai, toh asalnya juga dari gula pasir. Kalau saja para pegiat kebaikan memahami kekeliruan gula pasir, tidak akan ada ungkapan, "Andai aku seperti sirop!" 

Wasiat Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah

“Allah subhanahu wa ta’ala menyifatkan orang-orang yang berbahagia dengan sifat Ihsan (beramal shaleh) yang disertai dengan Al-Khauf (ketakutan akan tertolaknya amal shaleh tersebut), sementara orang-orang yang celaka disifatkan oleh Allah dengan sifat Isaah (berbuat dosa) yang disertai dengan Al-Amn (rasa aman dari ‘adzab).” (Al-Jawabul Kafi, hal. 40)


Diriwayatkan dari Imam Al-Muzani rahimahullah murid terdekat Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, dia berkata: “Aku membesuk Asy-Syafi’i ketika beliau ditimpa sakit yang mengantarkannya pada ajal. Aku pun berkata padanya: “Bagaimana keadaanmu wahai guru?”

Beliau menjawab: “Keadaanku layaknya seseorang yang akan pergi meninggalkan dunia, yang segera akan berpisah dengan saudara, yang sejenak lagi akan meneguk gelas kematian, yang akan bertemu dengan buruknya amalku, yang akan menghadap Allah. Aku tak tahu, apakah ruhku akan terbang melayang menuju surga, hingga aku pantas mengucapkan selamat padanya, ataukah akan terlempar ke neraka, hingga aku berbelasungkawa atasnya (dengan harapan akan ampunan-Nya)’. Kemudian beliau menengadahkan wajah ke langit, seraya bersenandung:

إلَيْكَ إلَهِ الْخَلْقِ أَرْفَعُ رَغْبَتِيْ 
وَإنْ كُنْتُ يَاذَا الْمَنِّ وَالْجُوْدِ مُجْرِما
وَلَمَّا قَسَى قَلْبِيْ وَضَاقَتْ مَذَاهِبِيْ 
جَعَلْتُ الرَّجَا مِنِّيْ لِعَفْوِكَ سُلَّمَا
تَعَـاظَمَنِيْ ذَنْبِيْ فَلَمَّـا قَرِنْتُهُ
 بِعَفْوِكَ رَبِّيْ كَانَ عَفْوُكَ أَعْظَمَا
فَمَازَلْتَ ذَا عَفْوٍ عَنِ الذَّنْبِ لَمْ تَزَلْ 
تَجُـوْدُ وَتَعْـفُ مِنَّةً وَتَكَـرُّمَا
فَلَوْلاَكَ (لَمْ يَنْجُ مِنْ) إِبْلِيْسَ عَابِـدٌ
فَكَيْفَ وَقَدْ أَغْوَى صَفِيَّكَ آدَمَا
فَإنْ تَعْفُ عَنِّيْ تَعْفُ عَنْ مُتَمَرِّدٍ 
ظَلُوْمٍ غَشُوْمٍ مَايَزَايِلُ مَأْثَـمَـا
وَإنْ تَنْتَقِمْ مِنِّيْ فَلَسْتُ بِآيِسٍ 
وَلَوْ أَدْخَلْتَ نَفْسِيْ بِجُرْمِيْ جَهَنَّمَا
فَجُرْمِيْ عَظِيْمٌ مِنْ قَدِيْمٍ وَحَادِثٍ
 وَعَفْوُكَ يَاذَا الْعَفْوِ أَعْلَى وَأَجْسَمَا

“Hanya pada-Mu, wahai Tuhan segenap makhluk, aku tengadahkan hasratku.”
“Sekalipun aku, wahai Dzat Pemilik Anugrah, adalah seorang pendosa.”
“Tatkala hatiku telah mengeras, dan jalan-jalanku telah menyempit.”
“Kujadikan harapanku terhadap ampunan-Mu sebagai tangga.”

“Betapa besar dosaku, namun ketika kusandingkan dengan.”
“Ampunan-Mu wahai Rabb-ku, sungguh ampunan-Mu jauh lebih besar..”
“Senantiasa Engkau Pemilik Ampunan atas dosa, terus menerus Engkau.”
“Menderma dan memaafkan (hamba-Mu) sebagai anugerah dan karunia.”

“Jika bukan karena-Mu, niscaya tak ada seorang hamba pun yang kan selamat dari Iblis.”
“Betapa tidak, sungguh dia (Iblis) telah menggelincirkan Adam, kekasih-Mu.”
“Jika Engkau memaafkanku, sungguh Engkau telah memaafkan seorang durjana.”
“yang teramat lalim dan aniaya, lagi senantiasa bergelimang dosa.”

“Jikalau Engkau hendak menyiksaku, maka sungguh aku tak’kan pernah putus dari asa.”
“Kendatipun Engkau akan melemparku ke dalam Jahannam karena kejahatanku.”
“Sungguh kejahatanku teramat besar sejak dulu hingga kini.”
“Namun maaf-Mu wahai Pemilik Ampunan, lebih tinggi lagi agung.”

Lihatlah gambaran rasa takut Imam Asy-Syafi’i rahimahullah tatkala menghadapi maut. Dengan bekal samudera ilmu dan ibadah yang beliau miliki, masih saja beliau merasa kurang dalam menunaikan hak-hak Allah sebagai Rabb-nya, senantiasa beliau merasa diselimuti oleh dosa. Namun lihatlah bagaimana baik sangka beliau kepada Al-Khaliq, dengan menjadikan ampunan-Nya sebagai satu-satunya harapan dan sandaran.

Bait-bait syair di atas dinukil dari Kitab Manaqib Al-Baihaqi, Jilid 2 hal. 293-294, Adab Asy-Syafi’I, hal.  77 dan Diwan Asy-Syafi’I, hal.  78. Kecuali bait syair yang berada dalam tanda kurung, dinukil dari kitab Al-Mughni ‘an Majalis As-Su’, Jilid 1 hal. 40.

Renungkan dan bandingkanlah dengan keadaan kita saat ini yang jauh dari ilmu dan amal namun amat percaya diri dan merasa aman dari siksaan. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:

وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَصَفَ أَهْلَ السَّعَادَةِ بِالْإِحْسَانِ مَعَ الْخَوْفِ، وَوَصَفَ الْأَشْقِيَاءَ بِالْإِسَاءَةِ مَعَ الْأَمْنِ


“Allah subhanahu wa ta’ala menyifatkan orang-orang yang berbahagia dengan sifat Ihsan (beramal shaleh) yang disertai dengan Al-Khauf (ketakutan akan tertolaknya amal shaleh tersebut), sementara orang-orang yang celaka disifatkan oleh Allah dengan sifat Isaah (berbuat dosa) yang disertai dengan Al-Amn (rasa aman dari ‘adzab).” (Al-Jawabul Kafi, hal. 40)

Tinggi

Cobalah empati, dan turunlah sejenak untuk bisa memahami apa yang mesti dilakukan agar ketinggian bisa tetap menyejukkan dan sebagai tempat berlindung yang nyaman untuk mereka yang memang selalu berada di bawah.


Dua kera emas sedang asyik duduk di atas bukit. Inilah tempat favorit mereka ketika ingin bersantai menikmati hidup. Ya, sebuah ketinggian. Dari sinilah, mereka bisa memandang hampir seluruh isi hutan. Siapa di bawah mereka, dan apa yang mereka kerjakan.

Hari itu, dua kera emas kakak beradik ini sedang menikmati gurihnya biji buah kenari yang baru mereka ambil dari bawah pohon. Satu per satu, buah kenari itu mereka kumpulkan pada cekungan dahan di puncak pohon. Dan kini, momen yang tepat untuk menikmati apa yang mereka kumpulkan.

Sang adik dengan begitu rakusnya melahap biji-biji kenari setelah mengupasnya dengan giginya yang tajam. Kulit-kulit bekas kupasan itu pun ia lempar begitu saja. Seolah, di bawah sana ada tempat sampah yang siap menampung kupasan kulit kenari yang tergolong keras ini.

“Adikku, sadarkah kalau kita sedang berada di ketinggian?” ucap sang kakak tiba-tiba. Sang adik pun menatap aneh wajah kakaknya. “Maksud kakak?” ujarnya kemudian.

“Perhatikanlah apa yang ada di bawah kita! Lihatlah, ada keluarga kelinci yang sedang menikmati rerumputan di sekitar pohon. Ada pula rusa yang sedang berteduh. Mungkin, di bawah sana, masih banyak hewan-hewan lain yang berada tepat di bawah kita,” ungkap sang kakak kepada adiknya.

Adik kera emas ini pun masih terlihat bingung. Ia belum menangkap maksud yang diinginkan sang kakak. “Apa kita harus melempar sebagian untuk mereka makan?” ucapnya kemudian.

“Bukan, adikku. Bukan itu maksudku. Bayangkan betapa tingginya pohon ini, dan bayangkan betapa kerasnya kulit kenari yang kau buang seenaknya ke bawah. Betapa sakitnya kalau sampah-sampah itu menimpa mereka yang di bawah kita!” jelas sang kakak kemudian.

Saat itu juga, adik kera emas ini pun mengangguk. Ia mengikuti tingkah kakaknya untuk mengumpulkan sampah-sampah itu, untuk kemudian dilempar dari jarak yang tidak terlalu tinggi.

Tak banyak dari mereka yang berada di ketinggian karena status jabatan, posisi kepemimpinan, dan sejenisnya yang menyadari kalau ketinggian mereka bisa berdampak besar bagi orang-orang yang berada di bawahnya.

Kalau saja mereka yang berada di ketinggian mau sejenak menoleh ke bawah, atau merasakan apa yang sedang terjadi di bawah sana; tentu mereka tidak akan sembarang bertingkah, dan tidak sembarang membuang ‘sampah-sampah’ yang bisa mencelakakan orang-orang di bawahnya.

Cobalah empati, dan turunlah sejenak untuk bisa memahami apa yang mesti dilakukan agar ketinggian bisa tetap menyejukkan dan sebagai tempat berlindung yang nyaman untuk mereka yang memang selalu berada di bawah. 

Pohon

Keadaan tanah kehidupan yang kita pijak saat ini, kadang tidak berada pada hamparan luas nan datar. Selalu saja ada keadaan tidak seperti yang kita inginkan. Ada tebing nan curam, ada tanjakan yang melelahkan, ada turunan landai yang melenakan, dan ada lubang-lubang yang muncul di luar dugaan.


Dalam sebuah perjalanan seorang ayah dengan puteranya, sebatang pohon kayu nan tinggi ternyata menjadi hal yang menarik untuk mereka simak. Keduanya pun berhenti di bawah rindangnya pohon tersebut.

“Anakku,” ucap sang ayah tiba-tiba. Anak usia belasan tahun ini pun menatap lekat ayahnya. Dengan sapaan seperti itu, sang anak paham kalau ayahnya akan mengucapkan sesuatu yang serius.

“Adakah pelajaran yang bisa kau sampaikan dari sebuah pohon?” lanjut sang ayah sambil tangan kanannya meraih batang pohon di dekatnya.

“Menurutku, pohon bisa jadi tempat berteduh yang nyaman, penyimpan air yang bersih dari kotoran, dan penyeimbang kesejukan udara,” jawab sang anak sambil matanya menanti sebuah kepastian.

“Bagus,” jawab spontan sang ayah. “Tapi, ada hal lain yang menarik untuk kita simak dari sebuah pohon,” tambah sang ayah sambil tiba-tiba wajahnya mendongak ke ujung dahan yang paling atas.

“Perhatikan ujung pepohonan yang kamu lihat. Semuanya tegak lurus ke arah yang sama. Walaupun ia berada di tanah yang miring, pohon akan memaksa dirinya untuk tetap lurus menatap cahaya,” jelas sang ayah.

“Anakku,” ucap sang ayah sambil tiba-tiba tangan kanannya meraih punggung puteranya. “Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran,” ungkap sang ayah begitu berkesan.

Keadaan tanah kehidupan yang kita pijak saat ini, kadang tidak berada pada hamparan luas nan datar. Selalu saja ada keadaan tidak seperti yang kita inginkan. Ada tebing nan curam, ada tanjakan yang melelahkan, ada turunan landai yang melenakan, dan ada lubang-lubang yang muncul di luar dugaan.

Pepohonan, seperti yang diucapkan sang ayah kepada puteranya, selalu memposisikan diri pada kekokohan untuk selalu tegak lurus mengikuti sumber cahaya kebenaran. Walaupun berada di tebing ancaman, tanjakan hambatan, turunan godaan, dan lubang jebakan.

“Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran.”
Abdullah Bin Salam Radhiallahu 'Anhu Dan Al-Urwatul Wutsqa

Abdullah Bin Salam Radhiallahu 'Anhu Dan Al-Urwatul Wutsqa

“Yang dimaksud dengan taman adalah al-Islam, sedang tiang-tiangnya adalah sendi-sendi Islam. Tali yang dimaksud adalah al-Urwatul Wutsqa (laa ilaha illallah). Sungguh kamu tetap dalam keadaan Islam sehingga kematian menjemputmu.” (HR. Al-Bukhari)


Qais bin Ibad radhiallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku duduk di dalam masjid Madinah, tiba-tiba masuk seorang lelaki dari raut wajahnya terpancar keteduhan. Para sahabat yang berada di masjid berkata, ‘Orang itu termasuk penghuni Surga.’ Kemudian dia mengerjakan shalat dua rakaat lalu keluar masjid.

Aku mengikuti langkahnya dan bertanya, ‘Ketika engkau masuk masjid tadi, orang-orang berkata, Inilah orang yang termasuk penghuni Surga!’ Dia berkata, ‘Subhanallah,’ Tidak pantas seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahui, akan aku beritahukan kepadamu bagaimana sebenarnya.

Ketika itu, pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, aku pernah bermimpi, kemudian mimpi itu aku ceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Seolah-olah aku berada di tengah-tengah taman, aku sebutkan seberapa luasnya dan bagaimana suburnya, di tengah taman itu terdapat beberapa tiang terbuat dari besi pangkalnya menancap kuat di dalam bumi dan ujungnya tinggi di langit. Di ujung besi tersebut terdapat tali, tali itu berkata kepadaku, ‘Naiklah kamu!’ Aku jawab, ‘Aku tidak bisa memanjat.’ Kemudian aku singsingkan bajuku dari arah belakang, lalu aku memanjat sehingga aku mencapai bagian paling atas, aku bisa mengambil tali itu. Tali itu berkata lagi kepadaku, ‘Pegangi kuat-kuat.’

Tiba-tiba aku terbangun. Maka mimpiku itu aku ceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selanjutnya beliau bersabda, ‘Yang dimaksud dengan taman adalah al-Islam, sedang tiang-tiangnya adalah sendi-sendi Islam. Tali yang dimaksud adalah al-Urwatul Wutsqa (laa ilaha illallah). Sungguh kamu tetap dalam keadaan Islam sehingga kematian menjemputmu’.”


Sumber : Shofwatush Shofwah, 1/720. Hadits dalam Kitab al-Bukhari, no. 63, 19 dan 38. Alsofwah.or.id

Pahala Ekstra di 10 Malam Terakhir Ramadhan

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir, suatu hal yang beliau tidak bersungguh-sungguh (seperti itu) di luar (malam) tersebut.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)


Seperti yang dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits bahwa 10 malam terakhir di bulan Ramadhan terdapat begitu banyak keutamaan, kebaikan, serta pahala yang Allah subhanahu wa ta’ala sediakan bagi hamba-hamba-Nya. Karena di 10 malam terakhir di bulan Ramadhan, Allah subhanahu wa ta’ala telah mempersiapkan satu malam yang sungguh istimewa, dimana malam tersebut lebih baik dari 1.000 bulan lainnya serta malam saat malaikat turun membawa rahmat dari-Nya.

            Untuk itu, tidak ada salahnya kita berlomba-lomba untuk meraih segala kebaikan, kemuliaan dan keberkahan pahala di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Berikut beberapa amalan ibadah yang bisa kita lakukan di 10 malam terakhir ini.

1.      Bersungguh-sungguh dalam beribadah pada 10 malam terakhir Ramadhan

Pada 10 hari terakhir disunnahkan untuk memperbanyak ibadah secara umum, baik itu shalat, dzikir, berdo’a, maupun membaca al-Qur’an. Serta disunnahkan untuk mengajak keluarga kita untuk beribadah menghidupkan malam-malam istimewa. Dalam menjalankan ibadah, hendaknya kita lebih giat dan bersungguh-sungguh. Seperti yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir, suatu hal yang beliau tidak bersungguh-sungguh (seperti itu) di luar (malam) tersebut.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

2.     Perbanyak berdoa

Disunnahkan juga bagi kita untuk banyak berdo’a, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang mesti aku ucapkan saat itu?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Katakanlah:

للَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

3.     I’tikaf di masjid

Sebenarnya I’tikaf  bisa dilakukan di setiap waktu, namun  di bulan Ramadan ini sebaiknya lebih ditekankan lagi, apalagi menjelang sepuluh hari bulan Ramadhan.  I’tikaf artinya berdiam diri di masjid selama beberapa waktu dengan niat beribadah kepada Allah. Hal yang demikian juga telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana hadits dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri beliau beri’tikaf setelah itu.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

4.     Memperbanyak shalat malam

Diantara amalan paling utama yang bisa kita lakukan adalah dengan mengerjakan shalat wajib 5 waktu, kemudian juga dengan melaksanakan shalat tarawih berjama’ah dan terus shalat bersama imam hingga selesai shalat. Lebih utama lagi jika kita menambahnya pada malam hari, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berdiri (untuk mengerjakan shalat) pada lailatul qadr karena keimanan dan hal mengharap pahala, akan diampuni untuknya segala dosanya yang telah berlalu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Perihal amalan ini juga diterangkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bila sepuluh malam terakhir telah masuk, mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

5.     Memperbanyak membaca al-Qur’an

al-Qur’an al-Karim memiliki kekhususan kuat berkaitan dengan bulan Ramadhan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (QS. al-Baqarah [2] : 185)

Dimaklumi pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi perhatian lebih terhadap al-Qur’an pada bulan Ramadhan sehingga Jibril ‘alaihis salam turun pada bulan Ramadhan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membaca al-Qur’an sebagaimana dalam hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَلْقَاهُ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ فِيْ رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ فَيَعْرِضُ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang terbaik dengan kebaikan, dan beliau lebih terbaik pada bulan Ramadhan. Sesungguhnya Jibril menjumpai beliau setiap tahun pada (bulan) Ramadhan hingga bulan berlalu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhadapkan al-Qur’an kepada (Jibril). Apabila Jibril menjumpai (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang lebih baik dengan kedermawanannya daripada angin yang berembus tenang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dimaklumi oleh setiap muslim, keutamaan al-Qur’an dalam segala hal, baik dalam membacanya, mentadabburinya, mempelajarinya, maupun hal-hal selainnya.

6.     Memperbanyak bersedekah

Sudah ma’ruf bagi kita, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang sangat dermawan, begitupula ketika Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat dermawan dan kedermawanan beliau lebih baik daripada angin yang berembus tenang. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma  menjelaskan mengenai kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَلْقَاهُ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ فِيْ رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ فَيَعْرِضُ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang terbaik dengan kebaikan, dan beliau lebih terbaik pada bulan Ramadhan. Sesungguhnya Jibril menjumpai beliau setiap tahun pada (bulan) Ramadhan hingga bulan berlalu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhadapkan al-Qur’an kepada (Jibril). Apabila Jibril menjumpai (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang lebih baik dengan kedermawanannya daripada angin yang berembus tenang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Marilah berlomba-lomba pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan ini… karena bisa jadi, ini adalah Ramadhan terakhir kita… raihlah keutamaannya…. Jangan lupa juga untuk saling mengingatkan keluarga dan kerabat untuk bersungguh-sungguh meraih malam lailatul qadar….

Tidurnya Orang Yang Berpuasa Adalah Ibadah?

“Sesungguhnya berbohong kepadaku tidak seperti berbohong kepada orang lain. Barangsiapa yang berbohong kepadaku dengan sengaja, maka disediakan baginya tempat di neraka”. (HR. Al-Bukhari no. 1391, dan Muslim no. 4)


Bismillah... semoga menjadi ilmu bagi yg belum faham.....

Ada sebuah hadits yang sangat populer di masyarakat dan sering terdengar ketika bulan Ramadhan. Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah dalam kitab Syu’abul Iman, dari Abdullah bin Abu Aufa radhiyallahu ’anhu sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصَمْتُهُ تَسْبِيحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya terkabulkan dan amalannya dilipat gandakan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 3/1437)

Sanadnya dilemahkan oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah, dia berkata:  Ma'ruf bin Hasan (salah seorang perawi hadits ini) lemah, dan Sulaiman bin Amr An-Nakha’i lebih lemah dari beliau. Al-Iraqi rahimahullah berkomentar dalam Takhrij Ihya’ Ulumuddin, Jilid 1 hal. 310: Sulaiman An-Nakha’i adalah salah seorang pendusta. Dilemahkan juga oleh Al-Manawi rahimahullah di kitab Faidhul Qadir, 9293. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mencantumkannya dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ad-Dhaifah, no. 4696, dia berkata: (Hadits ini) lemah.

Seharusnya umat Islam secara umum (lebih ditekankan lagi para khatib dan penceramah) agar meneliti sebelum menyandarkan hadits kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Tidak dibolehkan menyandarkan kepada beliau apa yang tidak beliau katakan. Karena beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Sesungguhnya berbohong kepadaku tidak seperti berbohong kepada orang lain. Barangsiapa yang berbohong kepadaku dengan sengaja, maka disediakan baginya tempat di neraka”. (HR. Al-Bukhari, no. 1391, dan Muslim, no. 4)

Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top