Sharing Seputar Islam

Sharing Seputar Islam

Najis Mutawasithah

“Najis mutawasithah yaitu najis selain keduanya (najis anjing, babi dan air kencing bayi laki-laki yang belum memakan apapun selain ASI dan belum mencapai 2 tahun).” (Matan Safinah an-Najah, hal. 28)


Najis mutawasithah adalah najis selain najis anjing, babi dan air kencing bayi laki-laki yang belum memakan apapun selain ASI dan belum mencapai 2 tahun. asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami rahimahullah berkata:

والمتوسطة سائر النجاسات

“Najis mutawasithah yaitu najis selain keduanya (najis anjing, babi dan air kencing bayi laki-laki yang belum memakan apapun selain ASI dan belum mencapai 2 tahun).”[1]

Najis mutawasithah ini banyak macamnya, asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah dalam Kasyifah as-Saja’ menjelaskan setidaknya ada 16 macam benda yang masuk dalam kategori najis mutawasithah, diantaranya:

  • Air Kencing

Seluruh air kencing baik dari manusia maupun hewan adalah najis, termasuk batu yang berasal dari air kencing yang mengkristal maka dihukumi najis. asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

بول ولو من طفل ومنه الحصاة التي تخرج عقبه إن تيقن انعقادها منه فهي نجسة وإلا فهي متنجسة

“Air kencing itu najis, walaupun berasal dari anak-anak. Termasuk air kencing adalah batu yang keluar dari saluran kencing jika diyakini batu tersebut terbentuk dari air kencing yang mengkristal. Jika batu itu bukan terbentuk dari air kencing maka statusnya bukan najis tapi mutanajis (barang suci yang terkena najis).”[2]

al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

أن مذهبنا أن جميع الأرواث والدرق والبول نجسة من كل الحيوان سواء المأكول وغيره والطير وكذا روث السمك والجراد وما ليس له نفس سائلة كالذباب فروثها وبولها نجسان على المذهب

“Sesungguhnya madzhab kami, seluruh kotoran dan air kencing itu najis dari seluruh jenis hewan, baik yang dimakan atau selainnya (yang tidak dimakan). Demikian juga kotoran ikan, belalang, dan hewan yang tidak memiliki darah mengalir seperti lalat, maka kotoran dan air kencingnya najis menurut madzhab (Syafi’i).”[3]

Dalil yang dijadikan landasan dalam najisnya air kencing adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَلاَ تُزْرِمُوهُ قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ

“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni sahabat) berdiri. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Biarkan dan jangan hentikan (kencingnya).” Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”[4]

Hanya saja untuk air kencing bayi laki-laki yang belum memakan apapun selain ASI dan belum berusia dua tahun, air kencingnya masuk kategori najis mukhaffafah yang cukup dengan dipercikan air untuk menyucikannya. Selain itu beberapa ulama menyatakan bahwa air hewan yang halal dimakan tidaklah najis dan itu adalah pendapat madzhab Maliki dan Hanbali, hal ini berdasarkan riwayat mengenai meminum air kencing unta yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita:

قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْمٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا

“Ada beberapa orang dari suku ‘Ukl dan ‘Uranah yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka mengalami sakit karena tidak betah di Madinah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mendatangi kandang unta, dan menyuruh mereka untuk minum air kencingnya dan susunya.”[5]

Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi menyatakan bahwa air kencing hewan yang halal dimakan seperti unta adalah najis. Mengenai masalah meminum air kencing unta, asy-Syaikh Wahbah az-Zuhaili rahimahullah berkata:

وأما حديث العرنيين وأمره عليه السلام لهم بشرب أبوال الإبل، فكان للتداوي ، والتداوي بالنجس جائز عند فقد الطاهر الذي يقوم مقامه

“Terkait perintah Rasulullah kepada warga ‘Uraniyin untuk meminum air kencing unta, maka ini berlaku untuk pengobatan. Pengobatan dengan menggunakan benda najis boleh ketika obat dari benda suci tidak ditemukan dan benda najis dapat menggantikannya.”[6]

  • Madzi

Madzi adalah cairan berwarna kekuningan dan kental yang keluar dari dzakar ketika syahwat bangkit. Madzi keluar dengan tanpa memancar, tanpa menimbulkan kenikmatan dan tanpa diiringi dengan keadaan lemas. Adakalanya madzi keluar tanpa dirasakan. Keluarnya madzi dialami oleh laki-laki maupun perempuan. Madzi keluar dari saluran kencing dan hukum madzi adalah najis menurut kesepakatan ulama. Asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

المذي بالمعجمة وهو ماء أصفر ثخين يخرج غالباً عند ثوران الشهوة بلا لذة ولو بلا شهوة قوية أو بعد فتورها فلا يكون إلا من البالغين، وأكثر ما يكون في النساء عند ملاعبتهن وهيجان شهوتهن، وربما يخرج من الشخص ولا يحس به

“Air madzi adalah air yang berwarna kekuningan dan kental yang keluar pada saat bergeraknya syahwat tanpa adanya rasa nikmat, meskipun tanpa syahwat yang kuat atau keluar setelah melemahnya syahwat. Ini hanya terjadi pada orang yang sudah baligh. Pada seorang perempuan lebih sering terjadi pada saat dirangsang dan bangkit syahwatnya. Terkadang juga madzi keluar tanpa dirasakan oleh orang yang bersangkutan.”[7]

Dalil yang menyatakan bahwa madzi adalah najis adalah sebuah hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً، فَأَمَرْتُ رَجُلًا أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ، فَسَأَلَ، فَقَالَ : تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ

“Dulu aku adalah seorang laki-laki yang mudah mengeluarkan madzi. Lalu aku menyuruh seorang laki-laki untuk bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hal itu, karena kedudukan putri beliau (yang menjadi istriku, sehingga aku malu untuk bertanya secara langsung). Ia pun menanyakannya, lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berwudhulah dan cucilah dzakarmu.”[8]

Juga hadits dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

كُنْتُ أَلْقَى مِنَ الْمَذْيِ شِدَّةً، وَكُنْتُ أُكْثِرُ مِنَ الِاغْتِسَالِ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّمَا يُجْزِيكَ مِنْ ذَلِكَ الْوُضُوءُ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَكَيْفَ بِمَا يُصِيبُ ثَوْبِي مِنْهُ؟ قَالَ: يَكْفِيكَ بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحَ بِهَا مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ تَرَى أَنَّهُ أَصَابَهُ

“Aku sering mengalami keluar madzi, sehingga sering sekali mandi karenanya. Lalu aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau berkata: “Kamu cukup berwudhu saja.” Lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan pakaianku yang terkena madzi?” Beliau berkata: “Kamu cukup mengambil air segenggam, lalu kamu percikkan pada pakaianmu yang terkena madzi itu.”[9]

  • Wadi

Wadi merupakan cairan berwarna putih dan kental, biasanya keluar setelah buang air kecil atau besar. Wadi ini mirip dengan mani, hanya saja wadi tidak sekeruh mani dan tidak memiliki aroma khas seperti mani yang memiliki aroma seperti adonan kue. Wadi adalah najis menurut kesepakatan ulama. asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

ودي بمهملة وهو ماء أبيض كدر ثخين يخرج إما عقب البول أو عند حمل شيء ثقيل وهذا لا يختص البالغين

“Air wadi adalah air berwana putih, keruh dan kental yang keluar setelah buang air kecil atau ketika membawa barang yang berat. Keluarnya air wadi tidak hanya terjadi pada orang yang sudah baligh saja.”[10]

Dalil mengenai najisnya wadi adalah perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

الْمَنِىُّ وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ، أَمَّا الْمَنِىُّ فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْوَدْىُ وَالْمَذْىُ فَقَالَ : اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ

“Mengenai mani, madzi dan wadi, adapun mani maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.”[11]

  • Kotoran (Tinja)

Kotoran atau tinja baik dari manusia maupun hewan hukumnya najis. asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

روث من غائط وغيره ولو من سمك وجراد ويجوز قلي السمك حيا وكذا ابتلاعه إذا كان صغيراً ويعفى عاما في باطنه ويسن ذبح بقرة كبيرة يطول بقاؤها

“Kotoran (tinja) adalah najis, termasuk juga kotoran ikan atau belalang. Namun diperbolehkan menggoreng atau menelan ikan kecil yang masih hidup dan dimaafkan kotoran yang masih ada di dalam perutnya.”[12]

Dalil yang melandasi akan najisnya kotoran atau tinja adalah hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ يَتَبَرَّزَ فَقَالَ : إِئْتِنِي بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ لَهُ حَجْرَيْنِ وَرَوْثَةِ حِمَارٍ فَأمْسَكَ الحَجْرَيْنَ وَطَرَحَ الرَّوْثَةَ وَقَالَ : هِيَ رِجْسٌ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda: “Carikanlah tiga buah batu untukku.” Kemudian aku mendapatkan  dua batu dan kotoran keledai. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda: “Kotoran ini termasuk najis.”[13]

Juga hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا وَطِىءَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُوْرٌ

“Apabila seseorang diantara kalian menginjak najis (kotoran) dengan sandalnya, maka tanah adalah pencucinya.”[14]

  • Darah

Darah adalah cairan berwarna merah dan kental serta biasanya memiliki aroma amis. Darah berada pada tubuh manusia dan hewan, namun dalam beberapa kasus warna darah kadang berwarna putih atau bening pada hewan-hewan berukuran kecil. Jumhur ulama sepakat bahwa darah adalah najis. Dalil yang melandasi hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor.”[15]

Juga sebuah hadits dari Asma’ radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ

“Seorang perempuan datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: “Pakaian salah seorang dari kami terkena darah haidh, apa yang harus ia lakukan?” Beliau menjawab: “Keriklah darah itu terlebih dahulu, kemudian bilaslah dengan air, kemudian cucilah ia. Setelah itu engkau boleh memakainya untuk shalat.”[16]

Namun tidak semua darah dihukumi najis, ada beberapa darah yang tidak dihukumi najis antara lain:

1)      Hati dan Limpa

Hati dan limpa termasuk darah yang tidak najis sebagaimana hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.”[17]

asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

دم الا كبدا وطحالا فطاهران ما لم يدقاويصيرا دما والا فنجسان

“Darah selain hati dan limpa. Hati dan limpa meskipun termasuk kategori darah namun statusnya suci tidak najis.”[18]

2)     Darah yang tidak mengalir

Darah yang tidak mengalir maksudnya adalah darah yang tidak mengalir ketika terjadi penyembelihan seperti darah yang biasa terdapat pada tulang, urat dan daging. Selain itu darah manusia yang berada di dalam tubuh pun tidak termasuk najis. al-Imam ath-Thabari rahimahullah berkata:

حُرِّم الدم ما كان مسفوحًا وأما لحم خالطه دم فلا بأس به

“Haramnya darah adalah darah yang mengalir. Adapun daging yang bercampur dengan darah, maka tidaklah mengapa.”[19]

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor.”[20]

Dalam ayat tersebut yang diharamkan adalah darah yang mengalir (al-masfuh), maka darah yang tidak mengalir seperti dijelaskan di atas tidak dikategorikan najis.

3)     Darah syuhada

Darah syuhada yang mati syahid termasuk darah yang tidak najis, bahkan darah para syuhada dimuliakan dan menjadi saksi atas perjuangan mereka berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Dalil yang melandasi hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

زَمِّلُوهُمْ بِدِمَائِهِمْ فَإِنَّهُ لَيْسَ كَلْمٌ يُكْلَمُ فِي اللَّهِ إِلاَّ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدْمَى لَوْنُهُ لَوْنُ الدَّمِ وَرِيحُهُ رِيحُ الْمِسْكِ

“Bungkuslah jasad mereka (para syuhada’) dengan darah-darahnya juga. Sesungguhnya mereka akan datang di hari kiamat dengan berdarah-darah, warnanya warna darah namun aromanya seharum kesturi.”[21]

Akan tetapi para ulama menyatakan bahwa darah syuhada yang suci adalah darah yang masih menempel di tubuh mereka. Sedangkan jika darah tersebut tercecer dari tubuh, maka hukumnya menjadi najis karena darah tersebut menjadi darah yang mengalir (al-mafsuh).

4)     Darah yang sedikit

Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa darah yang sedikit itu dimaafkan, seperti darah dari tubuh yang keluar karena lecet, atau donor darah, atau darah yang keluar dari bisul, atau darah yang keluar dari gusi yang sangat sulit dihindari. Termasuk juga dalam kategori ini adalah darah hewan-hewan kecil seperti ikan atau serangga. Pendapat ini diambil dari suatu kaidah:

اﻠﻤﺸﻘﺔ ﺗﺠﻠﺐ ﺍﻠﺘﯿ

“Kesulitan itu mendatangkan kemudahan.”

Dalil penggunaan kaidah ini adalah sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

مَا كَانَ لإِحْدَانَا إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ تَحِيضُ فِيهِ ، فَإِذَا أَصَابَهُ شَىْءٌ مِنْ دَمٍ ، قَالَتْ بِرِيقِهَا فَقَصَعَتْهُ بِظُفْرِهَا

“Kami terbiasa mengenakan satu pakaian yang kami kenakan saat haid. Jika pakaian kami terkena darah, cukup menuangkan air, lalu darah tersebut dikerik dengan kuku.”[22]

as-Sayyid ‘Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi rahimahullah berkata:

وقد اتفق ابنا حجر وزياد و م ر وغيرهم على طهارة ما في جوف السمك الصغير من الدم والروث ، وجواز أكله معه ، وأنه لا ينجس به الدهن

“Ibnu Hajar, Ibnu Ziyad dan ar-Ramli sepakat sucinya (dalam arti dimaafkan) darah dan kotoran ikan kecil dan diperbolehkan mengonsumsi ikan tersebut beserta darah dan kotorannya serta tidak dapat menajiskan minyak.”[23]

  • Nanah

Nanah adalah cairan berwarna kuning keputihan atau kuning kehijauan yang disebabkan bakteri. Pada umunya, nanah terdiri dari sel darah putih dan bakteri mati yang disebabkan peradangan. Hukum nanah sendiri adalah najis, karena nanah merupakan turunan dari darah. Mengenai hal ini terdapat sebuah kaidah yang berbunyi:

الفرع يأخذ حكم أصله

“Hukum turunan itu sama seperti hukum asalnya.”

Maka berlandaskan kaidah ini, nanah termasuk najis karena nanah merupakan turunan dari darah dan darah hukumnya najis sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.  asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

صديد وهو ماء رقيق يخالطه دم . القيح لأنه دم مستحيل .

“Nanah yang bercampur dengan darah, dan nanah yang tidak bercampur. Nanah adalah najis karena merupakan darah yang telah berubah.”[24]

  • Air luka atau air bisul yang telah berubah

Air luka atau air bisul yang telah berubah bau, rasa atau warnanya maka air tersebut menjadi najis. Namun jika tidak berubah bau, rasa serta warnanya maka air tersebut tetap suci. asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

ماء قرح تغير طعمه أو ريحه أو لونه لأنه دم مستحيل فإن لم يتغير فطاهر كالعرق

“Air luka atau air bisul yang telah berubah rasa, warna atau baunya. Air ini najis karena merupakan darah yang telah berubah. Bila tidak ada perubahan pada air ini maka statusnya tetap suci seperti air keringat.”[25]

Dalil yang melandasi hal ini adalah sebuah hadits dari Abu Amamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمَاءَ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ ‏

“Ssungguhnya air itu tidak ada sesuatupun yang dapat menajsikannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa dan warnanya.”[26]

  • Air empedu

Air empedu adalah najis karena air empedu merupakan dzat sisa sebagaimana air kencing di dalam ginjal. Namun empedunya sendiri adalah mutanajis, sehingga dapat dikonsumsi jika telah dibersihkan terlebih dahulu dari air empedunya. asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

مرة بكسر الميم وهي ما في المرارة أي الجلدة وأما نفسها فمتنجسة تطهر بالغسل فيجوز أكلها إن كانت من حيوان مأكول

“Empedu (mirah) dengan kasrah pada huruf mim adalah najis, yaitu air empedunya, sedangkan kulitnya adalah mutanajis yang bisa disucikan dan boleh dimakan jika berasal dari hewan yang halal dimakan.”[27]

            Kenajisan air empedu diqiyaskan dengan air kencing karena keduanya merupakan zat sisa tubuh atau kotoran.

  • Khamr

Dalam madzhab Syafi’i, segala macam barang cair yang memabukan seperti khamr, arak dan sebagainya, selain haram dikonsumsi, juga najis dzatnya. asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

مسكر مائع من خمر وغيره وخرج بالمائع الحشيشة والبنج بفتح الباء وهو نبت لـه حب يخبط العقل ويورث الخبال، فإنهما مع تحريمهما طاهران وكذلك الأفيون والزعفران والعنبر وجوزة الطيب وهي كبـيرة تؤكل والذي يباع عند نحو العطار إنما هو نُواها لا هي فكثير ذلك حرام لضرره بالعقل ويجوز تعاطي القليل منه عرفاً

“Barang cair yang memabukan seperti khamr  dan selainnya adalah najis, sedangkan cairan yang menyengat aromanya dan daun ganja (al-banj) dengan fathah pada huruf Ba’ yaitu tumbuhan yang membahayakan bagi akal, maka meskipun haram dikonsumsi kecuali sedikit penggunaaanya sesuai dengan kebiasaan untuk pengobatan, namun tidak najis barangnya.”[28]

al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

الجماد ما ليس بحيوان ولا كان حيوانا ولا جزءا من حيوان ولا خرج من حيوان فكله طاهر إلا الخمر

“Benda mati adalah semua yang tidak masuk jenis binatang, bukan sesuatu yang berasal dari binatang atau bukan bagian dari binatang, dan bukan sesuatu yang keluar dari binatang. Semua jenis benda mati tersebut suci, kecuali khamr.”[29]

Dalil yang melandasi najisnya khamr adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang Termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”[30]

Para ulama berselisih pendapat mengenai makna rijs (رِجْسُ), madzhab Syafi’i menyatakan bahwa kata rijs (رِجْسُ) bermakna najis secara lahiriah. Karena kenajisannya maka khamr haram dikomsumsi jika bukan pada saat darurat dan kenajisannya sama dengan kenajisan darah.

Selain itu, terdapat pula dalil yang menjelaskan mengenai keharaman khamr yaitu sebuah hadits dari Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata:

إِنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ ، وَهُمْ يَطْبُخُونَ فِي قُدُورِهِمْ الْخِنْزِيرَ ، وَيَشْرَبُونَ فِي آنِيَتِهِمْ الْخَمْرَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَكُلُوا فِيهَا وَاشْرَبُوا ، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا غَيْرَهَا فَارْحَضُوهَا بِالْمَاءِ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا .

“Kami bertetangga dengan Ahli Kitab, mereka memasak babi di panci-panci mereka, dan meminum khamr di wadah-wadah mereka. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian dapatkan selainnya maka gunakanlah (wadah itu) untuk makan dan minum. Jika kalian tidak mendapatkan selainnya, maka cucilah wadah (mereka) dengan air, lalu makan dan minumlah (dengan wadah tersebut).”[31]

Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencuci wadah ahli kitab menunjukan bahwa babi dan khamr adalah najis.

  • Muntahan

asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

ما يخرج من معدة يقيناً كقيء ولو بلا تغير نعم إن كان الخارج حباً متصلباً بحيث لو زرع لنبت فمتنجس

“Apapun yang keluar dari dalam lambung seperti muntahan meskipun belum berubah maka najis, namun jika keluar namun masih berbentuk biji yang dapat tumbuh maka itu mutanajis.”[32]

Muntahan adalah makanan yang keluar dari mulut setelah masuk ke dalam lambung dan telah berubah menjadi busuk. Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa muntahan termasuk najis. Dalil yang melandasi hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا عَمَّارُ إِنَّمَا يُغْسَلُ الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ : مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ وَالْقَيْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ

“Wahai Ammar, sesungguhnya pakaian itu dicuci oleh sebab salah satu dari 5 hal, yaitu kotoran, air kencing, muntah, darah dan mani.”[33]

Akan tetapi sesuatu yang keluar dari mulut seperti ludah, ingus atau dahak tidaklah termasuk ke dalam muntahan sehingga tidak najis.

  • Air susu binatang yang tidak boleh dimakan

Air susu binatang yang tidak boleh atau haram dimakan adalah najis kecuali ASI. asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

لبن ما لايؤكل غير الآدمي ، كلبن الأتان ، وهي بفتح الهمزة ، ٱسم لأنثى الحمير ، مستحيل في الباطن كالدم ، أما لبن ما يؤكل ولبن الآدمي فطاهران .

“Air susu dari binatang yang tidak boleh dimakan selain ASI, seperti air susu al-Atan dengan hamzah yang difathahkan, yaitu nama bagi keledai betina maka najis karena telah berubah di dalam perutnya menjadi seperti darah. Sedangkan air susu binatang yang boleh dimakan dan ASI statusnya suci.”[34]

Dalil yang melandasi hal ini adalah perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jallalah dan susu yang dihasilkan darinya.”[35]

Jallalah adalah hewan halal yang makanan utamanya adalah benda najis seperti kotoran sehingga menjadi haram dimakan dan diminum susunya. Dari hadits diatas, dapat disimpulkan bahwa hewan yang haram dimakan termasuk hewan jallallah maupun bukan jallallah seperti harimau, kucing, anjing dan sebagainya, maka susunya pun haram dikonsumsi karena najis.

  • Bangkai

Bangkai adalah hewan yang mati dalam keadaan tidak disembelih, atau disembelih namun tidak secara syar’i, atau hewan najis seperti anjing dan babi yang mati walaupun dengan cara disembelih secara syar’i. Najisnya bangkai adalah berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ

“Apabila kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.”[36]

Dari hadits itu dapat diambil suatu hukum, bahwa menyamak kulit bangkai membuat bangkai itu menjadi suci. Maka hukum asal dari bangkai adalah najis sebelum disamak. Namun ada beberapa bangkai yang tidak masuk dalam kategori najis, diantaranya:

1)      Bangkai manusia

Bangkai manusia baik muslim maupun kafir tidaklah najis. asy-Syaikh Taqiyuddin al-Hishni rahimahullah berkata:

وَالْمَيْتَهُ كُلَّهَا نَجسَةً إلاّ السَّمَك والجرّادَ وَابْنَ آدَمَ : الميتات كلها نجسة لقوله تعالى : حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وتحريم ما لا حرمة له ولا ضرورة في أكله يدل على نجاسته لأن الشيء ﻭﺍﻟﻤﻴﺘﺔ ﻛﻠﻬﺎ ﻧﺠﺴﺔ ﺇﻻ ﺍﻟﺴﻤﻚ ﻭﺍﻟﺠﺮﺍﺩ ﻭﺍﺑﻦ ﺁﺩﻡ. ﺍﻟﻤﻴﺘﺎﺕ ﻛﻠﻬﺎ ﻧﺠﺴﺔ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﺣﺮﻣﺖ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﻤﻴﺘﺔ. ﻭﺗﺤﺮﻳﻢ ﻣﺎ ﻻ ﺣﺮﻣﺔ ﻟﻪ ﻭﻻ ﺿﺮﻭﺭﺓ ﻓﻲ ﺃﻛﻞ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻧﺠﺎﺳﺘﻪ ﻷﻥ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺤﺮﻡ ﺇﻣﺎ ﻟﺤﺮﻣﺘﻪ ﺃﻭ ﻟﻀﺮﺭﻩ ﺃﻭ ﻧﺠﺎﺳﺘﻪ. ﻭﻳﺴﺘﺜﻨﻰ ﺍﻵﺩﻣﻲ ﺃﻳﻀﺎً ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻨﺠﺲ ﺑﺎﻟﻤﻮﺕ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺍﺟﺢ ﻣﺴﻠﻤﺎً ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﻛﺎﻓﺮﺍً

Semua bangkai itu najis kecuali bangkai ikan, belalang, dan keturunan Adam. Semua bangkai itu najis karena terdapat firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” Pengharaman sesuatu yg tidak mulia dan tidak ada darurat untuk memakannya mengindikasikan kenajisannya, karena sesuatu itu diharamkan adakalanya karena mulianya, bahayanya, atau kenajisannya. Dan anak bangsa Adam juga dikecualikan, sesungguhnya dia tidak dihukumi najis sebab mati berdasarkan pendapat yang paling kuat, baik dia muslim ataupun kafir.”[37]

Dalil yang melandasi akan ketidaknajisan bangkai manusia adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

“Dan sungguh telah Kami muliakan anak keturunan Adam.”[38]

Pemuliaan dalam ayat diatas menuntut manusia tidaklah dihukumi najis baik dalam keadaan hidup maupun setelah mati. Hal ini pun ditegaskan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

لَا تُنَجَّسُوْا مَوْتَاكُمْ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ حَيًّا وَلَا مَيِّتًا

“Janganlah kalian menajiskan yang mati diantara kalian. Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis baik ia hidup maupun mati.”[39]

Sedangkan maksud firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.”[40]

Najis dalam ayat ini maksudnya adalah najis secara maknawi atau najis aqidahnya, bukan najis badannya. al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وأما نجاسة بدنه فالجمهور على أنه ليس بنجس البدن والذات ؛ لأن الله تعالى أحل طعام أهل الكتاب ، .

“Adapun najis pada orang kafir maka jumhur ulama berpendapat bahwa kafir tidak najis badannya. Karena, Allah telah menghalalkan makanan Ahli Kitab.”[41]

2)     Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir

Hewan yang darahnya tidak mengalir seperti lalat, kutu, nyamuk dan macam-macam serangga lainnya, bangkainya tidak najis. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ ، فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ، ثُمَّ لْيَطْرَحْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِى الآخَرِ دَاءً

“Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah lalat tersebut seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya.”[42]

Seandainya najis, pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membuang dan menyuci bejana tersebut. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru memerintahkan untuk mencelupkan tubuh lalat tersebut seluruhnya, ini menandakan bahwa lalat dan hewan yang sejenis dengannya yaitu yang darahnya tidak mengalir tidaklah najis.

3)     Bangkai hewan laut

Bangkai hewan laut itu suci dan halal dikonsumsi, sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Air laut itu suci serta halal bangkainya.”[43]

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ

“Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makan yang lezat bagimu.”[44]

Termasuk hewan laut adalah ikan, dan bangkai ikan pun suci sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.”[45]

4)     Bangkai belalang

Bangkai belalang adalah suci, dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.”[46]

Termasuk dalam kategori bangkai yang najis adalah bagian anggota badan yang terpotong dari hewan yang masih hidup. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَهِيَ مَيْتَةٌ

“Apapun yang dipotong dari binatang yang masih hidup maka potongan itu adalah bangkai.”[47]

Sedangkan bulu binatang yang tidak boleh dimakan hukumnya najis, dan bulu binatang yang boleh dimakan jika terlepas dari badannya maka tidak dihukumi najis. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِيْنٍ

“Dan dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).”[48]

  • Air yang keluar dari mulut binatang yang sedang bermamahbiak

Air yang keluar dari mulut binatang yang bermamahbiak dihukumi najis karena air tersebut keluar dari lambungnya. Sistem percernaan makanan hewan bermamahbiak memiliki dua langkah, yaitu pertama, hewan bermamahbiak menelan bahan makanan mentah, kemudian hewan bermamahbiak memuntahkan makanan yang sudah setengah dicerna di dalam lambungnya dan mengunyahnya kembali. Karena sistem percernaannya melalui fase memuntahkan kembali makanan yang berasal dari lambung, maka air yang keluar dari mulut yaitu yang tercampur dengan makanan dihukumi najis. asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

جرة ، بكسر الجيم ، وهي : ما يخرجه البغير أو غيره للإجترار ، أي : الأكل ثانيا ، وأما ما يخرجه من جانب فمه عند الهيجان المسمى بالقلة ، فليس بنجس ، لأنه من اللسان .

“Air yang keluar dari mulut binatang seperti kerbau, kambing dan selainnya pada saat memamahbiak makanan. Sedangkan air yang keluar dari pinggiran mulutnya pada saat kehausan tidak najis karena itu berasal dari mulut.”[49]

  • Air kulit yang melepuh atau menggelembung yang berbau

Air kulit yang melepuh atau menggelembung seperti air cacar yang berbau dihukumi najis, sedangkan jika tidak berbau maka tidak dihukumi najis karena statusnya sama seperti keringat. asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

ماء المتنفط ، أي : البقابيق الذي له ريح ، وإلا فطاهر ، خلافا للرافعي

“Air kulit yang melepuh atau menggelembung yang berbau. Bila tidak berbau maka tidak najis.”[50]

Dalil yang melandasi hal ini adalah sebuah hadits dari Abu Amamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمَاءَ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ ‏

“Ssungguhnya air itu tidak ada sesuatupun yang dapat menajsikannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa dan warnanya.”[51]

  • Asap dan uap dari barang najis yang dibakar

Asap dari pembakaran benda najis dihukumi najis, sebab asap tersebut berasal dari benda yang najis. Asap tersebut merupakan bagian najis yang sudah berubah bentuk, maka hukumnya sesuai dengan benda asalnya. asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

دخان النجاسة ، وهو : المنفصل منها بواسطة نار ، وكذا بخارها ، وهو اللهب الصافي من الدخان ، ولا فرق في ذلك بين أن ينفصل من نجس العين كالجلة ، بالتثليث : البعرة ، أو لا ، كالحطب المتنجس بالبول مثلا

“Asap najis yaitu asap yang dipisahkan dari benda najis dengan perantara api (pembakaran), dan juga uapnya yaitu asap murni dari pembakaran api. Tidak ada perbedaan dalam hal tersebut baik diantara yang dipisahkan dari najis yang nampak seperti kotoran kerbau yang dibakar dengan najis yang tidak nampak seperti kayu bakar yang telah tersiram air kencing misalnya.”[52]

Pendapat yang menyatakan bahwa asap dari pembakaran benda najis adalah najis merupakan pendapat jumhur ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali dan juga merupakan pendapat yang dipilih oleh al-Imam Abu Yusuf rahimahullah dari madzhab Hanafi. Namun, meskipun asap dari pembakaran benda najis dihukumi najis, para ulama menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan yang membuat najisnya asap tersebut dima’fu (dimaafkan), antara lain:
1. Dianggap sedikit menurut ‘urf (kebiasaan masyarakat secara umum). Sedikit dan banyak bisa dilihat dari pengaruh asap tersebut.
2. Asap bukan berasal dari najis mughallazhah.
3. Tidak mengenai bagian pakaian yang basah.
4. Bukan karena kesengajaannya. Jika sengaja diarahkan pada suatu benda maka dihukumi najis meskipun hanya sedikit, hal ini bisa diqiyaskan sebagaimana seseorang melihat lalat yang membawa benda najis kemudian ditangkap dan ditempelkan kebadan atau baju, maka badan atau baju tersebut menjadi najis.

Demikianlah penjelasan mengenai najis mutawasithah dan macam-macamnya, ada beberapa ikhtilaf ulama mengenai macam-macam najis mutawasithah, namun secara garis besar madzhab Syafi’i menyatakan ada 15 macam benda yang masuk dalam kategori najis mutawasithah yaitu air kencing kecuali air kencing bayi laki-laki yang belum mengkonsumsi apapun selain ASI serta berumur kurang dari 2 tahun, madzi, wadi, kotoran (tinja), darah kecuali hati dan limpa, darah yang tidak mengalir, darah syuhada, darah yang sedikit kemudian nanah, air luka atau air bisul yang telah berubah, air empedu, khamr, muntahan, air susu binatang yang tidak boleh dimakan, bangkai kecuali bangkai manusia, bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir, bangkai hewan laut dan bangkai belalang, kemudian air yang keluar dari mulut binatang yang sedang bermamahbiak, air kulit yang melepuh atau menggelembung yang berbau dan asap dan uap dari barang najis yang dibakar. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita dalam memahami syari’at-Nya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] Matan Safinah an-Najah, hal. 28
[2] Kasyifah as-Saja, hal. 169
[3] al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 2 hal. 569
[4] HR. Muslim no. 284
[5] HR. Bukhari no. 1501 dan Muslim no. 1671
[6] al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz 1 hal. 160
[7] Kasyifah as-Saja, hal. 169
[8] HR. al-Bukhari no. 269
[9] HR. Abu Dawud no. 210, at-Tirmidzi no. 115 dan Ibnu Majah no. 506
[10] Kasyifah as-Saja, hal. 169
[11] HR. al-Baihaqi no. 800
[12] Kasyifah as-Saja, hal. 169
[13] HR. Ibnu Khuzaimah no. 70
[14] HR. Abu Dawud no. 385
[15] QS. al-An’am [6] : 145
[16] HR. al-Bukhari no. 330 dan Muslim no. 291
[17] HR. Ibnu Majah no. 3314
[18] Kasyifah as-Saja, hal. 174
[19] Tafsir ath-Thabari, Juz 9 hal. 633
[20] QS. al-An’am [6] : 145
[21] HR. an-Nasai no. 2002
[22] HR. al-Bukhari no. 312
[23] Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 25
[24] Kasyifah as-Saja, hal. 171
[25] Kasyifah as-Saja, hal. 171
[26] HR. Ibnu Majah no. 521
[27] Kasyifah as-Saja, hal. 171
[28] Kasyifah as-Saja, hal. 172
[29] Raudhah ath-Thalibin, Juz 1 hal. 13
[30] QS. al-Maidah [5] : 90
[31] HR. Abu Dawud no. 3839
[32] Kasyifah as-Saja, hal. 172-173
[33] HR. ad-Daruquthni no. 458
[34] Kasyifah as-Saja, hal. 173
[35] HR. Abu Dawud no. 3785 dan at-Tirmidzi no. 1824
[36] HR. Muslim no. 366
[37] Kifayah al-Akhyar, hal. 57
[38] QS. al-Isra’ [17] : 70
[39] HR. Ibnu Abi Syaibah no. 11134
[40] QS. at-Taubah [9] : 28
[41] Tafsir al-Qur'an al-‘Azhiim, Juz 4 hal. 131
[42] HR. al-Bukhari no. 5782
[43] HR. Abu Dawud no. 83, an-Nasa’i no. 59 dan at-Tirmidzi no. 69
[44] QS. al-Ma’idah [5] : 96
[45] HR. Ibnu Majah no. 3314
[46] HR. Ibnu Majah no. 3314
[47] HR. Abu Dawud no. 2858
[48] QS. an-Nahl [16] : 80
[49] Kasyifah as-Saja, hal. 175
[50] Kasyifah as-Saja, hal. 175
[51] HR. Ibnu Majah no. 521
[52] Kasyifah as-Saja, hal. 175


Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah al-Quzwaini. Sunan Ibnu Majah. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Abdurrahman Ahmad bin Syu'aib bin ‘Ali bin Sinan an-Nasa’i. al-Mujtaba min as-Sunan (Sunan an-Nasa’i). Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimsyaqi. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Tafsir Ibnu Katsir). 1420 H. Dar Thayyibah Riyadh.
  • al-Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad ad-Daruquthni. Sunan ad-Daruquthni. 1424 H. Mu’asasah ar-Risalah Beirut.
  • al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad bin Abu Syaibah al-Kufi. al-Mushannaf fii al-Ahadits wa al-Atsar. 1409 H. Dar at-Taj Beirut.
  • al-Imam Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali al-Baihaqi. as-Sunan al-Kubra. 1424 H. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah Beirut.
  • al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah as-Sulami an-Naisaburi. Shahih Ibnu Khuzaimah. 1400 H. al-Maktab al-Islami Beirut.
  • al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats as-Sijistani. Sunan Abu Dawud. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at-Tirmidzi. Jami’ at-Tirmidzi. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari. Tafsir ath-Thabari Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an. 1422 H. Markaz Hijr li al-Buhuts wa ad-Dirasah al-‘Arabiyyah wa al-Islamiyyah Kairo
  • al-Imam Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab li asy-Syairazi. Maktabah al-Irsyad Jeddah.
  • al-Imam Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi. Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftiyyin. 1412 H. al-Maktab al-Islami Beirut.
  • as-Sayyid ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar al-Masyhur Ba’alawi. Bughyah al-Mustarsyidin fii Talkhis Fatawa Ba’dh al-Muta’akhirin. 1414 H. Maktabah Dar al-Fikr.
  • asy-Syaikh Abu ‘Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kasyifah as-Saja Syarh Safinah an-Naja. 1432 H. Dar Ibn Hazm Beirut.
  • asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami. Matan Safinah an-Najah fii Maa Yajibu ‘alaa al-‘Abdi lii Maulah. 1430 H. Dar Ibn Hazm Beirut.
  • asy-Syaikh Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hishni ad-Dimasyqi. Kifayah al-Akhyar fii Hall Ghayah al-Ikhtishar. 1431 H. Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam Beirut.
  • asy-Syaikh Wahbah bin Mushthafa az-Zuhaili. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. 1405 H. Dar al-Fikr Beirut.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top