Larangan Bermain Catur

“Para sahabat menganggap orang yang melihat papan catur sebagaimana orang yang melihat daging babi. Sementara orang yang menggerakkan pion catur seperti orang yang membolak-balikkan daging babi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 26160)



            Bismillah, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam, keluarga dan para sahabatnya serta umatnya hingga akhir zaman.

            Ulama salaf berkata, jika engkau tidak disibukkan dengan ketaatan pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang sia-sia. Perkataan ulama ini menandakan bahwa Islam sangat menghargai waktu. Jika hanya termenung menunggu hingga ‘skak-ster’, tanpa ada faedah manfaat, maka tentu hal ini sia-sia. Apalagi jika permainan semacam itu meninggalkan kewajiban semisal shalat lima waktu, maka tentu dihukumi haram. Pembahasan kali ini akan mengupas permasalahan seputar hukum bermain catur. Semoga bisa menjadi bahan renungan kita.

            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Permainan catur, jika menyibukkan orang sehingga meninggalkan kewajibannya, baik lahiriyah maupun yang tidak nampak maka hukumnya haram dengan sepakat ulama. Semacam misalnya permainan catur bisa melupakan kewajiban shalat, kemaslahatan pribadi, dan keluarga yang harus dia penuhi, amar ma’ruf nahi munkar, silaturahmi, berbakti pada orang tua, atau kewajiban memenuhi tugasnya sebagai pemimpin, maka hukumnya haram dengan sepakat kaum muslimin. Demikian pula ketika permainan catur ini mengandung unsur yang haram, seperti berdusta, sumpah palsu, khianat, judi, taruhan, kezaliman, atau membatu maksiat, atau semua perbuatan haram lainnya, maka hukumnya haram dengan dengan sepakat kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32 : 218)

            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah berkata: “(Bermain catur) itu diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama) jika di dalamnya terdapat keharaman seperti dusta, sumpa palsu, kezhaliman, tindak kejahatan, pembicaraan yang bukan wajib” (Majmu’ Al-Fatawa, 32 : 245)

            Jika demikian, jika bermain catur sampai melalaikan dari shalat lima waktu dan berjama’ah di masjid -bagi pria-, dalam kondisi ini permainan catur dihukumi haram. Dan inilah kebanyakan yang terjadi. Karena sibuk memikirkan strategi, pikirannya dihabiskan berjam-jam sehingga akhirnya meninggalkan shalat.

Bagaimana jika permainan catur ini tidak melalaikan kewajiban dan tidak mengandung unsur yang haram?

            Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:

            Pertama, Hukumnya Makruh, Demikian disebutkan oleh sebagian ulama Syafi’iyah dan diikuti ulama belakangan seperti Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram.

            Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan, bahwa Imam An-Nawawi rahimahullah pernah ditanya tentang permainan catur, haram ataukah boleh? Beliau menjawab: “Jika itu menyebabkan orang ketinggalan shalat dari waktunya, atau bermain dengan taruhan maka itu haram. Jika tidak, hukumnya makruh menurut Syafi’i, dan haram menurut ulama lainnya.” (Al-Kabair, 90)

            Akan tetapi, kita juga perlu hati-hati, karena istilah makruh menurut para ulama masa silam, bisa jadi tidak sebagaimana makruh sebagaimana pengertian fikih masa sekarang. Mereka menyebut makruh karena ketaqwaan mereka, sehingga tidak berani menegaskan ini haram. Menegaskan hukum halal dan haram adalah hak Allah Ta’ala. Sehingga mereka hanya menggunakan ungkapan umum, dibenci, dalam arti harus ditinggalkan. Allahu a’lam.

            Kedua, Hukumnya Haram. Demikian pendapat mayoritas ulama dari ulama Hambali, Malikiyah, Hanafiyah dan fatwa dari ulama saat ini seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah dan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’. Diantara dalilnya.

1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ - إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنتَهُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah : 90-91)

            Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan: Ayat ini menunjukkan haramnya bermain dadu dan catur, baik untuk judi mapun bukan untuk judi. Karena Allah Ta’ala ketika mengharamkan khamr, Allah menyampaikan secara tersirat apa yang ada dalam permainan itu dalam firman-Nya (yang artinya): “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat.” Maka semua permainan yang memicu terjadinya permusuhan dan saling membenci diantara pemain, serta menghalangi orang untuk mengingat Allah dan melaksanakan shalat maka statusnya seperti minum khamr, sehingga harus berstatus haram, seperti minum khamr. (Tafsir Al-Qurthubi, 6 : 291)

2. Larangan tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya untuk main dadu. Karena di zaman beliau, permainan itu yang baru dikenal. Melalui sabdanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan:

مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَده فِي لَحْم خِنْزِير وَدَمه

“Siapa yang bermain dadu, dia seperti mencelupkan tangannya ke daging babi dan darahnya.” (HR. Muslim no. 2260)

            Berkaitan dengan Hadits ini, Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Hadits ini merupakan dalil Imam Syafii dan mayoritas ulama lainnya tentang haramnya bermain dadu. Makna: ‘mencelupkan tangannya ke daging babi dan darahnya’ sebagaimana ketika orang makan daging dan darah babi, yaitu menyamakan haramnya bermain dadu sebagaimana haramnya makan babi.” (Syarh Shahih Muslim, 15 : 15)

            Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Siapa yang bermain dadu maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad no. 19521, Abu Dawud no. 4938, Ibnu Majah 3762, Ibnu Hibban dalam shahihnya no. 5872, dan yang lainnya. Hadits ini dinilai hasan oleh Al-Albani)

            Dari riwayat ini, para sahabat menghukumi permainan catur dengan menggunakan qiyas (analogi) hukum untuk dadu.

3. Keterangan sahabat tentang catur

a. Dari Maisarah An-Nahdi, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah melewati sekelompok orang yang bermain catur, kemudian beliau menyitir ayat:

مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beri’tikaf (memperhatikan) kepadanya?” (QS. Al-Anbiya : 52)

            Keterangan Ali ini disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah rahimahullah dalam Al-Mushannaf no. 26158.

            Dalam riwayat Imam Al-Baihaqi rahimahullah, terdapat pernyataan yang semisal, hanya saja ada tambahan:

لَأَنْ يَمَسَّ أَحَدُكُمْ جَمْرًا حَتَّى يُطْفَأَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّهَا

“Seseorang menyentuh bara api sampai bara itu mati, itu lebih baik baginya dari pada dia menyentuh catur.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Ash-Shughra no. 3348 dan Syuabul Iman, no. 6097)

            Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah mengatakan: "Riwayat paling shahih tentang catur adalah keterangan Ali bin Abi Thalib." (Asy-Syarhul Kabir Ibn Qudamah, 12 : 45)

            Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang hukum catur, beliau menjawab :

هي شَرٌّ من النرد

“Permainan itu lebih buruk dari pada dadu.”

            Juga diriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan:

لَا يَلْعَبُ بِالشِّطْرَنْجِ إِلَّا خَاطِئٌ

“Tidak ada yang bermain catur, kecuali orang yang berdosa.”

            Sementara itu, dari Abu Ubaidillah bin Abu Ja’far, bahwa Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu membenci bermain catur.

            Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah juga pernah ditanya tentang bermain catur, kemudian beliau menjawab:

هِيَ مِنَ الْبَاطِلِ وَلَا يُحِبُّ اللهُ الْبَاطِلَ

“Itu termasuk kebatilan dan Allah tidak mencintai kebatilan.”

            Semua riwayat sahabat di atas disebutkan oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah dalam Syuabul Iman, no. 6097.

            Dari Ibnu Abi Laila, dari Al-Hakam, beliau berkomentar tentang permainan catur:

كَانُوا يُنْزِلُونَ النَّاظِرَ إِلَيْهَا كَالنَّاظِرِ إِلَى لَحْمِ الْخِنْزِيرِ، وَالَّذِي يُقَلِّبُهَا كَالَّذِي يُقَلِّبُ لَحْمَ الْخِنْزِيرِ

“Para sahabat menganggap orang yang melihat papan catur sebagaimana orang yang melihat daging babi. Sementara orang yang menggerakkan pion catur seperti orang yang membolak-balikkan daging babi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 26160)

4. Keterangan Ulama

            Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Untuk main catur, sama haramnya dengan main dadu.” (Al-Mughni, 14 : 155)

            Dalam kumpulan dosa-dosa besar, Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Tentang permainan catur, mayoritas ulama mengharamkannya, baik dengan taruhan maupun tanpa taruhan. Jika dengan taruhan maka statusnya judi, tanpa ada perselisihan ulama. Jika tanpa taruhan, itu juga termasuk judi menurut mayoritas ulama.” (Al-Kabair, 89)

            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Permainan catur termasuk kemungkaran sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ali, Ibnu ‘Umar dan sahabat lainnya. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan selainnya bersikap keras dalam hal ini, sampai-sampai mereka mengatakan, “Tidak boleh menyalami para pemain catur karena mereka nyata-nyata menampakkan maksiat.” Sedangkan murid-murid Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak mengapa jika menyalami mereka” (Majmu’ Al Fatawa, 32 : 245).

Bermain Catur Termasuk Maysir

            Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (maysir), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah : 90). Maysir sebenarnya lebih umum dari berjudi.

            Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Maysir ada dua macam: 1) bentuk permainan seperti dadu, catur dan berbagai bentuk permainan yang melalaikan, dan 2) bentuk perjudian, yaitu yang mengandung unsur spekulasi atau untung-untungan di dalamnya.” Bahkan Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar memberikan jawaban lebih umum ketika ditanya mengenai apa itu maysir. Jawaban beliau, “Setiap yang melalaikan dari dzikrullah (mengingat Allah) dan dari shalat, itulah yang disebut maysir.” (Dinukil dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 39 : 406).

            Sebagai penutup kami sampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. At-Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

            Jika anda ingin baik, maka jauhilah hal yang tidak bermanfaat. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah. Kesempurnaan hanya milik Allah Rabb semesta alam dan kekurangan hanya dari penulis dan dari setan yang terlaknat. Wallahu a’lam, Semoga Bermanfaat.

Apakah Binatang Akan Masuk Surga?

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) sepertimu. Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab kemudian kepada Rabb-lah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-An’am [6] : 38)


Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala akan menghisab seluruh makhluk-Nya. Dalam perkara ini tidak hanya manusia dan jin saja yang akan di hisab akan tetapi binatang pun akan di hisab. Makhluk yang pertama kali diadili oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah binatang, bukan manusia ataupun jin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَإِذَا الْوُحُوْشُ حُشِرَتْ

“Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan.” (QS. At-Takwir [81] : 5)

Maksud dari ayat di atas adalah apabila binatang-binatang dikumpulkan di hari Kiamat untuk diadili.

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ طَائِرٍ يَطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلاَّ أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) sepertimu. Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab kemudian kepada Rabb-lah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-An’am [6] : 38)

Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, dia menceritakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى شَاتَيْنِ تَنْتَطِحَانِ فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ هَلْ تَدْرِي فِيمَ تَنْتَطِحَانِ قَالَ لَا قَالَ لَكِنَّ اللَّهَ يَدْرِي وَسَيَقْضِي بَيْنَهُمَا

“Bahwa Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam melihat dua ekor kambing yang saling beradu tanduk, beliau lalu bersabda: “Wahai Abu Dzar, apakah kamu tahu untuk apa keduanya memiliki tanduk?” Abu Dzar menjawab, “Saya tidak tahu.” Nabi lalu bersabda: “Akan tetapi Allah Maha tahu, dan Dia akan mengadili di antara keduanya.” (HR. Ahmad no. 20466)

Dari Abi Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ

“Pada Hari Kiamat semua hak akan diberikan kepada ahlinya sehingga kambing yang bertanduk pun akan dituntun untuk menuju kambing yang kurus (untuk membalaskan perbuatan kambing bertanduk yang menanduk kambing kurus ketika di dunia).” (HR. Muslim no. 2582)

Adapun qishash antara kambing bertanduk dan kambing tidak bertanduk bukanlah qishash taklif (beban hukum syari'at) akan tetapi ia adalah qishash muqabalah (pembalasan)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: '”Pada hari Kiamat kelak, seluruh binatang akan dikumpulkan, sedangkan manusia menyaksikannya. Kemudian binatang-binatang itu diadili, sehingga binatang yang tidak bertanduk akan menuntut balas terhadap binatang bertanduk yang telah menanduknya di dunia. Setelah binatang tersebut di Qishash, Allah akan mengubahnya menjadi tanah. Allah melakukannya untuk menegakkan keadilan di antara makhluk-Nya.” (Tafsir Juz 'Amma, hal. 70)

Hisabnya binatang ini disaksikan oleh para Malaikat, orang-orang yang beriman dan juga orang-kafir. Setelah binatang diadili, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “'Jadilah tanah!”' Maka binatang-binatang itu berubah menjadi tanah. Tatkala melihat binatang itu diubah menjadi tanah, orang-orang kafir itu mengatakan: “Alangkah baiknya jika aku menjadi tanah.” Inilah salah satu makna firman Allah subhanahu wa ta'ala: Dan orang kafir itu berkata:  “Alangkah baiknya sekiranya aku menjadi tanah saja.” (QS. An-Naba' [78] : 40)

Dalam Sebuah Hadits Mauquf, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:

يُحْشَرُ الْخَلْقُ كُلُّهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْبَهَائِمُ، وَالدَّوَابُّ، وَالطَّيْرُ، وَكُلُّ شَيْءٍ فَيَبْلُغُ مِنْ عَدْلِ اللَّهِ أَنْ يَأْخُذَ لِلْجَمَّاءِ مِنَ الْقَرْنَاءِ، ثُمَّ يَقُولُ: كُونِي تُرَابًا فَذَلِكَ يَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا

“Akan dikumpulkan makhluk semuanya pada hari kiamat, binatang ternak, binatang melata, burung-burung dan segala sesuatu, maka semuanya mendapatkan keadilan dari Allah subhanahu wa ta'ala, dimana binatang yang tidak bertanduk membalas (qishash) terhadap binatang yang bertanduk, kemudian Dia Allah Subhanahu wata'ala berfirman: “Berubahlan menjadi tanah” maka pada saat itu orang kafir berkata: “Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.” (HR. Al-Hakim no. 3231)

Penghisaban terhadap binatang di atas juga dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi rahimahullah, beliau berkata: “Menurut pendapat yang shahih binatang-binatang di dunia itu dibangkit juga pada hari kiamat nanti.  Pendapat ini diriwayat dari Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhu berdasarkan satu riwayat, juga merupakan pendapat Abu Dzar, Abu Hurairah, Amr bin 'Ash, Hasan Al-Bashri dan lain-lain. “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami lupakan sesuatupun dalam Al-Kitab,kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-An'am [6] : 38). Adapun apakah binatang-binatang itu masuk surga atau tidak? Jawabnya adalah secara zhahir binatang-binatang itu dikembalikan menjadi tanah. Dengan demikian binatang-binatang itu tidak masuk surga. Berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu disebutkan, bahwa ketika itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ”Jadikan kamu sekalian menjadi tanah.” Karena itu, Allah menceritakan bahwa kaum kafir ketika itu menginginkan menjadi seperti tanah, mengatakan: “Mudah-mudahan aku menjadi tanah.” (At-Tadzkirah, hal. 652)

Dari keterangan diatas bahwa kesimpulan tidak ada binatang yang masuk surga ataupun masuk neraka, Allah subhanahu wa ta’ala akan mengubah binatang menjadi tanah setelah penghisaban. Dan yang perlu diketahui binatang tidak akan dihisab seperti hisabnya manusia mukallaf beserta konsekuensinya, karena binatang tidak akan mendapatkan pahala dan azab.

Adapun hadits yang beredar di masyarakat dan sering disampaikan para dai-dai yang menyatakan ada 10 (sepuluh) binatang yang masuk surga adalah sebagai berikut :

انه يدخل الجنة مع المؤمنين على ما قال مقاتل عشرة من الحيوانات تدخل الجنة ناقة صالح وعجل ابراهيم وكبش إسماعيل وبقرة موسى وحوت يونس وحمار عزير ونملة سليمان وهدهد بلقيس وكلب اصحاب الكهف وناقة محمد صلى الله عليه وسلم

“Akan masuk ke dalam surga bersama orang beriman sebagaimana yang disebutkan muqatil 10 (sepuluh) binatang, yaitu : 1) Unta Nabi Shaleh, 2) Anak sapi Nabi Ibrahim, 3) Domba Nabi Ismail, 4) Sapi Nabi Musa, 5) Ikan paus Nabi Yunus, 6) Keledainya Uzair, 7) Semut Nabi Sulaiman, 8) Burung Hud-Hud Ratu Balqis, 9) Anjing Ashabul Kahfi dan 10) Untanya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Tafsir Ruh Al-Bayan, Jilid 5 hal. 226)

Tidak ada keterangan ulama ahli hadits tentang sanad hadits ini, tapi pada zhahirnya riwayat diatas adalah Maudhu' (Palsu) dan Laa asla lahu (tidak ada asalnya) maka tak sepantasnya untuk di gunakan dan juga disebarluaskan kecuali untuk menjelaskan kebathilannya.

            Setelah dijelaskan mengenai hisab binatang dengan kesimpulan bahwa binatang tidak ada yang masuk surga karena mereka semua dilebur menjadi tanah setelah terjadi qishash, maka akan muncul pertanyaan baru. Jika demikian, berarti di surga tidak ada binatang? Untuk menjawab hal ini maka perlu diperhatikan beberapa dalil berikut.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَمْدَدْنَاهُمْ بِفَاكِهَةٍ وَلَحْمٍ مِمَّا يَشْتَهُونَ

“Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka inginkan.” (QS. Ath-Thur [52] : 22)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai makanan di surga:

وَلَحْمِ طَيْرٍ مِمَّا يَشْتَهُونَ

“Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al-Waqi’ah [56] : 21)

Dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallah u’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan hidangan bagi penduduk surga:

يتكفؤها الجبار يبده، كما يتكفأ أحدكم خبزته في السفر نزلا لأهل الجنة. فأتى رجل من اليهود، فقال: بارك الرحمن عليك ياأبا القسم، ألا أخبرك بنزل أهل الجنة يوم القيمة ؟ قال بلى… ثم قال ألا أخبرك بإدامهم ؟ بلام والنون. قالوا وما هذا ؟ قال ثور ونون، يأكل من زائدة كبدهما سبعون ألفا

“Allah menggenggamnya dengan tangannya, seperti salah seorang dari kalian menggenggam rotinya di kala safar sebagai jamuan bagi penduduk surga.” Datanglah seorang Yahudi lalu mengatakan, “Semoga Ar-Rahman memberkahimu wahai Abul Qosim (Nabi Muhammad), maukah engkau aku beri tahu mengenai jamuan penduduk surga pada hari kiamat? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tentu saja.” Yahudi melanjutkan “Maukah engkau aku kabarkan lauk-pauk mereka (penduduk surga)? Dengan sapid dan ikan.” Rasulullah dan para sahabat mengatakan, “Apakah lauk-pauk mereka?” Yahudi menjawab, “Sapi dan ikan, penduduk surga memakan bagian yang paling nikmat seperti hati sapi dan ikan, bahkan lebih nikmat 7000 kali lipat.” (HR. Al-Bukhari no. 6520 dan Muslim no. 7235)

Demikian pula yang disebutkan dalam riwayat, dari Kaisan, bahwa beliau pernah berjumpa dengan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Mau kemana?” tanya Abu Hurairah. “Mau ke kambing-kambingku.” Jawab Kaisan. Lalu Abu Hurairah berpesan:

نَعَمْ، امْسَحْ رُعَامَهَا، وَأَطِبْ مُرَاحَهَا، وَصَلِّ فِي جَانِبِ؛ مُرَاحِهَا، فَإِنَّهَا مِنْ دَوَابِّ الْجَنَّةِ

“Bagus, bersihkan mulut dan hidungnya, perbagus kandangnya, dan shalatnya di sebelah kandangnya, karena kambing adalah hewan surga.” (HR. Ahmad no. 9625)

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan janji bagi sahabat yang menyerahkan ontanya untuk fi sabilillah. Dari sahabat Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa datang seseorang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan ontanya yang ada kekangnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam megatakan:

لَكَ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَبْعُمِائَةِ نَاقِةٍ كُلُّهَا مَخْطُومَةٌ

“Engkau akan mendapatkan 700 onta di hari kiamat, yang semuanya ada kekangnya, disebabkan infaqmu ini.” (HR. Muslim no. 5005 dan Ibnu Hibban no. 4649)

Semua riwayat di atas menunjukkan bahwa penduduk surga diberi kenikmatan oleh Allah subhanahu wa ta’ala berupa daging binatang. Artinya bahwa di surga pun ada binatang, akan tetapi binatang yang di surga bukanlah binatang yang hidup di dunia karena binatang yang hidup di dunia telah dilebur menjadi tanah setelah proses qishash di Yaumil Hisab, akan tetapi binatang yang di surga adalah binatang baru yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di surga.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Mihrab Imam Lebih Tinggi Dari Makmum

“Apabila seseorang mengimami masyarakat, janganlah dia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari posisi makmum.” (HR. Abu Dawud no. 598)


Sebagian besar masjid di negeri kita ini umumnya memiliki mihrab imam yang lebih tinggi dari makmum, ada yang hanya beberapa centimeter, ada yang hanya sejengkal bahkan ada yang sampai sehasta. Beberapa ulama mengharamkan secara mutlak hal ini, ada beberapa ulama pula yang hanya memakruhkan dan sebagian lagi membolehkan hal ini. Lalu bagaimanakah hukum mihrab imam yang lebih tinggi dari makmum ini menurut pandangan syari’at? Berikut ulasannya.

 Pada dasarnya, islam melarang posisi imam ketika shalat jamaah lebih tinggi dibandingkan posisi makmum. Para ulama menghukumi makruh hal ini dan ini adalah pendapat jumhur.

Syaikh Zainuddin Al-Malibari rahimahullah berkata: “Makruh lebih tinggi (irtifa’) posisi salah seorang dari imam atau makmum atas lainnya dengan tanpa ada hajad, meskipun keduanya dalam masjid.” (Fathul Muin, Jilid 2 hal. 30)

Menurut Syaikh Al-Bakri Ad-Damyathi rahimahullah yang dimaksud dengan irtifa’ (lebih tinggi) adalah irtifa’ yang nyata pada pandangan kasat mata, meskipun sedikit, asalkan ‘urf masih menganggapnya sebagai irtifa’. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa kedudukan makruh itu apabila keduanya mungkin berada dalam posisi yang sama rata, jika tidak mungkin, yaitu dimana tempat shalat terbuat dengan keadaan ada yang tinggi dan ada yang rendah, maka tidak makruh. Al-Bakri juga menyebut contoh tidak makruh bahkan sunnah kalau ada hajad, antara lain keadaan posisi imam lebih tinggi diharapkan supaya dapat menjadi pengajaran imam kepada makmum tentang sifat-sifat shalat dan contoh yang lain adalah makmum yang berposisi sebagai mubaligh takbir imam.” (Fathul Muin, Jilid 2 hal. 30)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah mengutip keterangan dari Imam Asy-Syafii rahimahullah:

وقال الشافعي: أختار للإمام الذي يعلم من خلفه أن يصلي على الشيء المرتفع، فيراه من خلفه، فيقتدون به؛ لما روى سهل بن سعد

“Saya berpendapat bahwa imam yang hendak mengajari shalat makmum di belakangnya, dia boleh shalat di tempat yang tinggi, agar bisa dilihat oleh orang yang berada di belakangnya, sehingga mereka bisa mengikuti shalatnya imam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Sahl bin Sa’d.” (Al-Mughni, Jilid 2 hal. 154)

Ada beberapa dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya:

Dari Adi bin Tsabit Al-Anshari bahwa ada seseorang yang bersama sahabat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu di kota Al-Madain. Ketika datang waktu shalat dan dikumandangkan iqamah, Ammar maju menjadi imam dan berdiri di atas dukkan (tempat yang digunakan untuk duduk sebagaimana kursi, biasanya dalam bentuk bangunan kotak kecil di dasar tembok, layaknya teras sebuah rumah), sementara makmum shalat di bawah. Melihat ini, Hudzaifah pun maju dan menarik tangannya Ammar, beliau pun mengikuti Hudzaifah, hingga Hudzaifah menurunkan amar di tanah. Seusai shalat, Hudzaifah berkata kepada Ammar:

أَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِذَا أَمَّ الرَّجُلُ الْقَوْمَ فَلَا يَقُمْ فِي مَكَانٍ أَرْفَعَ مِنْ مَقَامِهِمْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ؟، قَالَ عَمَّارٌ: لِذَلِكَ اتَّبَعْتُكَ حِينَ أَخَذْتَ عَلَى يَدَيَّ

“Tidakkah anda mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seseorang mengimami masyarakat, janganlah dia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari posisi makmum.” atau yang semacam itu? Ammar menjawab: “Dan karena itu, saya mau mengikutimu ketika engkau menarik tanganku.” (HR. Abu Dawud no. 598)

Dalam riwayat lain, dari sahabat Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan:

وَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَيْهِ فَكَبَّرَ وَكَبَّرَ النَّاسُ وَرَاءَهُ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ رَفَعَ فَنَزَلَ الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ، ثُمَّ عَادَ، حَتَّى فَرَغَ مِنْ آخِرِ صَلَاتِهِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي، وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي»

“Saya pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami di atas mimbar. Beliau takbiratul ihram dan jamaah pun ikut takbir di belakang beliau, sementara beliau di atas mimbar. Kemudian, ketika beliau i’tidal, beliau mundur ke belakang untuk turun, sehingga beliau sujud di tanah. Lalu beliau kembali lagi ke atas mimbar, hingga beliau menyelesaikan shalatnya. Kemudian beliau menghadap kepada para sahabat, dan bersabda, ”Wahai para sahabat, aku lakukan ini agar kalian bisa mengikutiku dan mempelajari shalatku.” (HR. Al-Bukhari no. 377 dan Muslim no. 544)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam mensyarah hadits di atas, beliau berkata: “Pada hadits di atas dapat dipahami kebolehan berbeda tinggi dan rendahnya tempat imam dan makmum.”

Namun dibawahnya, beliau mengutip perkataan Ibnu Daqiq Al-‘Aid rahimahullah dengan tanpa komentar apapun, yaitu: “Barang siapa yang melakukan pendalilian dengan hadits ini kepada kebolehan berada pada tempat yang tinggi tanpa qashad ta’lim (mengajar), maka tidak dapat diterima.” (Fathul Bari, Jilid 1 hal. 487)

Jika melihat dari pendapat Ibnu Daqiq Al-‘Aid rahimahullah yang menolak penggunaan hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu ini sebagai dalil membolehkan (mubah) irtifa’ atau posisi imam lebih tinggi dari makmum. Maka bisa disimpulkan bahwa Ibnu Daqiq Al-‘Aid rahimahullah melarang hal ini.

Tarjih

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum mihrab imam lebih tinggi dari makmum adalah makruh atau dibenci bahkan bisa menjadi haram jika tak ada kebutuhan, namun diperbolehkan jika ada tujuan salah satu tujuannya adalah untuk mengajarkan jama’ah tata cara shalat yang benar sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, namun beberapa ulama tetap menganggap hal itu tidak merubah kemakruhan hal ini. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Hukum Musik

Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)


Saudaraku, siapa di antara kita yang tidak mengenal musik? Dan di antara orang yang mengenal musik, siapa dari mereka yang menyukainya? Mungkin ada di antara kita yang mengangkat tangan dan ada yang tidak. Sebagian kita ada yang menyukai musik dan ada yang tidak. Karena hal ini disebabkan oleh adanya pro dan kontra akan hukum musik itu sendiri dan juga karena ketidaktahuan kita akan manfaat dan bahaya musik itu sendiri.

Pada kesempatan kali ini, mari kita simak bersama, apa sih sebenarnya hukum musik itu sendiri? Terkhusus lagi, jika musik itu dinisbatkan kepada Islam. Sebelum kita membahas bersama, ada kesepakatan yang harus kita patuhi. Karena kita adalah orang Islam, tentunya kita mengimani bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala adalah Tuhan kita dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Nabi dan panutan kita. Maka konsekuensi dari itu, kita harus meyakini kebenaran yang datang dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Bukankah begitu, wahai saudaraku? Oke, mari kita simak dan renungkan bersama pembahasan kali ini.

Bagaimana Allah menerangkan hal ini dalam Al-Qur’an?

Ternyata, banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan akan hal ini. Satu di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Lukman : 6)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwasanya setelah Allah menceritakan tentang keadaan orang-orang yang berbahagia dalam ayat 1-5, yaitu orang-orang yang mendapat petunjuk dari firman Allah (Al-Qur’an) dan mereka merasa menikmati dan mendapatkan manfaat dari bacaan Al-Qur’an, lalu Allah subhanahu wa ta’alamenceritakan dalam ayat 6 ini tentang orang-orang yang sengsara, yang mereka ini berpaling dari mendengarkan Al-Qur’an dan berbalik arah menuju nyanyian dan musik.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu salah satu sahabat senior Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata ketika ditanya tentang maksud ayat ini, maka beliau menjawab bahwa itu adalah musik, seraya beliau bersumpah dan mengulangi perkataannya sebanyak tiga kali.

Begitu juga dengan sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang didoakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah memberikan kelebihan kepada beliau dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga beliau dijuluki sebagai Turjumanul Qur’an, bahwasanya beliau juga mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nyanyian. (Tafsir Ibnu Katsir, 556/3)

Al-Wahidy berkata bahwasanya ayat ini menjadi dalil bahwa nyanyian itu hukumnya haram. (Ighatsatul Lahafan karya Ibnul Qayyim, hal. 239)

Dan masih banyak lagi, ayat-ayat lainnya yang menjelaskan akan hal ini.

Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengkabarkan kepada umatnya tentang musik?

Saudaraku, termasuk mukjizat yang Allah subahanahu wa ta’ala berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pengetahuan beliau tentang hal yang terjadi di masa mendatang. Dahulu, beliau pernah bersabda :

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف

Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)

Saudaraku, bukankah apa yang telah dikabarkan oleh beliau itu telah terjadi pada zaman kita saat ini?

Dan juga dalam hadits lain, secara terang-terangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang musik. Beliau pernah bersabda :

إني لم أنه عن البكاء ولكني نهيت عن صوتين أحمقين فاجرين : صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير الشيطان وصوت عند مصيبة لطم وجوه وشق جيوب ورنة شيطان

“Aku tidak melarang kalian menangis. Namun, yang aku larang adalah dua suara yang bodoh dan maksiat; suara di saat nyanyian hiburan/kesenangan, permainan dan lagu-lagu setan, serta suara ketika terjadi musibah, menampar wajah, merobek baju, dan jeritan setan.” (HR. Al-Hakim 4/40 dan Al-Baihaqi 4/69)

Kedua hadits di atas telah menjadi bukti untuk kita bahwasanya Allah dan Rasul-Nya telah melarang nyanyian beserta alat musik.

Sebenarnya, masih banyak bukti-bukti lain baik dari Al-Qur’an, hadits, maupun perkataan ulama yang menunjukkan akan larangan dan celaan Islam terhadap nyanyian dan alat musik. Dan hal ini bisa dirujuk kembali ke kitabnya Ibnul Qayyim yang berjudul Ighatsatul Lahafan atau kitab-kitab ulama lainnya yang membahas tentang hal ini.

Lalu, Bagaimana dengan musik Islami?

Setelah kita mengetahui ketiga dalil di atas, mungkin ada yang bertanya di antara kita, lalu bagaimana dengan lagu-lagu yang isinya bertujuan untuk mendakwahkan manusia kepada kebaikan atau nasyid-nasyid Islami yang mengandung ajakan manusia untuk mengingat Allah? Bukankah hal itu mengandung kebaikan?

Maka kita jawab, ia benar. Hal itu mengandung kebaikan, tapi menurut siapa? Jika Allah dan Rasul-Nya menganggap hal itu adalah baik dan menjadi salah satu cara terbaik dalam berdakwah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabat adalah orang-orang yang paling pertama kali melakukan hal tersebut. Akan tetapi tidak ada satu pun cerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya melakukannya, bahkan mereka melarang dan mencela hal itu.

Wahai saudaraku, perlu diketahui, bahwasanya nasyid Islami yang banyak kita dengar sekarang ini itu, bukanlah nasyid yang dilakukan oleh para sahabat Nabi yang mereka lakukan ketika mereka melakukan perjalanan jauh ataupun ketika mereka bekerja, akan tetapi nasyid-nasyid saat ini itu merupakan budaya kaum sufi yang mereka lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menjadikan hal ini sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah, yang padahal hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, maka dari mana mereka mendapatkan hal ini?

Maka telah jelas bagi kita, bahwa kaum sufi tersebut telah membuat syariat baru, yaitu membuat suatu bentuk pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara melantunkan nasyid yang hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Waktu-waktu yang diperbolehkan untuk bernyanyi dan bermain alat musik

Saudaraku, ternyata Islam tidak melarang kita secara mutlak untuk bernyanyi dan bermain alat musik. Ada waktu-waktu tertentu yang kita diperbolehkan untuk melakukan hal itu. Kapan itu?

1. Ketika Hari raya

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh istri beliau, Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu masuk (ke tempatku) dan di dekatku ada dua anak perempuan kecil dari wanita Anshar, sedang bernyanyi tentang apa yang dikatakan oleh kaum Anshar pada masa perang Bu’ats.” Lalu aku berkata, “Keduanya bukanlah penyanyi.” Lalu Abu Bakar berkata, “Apakah seruling setan ada di dalam rumah Rasulullah?” Hal itu terjadi ketika Hari Raya. Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan ini adalah hari raya kita.” (HR. Al-Bukhari no. 949)

2. Ketika pernikahan

Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari yang menceritakan tentang anak kecil yang menabuh rebana dan bernyanyi dalam acara pernikahannya Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari adanya hal tersebut.

Dan juga berdasarkan dari sebuah hadits, bahwasanya beliau pernah bersabda, “Pembeda antara yang halal dan yang haram adalah menabuh rebana dan suara dalam pernikahan.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1080)

Jadi, telah jelas bukan, bahwa keadaan yang diperbolehkan untuk bernyanyi dan bermain alat musik hanyalah ketika hari raya dan pernikahan. Dan alat musik yang diperbolehkan hanyalah duff (rebana) yang hanya dimainkan oleh wanita.

Beberapa karakter khas yang ada dalam nyanyian dan musik

  • Dapat melalaikan hati
  • Menghalangi hati untuk memahami Al-Qur’an dan merenungkannnya serta mengamalkan kandungannya
  • Al-Qur’an dan nyanyian tidak akan bertemu secara bersamaan dalam hati selamanya. Karena Al Qur’an melarang mengikuti hawa nafsu dan memerintahkan untuk menjaga kesucian hati. Sedangkan nyanyian memerintahkan sebaliknya, bahkan menghiasinya dan merangsang jiwa manusia untuk mengikuti hawa nafsu.
  • Nyanyian dan minuman keras ibarat saudara kembar dalam merangsang jiwa untuk melakukan keburukan. Saling mendukung dan menopang satu sama lain.
  • Nyanyian itu pencabut kewibawaan seseorang
  • Nyanyian dapat menyerap masuk ke dalam pusat khayalan, lalu membangkitkan nafsu dan syahwat yang terpendam di dalamnya
  • Dan masih banyak lagi yang lainnya. (At-Tahrim, 151)

Karakter-karakter khas yang terdapat pada musik tersebut mencakup semua jenis musik, baik itu musik rock, pop, dangdut, maupun musik Islami. Karena hal ini memang telah terbukti di kalangan para pecinta musik. Dan memang, nyanyian dan musik ini sangat besar pengaruhnya bagi para pelaku dan pendengarnya dari segala sisi, baik dari akidahnya, akhlaknya, maupun dari akal pikirannya yang telah menunjukkan adanya kemerosotan yang sangat signifikan jika dibanding dengan generasi kakek nenek kita, yang mana dulu masih jarang ditemukan adanya nyanyian ataupun musik.

Renungan

Wahai Saudara, kami rasa ketiga dalil dari Al-Qur’an dan hadits di atas dan penjelasan setelahnya, sudah cukup membuktikan kepada kita bahwa Islam melarang adanya nyanyian dan alat-alat musik. Dan juga, sudah cukup melegakan hati saudaraku yang memang sebelumnya kontra dengan musik. Dan menjadikan terang dan jelas bagi saudaraku yang sebelumnya pro dengan musik. Dan telah terjawab sudah, pertanyaan pada judul pembahasan kita saat ini. Bukankah demikian?

Namun memang sudah seharusnya bagi kita seorang muslim, untuk menerima dengan tunduk apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tanpa ada rasa berat dan penolakan sedikit pun dari dalam hati kita. Karena jika hal itu terjadi, maka itu adalah salah satu tanda adanya kesombongan yang ada dalam hati kita. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ» قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: «إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk ke dalam surga seseorang yang di dalam hatinya ada setitik kesombongan.” Lalu ada seorang laki-laki bertanya pada beliau, “Sesungguhnya manusia itu menyukai baju yang indah dan sandal yang bagus.” Lalu beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 275)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberikan kita taufik dan kekuatan untuk bisa melakukan segala apa yang Dia perintahkan dan menjauhi segala apa yang Dia larang. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang Maha Pemberi taufik dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanyalah milik Allah semata. Wallahu waliyyut taufiq.

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top