Najis Mukhaffafah

“Najis Mukhaffafah yaitu kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI dan belum mencapai dua tahun.” (Matan Safinah an-Najah, hal. 28)


Najis mukhaffafah adalah najis yang berasal dari kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain air susu ibu (ASI) dan belum mencapai usia dua tahun. asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami rahimahullah berkata:

والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين

“Najis Mukhaffafah yaitu kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI dan belum mencapai dua tahun.”[1]

Najis mukhaffafah memiliki empat kriteria dimana jika salah satu kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka najis tersebut tidak termasuk najis mukhaffafah, akan tetapi masuk dalam kategori najis mutawasithah, empat kriteria tersebut adalah:

  • Kencing

Kriteria yang pertama adalah kencing, maka najis selain kencing seperti tinja atau muntahan masuk dalam kategori najis mutawasithah.

  • Bayi laki-laki

Kriteria kedua adalah bayi laki-laki, maka kencing bayi perempuan masuk dalam kategori najis mutawasithah. Dalil yang melandasi kriteria pertama dan kedua adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلامِ ، وَيُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ

“Kencing anak laki-laki dipercikkan dengan air dan kencing anak perempuan dicuci.”[2]

Dari Abu as-Samh radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ وَ يُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلَامِ

“Kencing bayi perempuan itu dicuci, sedangkan bayi laki-laki diperciki.”[3]

Juga hadits dari Ummu Qais binti Mihshan radhiyallahu ‘anha:

أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حِجْرِهِ ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ

“Bahwasanya dia pernah membawa anak laki-laki yang masih kecil (bayi) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendudukkannya di pangkuan beliau. Kemudian bayi laki-laki itu mengencingi pakaian beliau. Lalu beliau meminta air, kemudian memercikkannya dan beliau tidak mencucinya.”[4]

  • Belum makan apapun selain ASI

Kriteria ketiga adalah belum makan apapun selain ASI, maksudnya adalah bahwa bayi laki-laki tersebut belum menjadikan makanan selain ASI sebagai kebutuhan pokok dia, karena ketika bayi baru lahir pun dia sudah mengkonsumsi makanan lain seperti obat, gula atau semacamnya, bahkan disunnahkan untuk ditahnik dengan kurma sebagaimana hadits dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ

“(Suatu saat) aku memiliki anak yang baru lahir, kemudian aku mendatangi Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau memberi nama padanya dan beliau mentahnik dengan sebutir kurma.”[5]

Akan tetapi, jika bayi laki-laki tersebut sudah mengkonsumsi makanan lain secara rutin walaupun masih mengkonsumi ASI, maka air kencing bayi laki-laki tersebut sudah dihukumi najis mutawasithah dan wajib dicuci untuk menyucikannya. Dalil yang melandasi bahwa bayi laki-laki tersebut harus masih menyusui adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ وَيُحَنِّكُهُمْ فَأُتِيَ بِصَبِيٍّ [يَرْضَعُ] فَبَالَ عَلَيْهِ (وَفِيْ رِوَيَةٍ : فَبَالَ فِي حَجْرِهِ) (وَفِيْ رِوَيَةٍ : فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ) فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ

“Bahwasanya pernah dibawa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa anak laki-laki, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan keberkahan atas mereka dan mentahnik mereka. Lalu dibawa kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang anak laki-laki yang masih menyusu, lalu anak itu mengencingi Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Dalam riwayat yang lain), lalu anak itu kencing di pangkuan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Dalam riwayat yang lain), lalu anak itu mengencingi pakaian Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air dan memerciki kencing bayi laki-laki itu dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencucinya.”[6]

  • Belum mencapai dua tahun

Kriteria keempat adalah belum mencapai dua tahun, maka seandainya bayi laki-laki yang belum memakan apapun selain ASI tersebut telah mencapai usia dua tahun menurut perhitungan hijriyyah, maka kencingnya masuk kategori najis mutawasithah. Masa dua tahun ini sendiri merupakan masa sempurna dalam menyusui bayi, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”[7]

Jika salah satu kriteria diatas tidak terpenuhi, misalnya bayi laki-laki yang belum mengkonsumsi apapun sebagai kebutuhan pokoknya selain ASI namun sudah berusia lebih dari dua tahun, maka kencingnya termasuk mutawasithah. Atau bayi laki-laki berusia dibawah dua tahun namun sudah mengkonsumsi makanan lain selain ASI sebagai kebutuhan pokoknya, misalnya mengkonsumsi susu formula, maka air kencingnya termasuk najis mutawasithah dan bukan termasuk najis mukhaffafah. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] Matan Safinah an-Najah, hal. 28
[2] HR. at-Tirmidzi no. 610 dan Ibnu Majah no. 525
[3] HR. Abu Dawud no. 376 dan an-Nasai no. 305
[4] HR. al-Bukhari no. 223 dan Muslim no. 287
[5] HR. Muslim no. 2145
[6] HR. al-Bukhari no. 222, 5.468, 6.002 dan 6.355
[7] QS. al-Baqarah [2] : 233


Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ism’ail al-Ju’fi al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah al-Qazwaini. Sunan Ibnu Majah. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali an-Nasa’i. al-Mujtaba min as-Sunan (Sunan an-Nasa’i). Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at-Tirmidzi. Jami’ at-Tirmidzi. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani. Sunan Abu Dawud. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami. Matan Safinah an-Najah fii Maa Yajibu ‘alaa al-‘Abdi lii Maulah. 1430 H. Dar Ibn Hazm Beirut.

0 Comment for "Najis Mukhaffafah"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top