“Tidak ada hari-hari yang lebih agung dan lebih dicintai
Allah dalam melaksanakan amalan di dalamnya dibandingkan pada sepuluh hari
(Dzulhijjah) ini. Maka perbanyak di dalamnya dengan tahlil, takbir dan tahmid.”
(HR. Ahmad no. 5446)
Bulan Dzulhijjah adalah bulan
terakhir dalam penanggalan hijriyah. Bulan Dzulhijjah tersusun dari dua kata
yaitu Dzu yang berarti pemilik dan al-Hijjah yang berarti Haji. Bangsa Arab
menamai Dzulhijjah karena pada bulan ini orang-orang Arab melaksanakan ibadah
haji sebagai bentuk pelaksanaan ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, dimana kebiasaan ini telah ada sejak masa
Jahiliyyah. Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan haram yang disucikan
dan dihormati oleh umat muslim, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ
اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ، السَّنَةُ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ : ذُو
الْقَعْدَةِ ، وَذُو الْحِجَّةِ ، وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبٌ ، شَهْرُ مُضَرَ ، الَّذِي
بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya zaman ini telah
berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang
mana satu tahun itu ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram.
Tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan
Muharram, kemudian bulan Rajab, (yaitu) bulan yang dikenal oleh (suku) Mudhar
yang berada diantara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban.”[1]
Pada
awal bulan Dzulhijjah, umat muslim disyari’atkan untuk memperbanyak amal shalih
karena amalan pada saat itu memiliki keutamaan yang sangat besar. Hal ini
berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ
الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ
اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tidak ada satu amal shalih
yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shalih yang dilakukan pada
hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para sahabat bertanya:
“Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan
jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”[2]
Adapun
beberapa amalan yang disyari’atkan pada awal bulan dzulhijjah antara lain:
1.
Puasa
Disunnahkan
pada 9 hari pertama bulan Dzulhijjah untuk memperbanyak puasa. Hal ini
sebagaimana sebuah riwayat dari istri sahabat Humaidah bin Khalid radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan
bahwa beberapa istri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ
شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah, hari
‘Asyura, tiga hari pada setiap bulan, dan hari Senin pertama awal bulan serta
hari Kamis.”[3]
Terlebih lagi ditekankan untuk
melaksanakan puasa pada hari ‘Arafah yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah karena
memiliki keutamaan yang besar. Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ
يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa ‘Arafah (9 Dzulhijjah)
dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Puasa
‘Asyura’ (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.”[4]
Namun mengenai puasa ‘Arafah
tanggal 9 Dzulhijjah hanya disunnahkan kepada umat muslim yang tidak melaksanakan
ibadah haji. al-Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata:
أما حكم المسألة فقال
الشافعي والأصحاب : يستحب صوم يوم عرفة لغير من هو بعرفة . وأما الحاج الحاضر في عرفة
فقال الشافعي في المختصر والأصحاب : يستحب له فطره لحديث أم الفضل
“Adapun hukum dalam masalah puasa ‘Arafah, maka
al-Imam asy-Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah mengatakan: “Disunnahkan berpuasa
pada hari ‘Arafah bagi yang tidak wukuf di ‘Arafah. Sementara jama’ah haji yang
berada di ‘Arafah. maka al-Imam asy-Syafi’i dalam Mukhtashar dan ulama
Syafi’iyyah mengatakan: “Dianjurkan baginya berbuka berdasarkan hadits Ummu
Fadhl.”[5]
Sedangkan bagi umat muslim yang
sedang melaksanakan ibadah haji tidak disunnahkan bahkan beberapa ulama
memakruhkan untuk melaksanakan puasa ‘Arafah. Hal ini sebagaimana sebuah
riawayat dari Ummu Fadhl binti al-Harits radhiyallahu
‘anha:
أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا
عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ
إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
“Sesungguhnya orang-orang
saling berbantahan di dekatnya pada hari ‘Arafah tentang puasa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan: “Beliau berpuasa.” Sebagian
lainnya mengatakan: “Beliau tidak berpuasa.” Maka Ummu Fadhl mengirimkan
semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta
beliau, maka beliau meminumnya.”[6]
Juga riwayat dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ
، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang
saling berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari
‘Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan
beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun
menyaksikannya.”[7]
2.
Haji
Haji merupakan suatu kewajiban
bagi setiap muslim yang mampu dalam mengadakan perjalanan serta menyediakan
perbekalan. Haji diwajibkan bagi setiap muslim satu kali seumur hidup. Dalil
yang melandasi kewajiban haji adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ
حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”[8]
Dan juga sebuah riwayat dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata:
خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْـهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اَللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ اَلْحَجَّ
فَقَامَ اَلْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ فَقَالَ أَفِي كَلِّ عَامٍ يَا رَسُولَ اَللَّهِ
قَالَ لَوْ قُلْتُهَا لَوَجَبَتْ اَلْحَجُّ مَرَّةٌ فَمَا زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami dan beliau bersabda: “Allah telah
mewajibkan haji pada kalian.” Lantas al-Aqra’ bin Habis berdiri kemudian bertanya:
“Apakah haji tersebut wajib setiap tahun?” Beliau menjawab: “Seandainya iya,
maka akan kukatakan wajib (setiap tahun). Namun haji cuma wajib sekali. Barangsiapa
yang lebih dari sekali, maka itu hanyalah haji yang sunnah.”[9]
Dalam pelaksanaannya, ibadah
haji sangat terkait sekali dengan bulan Dzulhijjah karena salah satu rukun haji
yaitu wukuf, wajib dilaksanakan pada hari ‘Arafah yaitu pada tanggal 9
Dzulhijjah. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji itu adalah ‘Arafah.”[10]
Maksud hadits di atas adalah
bahwa salah satu rukun haji yaitu wukuf di ‘Arafah merupakan tiang haji dan
rukun yang terpenting. Maka barangsiapa tidak berwukuf di ‘Arafah pada tanggal
9 Dzulhijjah, maka hajinya batal.
3.
‘Umrah
Selain haji, kita pun
disyari’atkan melaksanakan ibadah ‘umrah pada bulan Dzulhijjah. Hal ini
sebagaimana firman Allah subhanahu wa
ta’ala:
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji
dan ‘umrah karena Allah.”[11]
Dan juga sebuah riwayat dari Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ عَلَى النِّسَاءِ
مِنْ جِهَادٍ؟ قَالَ نَعَمْ ، عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لَا قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
“Wahai Rasulullah, apakah
wanita juga wajib berjihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Iya. Dia wajib berjihad tanpa ada peperangan di dalamnya, yaitu dengan haji
dan ‘umrah”[12]
Pelaksanaan ibadah haji dan ‘umrah
dapat dilaksanakan secara beriringan sehingga mempermudah dalam pelaksanaannya
karena akan menghemat anggaran perjalanan dan perbekalannya hal tersebut
dikarenakan ibadah haji dan ‘umrah dapat dilaksanakan hanya dengan melakukan
satu kali safar.
4.
Dzikir
Disunnahkan pada awal bulan
Dzulhijjah untuk memperbanyak dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَاذْكُرُوا اللهَ فِي
أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ
“Dan berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.”[13]
Mengenai ayat di atas, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى
أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ
التَّشْرِيقِ
“Dan berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang yaitu 10 hari pertama Dzulhijjah dan juga pada
hari-hari tasyriq.”[14]
Mengenai hal ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ
عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ
الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ
“Tidak ada hari-hari yang lebih
agung dan lebih dicintai Allah dalam melaksanakan amalan di dalamnya
dibandingkan pada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyak di dalamnya
dengan tahlil, takbir dan tahmid.”[15]
Termasuk dzikir adalah dengan
bertakbir, bertahlil, bertasbih dan bertahmid serta beristighfar dan
memperbanyak do’a. Disunnahkan pula untuk meninggikan suara ketika bertakbir.
Hal ini sebagaimana sebuah riwayat yang disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah, beliau berkata:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ
وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ
وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ
“Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah
pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, lalu mereka
bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir
setelah shalat sunnah.”[16]
Takbir sendiri terbagi menjadi
dua, yaitu takbir mursal dan takbir muqayyad. Takbir mursal adalah takbir yang
tidak dikaitkan dengan waktu dan tempat tertentu, dapat dilakukan dimanapun
sebagaimana riwayat dari al-Imam al-Bukhari rahimahullah
di atas. Sedangkan takbir muqayyad adalah takbir yang dikaitkan dengan waktu
tertentu yaitu setelah melaksanakan shalat wajib berjamaa’ah. Takbir muqayyad
dilakukan sejak fajar pada hari ‘Arafah (setelah pelaksanaan shalat shubuh)
bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji, sedangkan bagi mereka yang
berhaji dimulai pada waktu zhuhur di hari Nahr (‘Iedul Adha) tanggal 10
Dzulhijjah. Pelaksanaan takbir muqayyad berakhir pada hari tasyriq yang
terakhir yaitu pada tanggal 13 Dzulhijjah. Penjelasan mengenai hal ini, dapat
dibaca dalam artikel Takbir Mursal dan Takbir Muqayyad.
Sedangkan lafazh takbir yang
dicontohkan oleh beberapa sahabat antara lain dengan lafazh:
اللَّهُ أَكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ
الْحَمْدُ
“Allahu
akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Laa ilaha illallah, Allahu akbar, Allahu
akbar, wa lillahil hamd.”
Penjelasan mengenai lafazh takbiran dapat
disimak pada artikel Lafazh
Takbir Hari Raya.
5.
Shalat
‘ied
Amalan selanjutnya yaitu
melaksanakan shalat ‘iedul adha di waktu pagi hari setelah waktu syuruq pada
hari raya ‘Iedul Adha 10 Dzulhijjah sebelum pelaksanaan penyembelihan hewan
qurban. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu; dan berqurbanlah.”[17]
Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum shalat ‘Ied. Madzhab Syafi’i dan Maliki menyatakan bahwa hukum
shalat ‘Ied adalah sunnah muakkad, dan madzhab Hanbali menyatakan bahwa hukumnya
fardhu kifayyah, sedangkan madzhab Hanafi menyatakan bahwa shalat ‘ied adalah
fardhu ‘ain. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai hal ini, shalat ‘ied
merupakan amalan yang sangat ditekankan, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai memerintahkan para wanita yang
sedang haidh untuk menghadiri shalat ‘ied untuk menyaksikan kebaikan-kebaiakan
serta mendengarkan khutbah. Hal ini sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Ummu Athiyyah radhiyallahu ‘anha,
beliau berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَ فِيْ عِيْدَيْنِ العَوَاطِقَ وَالْحُيَّضَ
لِيَشْهَدْناَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَتَعْتَزِلَ الْحُيَّضُ الْمُصَلِّى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyuruh kami keluar menghadiri shalat ‘Ied bersama budak-budak
perempuan dan perempuan-perempuan yang sedang haidh untuk menyaksikan
kebaikan-kebaikan dan mendengarkan khuthbah. Dan bagi wanita yang sedang haidh
disuruh menjauhi tempat shalat.”[18]
Ada beberapa amalan-amalan yang
disunnahkan dalam pelaksanaan shalat ‘iedul adha, antara lain: mandi, memakai
wewangian, memakai pakaian terbaik, tidak makan sebelum shalat ‘ied, bertakbir
selama perjalanan ke tempat shalat, mengambil jalan yang berbeda ketika
berangkat dan pulang dari shalat ‘ied dan yang terakhir adalah bertahniah atau
saling mengucapkan selamat hari raya dengan kalimat:
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا
وَمِنْك
“Taqabbalallahu minnaa
wa minkum.”
6.
Menyembelih
hewan Qurban
Menyembelih hewan qurban merupakan
salah satu amalan keta’atan yang paling utama dan merupakan syi’ar Islam yang
agung. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ
يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ
وَإِنَّهُ لَيَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلاَفِهَا وَأَشْعَارِهَا
وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ
عَلَى الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
“Tidaklah anak Adam melakukan
suatu amalan pada hari Nahr (‘Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah
melebihi mengalirkan darah dari hewan qurban. Ia akan datang pada hari kiamat
dengan tanduk, kuku, rambut hewan qurban tersebut. Dan sungguh, darah tersebut
akan sampai kepada (ridha) Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi,
maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berqurban.”[19]
Berqurban merupakan bentuk
syi’ar keikhlasan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan merupakan wujud ketundukan serta kepatuhan
terhadap perintah serta larangan-Nya. Karena hal tersebut, maka setiap muslim
yang memiliki kelapangan rezeki disunnahkan untuk berqurban, bahkan beberapa
ulama menyatakan wajib baginya berqurban. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ
وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barangsiapa yang memiliki
kelapangan, sedangkan dia tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat
shalat kami.”[20]
Waktu penyembelihan hewan
qurban sendiri dimulai sejak setelah shalat ‘Iedul Adha hingga terbenamnya
matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah. Dan waktu yang paling utama adalah setelah
shalat ‘iedul adha bersama imam. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ
فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ
، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
“Barangsiapa yang menyembelih
qurban sebelum shalat (‘Iedul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya
sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (‘Iedul Adha), maka ia
telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.”[21]
Sedangkan dalil batas akhir
penyembelihan hewan qurban yaitu hingga terbenamnya matahari pada tanggal 13
Dzulhijjah (hari tasyriq terakhir) adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وكل أيام التشريق ذبح
“Semua hari tasyriq adalah
waktu untuk menyembelih.”[22]
7.
Memperbanyak
amal shalih, bertaubat serta meninggalkan segala perkara dosa dan kemaksiatan
Dan yang terakhir adalah
memperbanyak amalan shalih seperti membaca al-Qur’an, bersedekah, melaksanakan
shalat sunnah dan lain sebagainya, bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta meninggalkan segala perbuatan dosa dan
kemaksiatan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ
الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ
اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tidak ada satu amal shalih
yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shalih yang dilakukan pada
hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para sahabat bertanya:
“Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan
jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”[23]
Demikianlah beberapa amalan
yang dapat kita kerjakan dan maksimalkan di awal bulan Dzulhijjah. Semoga Allah
subhanahu wa ta’ala memberikan kesehatan
serta kekuatan kepada kita untuk senantiasa melaksanakan keta’atan kepada-Nya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
[1] HR.
al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679
[2] HR.
al-Bukhari no. 969, Abu Dawud no. 2438, at-Tirmidzi no. 757 dan Ibnu Majah no.
1727
[3] HR.
Abu Dawud no. 2437
[4] HR.
Muslim no. 1162
[6] HR. al-Bukhari
no. 1988 dan Muslim no. 1123
[7] HR. al-Bukhari
no. 1989 dan Muslim no. 1124
[8] QS. Ali
Imran [3] : 97
[9] HR.
Abu Dawud no. 1721, Ibnu Majah no. 2886 dan an-Nasa’i no. 2621
[10] HR.
at-Tirmidzi no. 889, an-Nasa’i no. 3016 dan Ibnu Majah no. 3015
[11] QS. al-Baqarah
[2] : 196
[12] HR.
Ibnu Majah no. 2901
[13] QS. al-Baqarah
[2] : 203
[14] Shahih
al-Bukhari, hal. 193
[15] HR.
Ahmad no. 5446
[16] Shahih
al-Bukhari, hal.193
[17] QS.
al-Kautsar [108] : 2
[18] HR.
al-Bukhari no. 313 dan Muslim no. 1475
[19] HR.
Ibnu Majah no. 3126 dan at-Tirmidzi no. 1493
[20] HR.
Ibnu Majah no. 3123
[21] HR. al-Bukhari
no. 5546
[22] HR.
Ahmad no. 16697
[23] HR.
al-Bukhari no. 969, Abu Dawud no. 2438, at-Tirmidzi no. 757 dan Ibnu Majah no.
1727
Referensi
- al-Qur’an al-Kariim
- al-Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. al-Musnad. 1416 H. Dar al-Hadits Kairo.
- al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ism’ail al-Ju’fi al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah al-Qazwaini. Sunan Ibnu Majah. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali an-Nasa’i. al-Mujtaba min as-Sunan (Sunan an-Nasa’i). Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at-Tirmidzi. Jami’ at-Tirmidzi. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats as-Sijistani. Sunan Abu Dawud. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi. al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab li asy-Syairazi. Maktabah al-Irsyad Jeddah.
0 Comment for "Amalan-Amalan di Awal Bulan Dzulhijjah"