Hukum Dzikir Berjama'ah

“Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghaib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Al-Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704)


Dzikir berjama’ah adalah hal yang biasa di kalangan kaum muslimin. Mereka biasa berdzikir dengan membacakan wirid-wirid tertentu dan dipimpin oleh seseorang. Biasanya dzikir berjama’ah ini dilakukan setelah shalat fardhu, bahkan dalam beberapa tarekat sering melakukan dzikir berjama’ah ini dengan ghuluw (berlebih-lebihan) dengan berteriak-teriak sehingga mengganggu orang lain yang sedang shalat maupun istirahat. Lalu bagaimanakah sebenarnya hukum dari dzikir berjama’ah ini. Berikut ulasannya.

Berdzikir sendiri merupakan salah satu wujud dari bentuk berdoa. Berdoa bersama kalau yang dimaksud adalah satu orang berdoa sedangkan yang lain mengamini, maka ini ada 2 keadaan:

Pertama. Hal tersebut dilakukan pada amalan yang memang disyariatkan doa bersama, maka berdoa bersama dalam keadaan seperti ini disyariatkan seperti di dalam shalat Al-Istisqa’ (minta hujan), dan Qunut.

Kedua. Hal tersebut dilakukan pada amalan yang tidak ada dalilnya dilakukan doa bersama di dalamnya, seperti berdoa bersama setelah shalat fardhu, setelah majelis ilmu, setelah membaca Al-Quran dll, maka ini boleh jika dilakukan kadang-kadang, tanpa kesengajaan dan juga jika ada kebutuhan seperti ingin mengajari makmum do’a atau dzikir. Namun jika dilakukan terus-menerus maka itu dilarang bahkan bisa menjadi bid’ah.

            Untuk hal yang pertama mengenai dzikir berjama’ah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencontohkannya suatu waktu dan beliau pun mengeraskan suaranya dengan tujuan agar para sahabat dapat menghapal dzikir dan do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu beliau meninggalkan perkara itu dan kembali memelankan dzikirnya.

            Dalam melihat perkara dzikir berjama’ah ini, kita perhatikan beberapa hadits berikut:

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

“Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)

Dalam riwayat lainnya disebutkan:

كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالتَّكْبِيرِ

“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Al-Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا، فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، إِنَّهُ مَعَكُمْ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ »

“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghaib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Al-Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704)

            Jika kita perhatikan, ketiga hadits di atas terkesan saling kontradiksi, hadits pertama dan kedua menyatakan bahwa dzikir setelah shalat fardhu itu dikeraskan suaranya. Akan tetapi, di hadits ketiga justru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memelankan suara ketika berdzikir. Maka dalam hal ini, kita perlu memperhatikan para salafush shalih dalam menjelaskan perkara ini. Agar kita bisa memahami bagaimana sunnahnya berdzikir ini, kemudian bolehkan dilakukan berjama’ah dengan dikomandoi dan satu suara.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

واختيار للامام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماما يجب أن يتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تعلم منه ثم يسر

“Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berdzikir selepas selesai shalat. Hendaklah mereka memelankan (secara sirr) dzikir kecuali jika imam ingin mengajar bacaan-bacaan dzikir tersebut, maka ketika itu dzikir dikeraskanlah, hingga dia menduga bahwa telah dipelajari darinya (bacaan-bacaan dzikir tersebut), lalu setelah itu ia memelankan kembali dzikirnya.” (Al-Umm, Jilid 1 hal. 150)

وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه ذلك لان عامة الروايات التى كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم تهليل ولا تكبير وقد يذكر أنه ذكر بعد الصلاة بما وصفت ويذكر انصرافه بلا ذكر وذكرت أم سلمة مكثه ولم يذكر جهرا وأحسبه لم يكث إلا ليذكر ذكرا غير جهر

“Menurutku Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan (dzikir) sedikit agar orang-orang bisa belajar dari beliau. Kerana kebanyakan riwayat yang telah kami tulis bersama ini atau selainnya, tidak menyebut selepas salam terdapat tahlil dan takbir. Kadangkala riwayat menyebut Nabi berdzikir selepas shalat seperti yang aku nyatakan, kadangkala disebut bahwa Nabi pergi tanpa berdzikir. Ummu Salamah menyebutkan bahwa Nabi selepas shalat menetap di tempat shalatnya akan tetapi tidak menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan jahr (keras). Aku rasa beliau tidaklah menetap kecuali untuk berdzikir dengan dzikir yang tidak dikeraskan.” (Al-Umm, Jilid 1 hal. 150-151)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya:

يكره أن يجتمع القوم يدعون الله سبحانه وتعالى ويرفعون أيديهم؟

“Apakah diperbolehkan sekelompok orang berkumpul, berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan mengangkat tangan?”

Maka beliau mengatakan:

ما أكرهه للإخوان إذا لم يجتمعوا على عمد، إلا أن يكثروا

“Aku tidak melarangnya jika mereka tidak berkumpul dengan sengaja, kecuali kalau terlalu sering.”

Berkata Al-Marwazi rahimahullah:

وإنما معنى أن لا يكثروا: يقول: أن لا يتخذونها عادة حتى يعرفوا به

“Dan makna ‘jangan terlalu sering’ adalah jangan menjadikannya sebagai kebiasaan, sehingga dikenal oleh manusia dengan amalan tersebut.” (Masail Imam Ahmad bin hanbal wa Ishaq bin Rahuyah, Jilid 9 hal. 4879)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Demikian pula perkataan para ashab (para ulama besar madzhab syafi'i) bahwasanya dzikir dan do'a setelah shalat disunnahkan untuk dibaca dengan sirr (pelan). Kecuali sang imam ingin mengajari orang-orang maka ia membacanya dengan keras, dan jika mereka (para makmum) telah mengetahui maka sang imam kembali membaca dengan pelan.” (Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Jilid 3 hal. 468)

Syaikh Zainuddin Al-Malibari rahimahullah berkata: “Adapun (berdzikir atau berdo'a) dengan suara yang sangat keras di dalam masjid, sehingga mengganggu orang yang sedang shalat, maka sudah selayaknya hal seperti ini untuk diharamkan.” (Fathul Mu'in, Jilid 3 hal. 185-186)

Adapun dzikir bersama, dipimpin oleh seseorang kemudian yang lain mengikuti secara bersama-sama, terlebih lagi hal ini dilakukan bukan setelah shalat fardhu akan tetapi menyengaja berkumpul dengan tujuan ini, maka ini termasuk bid’ah, tidak ada dalilnya dan tidak diamalkan para salaf. Bahkan mereka mengingkari dzikir dengan cara seperti ini, sebagaimana dalam kisah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berikut:

أخبرنا الحكم بن المبارك، أنبأنا عمرو بن يحيى قال: سمعت أبي يحدث، عن أبيه قال: كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - قَبْلَ صَلَاةِ الغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - فَقَالَ: أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا: لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيْعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ - وَالْحَمْدُ للهِ - إِلَّا خَيْرًا. قَالَ: فَمَا هُوَ ؟ فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوْسًا يَنْتَظِرُوْنَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلَقَةٍ رَجُلٌ، وَفِيْ أَيْدِيْهِمْ حَصًا، فَيَقُوْلُ: كَبِّرُوا مِئَةً، فَيُكَبِّرُوْنَ مِئَةً، فَيَقُوْلُ: هَلِّلُوا مِئَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِئَةً، فَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِئَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِئَةً. قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ: أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِهِم، ثَمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلَقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ: مَا هَذا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ ؟ قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًا نَعُدَّ بِهِ التَّكْبِيْرَ والتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيْحَ. قَالَ: فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتكُمْ ! هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ. قَالُوا: وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ تُصِيْبَهُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلَّ أَكْتَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.

“Telah memberi kabar kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubarak, Telah memberitakan kepada kami ‘Amru bin Yahya, ia berkata: Aku mendengar ayahku meriwayatkan hadits dari ayahnya, ia berkata: Sebelum shalat shubuh, kami biasa duduk di depan pintu ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Jika dia sudah keluar rumah, maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba kami didatangi oleh Abu Musa Al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu, seraya bertanya: “Apakah Abu ‘Abdirrahman (‘Abdullah bin Mas’ud) sudah keluar menemui kalian ?”. Kami menjawab: “Belum”. Lalu dia pun duduk bersama kami hingga ‘Abdullah bin Mas’ud keluar rumah. Setelah dia keluar, kami pun bangkit menemuinya. Abu Musa berkata: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, tadi aku melihat kejadian yang aku ingkari di masjid, namun aku menganggap –segala puji bagi Allah– hal itu adalah baik”. Kata Ibnu Mas’ud: “Apakah itu ?”. Abu Musa menjawab: “Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang di masjid, mereka duduk ber-halaqah sedang menunggu shalat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan halaqah tadi berkata: ‘Bertakbirlah seratus kali’, maka mereka pun bertakbir seratus kali. ‘Bertahlillah seratus kali’, maka mereka pun bertahlil seratus kali. ‘Bertasbihlah seratus kali’, maka mereka pun bertasbih seratus kali”. Ibnu Mas’ud bertanya: “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abu Musa menjawab: “Aku tidak berkata apa-apa hingga aku menunggu apa yang akan engkau katakan atau perintahkan”. Ibnu Mas’ud berkata: “Tidakkah engkau katakan kepada mereka agar mereka menghitung kesalahan mereka dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan”. Lalu Ibnu Mas’ud berlalu menuju masjid tersebut dan kami pun mengikuti di belakangnya hingga sampai di tempat itu. Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka: “Benda apa yang kalian pergunakan ini?”. Mereka menjawab: “Kerikil wahai Abu ‘Abdirrahman. Kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan mempergunakannya”. Ibnu Mas’ud berkata: “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad! Betapa cepat penyimpangan yang kalian lakukan. Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga retak. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya! Apakah kalian merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud menjawab: “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada kami: ‘Akan ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati kerongkongannya’. Demi Allah, aku tidak tahu, boleh jadi kebanyakan dari mereka adalah sebagian di antara kalian”. ‘Amr bin Salamah berkata: “Kami melihat mayoritas diantara orang-orang yang ikut dalam halaqah itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrawan yang bergabung bersama orang-orang Khawarij.” (HR. Ad-Darimi no. 204)

Berkata Imam Asy-Syathibi rahimahullah:

فإذا ندب الشرع مثلا إلى ذكر الله فالتزم قوم الاجتماع عليه على لسان واحد وبصوت أو في وقت معلوم مخصوص عن سائر الأوقات ـ لم يكن في ندب الشرع ما يدل على هذا التخصيص الملتزم بل فيه ما يدل على خلافه لأن التزام الأمور غير اللازمة شرعا شأنها أن تفهم التشريع وخصوصا مع من يقتدى به في مجامع الناس كالمساجد

“Jika syariat telah menganjurkan untuk dzikrullah misalnya, kemudian sekelompok orang membiasakan diri mereka berkumpul untuknya (dzikrullah) dengan satu lisan dan satu suara,atau pada waktu tertentu yang khusus maka tidak ada di dalam anjuran syariat yang menunjukkan pengkhususan ini,justru di dalamnya ada hal yang menyelisihinya, karena membiasakan perkara yang tidak lazim secara syariat akan dipahami bahwa itu adalah syariat, khususnya kalau dihadiri oleh orang yang dijadikan teladan di tempat-tempat berkumpulnya manusia seperti masjid-masjid.” (Al-I’tisham, Jilid 2 hal. 190)

Tarjih

Dzikir secara berjama’ah dengan satu suara dengan suara yang dikeraskan (jahr) pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selepas shalat fardhu, namun kemudian beliau meninggalkan hal itu. Beliau melakukan hal demikian untuk mengajari para sahabat bacaan do’a dan dzikir. Maka imam diperbolehkan melakukan hal tersebut jika tujuannya adalah untuk mengajarkan makmum do’a dan dzikir, akan tetapi jika makmum sudah hafal maka imam disunnahkan untuk meninggalkan perkara tersebut. Sedangkan menyengaja berkumpul dengan tujuan untuk dzikir berjama’ah terlebih lagi dengan dikomandoi, satu suara serta mengeraskan suara, maka ini termasuk bid’ah yang sangat tercela sebagaimana pengingkaran Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam hadits riwayat Imam Ad-Darimi rahimahullah di atas. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

0 Comment for "Hukum Dzikir Berjama'ah"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top