“Wahai anakku…. Barangsiapa merasa
cukup dengan apa yang menjadi bagiannya maka dia akan menjadi kaya dan
barangsiapa memanjangkan pandangannya kepada apa yang ada di tangan orang lain
niscaya dia akan mati dalam keadaan miskin.” (Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq, hal.
27)
Imam Ja’far Ash-Shadiq rahimahullah
merupakan Ahlul Bait. Beliau adalah putra dari Muhammad Al-Baqir bin Ali bin
Husain bin Ali bin Abu Thalib, suami Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kunyah beliau adalah Abu Abdillah. Beliau dilahirkan di Madinah
pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 H dan meninggal pada tanggal 25 Syawwal 148 H
dan dimakamkan di pekuburan Baqi’. Beliau sangat dihormati oleh umat Muslim
Ahlussunnah wal Jama’ah, selain karena beliau adalah keturunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau juga seorang yang zuhud serta faqih. Beliau juga
merupakan guru dari beberapa ulama besar Ahlussunnah seperti Imam Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit rahimahullah dan Imam Malik bin Anas rahimahullah.
Kaum Syi’ah pun sangat menghormati beliau dan mereka mengangkat beliau sebagai
Imam ke-6 menggantikan Imam Muhammad Al-Baqir rahimahullah.
Suatu ketika Imam Ja'far Ash-Shadiq rahimahullah
berwasiat kepada putranya yaitu Imam Musa Al-Kadzim rahimahullah. Beliau
berwasiat:
Wahai anakku…. Barangsiapa merasa
cukup dengan apa yang menjadi bagiannya maka dia akan menjadi kaya dan barangsiapa
memanjangkan pandangannya kepada apa yang ada di tangan orang lain niscaya dia
akan mati dalam keadaan miskin.
Barangsiapa yang tidak ridha dengan
apa yang diberikan untuknya berarti telah mencacati Allah subhanahu wa ta'ala
dalam ketetapan takdir-Nya.
Barangsiapa menganggap kecil
ketergelinciran orang lain maka menjadi besarlah ketergelinciran irinya.
Barangsiapa menyibak tabir (aib) orang
lain maka akan tersibak pula aurat (aib)nya.
Barangsiapa menghunuskan pedang
pemberontakan maka akan terbunuh karenanya.
Barangsiapa menggali sumur (lubang)
bagi saudaranya maka Allah subhanahu wa ta'ala akan menjerumuskan
dirinya ke dalamnya.
Barangsiapa masuk (bercampur) dengan
orang-orang bodoh niscaya akan terhina. Dan barangsiapa bergaul dengan para
ulama maka dia akan dimuliakan dengannya.
Barangsiapa memasuki tempat-tempat
kejelekan maka dia akan tertuduh (dengan kejelekan pula).
Wahai anakku…. waspadalah, jangan
sampai engkau menganggap remeh orang lain, sehingga engkau pun menjadi hina
karenanya.
Waspadalah…. Jangan engkau menggeluti
perkara-perkara yang tidak bermanfaat bagi dirimu, sehingga engkau pun menjadi
hina karenanya.
Wahai anakku…. katakanlah yang haq
(benar) dalam keadaan menguntungkan ataupun merugikanmu niscaya engkau memiliki
kedudukan tersendiri di antara teman-temanmu.
Jadilah engkau seorang yang gemar
membaca dan mengikuti Al-Quran, seorang yang gigih menyebarkan agama Islam,
seorang yang selalu memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari
kemungkaran, seorang yang menyambung tali persaudaraan dengan orang yang memutus
hubungan rahim denganmu.
Jadilah engkau sebagai orang yang
selalu memulai dalam menyapa orang-orang yang mendiamkanmu dan memberi kepada
orang yang meminta kepadamu.
Wahai anakku…. jauhilah namimah
(perbuatan mengadu domba). Sungguh namimah itu akan menanamkan permusuhan di
dalam hati-hati (manusia). Dan hati-hatilah dari membongkar aib manusia. Karena
kedudukan seseorang yang membongkar aib-aib manusia berada pada posisi sasaran
bidik (sewaktu-waktu akan balik dibongkar aibnya). Apabila engkau mencari
kebaikan maka wajib bagimu mengambil dari sumbernya. Sesungguhnya kebaikan itu
memiliki asal dan pada asal itu terdapat pokok-pokok dan pada pokok-pokok itu
terdapat cabang-cabang, dan pada cabang-cabang itu terdapat buah, serta
tidaklah buah itu menjadi matang (dengan baik) kecuali pada tangkainya, dan
tidaklah ada tangkainya kecuali ada pokoknya dan tidak ada pokok melainkan
dengan adanya asal (bibit) yang baik.
Kunjungilah orang-orang yang baik dan
jangan mengunjungi orang-orang yang jelek (jahat). Karena orang-orang yang
jelek itu ibarat gurun pasir yang tidak dapat memancarkan air, atau ibarat
pohon yang tidak menghijau daunnya, atau ibarat tanah yang tidak dapat
menumbuhkan rerumputan.
Dikutip
dari Kitab Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq, hal. 27-29.
0 Comment for "Wasiat Imam Ja'far Ash-Shadiq Rahimahullah kepada Anaknya"