“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
maka hendaklah berkata yang baik atau (kalau tidak) diamlah.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
Seorang
pujangga Arab pernah berkata, “Lidah itu lebih tajam dari ujung tombak yang
terhunus.” Atau barangkali, sebagian kita ada yang berfikir lebih dari apa yang
diperumpamakan pujangga Arab itu. Bahwa sebilah ujung tombak belumlah memadai
untuk melukiskan perihnya lidah. Bisa jadi, kejahatan lewat lidah itu memiliki
daya penghancur layaknya sebuah dinamit yang mampu meluluhlantahkan satu
bangunan megah atau lebih kuat daripada bom atom yang menghancurkan Hiroshima
dan Nagasaki.
Begitulah,
betapa tutur kata yang keluar dari sepotong lidah bisa lebih menyakitkan
ketimbang benda-benda tajam lainnya. Ia bukan sekedar sebaris kalimat yang
meluncur dari mulut kita, lalu hilang bersama angin. Tapi juga sederet makna
dan pesan yang bisa ditangkap oleh setiap orang dengan segala tafsirnya. Dan
kemudian, ia menyelinap ke dalam sanubari sang pendengar. Ada yang terluka
karena kata-kata yang kita sampaikan, ada pula yang merasa dibahagiakan.
Persoalannya
kita tidak tahu, apakah kata yang kita ucapkan itu menyakitkan atau meneduhkan?
Kata-kata itu mbrojol keluar begitu saja, entah dalam perbincangan
sehari-hari, diskusi atau pun dalam sekedar senda gurau belaka. Bagi kita yang
bertutur, mungkin tidak jadi masalah, namun belum tentu bagi orang yang
mendengar.
Bagi
mereka, sejumlah kata yang melukai akan memiliki pengaruh yang luar biasa.
Mulai dari orang yang menerimanya dengan tangis, dendam kesumat, sumpah
serapah, kutukan, merasa terhina, baku hantam, putus apa, sampai pembunuhan
sekalipun. Karena itu, pernahkan kita merenungkan dampak-dampak tersebut di
hati mereka? Pernahkah kita membayangkan sakitnya berada dalam posisi mereka?
Dari
sini nampak, bahwa kejahatan lidah lebih berbisa dari sekadar bisa ular. Ia
bahkan menjadi tempat segala keburukan bermuara. Tak aneh, bila salah seorang
ulama tassawuf Al-Harits Al-Muhasibi rahimahullah dalam buku Adabun Nufus
berkomentar, “Janganlah lengah soal lidah, sebab ia bagaikan seekor hewan buas
berbahaya yang mangsa pertamanya adalah pemiliknya sendiri. Tutuplah pintu
omonganmu sekuat-kuatnya. Jangan membukanya kecuali jika harus membukanya. Jika
engkau membukannya, maka hati-hatilah. Penuhi kebutuhanmu untuk berbicara
sekadarnya saja dan tutup lagi pintu lisan itu.”
Oleh
karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyodorkan
‘diam’ sebagai solusinya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau
(kalau tidak) diamlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari
sinilah, diam menjadi teramat penting maknanya. Dengan diam, kita belajar menyaring
kata sesuai porsi dan keperluannya. Dan, sekiranya kita harus mengeluarkan
kata-kata, sebaiknya sederet kalimat yang kita lahirkan telah tersaring menjadi
sebuah ungkapan yang benar-benar berfaedah. Begitu pula, dalam bersenda gurau.
Dengan cara ini, kita tidak hanya menjadi penutur yang baik, tapi juga pendengar yang bijak. Jika tidak, maka bersiap-siaplah memasuki pintu neraka sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, “Tidak mungkin manusia akan terus di dalam neraka kecuali karena hasil panen lidah mereka.”
Dengan cara ini, kita tidak hanya menjadi penutur yang baik, tapi juga pendengar yang bijak. Jika tidak, maka bersiap-siaplah memasuki pintu neraka sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, “Tidak mungkin manusia akan terus di dalam neraka kecuali karena hasil panen lidah mereka.”
0 Comment for "Bicara Yang Baik Atau Diam !!!"