Syarat Sah Puasa

“Syarat sah puasa itu ada 4: Islam, berakal, suci dari semisal haidh, dan mengerti waktu puasa.” (Matan Safinah an-najah, hal. 57)


Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari suatu amalan ibadah ritual (mahdhah) yang telah ditetapkan oleh syari’at yang bertujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dikerjakan selama satu bulan penuh yaitu pada bulan Ramadhan. seorang yang berpuasa haruslah memahami syarat serta rukun puasa itu sendiri. Salah satu hal yang sangat urgent dalam pelaksanaan puasa Ramadhan adalah memahami syarat sah puasa, karena hal ini berkaitan dengan sah atau tidaknya puasa kita. Jangan sampai kita susah payah melaksanakan puasa namun ternyata puasa kita tidak diterima karena tidak memenuhi syarat sahnya. Mengenai syarat sah puasa, asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

(فصل) شروط صحته أربعة أشياء :
إسلام ، وعقل ، ونقاء من نحو حيض ، وعلم بكون الوقت قبلا للصوم .

“(Pasal) Syarat sah puasa itu ada 4: Islam, berakal, suci dari semisal haidh, dan mengerti waktu puasa.”[1]

1.      Islam (إسلام)

Syarat sah yang pertama adalah Islam, maka puasa Ramadhan tidak sah jika dikerjakan oleh orang kafir, karena setiap amalan orang kafir tidaklah diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.”[2]

وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِالله وَبِرَسُولِهِ

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.”[3]

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”[4]

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah amalanmu.”[5]

Walaupun orang kafir tidak dituntut untuk melaksanakan puasa Ramadhan di dunia karena puasanya tidak sah. Namun di akhirat, mereka akan dihukum karena kemampuan mereka mengerjakan ibadah tersebut dengan masuk Islam. Karena sesungguhnya adzab Allah subhanahu wa ta’ala ditunjukan kepada mereka yang menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dan kafir kepada-Nya serta meninggalkan perintah dan larangan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.”[6]

2.      Berakal (عقل)

Syarat sah yang kedua adalah berakal. Dalam hal ini, berakal yang menjadi syarat sah puasa yang dimaksud oleh asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah adalah tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk), sebagaimana perkataan beliau rahimahullah:

عقل أي تمييز

“Berakal maksudnya adalah tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk).”[7]

Maka seseorang yang belum tamyiz baik karena faktor usia maka puasanya tidak sah. Begitupula seorang yang kehilangan akal seperti gila, maka puasa mereka tidak sah hingga dia sembuh dari gilanya.

asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri rahimahullah berkata:

فلا يجب على الصبي ثم إن كان مميزا صح منه والا فلا .

“Puasa tidak diwajibkan bagi anak kecil. Sedangkan bagi anak yang sudah tamyiz masih sah puasanya. Selain itu, di bawah tamyiz, tidak sah puasanya.”[8]

asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri rahimahullah juga berkata:

إذا أغمى عليه أو سكر فلا يضر إلا إذا استغرق جميع النهار فإن أفاق ولو لخظة من النهار صح صومه ولا يضر النوم ولو استغرق جميع النهار حيث نوى قبل النوم .

“Jika seseorang hilang kesadaran atau mabuk ketika puasa, maka puasanya tidak sah. Namun jika hilang kesadaran lalu sadar di siang hari dan ia dapati waktu siang tersebut walau hanya sekejap, maka puasanya sah. Kecuali jika ia tidak sadarkan diri pada seluruh siang (mulai dari shubuh hingga tenggelam matahari), maka puasanya tidak sah walaupun dia sudah berniat puasa sebelum tidur.”[9]

            Dalil yang melandasi hal ini adalah sebuah riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena diangkat dari tiga orang yaitu, orang yang tidur sampai ia terbangun, anak kecil sampai ia ihtilam (keluar mani), orang gila sampai ia berakal (sadar dari gilanya).”[10]

3.      Suci dari semisal haidh (نقاء من نحو حيض)

Telah menjadi ijma’ di antara fuqaha bahwa seorang wanita yang mengalami haidh, nifas atau melahirkan, jika dia berpuasa maka puasanya tidak sah dan wajib mengqadha di hari lain. Di antara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلاَ نُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Adalah kami mengalami haidh lalu kami pun diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.”[11]

4.      Mengerti waktu puasa (علم بكون الوقت قبلا للصوم)

Maksud dari mengerti waktu puasa adalah mengetahui atau yakin bahwa hari itu bukanlah hari yang diharamkan untuk berpuasa dan yakin bahwa hari itu adalah hari dimana disyari’atkan untuk berpuasa. Maka jika seseorang tidak memenuhi syarat ini maka puasanya tidak sah. Misalkan niat berpuasa Ramadhan tapi dilaksanakan di bulan Sya’ban, maka puasanya tidak sah atau berpuasa di hari Tasyrik maka puasanya tidak sah bahkan haram dan berdosa dan juga berpuasa di hari asy-Syakk (hari yang meragukan) seperti tanggal 30 Sya’ban maka hukumnya haram dan minimal makruh.

Dalil yang melandasi hal di atas diantaranya adalah hadits dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengenai larangan berpuasa di hari Idul Fitri dan Idul ‘Adha. Beliau berkata:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَالنَّحْرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada hari Idul Fithri dan Idul Adha.”[12]

asy-Syaikh Taqiyyuddin al-Hishni rahimahullah berkata:

لا يصح صوم عيد الفطر والأضحى بالإجماع ، ويحرم عليه ذلك ، وهو آثم ، لأن نفس العبادة عين المعصية

“Tidak sah berpuasa pada hari Idul Fithri dan Idul Adha sesuai dengan kesepakatan ulama, dan diharamkan berpuasa pada dua hari tersebut dan jika dia berpuasa maka dia berdosa, karena ibadah puasa pada dua hari tersebut termasuk kemaksiatan."[13]

            Kemudian hadits dari Nubaisyah al-Hudzalli radhiyallahu ‘anhu tentang larangan berpuasa pada hari tasyrik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Hari tasyrik adalah hari makan dan minum.”[14]

asy-Syaikh Taqiyyuddin al-Hishni rahimahullah berkata:

وكما يحرم صوم العيدين يحرم صوم أيام التشريق ، وهي ثلاثة أيام بعد يوم النحر ، وهذا هو الجديد الصحيح لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن صيامها رواه أبو داود بإسناد صحيح، وفي صحيح مسلم إنها أيام أكل وشرب وذكر الله تعالى ، وفي القديم أنه يجوز للمتمتع العادم للهدي أن يصوم أيام التشريق، وهي المشار إليها في قوله تعالى فصيام ثلاثة أيام في الحج وفي البخاري عن عائشة وابن عمر رضي الله عنهما أنهما قالا لم يرخص في أيام التشريق أن يضمن إلا لمن لم يجد الهدي ، واختار النووي هذا القول وصححه ابن الصلاح قبله ، والمذهب أنه لا يجوز ، فإن قلنا بالقول القديم ، فهل يجوز لغير المتمتع صومها؟ فيه وجهان الصحيح التحريم والله أعلم .

“Sebagaimana diharamkan berpuasa pada dua hari ‘Ied, diharamkan pula berpuasa pada hari tasyrik yaitu selama 3 hari setelah hari ‘Idul Adha dan ini merupakan pendapat terbaru (qoul jadid) dari al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada hari itu sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih, dan dalam Shahih Muslim diriwayatkan: “Sesungguhnya hari tasyrik adalah hari makan dan minum serta mengingat Allah ta’ala”, namun dalam pendapat terdahulu (qaul qadim) al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah membolehkan berpuasa pada hari tasyrik bagi seorang yang berhaji tamattu’ sedang dia tidak memiliki hewan untuk disembelih sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala: “Maka berpuasalah tiga hari dalam haji” dan dalam riwayat al-Bukhari dari ‘Aisyah dan Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma bahwasanya keduanya berkata: “Tidak ada keringanan pada hari-hari tasyriq untuk berpuasa kecuali bagi mereka yang tidak mendapatkan hewan sembelihan haji.” al-Imam an-Nawawi rahimahullah memilih pendapat ini sebagaimana Imam Ibnu Shalah rahimahullah berpegang pada pendapat ini sebelumnya. Madzhab asy-Syafi'i tidak membolehkan, maka jika kita mengambil pendapat terdahulu (qoul qadim) maka apakah diperbolehkan selain seorang yang berhaji tamattu' untuk berpuasa? didalamnya teradapat dua pendapat dan yang benar adalah puasa saat itu bagi yang selain berhaji tamattu’ dihukumi haram. Wallahu a’lam.”[15]

            Terakhir mengenai Hari asy-Syakk (hari yang meragukan) yaitu tanggal 30 Sya’ban. al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah lebih memilih pendapat makruh bagi yang berpuasa di hari meragukan. Namun yang jadi pegangan dalam madzhab asy-Syafi’i, larangan dari berpuasa pada hari yang meragukan (asy-Syakk) adalah larangan haram. Dalam sebuah hadits mauquf, ‘Ammar bin Yasir radhiyalahu ‘anhu pernah berkata:


مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ النَّاسُ ، فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


“Barangsiapa berpuasa pada hari yang meragukan (syak), berarti dia telah mendurhakai Abu al-Qasim (Rasulullah) shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”[16]

Namun jika hari yang meragukan (asy-Syakk) bertepatan dengan hari kebiasaan berpuasa, maka dia diperbolehkan berpuasa dengan niat puasa tersebut bukan dengan niat puasa Ramadhan.

asy-Syaikh Taqiyuddin al-Hishni rahimahullah berkata:


وَيكُرَهُ ضؤم يوم الشك إلاّ أن يوافق عادة له أو يصله بما قبله. يحرم صوم يوم الشك تطوعاً بلا سبب وكذا يحرم صومه تحرياً لأجل رمضان


“Dan dibenci berpuasa pada hari yang meragukan (asy-Syakk) kecuali bertepatan dengan hari kebiasan berpuasa (misal bertepatan dengan puasa senin kamis) atau dia menyambungkan puasanya dengan puasa sebelumnya. Diharamkan berpuasa sunnah pada hari yang meragukan (asy-Syakk) tanpa sebab dan demikian juga diharamkan berpuasa sunnah selama bulan Ramadhan.”[17]

            Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang kafir, anak kecil yang belum tamyiz, orang gila walaupun sebentar, wanita haidh, nifas dan melahirkan serta seorang yang tidak mengetahui waktu puasa Ramadhan, maka jika seandainya dia melaksanakan puasa, maka puasanya tidak sah. Adapun wanita yang terputus haidh atau nifasnya sebelum terbit fajar meskipun belum mandi junub hingga pagi, maka puasanya tetap sah dengan syarat telah niat sebelumnya untuk berpuasa. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] Matan Safinah an-Najah, hal. 57
[2] QS. al-An’am [6] : 88
[3] QS. at-Taubah [9] : 54
[4] QS. al-Furqan [25] : 23
[5] QS. az-Zumar [39] : 65
[6] QS. al-Mudatstsir [74] : 42-47
[7] Kasyifah as-Saja, hal. 453
[8] Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri, Juz 1 hal. 551
[9] Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri, Juz 1 hal. 551-552
[10] HR. Abu Dawud no. 4403
[11] HR. Muslim no. 335
[12] HR. al-Bukhari no. 1992 dan Muslim no. 827
[13] Kifayah al-Akhyar, hal. 245
[14] HR. Muslim no. 1141
[15] Kifayah al-Akhyar, hal. 245-246
[16] HR. Abu Dawud no. 2334, at-Tirmidzi no. 686, Ibnu Majah no. 1645, an-Nasa’i no. 2190
[17] Kifayah al-Akhyar, hal. 246



Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ism’ail al-Ju’fi al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin ‘Abdullah bin Majah al-Quzwaini. Sunan Ibnu Majah. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali an-Nasa’i. al-Mujtaba min as-Sunan (Sunan an-Nasa’i). Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at-Tirmidzi. Jami’ at-Tirmidzi. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats as-Sijistani. Sunan Abu Dawud. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • asy-Syaikh Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Baijuri. Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri ‘alaa Syarh al-‘Alamah Ibn al-Qashim al-Ghazi ‘alaa Matn asy-Syaikh Abu Syuja’. 1420 H. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah Beirut.
  • asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kasyifah as-Saja Syarh Safinah an-Naja. 1432 H. Dar Ibn Hazm Beirut.
  • asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami. Matnu Safinah an-Najah fii Maa Yajibu ‘alaa al-Abdi li Maulah. 1430 H. Dar Ibn Hazm Beirut.
  • asy-Syaikh Taqiyyuddin Abu Bakr Muhammad al-Hushni al-Husaini al-Dimasyqi. Kifayah al-Akhyar fii Hall Ghayah al-Ikhtishar fii al-Fiqh asy-Syafi’i. 1422 H. Dar al-Basya’ir Damaskus.

0 Comment for "Syarat Sah Puasa"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top