“Syarat wajib
puasa itu ada 5: Islam, taklif (baligh dan berakal), mampu, sehat, dan mukim.”
(Matan Safinah an-Najah, hal. 57)
Puasa
Ramadhan merupakan salah satu dari suatu amalan ibadah ritual (mahdhah) yang
telah ditetapkan oleh syari’at yang bertujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub)
kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dikerjakan selama satu
bulan penuh yaitu pada bulan Ramadhan dan bersifat wajib bagi seluruh umat
muslim yang memenuhi syarat wajib puasa. Mengenai syarat wajib puasa, asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:
(فصل) شروط وجوبه خمسة اشياء :
إسلام ، وتكليف ، وإطاقة ، وصحة ، وإقامة .
“(Pasal) Syarat wajib puasa itu ada 5: Islam, taklif
(baligh dan berakal), mampu, sehat, dan mukim.”[1]
Syarat wajib yang pertama adalah Islam, maka puasa
Ramadhan tidak diwajibkan kepada orang kafir, karena setiap amalan orang kafir
tidak sah dan tidaklah diterima oleh Allah subhanahu
wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya
lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.”[2]
وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ
أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِالله وَبِرَسُولِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima
dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya.”[3]
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan,
lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”[4]
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan
terhapuslah amalanmu.”[5]
Akan tetapi, walaupun orang kafir tidak dituntut untuk
melaksanakan puasa Ramadhan di dunia karena puasanya tidak sah. Namun di
akhirat, mereka akan dihukum karena kemampuan mereka mengerjakan ibadah
tersebut dengan masuk Islam. Karena sesungguhnya adzab Allah subhanahu wa ta’ala ditunjukan kepada
mereka yang menyekutukan Allah subhanahu
wa ta’ala dan kafir kepada-Nya serta meninggalkan perintah dan
larangan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
مَا سَلَكَكُمْ فِي
سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ
وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى
أَتَانَا الْيَقِينُ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?
Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan
shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami
membicarakan yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan
adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.”[6]
Namun jika seseorang masuk Islam,
maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengqadha puasa ketika dia masih kafir.
Syarat wajib yang kedua adalah Taklif, objeknya
disebut dengan Mukallaf. asy-Syaikh Muhammad bin ‘Ali Ba’athiyyah hafizhahullah berkata:
التكليف هو وصول المكلف إلى السن المعتبرة
مع كونه عاقلاً سليم الحواس وبلغته الدعوة
“Taklif adalah sampainya seorang mukallaf pada umur
yang mu’tabar dalam keadaan berakal, selamat dari tuli serta bisu dan telah
sampai kepadanya dakwah islam.”[7]
Dalam hal ini, taklif yang menjadi syarat wajib puasa
yang dimaksud oleh asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah adalah baligh dan berakal, sebagaimana perkataan
beliau rahimahullah:
تكليف أي بلوغ وعقل
“Taklif yaitu baligh dan berakal.”[8]
Puasa Ramadhaan diwajibkan kepada anak yang telah
mencapai usia baligh, maka tak wajib bagi anak yang belum baligh untuk berpuasa
Ramadhan. asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri rahimahullah berkata:
فلا يجب على الصبي ثم إن كان مميزا
صح منه وإلا فلا
“Puasa tidak diwajibkan bagi anak kecil. Sedangkan
bagi anak yang sudah tamyiz masih sah puasanya. Selain itu, di bawah tamyiz,
tidak sah puasanya.”[9]
Dalil yang melandasi hal ini adalah sebuah
riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِلَ
“Pena diangkat
dari tiga orang yaitu, orang yang tidur sampai ia terbangun, anak kecil sampai
ia ihtilam (keluar mani), orang gila sampai ia berakal (sadar dari gilanya).”[10]
Walaupun seorang anak yang belum
baligh tidak memiliki kewajiban untuk berpuasa sebagaimana dijelaskan hadits di
atas, namun sepantasnya bagi orang tua atau wali yang mengasuh seorang anak
agar menganjurkan puasa kepadanya supaya terbiasa sejak kecil sesuai
kesanggupannya, sebagaimana yang dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Diriwayatkan dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا ، وَنَجْعَلُ
لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ ،
أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
“Dan kami memerintahkan anak-anak kami berpuasa, dan
kami buatkan untuk mereka mainan dari bulu wol, maka apabila salah seorang anak
menangis karena lapar, kami berikan mainan itu sampai akhirnya masuk waktu
berbuka.”[11]
Tanda-tanda seorang anak telah baligh sendiri ada tiga
sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami rahimahullah. Beliau berkata:
علامات البلوغ ثلاث : تمام خمس عشرة سنة في الذكر
والأنثى ، والاحتلام في الذكر والأنثى لتسع سنين ، و الحيض في الأنثى لتسع سنين .
“Tanda baligh itu ada 3, yaitu: telah sempurna umur 15
tahun bagi laki-laki maupun perempuan, ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki
maupun perempuan yang (biasanya) minimal berumur 9 tahun, dan haidh bagi
perempuan yang (biasanya) minimal berumur 9 tahun.”[12]
Puasa Ramadhan diwajibkan kepada seseorang yang
berakal, maka tak wajib bagi orang yang tak berakal atau yang hilang akalnya
untuk berpuasa Ramadhan. asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri rahimahullah berkata:
إذا أغمى عليه أو سكر فلا يضر إلا
إذا استغرق جميع النهار فإن أفاق ولو لخظة من النهار صح صومه ولا يضر النوم ولو استغرق
جميع النهار حيث نوى قبل النوم
“Jika seseorang hilang kesadaran atau mabuk ketika puasa,
maka puasanya tidak sah. Namun jika hilang kesadaran lalu sadar di siang hari
dan ia dapati waktu siang tersebut walau hanya sekejap, maka puasanya sah.
Kecuali jika ia tidak sadarkan diri pada seluruh siang (mulai dari shubuh
hingga tenggelam matahari), maka puasanya tidak sah walaupun dia sudah berniat
puasa sebelum tidur.”[13]
Dalil yang melandasi hal ini adalah hadits dari ‘Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِلَ
“Pena diangkat
dari tiga orang yaitu, orang yang tidur sampai ia terbangun, anak kecil sampai
ia ihtilam (keluar mani), orang gila sampai ia berakal (sadar dari gilanya).”[14]
Syarat wajib yang ketiga adalah mampu, maka puasa
Ramadhan tidak diwajibkan kepada orang yang tidak mampu melaksanakannya,
sebagaimana firman Allah subhanahu wa
ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin.”[15]
asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri rahimahullah berkata:
أي إطاقته حسا وشرعا بلا مشقة ، فلا
تجب على من لا يطيقه حسا أو شرعا فمن لا يطيقه حسا المريض ونحوه، ومن لا يطيقه شرعا
الحيض والنفساء
“Kemampuan yang dimaksud di sini adalah kemampuan
fisik dan syar’i. Maka puasa tidak wajib bagi seorang yang tak mampu secara
fisik atau syar'i. Seorang yang tidak mampu secara fisik adalah orang yang
sakit berat dan sejenisnya. Sedangkan orang yang tidak mampu secara syar’i
adalah wanita haidh dan nifas.”[16]
Ketidakmampuan secara syar’i maksudnya
adalah bahwa seorang tersebut tidak diperkenankan atau diharamkan oleh syari’at
untuk berpuasa namun memiliki kewajiban untuk mengqadhanya di hari lain. Yang
tidak wajib berpuasa namun wajib mengqadha di hari lain adalah wanita haidh dan
nifas. Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya
untuk berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa, maka dia telah
melakukan amalan yang bathil dan wajib mengqadha. Di antara dalil atas hal ini
adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُأْمَرُ بِقَضَاءِ
الصِّيَامِ وَلاَ نُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Adalah kami
mengalami haidh lalu kami pun diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak
diperintahkan mengqadha shalat.”[17]
Sedangkan ketidakmampuan secara fisik itu terbagi
menjadi dua:
Pertama, tidak mampu sementara, seperti orang sakit
yang masih ada harapan untuk sembuh atau ibu hamil dan menyusui, maka jika
berat baginya untuk melaksanakan puasa Ramadhan atau jika dia berpuasa maka akan
membahayakannya maka boleh dia tidak berpuasa, namun wajib atasnya mengqadha’
setelah Ramadhan jika telah sembuh, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”[18]
Kedua, tidak mampu selamanya, seperti orang tua yang
sudah tidak mampu berpuasa dan orang sakit yang menurut persaksian dokter yang
terpercaya bahwa dia tidak memiliki harapan lagi untuk sembuh, maka dia
diperbolehkan untuk tidak berpuasa, namun wajib atasnya membayar fidyah dengn
memberi makan kepada orang miskin sebanyak satu sha’ (senilai kurang lebih 1,5
kg) bahan makanan pokok di negerinya untuk setiap satu hari puasa yang
ditinggalkan, sebagaimana firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin.”[19]
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, beliau berkata mengenai ayat
di atas:
كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ
الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ
يَوْمٍ مِسْكِينًا
“Ini adalah orang tua renta laki-laki dan perempuan
yang keduanya tidak mampu berpuasa, sehingga memberi makanan sebagai
penggantinya untuk sehari kepada satu orang miskin.”[20]
Keringanan untuk tidak berpuasa pun
pernah diambil oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu ketika beliau sudah berusia lanjut, sebagaimana riwayat berikut:
أن أنسا ضعف قبل موته فأفطر ، وأمر أهله أن يطعموا مكان كل
يوم مسكينا ، قال هشام في حديثه : فأطعم ثلاثين مسكينا
“Sesungguhnya Anas (bin Malik) tidak berpuasa ketika
sudah tidak sanggup berpuasa sebelum meninggalnya, maka beliau memerintahkan
kepada keluarganya untuk memberi makan kepada orang miskin atas semua hari
(yang ditinggalkannya).” Hisyam dalam haditsnya berkata: “Beliau memberi makan
kepada 30 orang miskin.”[21]
Syarat wajib yang keempat adalah sehat, maka puasa
Ramadhan tidak diwajibkan kepada orang yang sakit, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ
عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”[22]
Orang yang sakit itu terbagi menjadi
dua:
Pertama, seorang yang penyakitnya menahun dan menurut
persaksian dokter yang terpercaya bahwa dia tidak memiliki harapan lagi untuk
sembuh, maka dia diperbolehkan untuk tidak berpuasa, namun wajib atasnya
membayar fidyah dengn memberi makan kepada orang miskin sebanyak satu sha’
(senilai kurang lebih 1,5 kg) bahan makanan pokok di negerinya untuk setiap
satu hari puasa yang ditinggalkan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin.”[23]
Kedua, seorang yang sakitnya sementara, maka sakit
yang seperti ini terbagi menjadi tiga keadaan:
1.
Jika dia masih
mampu untuk berpuasa dan itu tidak memberatkannya, serta puasa tidak banyak
berpengaruh terhadap kondisinya, maka orang ini wajib berpuasa, karena tidak
ada udzur baginya untuk meninggalkan puasa.
2. Jika dia berpuasa akan terlalu memberatkan dirinya, meskipun jika seandainya dia berpuasa, itu tidak membahayakan kondisinya hanya saja memberatkan dirinya, maka puasa dalam kondisi ini hukumnya makruh, karena berarti tidak mengambil keringanan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
3. Jika dia berpuasa akan membahayakan dirinya, misalnya, sakitnya akan bertambah parah atau bahkan dapat meninggal karenanya, maka dalam kondisi seperti ini dia haram untuk berpuasa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
2. Jika dia berpuasa akan terlalu memberatkan dirinya, meskipun jika seandainya dia berpuasa, itu tidak membahayakan kondisinya hanya saja memberatkan dirinya, maka puasa dalam kondisi ini hukumnya makruh, karena berarti tidak mengambil keringanan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
3. Jika dia berpuasa akan membahayakan dirinya, misalnya, sakitnya akan bertambah parah atau bahkan dapat meninggal karenanya, maka dalam kondisi seperti ini dia haram untuk berpuasa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ
“Janganlah kalian melemparkan diri kalian pada
kebinasaan.”[24]
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“Janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih kepada kalian.”[25]
Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang
khawatir terhadap janinnya atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya mengqadha
puasanya dan bukan membayar fidyah menurut pendapat yang paling kuat dari
pendapat para ulama karena kondisi mereka seperti orang sakit sementara yang
memiliki harapan untuk sembuh. Hal ini berdasar hadits dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ
نِصْفَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمَ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya
Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang musafir dan
(demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.”[26]
Syarat wajib yang kelima adalah mukim, maka puasa
Ramadhan tidak diwajibkan kepada orang yang safar, sebagaimana firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ
عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”[27]
Mengenai kondisi safar yang diperbolehkan untuk tidak
berpuasa, para fuqaha telah menjelaskannya secara rinci dalam kitab-kitab
mereka. al-Imam Jalaluddin al-Mahalli rahimahullah
menjelaskan:
و يباح تركه للمسافر سفرا طويلا مباحا
فإن تضرر به فالفطر أفضل وإلا فالصوم أفضل كما تقدم في باب صلاة المسافر . ولو أصبح
المقيم صائما فمرض أفطر لوجود المبيح للإفطار . وإن سافر فلا يفطر تغليبا لحكم الحضر
وقيل يفطر تغليبا لحكم السفر . ولو أصبح المسافر والمريض صائمين ثم أرادا الفطر جاز
لهما لدوام عذرهما . فلو أقام المسافر وشفي المريض حرم عليهما الفطر على الصحيح لزوال
عذرهما والثاني يجوز لهما الفطر اعتبارا بأول اليوم
“Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang
musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan
berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak
maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab
shalatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian
ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya
berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan
berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan
juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian. Bila
seorang musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit pada
pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka maka dibolehkan bagi
keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak
berpuasa. Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah
sembuh maka haram bagi keduanya berbuka menurut pendapat yang sahih karena
telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa. Pendapat kedua membolehkan
keduanya berbuka dengan mempertimbangkan keadaan di awal hari.”[28]
asy-Syaikh Muhammad Khatib asy-Syarbini rahimahullah berkata:
ولو نوى وسافر ليلا ، فإن جاوز قبل
الفجر ما اعتبر مجاوزته في صلاة المسافر أفطر ، وإلا فلا
“Jika seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan
pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati batasan yang
ditetapkan dalam bab shalatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka
tidak boleh berbuka.”[29]
Dari kedua penjelasan di atas secara rinci, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa kebolehan tidak
berpuasa bagi seorang yang safar adalah:
1.
Perjalanan yang
dilakukan menempuh jarak perjalanan yang membolehkan mengqashar shalat yaitu 4
burud. Inilah pendapat jumhur ulama dari Madzhab asy-Syafi’i, Hanbali dan
Maliki. Dalil yang melandasi hal ini adalah hadits:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ
عَشَرَ فَرْسَخًا .
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar
menempuh jarak 4 burud.”[30]
Jarak 4 burud sama
dengan 16 farsakh. Jika dikonversikan dengan satuan jarak modern, 4 burud sama
dengan sekitar 80,640 km sampai dengan 88,656 km.
2. Perjalanan yang dilakukan bukanlah dalam rangka
melakukan kemaksiatan.
3. Perjalanannya dilakukan pada malam hari dan sebelum terbit fajar (waktu shubuh) telah melewati batas daerah tempat tinggalnya.
4. Jika seorang musafir pergi setelah terbitnya fajar, maka dia tidak diperbolehkan berbuka dan wajib berpuasa penuh pada hari itu.
5. Jika seorang musafir yang pada waktu pagi hari berpuasa, maka diperbolehkan berbuka membatalkan puasanya.
6. Jika seorang musafir yang telah bermukim di suatu tempat, maka dia dilarang berbuka (tidak berpuasa).
3. Perjalanannya dilakukan pada malam hari dan sebelum terbit fajar (waktu shubuh) telah melewati batas daerah tempat tinggalnya.
4. Jika seorang musafir pergi setelah terbitnya fajar, maka dia tidak diperbolehkan berbuka dan wajib berpuasa penuh pada hari itu.
5. Jika seorang musafir yang pada waktu pagi hari berpuasa, maka diperbolehkan berbuka membatalkan puasanya.
6. Jika seorang musafir yang telah bermukim di suatu tempat, maka dia dilarang berbuka (tidak berpuasa).
Demikianlah penjelasan mengenai syarat wajib puasa yang
penulis sajikan sesuai al-Quran, as-Sunnah serta Pemahaman para sahabat dalam
perspektif Madzhab asy-Syafi’i. Semoga dengan risalah ini, kita bisa memahami
tentang syarat-syarat wajib puasa. Hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala kesempurnaan. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Referensi
- al-Qur’an al-Kariim
- al-Imam Abu ‘Abdillah Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad bin Hasyim al-‘Abbasi al-Anshari al-Mahalli. Kanz ar-Raghibin Syarh Minhaj ath-Thalibin. 1435 H. Dar al-Hadits Kairo.
- al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ism’ail al-Ju’fi al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin ‘Abdullah bin Majah al-Quzwaini. Sunan Ibnu Majah. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali an-Nasa’i. al-Mujtaba min as-Sunan (Sunan an-Nasa’i). Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at-Tirmidzi. Jami’ at-Tirmidzi. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad bin Mahdi bin Mas’ud bin an-Nu’man bin Dinar bin ‘Abdullah al-Baghdadi ad-Daruquthni. Sunan ad-Daruquthni. 1422 H. Dar al-Ma’rifat Beirut.
- al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats as-Sijistani. Sunan Abu Dawud. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- asy-Syaikh Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Baijuri. Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri ‘alaa Syarh al-‘Alamah Ibn al-Qashim al-Ghazi ‘alaa Matn asy-Syaikh Abu Syuja’. 1420 H. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah Beirut.
- asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kasyifah as-Saja Syarh Safinah an-Naja. 1432 H. Dar Ibn Hazm Beirut.
- asy-Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Ba’athiyyah ad-Duwu’ani. Ghayah al-Muna Syarh Safinah an-Naja. 1429 H. Maktabah Tarim al-Hadits Hadhramaut.
- asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami. Matnu Safinah an-Najah fii Maa Yajibu ‘alaa al-Abdi li Maulah. 1430 H. Dar Ibn Hazm Beirut.
- asy-Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib asy-Syarbini. Mughni al-Muhtaj ilaa Ma’rifah Ma’ani Alfaz al-Minhaj. 1430 H. Dar al-Fikr Beirut.
0 Comment for "Syarat Wajib Puasa"