“Seandainya
para ahlul-ilmi dan ahludz-dzikri mau bergabung dalam mengemban tugas ini,
pasti kekurangan ini (minim pengetahun agama) akan tertutupi. Namun mereka
tidak mau bergabung kecuali hanya sedikit.” (Malfuzhat Muhammad Ilyas, Muhammad
Manzhur Nu’mani, hal. 41)
Islam adalah agama
yang dinamis. Dinamisme Islam makin tampak ketika ditilik melalui sistematika
dakwahnya. Islam tidak pernah menspesifikasikan metode tertentu dalam upaya
transformasi ideologis. Umat diberi kebebasan untuk memilih metode yang dinilai
lebih efektif. Tentunya, selagi tidak berseberangan dengan prinsip ajaran
Islam.
Contoh konkret dari
opsi tersebut adalah makin banyak metode baru dalam berdakwah yang ditemui
dewasa ini. Melalui media, baik cetak atau elektronik, visualisasi, sistem
klasikal, dan lain sebagainya. Semuanya tidak ada di zaman Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. namun kehadirannya tidak masalah.
Begitu juga dengan
metodologi dakwah yang dipakai oleh Jamaah Tabligh: khuruj. Sah-sah saja jika
mereka menggunakan metode ini. Apalagi mereka menilai bahwa dakwah dengan model
ini akan lebih efektif dan maksimal.
Namun
permasalahannya, masih ada hal yang lebih penting daripada sekadar metode dan
upaya menarik simpati massa. Ranah aktualisasi dan arah dakwah juga harus
diperhatikan. Jika ternyata ada hal ‘lain’ di dalam metode tersebut, maka itu
juga akan menimbulkan dilema tersendiri yang perlu dikritisi.
Di sinilah perlunya
kita mengkaji metode khuruj Jamaah Tabligh, tanpa ada maksud untuk
mendiskreditkannya. Tulisan ini hanya sebuah uraian singkat atau boleh dibilang
sebagai koreksi atas metode khuruj yang mereka pakai.
Cenderung
Memaksakan
Semua menyadari
akan pentingnya metode dalam berdakwah. Tapi metode tetaplah metode, kiranya
tidak begitu perlu terhadap justifikasi teks-teks agama di sana. Juga tidak
perlu memaksakan atau bahkan cenderung spekulatif dalam berargumentasi.
Dalam Jamaah
Tabligh, khuruj menjadi metodologi yang dibangga-banggakan. Bahkan mereka
cenderung berlebihan dalam membanggakan metode ini. Di samping mengklaim
sebagai satu-satunya metode yang sesuai dengan dakwah Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam., mereka juga menganggap metode selain khuruj salah dan
tidak akan membuahkan hasil.
Dari paradigma ini
mereka tertuntut untuk melampirkan dalil-dalil agama dalam argumentasinya.
Mereka menyebutkan bahwa khuruj merupakan manifestasi dari interpretasi ayat
“Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin nas.” Ayat tersebut menjelaskan tentang
keberadaan dakwah yang tidak akan berhasil dengan tetap tinggal di satu tempat,
bahkan harus keluar dan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain berdasarkan
ayat ‘ukhrijat’ tadi. (Malfuzhat Muhammad Ilyas, Muhammad Manzhur Nu’mani, hal.
50)
Mereka memperkuat interpretasi
ini dengan berbagai narasi-narasi spekulatif. Mereka menampilkan fakta mengenai
kuburan para Sahabat yang banyak ditemukan di luar Mekah-Madinah sebagai
argumentasi, pertanda bahwa para Sahabat telah melakukan khuruj. Mereka juga
menggambarkan kepedulian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
terhadap khuruj dengan andaian yang berlebihan, “Jika telapak kaki Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. dilumuri tinta merah, niscaya
seisi tanah Haramain akan merah karena banyaknya Nabi berkeliling untuk berdakwah”.
Sungguh ini iftira’un ‘azhim. Tidak pernah ditemukan pada
salafunash-shalih pernyataan seperti ini.
Berlebih-lebihan
mereka makin kentara ketika berbicara mengenai bilangan khuruj. Tiga hari,
empat puluh, dan empat bulan adalah lama khuruj yang mereka maksudkan itu.
Mereka memilih tiga hari karena bilangan tersebut merupakan paling sedikitnya
masa qashr salat. Adapun empat puluh adalah waktu di mana Allah subhanahu wa ta’ala melakukan perjanjian dengan Musa ‘alaihis salam sebagaimana firman-Nya (artinya), “Dan
telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga
puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi),
maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.” (QS Al-’A‘raf [7] : 142). Sedangkan empat
bulan mereka peroleh melalui interpretasi ayat yang artinya, “Kepada
orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan lamanya.” (QS Al-Baqarah [2] : 226). (Washilatul-Khuruj Tahta
Dhabitul-Qur’an Was-Sunnah, hal. 5)
Lalu apa kaitannya
dakwah dengan waktu qashr salat? Apa pula kaitannya dakwah dengan ayat ila’ di
atas? Sama sekali ayat-ayat tersebut tidak memberikan legalisasi pada
bilangan-bilangan dakwah mereka. Namun, mereka memaksakan ayat ini untuk
dihadirkan sebagai justifikasi angka-angka ajaib itu. Ada juga yang mencoba
menampilkan Hadits Nabi “Barang siapa mengorbankan 1/10 umurnya di jalan Allah
maka kelak dia akan bahagia di hari kiamat.” Namun sayangnya mereka tidak mau
menjelaskan, bahkan tidak tahu-menahu ketika ditanya tentang otentitas Hadits
tersebut.
Berpotensi
Menyebarluaskan Kebatilan
Misi Jamaah Tabligh
adalah dakwah. Dakwah mereka adalah dengan memfokuskan diri pada penyampaian
fadha’ilul-a’mal (keutamaan-keutamaan amal) disertai berbagai Hadits yang
berkenaan dengan topik pembicaraan sebagai perangsang. Misi ini terbilang
mulia. Namun, sering kali Hadits-Hadits yang disampaikan oleh mereka -terutama
yang di Indonesia- tidak bisa
dipertanggungjawabkan.
Salah satu contohnya
adalah Hadits, “Ada tiga keliling (tawaf) yang dicintai Allah: 1) kelilingnya
para Malaikat di Baitul Makmur; 2) kelilingnya orang yang tawaf di Kakbah; dan
3) keliling seperti yang dilakukan Jamaah Tabligh.” Ketika Hadits ini dibawa ke
Nizhamuddin (pusat Jamaah Tabligh), ternyata pimpinan di sana mengatakan batil,
dan mereka mengatakannya sebagai perbuatan oknum.
Kalau dianalisis,
sebetulnya penyebaran Hadits batil ini merupakan implikasi dari tidak adanya
filterasi maksimal dalam proses rekrutmen anggota. Sehingga, mayoritas anggota
Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama.
Syeikh Muhammad
Ilyas rahimahullah, pendiri Jamaah Tabligh, mengakui akan hal ini,
“Seandainya para ahlul-ilmi dan ahludz-dzikri mau bergabung dalam mengemban
tugas ini, pasti kekurangan ini (minim pengetahun agama) akan tertutupi. Namun
mereka tidak mau bergabung kecuali hanya sedikit.” (Malfuzhat Muhammad Ilyas,
Muhammad Manzhur Nu’mani, hal. 41)
Ironisnya, Jamaah
Tabligh tidak hendak mencari solusi untuk menanggulangi tersebarnya
Hadits-Hadits tersebut. Padahal, apa yang mereka sampaikan akan langsung
menyebar ke semua anggota jamaah, bukan hanya dalam negeri, tapi juga luar
negeri, kemudian disampaikan kepada orang-orang yang mereka datangi ketika
melakukan khuruj. Kenyataan ini semakin lama akan semakin sulit untuk
ditanggulangi.
Ketika mereka
dikritisi tentang hal tersebut, dengan enteng mereka akan menjawab, “Makanya
yang alim-alim ikut khuruj bersama kami, biar tidak seperti ini.” Sepertinya
tidak ada beban di benak mereka tentang kebatilan yang telah mereka sebarkan.
Menelantarkan
Keluarga
Fakta menyebutkan
bahwa banyak dari anggota jamaah ini menelantarkan keluarganya, utamanya di
Indonesia. Ketika dikonfirmasi, amir dan pimpinan Jamaah Tabligh setempat
mengungkapkan bahwa keharusan memenuhi kebutuhan (nafaqah) keluarga selama
khuruj harus sudah dipenuhi oleh setiap jamaah sebelum kemudian ber-khuruj.
Namun realita berbicara lain, mereka tidak memenuhinya terlebih dahulu. “Sudah
saya titipkan ke Allah,” kilah mayoritas anggota jamaah ini ketika ditanya
tentang bagaimana keluarga mereka.
Mereka
menyama-nyamakan apa yang mereka perbuat dengan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam
yang meninggalkan istrinya Siti Hajar di Mekah yang menurut mereka untuk
berdakwah. Apakah sama yang mereka perbuat dengan apa yang dilakukan Nabi
Ibrahim? Entahlah....
Kalaupun mereka
sudah memenuhi kebutuhan hidup keluarganya selama keluar berdakwah, maka perlu
diingat keluarga -terutama istri- tidak hanya butuh makanan dan pakaian
saja. Keluarga juga punya kebutuhan psikologis dan biologis yang harus dipenuhi
oleh kepala rumah tangga. Tidak lupa pula pendidikan agama anak dan istri itu
sendiri sebelum kemudian mereka mendakwahi orang lain. Wallahu a’lam.
4 Comment for "Jama'ah Tabligh, Khuruj dan Realita Masyarakat"
mendiskreditkan ternyata...
Kita sbg umat nabi yaqin klo kita hidupkan sunah nabi akan ada kebaikan di luar sunah nabi blm tentu ada kebaikannya..makan cara nabi maka da kebaikan..ibadah shalat cara nabi akan ada ke baikan begitu juga dgn dakwah cara nabi saw akan ada kebaikan..
Dakwah itu seumur hidup bukan 3 hari 40 hari 4 bulan..tapi bgmn mau dakwah seumur hidup klo 3 hari 4o hari 4 bln aja tdk bisa
ulama spakat hadits dhoif boleh di gunakan selagi hadits itu di gunakan utk fadhilah utk keutamaan dan menjadikan gairah semangat utk beramal bkn di gunkan sbg hukum hakam
kita memang wajib berdakwah namun ada koridornya, ingat dakwah itu hukumnya ada 3:
1. Wajib, yaitu bagi yg berilmu dan mampu menyampaikannya
2. Mustahab, yaitu bagi yg berilmu namun tidak mampu menyaampaikannya,
3. Haram, yaitu bagi yang tidak berilmu
dan yg paling pertama harus d dakwahkan adalah masalah Tauhid, karena tauhid adalah pokok... bayangakan oleh antum, jika seseorang d ajak shalat, d ajak cara makan nabi dll sebagaimana yg biasa d lakukan Jamaah Tabligh, namun mereka tidak mendakwahkan tauhid maka lihat, sebagian besar jamaah masih melakukan kesyirikan dalam masalah uluhiyyah, masih banyak jamaah yg mempercayai dongeng-dongeng khurafat dan takhayul, banyak jamaah yg masih hobi minta2 di kuburan... inilah efek dari dakwah tanpa ilmu... mengenai masalah pengemalan hadits, saya rasa semua orang sudah tw mengenai pengamalan hadits dhaif dalam masalah amal adalah haram dan bs terjerumus dalam bid'ah, sdgn fadhail amal maka itu tidak mengapa selama amalan yg terikat dgn hadits lemah tsb memiliki syawahid dari jalur lain..
seandainya yg d sampaikan itu kebenaran tentu kita harus dukung, tp fakta d lapangan berkata lain.. banyak yg harus d benahi dalam Jama'ah Tabligh ini mulai dari keilmuan anggotanya.. perlu kaderisasi jgn asal comot langsung ceramah sdgkn org itu gbs apa2, istilahnya buat bahan ceramah jg gk ada cuma modal pinter ngomong, bahaya hal demikian berpotensi menyebarkan kesesatan... belum masalah tauhid yg nol besar.. pembahasan tauhid hanya berkisar pada rububiyyah saja.. sehingga masih banyak jamaah yg mempercayai dongeng-dongeng takhayul dan khurafat serta masih banyak jamaah yg menyimpan rajah, ajimat dan minta-minta ke penghuni kubur...