Dari Ummu Salamah bawasanya Jibril
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jibril mengatakan, “Apakah
engkau mencintai Husain wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril
melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku
tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat
tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad)
Tulisan berikut ini diterjemahkan dari
tulisan dan sebagian ceramah Syaikh Utsman Al-Khamis hafizhahullah, seorang
ulama yang terkenal sebagai pakar dalam pembahasan Syiah.
Pembahasan tentang terbunuhnya cucu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Asy-Syahid Husain bin Ali ‘alaihis
salam telah banyak ditulis, namun beberapa orang ikhwan meminta saya agar
menulis sebuah kisah shahih yang benar-benar bersumber dari para ahli sejarah.
Maka saya pun menulis ringkasan kisah tersebut sebagai berikut –sebelumnya
Syaikh telah menulis secara rinci tentang kisah terbunuhnya Husain di buku
beliau Huqbah min At-Tarikh-.
Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin
Abu Sufyan wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husain bin Ali belum
berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, maka orang-orang Irak mengirimkan utusan
kepada Husain yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya. Penduduk
Irak tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka
tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang
mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam.
Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan
membaiat Husain sebagai khalifah.
Setelah surat itu sampai di Mekah, Husain
tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya, Muslim
bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini. Sesampainya Muslim di
Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husain menjadi
khalifah. Lalu mereka membaiat Husain melalui perantara Muslim bin Aqil. Baiat
itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.
Kabar ini akhirnya sampai ke telinga
Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam, lalu ia mengutus Ubaidillah
bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husain masuk ke Irak dan meredam
pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Saat Ubaidillah
bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus menanyakan
perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani’ bin Urwah adalah
sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim bin Aqil
tinggal.
Ubaidillah menemui Hani’ bin Urwah dan
menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidillah ingin mendengar sendiri
penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah tahu
tentang segala kabar yang beredar. Dengan berani dan penuh tanggung jawab
terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi), Hani’ bin Urwah
mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil) bersembunyi di kedua
telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidillah
lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.
Mendengar kabar bahwa Ubaidillah
memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang yang
membaiatnya mengepung istana Ubaidillah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di
siang hari.
Ubaidillah bin Ziayd merespon ancaman
Muslim dengan mengatakan akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam. Ternyata
gertakan Ubaidillah membuat takut Syiah (pembela) Husain ini. Mereka pun
berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang
saja yang bersama Muslim bin Aqil, dan belumlah matahari terbenam hanya tersisa
Muslim bin Aqil seorang diri.
Muslim pun ditangkap dan Ubaidillah
memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim meminta izin untuk
mengirim surat kepada Husain, keinginan terakhirnya dikabulkan oleh Ubaidillah
bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husain adalah “Pergilah, pulanglah kepada
keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk
Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu
tidak memiliki pandangan (untuk mempertimbangkan masalah)”. Muslim bin Aqil pun
dibunuh, padahal saat itu adalah hari Arafah.
Husain berangkat dari Mekah menuju
Kufah di hari tarwiyah. Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar tidak pergi
ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said Al-Khudri, Abdullah bin Amr, saudara tiri Husain,
Muhammad Al-Hanafiyah dll.
Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu
mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku sangat
menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku sebagai
Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu untuk
bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka
karena aku mendengar ayahmu –Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang penduduk
Kufah, ‘Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka
bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit
pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan (mudah
berubah). Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi pedang (penakut)’.
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu
mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya
Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
memberikan dua pilihan kepada beluai antara dunia dan akhirat, maka beliau
memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah dagingnya,
demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan kalian (ahlul bait)
dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang terbaik untuk kalian”. Husain tetap
enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun menangis, lalu
mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan”.
Setelah meneruskan keberangkatannya,
datanglah kabar kepada Husain tentang tewasnya Muslim bin Aqil. Husain pun
sadar bahwa keputusannya ke Irak keliru, dan ia hendak pulang menuju Mekah atau
Madinah, namun anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau pulang, sampai
kita menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami”. Karena menghormati Muslim dan
berempati terhadap anak-anaknya, Husain akhirnya tetap berangkat menuju Kufah
dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim.
Bersamaan dengan itu Ubaidillah bin
Ziyad telah mengutus Al-Hurru bin Yazid At-Tamimi dengan membawa 1000 pasukan
untuk menghadang Husain agar tidak memasuki Kufah. Bertemulah Al-Hurru dengan Husain
di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husain agar tidak masuk ke Kufah. Husain
mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku”. Al-Hurru menjawab, “Demi
Allah, kalau saja yang mengatakan itu adalah orang selainmu akan aku balas
dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa yang akan aku katakan
kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiallahu ‘anha”.
Saat Husain menginjakkan kakinya di
daerah Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidillah bin
Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Saad. Husain mengatakan, “Apa nama
tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian Husain
menanggapi, “Karbun (musibah) dan balaa’ (bencana).”
Melihat pasukan dalam jumlah yang
sangat besar, Husain radhiallahu ‘anhu menyadari tidak ada peluang baginya.
Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan, (1) kalian mengawal
(menjamin keamananku) pulang atau (2) kalian biarkan aku pergi menghadap Yazid
di Syam.
Engkau pergi menghadap Yazid, tapi
sebelumnya aku akan menghadap Ubaidillah bin Ziyad terlebih dahulu kata Umar
bin Saad. Ternyata Ubadiullah menolak jika Husain pergi menghadap Yazid, ia
menginginkan agar Husain ditawan menghadapnya. Mendengar hal itu Husain menolak
untuk menjadi tawanan.
Terjadilah peperangan yang sangat
tidak imbang antara 73 orang di pihak Husain berhadapan dengan 5000 pasukan
Irak. Kemudian 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh Al-Hurru bin Yazid At-Tamimi
membelot dan bergabung dengan Husain. Peperangan yang tidak imbang itu
menewaskan semua orang yang mendukung Husain, hingga tersisa Husain seorang
diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya, masih tersisa
sedikit rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Namun ada seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzi
Al-Jausyan –semoga Allah menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai Husain,
Husain pun terjatuh lalu orang-orang mengeroyoknya, Husain akhirnya syahid,
semoga Allah meridhainya. Ada yang mengatakan Amr bin Dzi Al-Jausyan-lah yang
memotong kepala Husain sedangkan dalam riwayat lain, orang yang menggorok
kepala Husain adalah Sinan bin Anas, Allahu a’lam. Yang perlu pembaca ketauhi Ubaidillah
bin Ziyad, Amr bin Dzi Al-Jausyan, dan Sinan bin Anas adalah pembela Ali (Syiah
nya Ali) di Perang Shiffin.
Ini adalah sebuah kisah pilu yang
sangat menyedihkan, celaka dan terhinalah orang-orang yang turut serta dalam
pembunuhan Husain dan ahlul bait yang bersamanya. Bagi mereka kemurkaan dari
Allah. Semoga Allah merahmati dan meridhai Husain dan orang-orang yang tewas
bersamanya. Di antara ahlul bait yang terbunuh bersama Husain adalah :
·
Anak-anak Ali bin Abi Thalib :
Abu Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.
·
Anak-anak Husain bin Ali : Ali Al-Akbar dan Abdullah.
·
Anak-anak Hasan bin Ali : Abu
Bakar, Abdullah, Qosim.
·
Anak-anak Aqil bin Abi Thalib :
Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdullah bin Muslim bin Aqil.
·
Anak-anak dari Abdullah bin
Ja’far bin Abi Thalib : ‘Aun dan Muhammad.
Dari Ummu Salamah bawasanya Jibril
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jibril mengatakan,
“Apakah engkau mencintai Husain wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril
melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku
tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat
tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu
Ash-Shahabah, ia mengatakan hadits ini hasan). Adapun berita-berita bahwa
langit menurunkan hujan darah, dinding-dinding berdarah, batu yang diangkat
lalu di bawahnya terdapat darah, dll. karena sedih dengan tewasnya Husain,
berita-berita ini tidak bersumber dari rujukan yang shahih.
Benarkah
Sikap Husain ‘alaihis salam Pergi ke Irak?
Tidak ada kemaslahatan dalam hal dunia
maupun akhirat dari sikap Husain ‘alaihis salam yang keluar menuju Irak.
Oleh karena itu, banyak sahabat Nabi yang berusaha mencegahnya dan melarangnya
berangkat ke Irak. Husain pun menyadari hal itu dan ia sempat hendak pulang,
namun anak-anak Muslim bin Aqil memintanya mengambil sikap atas terbunuhnya
ayah mereka. Husain dengan penuh tanggung jawab tidak lari dari permasalahan
ini. Dari peristiwa ini tampaklah kezaliman dan kesombongan orang-orang Kufah
(Syiah-nya Husain) terhadap ahlul bait Nabi ‘alaihumush shalatu wa salam.
Sekiranya Husain ‘alaihis salam
menuruti nasihat para sahabat tentu tidak terjadi peristiwa ini, akan tetapi
Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan takdirnya. Terbunuhnya Husain
ini tentu saja tidak sebesar peristiwa terbunuhnya para Nabi, semisal
dipenggalnya kepala Nabi Yahya ‘alaihis salam oleh seorang raja, karena
calon istri raja tersebut meminta kepala Nabi Yahya bin Zakariya ‘alaihis
salam sebagai mahar pernikahan. Demikian juga dibunuhnya Nabi Zakariya ‘alaihis
salam oleh Bani Israil, dan nabi-nabi lainnya. Demikian juga dengan
dibunuhnya Umar dan Utsman. Semua kejadian itu lebih besar dibanding dengan
peristiwa dibunuhnya Husain ‘alaihis salam.
Bagaimana
Sikap Kita Terhadap Peristiwa Karbala?
Tidak diperbolehkan bagi umat Islam,
apabila disebutkan tentang kematian Husain, maka ia meratap dengan
memukul-mukul pipi atau merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang
semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk
golongan kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek saku bajunya.”
(HR. Al-Bukhari)
Seorang muslim yang baik, apabila
mendengar musibah ini hendaknya ia mengatakan sebuah kalimat yang Allah subhanahu
wa ta’ala tuntunkan dalam firman-Nya:
الَّØ°ِينَ
Ø¥ِØ°َا Ø£َصَابَتْÙ‡ُÙ… Ù…ُّصِيبَØ©ٌ Ù‚َالُواْ Ø¥ِÙ†َّا Ù„ِÙ„ّÙ‡ِ ÙˆَØ¥ِÙ†َّا Ø¥ِÙ„َÙŠْÙ‡ِ
رَاجِعونَ
“Orang-orang
yang apabila mereka ditimpa musibah, mereka mengtakan sesungguhnya kami adalah
milik Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah [2] : 155)
Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali
bin Husain atau putranya Muhammad, atau Ja’far Ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far radhiallahu
‘anhum, para imam dari kalangan ahlul bait maupun selain mereka pernah
memukul-mukul pipi mereka, atau merobek-robek pakaian atau berteriak-teriak,
dalam rangka meratapi kematian Husain. Tirulah mereka kalau engkau tidak bisa
serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia itu adalah
kemuliaan.
Tidak seperti orang-orang yang mengaku
Syiah (pembela) Husain, Syiahnya ahlul bait Nabi pada hari ini, mereka merusak
anggota tubuh, memukul kepala dan tubuh dengan pedang dan rantai, mereka
katakan kami bangga menyucurkan darah bersama Husain. Demi Allah, sekiranya
mereka berada pada hari dimana Husain terbunuh mereka akan turut serta dalam
kelompok pembunuh Husain karena mereka adalah orang-orang yang selalu
berhianat.
Posisi
Yazid Dalam Peristiwa Ini
Dalam permasalahan ini, Yazid sama
sekali tidak turut campur. Aku mengakatakan hal ini bukan untuk membela Yazid
tetapi hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Yazid bin Muawiyah tidak
memerintahkan untuk membunuh Husain. Ini adalah kesepatakan para ahli sejarah.
Yazid hanya memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad agar mencegah Husain untuk
memasuki wilayah Irak. Ketika Yazid mendengar tewasnya Husain, Yazid pun
terkejut dan menangis. Setelah itu Yazid memuliakan keluarga Husain dan
mengamankan anggota keluarga yang tersisa sampai ke daerah mereka. Adapun
riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan perempuan-perempuan ahlul bait
lalu membawa mereka ke Syam, ini adalah riwayat yang batil. Bani Umayyah
(keluarga Yazid) selalu memuliakan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam).
Sebelumnya Yazid telah mengirim surat
kepada Husain ketika di Mekah, ternyata saat surat itu tiba Husain telah
berangkat menuju Irak. Surat itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan
hati Husain agar tidak berangkat ke Irak dan Yazid juga menyatakan kedekatan
kekerabatan mereka. Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kakek (Jawa: mbah buyut) Yazid dan Husain adalah
saudara kembar.
Kepala
Husain
Tidak ada riwayat yang shahih yang
menyatakan bahwa kepala Husain dikirim kepada Yazid di Syam. Husain tewas di
Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidillah bin Ziyad. Tidak diketahui
dimana makamnya dan makam kepalanya.
Wallahu
ta’ala a’la wa a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala aalihi wa
shahbihi ajma’in.
0 Comment for "Syahidnya Husain bin Ali Radhiallahu 'Anhuma Di Padang Karbala"