Hukum Minum Kopi Luwak

Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata: “Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis.” (Nihayatuz Zain, hal. 50)


Kopi luwak yaitu kopi yang diperoleh dari biji-biji kopi yang sebelumnya telah dimakan oleh binatang luwak, lalu dikeluarkan lagi bersama kotorannya. Kopi luwak sendiri sekarang sudah menjadi konsumsi masyarakat terlebih lagi sekarang sudah dijual dalam kemasan sachet dari berbagai merk dengan harga yang sangat terjangkau. Namun karena keadaan dari kopi luwak yang berasal dari kotoran luwak inilah yang mengakibatkan syubhat-syubhat di kalangan muslim, sebagian menghalalkan namun sebagian lagi mengharamkan karena hal itu najis dan menjijikan. Namun manakah pendapat yang benar?

Sebelum kita menjawab hukum mengkonsumsikan kopi luwak ini, perlu dijelaskan bahwa para ulama telah menjelaskan bahwa biji-bijian yang ditelan hewan kemudian dikeluarkan baik dengan cara dimuntahkan ataupun dikeluarkan melalui anus bersama kotorannya, rincian hukumnya adalah sebagai berikut:

1.       Mutanajjis (benda bernajis, secara dzat maka benda ini hukum asalnya tidak najis) bila ketika keluar biji tersebut masih baik, bila ditanam akan tumbuh, maka cukup disucikan dengan dibersihkan kotoran-kotoran yang menempel padanya kemudian dicuci dengan air, maka biji tersebut menjadi suci dan dapat dimakan
2.       Najis, bila telah hancur atau busuk, bila ditanam tidak akan tumbuh lagi. Najis tidak dapat disucikan lagi dan tidak boleh dikonsumsi.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpandangan bahwa kopi luwak itu halal alias tidak haram. Dalam fatwanya disebutkan bahwa memang awalnya biji kopi itu terkena najis, sehingga hukumnya menjadi mutanajjis, lantaran keluar dari anus luwak. Mereka membedakan antara benda najis dengan benda yang mutanajjis. Benda najis adalah benda itu sendiri yang najis. Walaupun dicuci sampai bersih tetap saja benda itu masih menjadi benda najis. Sedangkan benda yang mutanajjis sesungguhnya benda yang suci namun terkena najis. Apabila dicuci hingga bersih dan hilang semua najis yang menempel, maka benda itu adalah benda suci.

Dalam kasus biji kopi yang dimakan oleh luwak, mereka berpendapat bahwa biji keluar dari anus luwak bukan sebagai benda najis, tetapi sebagai benda mutanajjis. Sehingga bila biji kopi itu dicuci dengan bersih, sehingga semua feses atau kotoran yang najis itu hilang, maka biji kopi itu menjadi bersih dan suci kembali.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat dalam Fatwa No. 07 Tahun 2010 menetapkan sebagai berikut:

1.       Kopi luwak adalah mutanajjis, bukan najis
2.       Kopi luwak adalah halal setelah disucikan
3.       Mengkonsumsikan kopi luwak adalah boleh
4.       Memproduksikan dan memperjualbelikan kopi luwak adalah boleh

Dalam berfatwa, MUI menggunakan logika bahwa biji kopi itu diibaratkan seperti biji tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh hewan dan keluar lewat kotoran. Biji itu tidak tercerna di dalam perut hewan itu dan keluar dalam keadaan utuh dan tetap keras. Bahkan biji itu bisa ditanam kembali dan tumbuh menjadi pohon.

Pembahasan mengenai biji-bijian yang ditelan hewan kemudian dikeluarkan kembali sudah sangat umum sekali dalam pembahasan Fiqih khususnya dalam Madzhab Asy-Syafi’i, beberapa ulama Madzhab Asy-Syafi’i berfatwa mengenai hal ini dalam karya-karya mereka, antara lain:

1.       Imam Abu Zakariyya An-Nawawi rahimahullah berkata:

قال أصحابنا رحمه الله إذا أكلت البهمية حبا وخرج من بطنها صحيحا فإن كانت صلابتها باقية بحيث لو زرع نبت فعينه طاهرة لكن يجب غسل ظاهره لملاقاة النجاسة لانه وان صار غذاء لها فما تغير الى الفساد فصار كما لو ابتلع نواة وخرجت فأن باطنها طاهر ويطهر قشرها بالغسل وإن كانت صلابتها قد زالت بحيث لو زرع لم ينبت فهو نجس ذكر هذا التفصيل هكذا القاضى حسين والمتولى والبغوى وغيرهم

“Sahabat kami rahimahullah berkata, ‘Ketika binatang menelan sebuah biji, lalu keluar dari perutnya dalam keadaan utuh, maka harus dilihat dari kerasnya biji itu. Kalau kerasnya biji itu tetap dalam arti ketika biji itu ditanam lantas tumbuh, maka hukum biji itu suci. Tetapi wajib dicuci permukaan biji itu karena bersentuhan dengan najis. Karena, meskipun biji itu merupakan makanan binatang itu, tetapi biji tersebut tidak  menjadi rusak. Ini sama halnya dengan biji yang ditelan binatang, lalu keluar dari duburnya, maka bagian dalam bijinya adalah suci dan suci kulit bijinya dengan dibasuh. Tetapi jika kekerasan biji itu hilang artinya ketika biji ditanam tidak tumbuh, maka hukum biji itu najis.’ Demikian disebutkan secara rinci. Begitulah dikatakan Qadhi Husein, Al-Mutawalli, Al-Baghawi, dan ulama lain.” (Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Jilid 2 hal. 591)

2.       Imam Ramli Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا ، وَيُحْمَلُ كَلَامُ مَنْ أَطْلَقَ نَجَاسَتَهُ عَلَى مَا إذَا لَمْ يَبْقَ فِيهِ تِلْكَ الْقُوَّةِ .وَمَنْ أَطْلَقَ كَوْنَهُ مُتَنَجِّسًا عَلَى بَقَائِهَا فِيهِ كَمَا فِي نَظِيرِهِ مِنْ الرَّوْثِ ، وَقِيَاسُهُ فِي الْبَيْضِ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ صَحِيحًا بَعْدَ ابْتِلَاعِهِ بِحَيْثُ تَكُونُ فِيهِ قُوَّةُ خُرُوجِ الْفَرْخِ أَنْ يَكُونَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا

“Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis. Karena itu, dapat  difahami bahwa pendapat yang menyebutkan kenajisannya secara mutlaq kemungkinan jika tidak dalam kondisi kuat. Sementara itu, pendapat yang menyebut secara mutlaq sebagai mutanajjis kemungkinan dalam kondisi tetap, sebagaimana barang yang terkena kotoran lain. Yang serupa dengan biji-bijian adalah pada  telur, maka jika keluar dalam kondisi utuh setelah ditelan dengan sekira ada kekuatan untuk dapat menetas, maka hukumnya mutanajjis bukan najis.” (Nihayah Al-Muhtaj, Jilid 1 hal. 240)

3.       Syaikh Zainuddin Al-Malibari rahimahullah berkata:

ولو راثت أو قاءت بهيمة حبا، فإن كان صلبا بحيث لو زرع نبت، فمتنجس يغسل ويؤكل، وإلا فنجس

“Seandainya seekor binatang mengeluarkan kotoran atau memuntahkan biji-bijian, jika biji itu tersebut masih keras sekira kalau ditanam masih tumbuh, maka hukumnya adalah mutanajjis yang dapat dibasuh dan kemudian dimakan, tetapi jika tidak keras lagi, maka najis.” (Fathul Muin, Jilid 1 hal. 82)

4.       Ulama besar Nusantara Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata:

نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا

“Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis.” (Nihayatuz Zain, hal. 50)

Dalil atas fatwa-fatwa diatas adalah karena tidak ada keterangan dari dalil syara’ yang mengharamkannya. Karena itu, berlakukan qaidah fiqh berbunyi:

الاصل في الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم

“Asal sesuatu adalah mubah sehingga ada dalil yang mengharamkannya.”

Sedangkan menurut pendapat Madzhab Hambali, untuk hewan yang dagingnya halal dimakan, air kencing dan kotorannya tidak najis. Kalau air kencing atau kotorannya tidak najis, tidak ada `illat untuk mengharamkannya. Dengan kata lain, bisa saja kopi luwak ini dianggap tidak haram karena dalam pandangan Madzhab Hambali kotoran luwak bukan benda najis.

Dasar pengambilan hukum atas ketidaknajisan kotoran hewan yang halal dagingnya adalah hadits berikut:

كَانَ النَّبِىُّ يُصَلِّى قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ

“Dahulu sebelum dibangun Masjid Nabawi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat di kandang kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 429)

قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا

“Beberapa orang dari kabilah 'Ukel dan Urainah singgah di kota Madinah. Tidak berapa lama perut mereka menjadi kembung dan bengkak karena tak tahan dengan cuaca Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mendatangi onta-onta milik Nabi yang digembalakan di luar kota Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu onta-onta tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6805 dan Muslim no. 1671)

Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat disimpulkan bahwa kopi luwak adalah halal dan tidak najis. Yang demikian itu dikarenakan luwak tidak termasuk binatang buas, karena tidak menyerang manusia. Luwak termasuk binatang herbifora yang makanannya adalah buah-buahan. Sebagaimana tidak ada dalil khusus yang mengharamkannya. Dengan demikian kotoran luwak adalah suci dan tidak najis, dan kopi yang keluar bersama kotorannya pun suci dan tidak najis. Terlebih-lebih kopi tersebut sebelum dijadikan minuman telah dicuci dan dibersihkan dari kotoran. Sehingga tidak ada alasan untuk mengharamkannya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

0 Comment for "Hukum Minum Kopi Luwak"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top