“Wahai saudaraku, saya
khawatir terhadapmu kalau engkau bangga dan menampakkan karomah. Para wali
Allah menyembunyikan karomah sebagaimana seorang wanita menyembunyikan darah
haid.” (Syeikh Ahmad Ar-Rifa’i rahimahullah)
Alhamdulillahi
wa shallatu wa sallamu ‘alaa rasulillah, amaba’du. Membaca Kitab Fadhail
A’mal yang biasa dibacakan oleh Jama’ah Tabligh dalam majelisnya dan sering
pula dibacakan kepada masyarakat muslim yang masih awam terbesit sebuah
penasaran penulis terhadap salah satu kisah yang menurut penulis sangat tidak
masuk akal dan bertentangan dengan syari’at islam karena mengandung unsur
khurafat yang sangat kental, kisah ini tercantum dalam Kitab Fadhilah Haji pada
Bab 9 hikayat ke-13 pada halaman 137-138. Pada hikayat ini mengisahkan seorang
wali Allah yang mempunyai karomah yang di luar nalar bahkan bertentangan dengan
syari’at yaitu bahwa seorang wali Allah bernama Syeikh Ahmad Ar-Rifa’i rahimahullah
ta’ala mencium tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
setelah melantunkan beberapa bait syair, dikisahkan bahwa tangan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam keluar dari kuburannya, dan subhanallah ketika penulis
membaca seakan-akan penulis terbawa ke dalam dunia dongeng lebay yang biasa
tersaji di stasiun televisi-televisi kita yang seringkali tidak mendidik.
Karena penasaran tentang hal ini maka penulis pun melakukan kajian mengenai hal
ini dan ternyata hal ini sudah menjadi buah bibir dalam kalangan cendekiawan
islam dan para ahlul ilmi yang menjelaskan mengenai kesesatan Jama’ah Tabligh
ini. Berikut penulis sajikan yang penulis sarikan dari Qoshoshun La
Tatsbut karya Syaikh Masyhur Hasan Alu
Salman Juz 3 hal. 171-247
Di
dunia sufi ada sebuah kisah yang sangat terkenal. Kisahnya, konon pada tahun
550H, Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i menunaikan ibadah haji dan beliau berziarah ke
Masjid Nabawi lalu berdiri menghadap kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam seraya berkata, “Assalamu’alaykum wahai kakekku.” Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab, “Wa’alaykumussalam wahai anakku.” Kejadian ini
didengar oleh semua orang yang berada di Masjid yang saat itu mencapai sembilan
puluh ribu orang.
Seketika
itu tubuh Syaikh Ar-Rifa’i bergetar, wajahnya pucat, dan kedua kakinya pun
langsung lemah lunglai. Saat beliau sudah bisa menguasai diri, beliau pun
berdiri lali berkata, “Duh, wahai kakekku.” Lalu beliau menyenandungkan sebuah
bait syair :
Dari jauh kukirimkan rohku
‘Tuk mencium tanah sebagai
pengganti diriku
Inilah diriku sekarang
hadir
Maka julurkanlah tanganmu
agar bibirku mampu meraihnya
Sebuah
keajaiban terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjulurkan
tangan beliau nan mulia dari dalam kubur. Syaikh Ar-Rifa’i pun mencium
tangan beliau. Kejadian ini disaksikan oleh semua yang hadir saat itu. Mereka
semua melihat tangan beliau nan mulia. Saat itu yang juga hadir dan menyaksikan
kejadian tersebut adalah Syaikh Abdul Qodir Jailani, Syaikh Hayat bin
Qois Al-Harroni, Syaikh Khomis, Syaikh Adi bin Musafir Asy-Syami,
serta masih banyak lagi masyayikh lainnya.
Kemasyhuran Kisah Ini
Kisah
ini sangat masyhur dalam dunia sufi, terutama terekat Rifa’iyyah. Hampir tidak
ditemukan satu pun kitab yang membahas tentang keutamaan tokoh-tokoh sufi yang
ditulis para tokoh sufi belakangan melainkan pasti menyebutkan kejadian ini. Di
antara mereka yang menyebutkannya adalah:
- Muhammad Abul-Huda Ar-Rifa’i Ash-Shoyyadi dalam banyak kitabnya. Bahkan dia menulis kitab yang khusus membahas masalah ini.
- Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi dalam Tanwirul Halak Fi Imkani Ru’yatin Nabi wal Malak
- Ahmad Al-Farutsi, dan masih banyak lainnya.
Bahkan
sebagian tokoh tarekat Rifa’iyyah mengancam orang yang tidak mempercayai kisah
ini. Ancaman mereka sangat keterlaluan. Lihatlah apa yang dikatakan
oleh Ash-Shoyyadi dalam Qiladatul Jauhar Hal.104, “Keluarnya tangan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dari kuburnya) untuk Sayyid
Ahmad Rifa’i adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Tidak ada yang meragukannya
kecuali orang yang menyimpang lagi sesat atau bahkan munafik yang hatinya telah
ditutupi oleh Allah ta’ala. Dan mengingkarinya akan mengakibatkan su’ul
khotimah.” Dia juga berkata, “Mengingkari karomah ini sebuah kekufuran.”
Sisi Kebathilan Kisah Ini
Kisah
ini sama sekali tidak ada asal usulnya. Hal ini bisa dilihat dari banyak sisi:
1.
Para penulis biografi tokoh
sufi yang pertama seperti As-Subki, Asy-Sya’roni, Ibnul Mulaqqin dan
lainnya tidak ada satupun yang menyebutkan kisah ini, padahal masa hidup mereka
lebih dekat kepada masa hidup Ar Rifa’i dibandingkan dengan para tokoh sufi
belakangan seperti asy Shoyyadi. Dan sama sekali tidak masuk akal kalau para
ulama tadi yang telah menyebutkan semua yang terjadi
pada Ar-Rifa’i -hingga kisah tentang belalang dan lalat- tetapi
tidak menyebutkan kejadian besar ini.
2.
Para pencatat sejarah yang
bukan dari kalangan suffiyah seperti Imam Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir dan
Ibnu Kholikan pun tidak ada yang menyebutkan kejadian ini. Seandainya ini
benar-benar terjadi pastilah mereka akan menyebutkannya. Kenyataanya, mereka
tidak menyebutkannya padahal banyak kejadian lainnya yang mereka sebutkan,
seperti bermain-main dengan ular, menunggangi binatang buas, ataupun lainnya.
Sebab itu, hampir mustahil kalau kisah ini benar-benar terjadi lalu mereka
menyepelekannya.
3.
Para tokoh sufi belakangan
yang meriwayatkan kisah tersebut juga meriwayatkan bahwa Rifa’i pada tahun
berikutnya kembali menunaikan haji dan menziarahi kubur Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam lalu dia menyenandungkan satu bait syair:
Jika kukatakan: kalian
berziarah dengan apa yang kalian bawa pulang
Lalu apa yang kami katakan
wahai Rasul yang paling mulia.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dari alam kubur dan didengar oleh
semua yang hadir pada saat itu:
Katakanlah: Kami pulang
dengan membawa segala kebaikan
Maka berkumpullah cabang
dengan pokoknya.
Dalam
kisah ini dan lainnya ditunjukkan bahwa Ar-Rifa’i selalu berbicara kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sebuah bait syair, lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawabnya dengan syair.
Padahal hal ini tidak pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam semasa hidup, bahkan tidak layak bagi beliau untuk melantunkan
bait syair. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan tidaklah Kami mengajarkan kepadanya (Nabi
Muhammad) syair dan itupun tidak layak baginya…” [QS.Yasin [36] : :69]
4.
Jika hal ini benar-benar
terjadi bahwa ar Rifa’i berbicara dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan mencium tangan beliau dalam keadaan terjaga bukan hanya di
alam mimpi, maka hal ini berkonsekuensi bahwa beliau seorang sahabat. Ini
mustahil terjadi.
5.
Diceritakan dalam kisah
tersebut bahwa saat itu di Masjid terdapat sekitar sembilan puluh ribu orang,
semua menyaksikan keluarnya tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan dicium oleh Ar-Rifa’i.
Mungkinkah
ini terjadi? Dengan jumlah sebanyak itu, tidak mungkin mereka melihatnya pada
satu waktu melainkan harus antri untuk bisa mengetahuinya. Ataukah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tetap menjulurkan tangannya seharian atau bahkan beberapa
hari (agar seluruh orang yang hadir bisa melihatnya)?
6.
Ash-Shoyyadi menyebutkan
bahwa salah satu orang yang menyaksikan ini adalah Syaikh Abdul
Qodir Al-Jailani. Lalu mengapa beliau tidak pernah menyebutkan peristiwa
agung tersebut dalam kitab-kitab beliau, tidak dalam al Ghunayah dan tidak pula
terdapat dalam Al-Fathur Robbani? Juga para ulama menceritakan riwayat
hidup Al-Jailani tidak ada satupun yang menyebutkan bahwa beliau pernah
menyaksikan kejadian hebat yang di alami oleh Ar-Rifa’i tersebut.
7.
Kedua bait syair yang
katanya dilantunkan oleh Ar-Rifa’i tadi ternyata juga dinisbahkan kepada
selain beliau. Al-Alusi berkata, “Kebanyakan para ulama dan sastrawan arab
menisbahkan kedua bait syair ini kepada selain Ar-Rifa’i.”
8.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tidak pernah melakukan hal ini terhadap anak istri, anak
keturunan, dan para sahabat beliau. Padahal, sepeninggal beliau mereka banyak
mengalami kejadian-kejadian besar. Fathimah pernah mengalami kesedihan
mendalam, Aisyah pernah pergi ke Bashrah yang berakhir dengan perang Jamal,
terjadi fitnah berkepanjangan antara kaum muslimin pada saat perang Shiffin.
Lalu mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar dari
kuburnya? Apakah Ar-Rifa’i lebih mulia daripada mereka semua?
Tidak
diragukan lagi bahwa Ar-Rifa’i adalah seorang Imam dan berjalan di atas
sunnah karena memang begitulah yang diriwayatkan oleh para ulama tentang
beliau, namun keimaman beliau tidak akan bisa mengalahkan keutamaan sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
9.
Ar-Rifa’i sendiri
melarang menampakkan karomah. Beliau memandang bahwa hal tersebut akan membawa
fitnah. Beliau pernah berkata, “Wahai saudaraku, saya khawatir terhadapmu
kalau engkau bangga dan menampakkan karomah. Para wali Allah menyembunyikan
karomah sebagaimana seorang wanita menyembunyikan darah haid.”
Sedangkan
menurut kisah di atas Ar-Rifa’i sengaja membawa jama’ah yang sangat banyak
ke Masjid Nabawi untuk memperlihatkan karomahnya.
Dan
masih ada beberapa hal lain yang makin menguatkan bahwa kisah tersebut adalah
sebuah kedustaan yang dibuat-buat atas nama Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i
rahimahullah.
Faedah
Mungkinkah
seseorang melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan
terjaga setelah wafatnya beliau? Orang-orang yang menganggap mungkin bertemu
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah wafatnya beliau
sama sekali tidak bisa mendatangkan dalil walau satu saja baik yang shohih,
lemah sampaipun palsu. Hanya ada beberapa kisah dari tokoh sufi yang mengaku
pernah bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi
semuanya sama sekali tidak punya sandaran yang kuat.
Satu-satunya
dalil yang bisa dan sering mereka gunakan untuk menyatakan kemungkinan ini
adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi maka dia akan
melihatku dalam keadaan terjaga karena setan tidak bisa menyerupakan diri
denganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Namun
hadits ini mempunyai banyak kemungkinan makna yang diperselisihan para ulama
menjadi tujuh pendapat, sebagaimana yang disyaratkan oleh Al-Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah. Secara global pendapat-pendapat ini adalah :
1.
Barangsiapa yang bermimpi
bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau masih
hidup dan dia belum pernah melihat beliau, maka mimpinya ini adalah berita
gembira baginya bahwa dia akan bertemu dengan beliau sebelum meninggal dunia.
Ini dikatakan oleh Ibnu Tin.
2.
Barangsiapa yang mimpi
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam niscaya akan melihat
takwil mimpi tersebut dan akan menjadi kenyataan. Ini dikatakan oleh Ibnu
Bathol.
3.
Hadits ini berarti
penyerupaan, sebagaimana dalam sebagian riwayat lainnya dengan
lafazh: “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi maka seakan-akan dia melihatku
saat terjaga.”
4.
Siapa saja yang bermimpi
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam niscaya dia akan
melihatnya dalam cermin yang pernah dipakai oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam untuk bercermin. Ini dikatakan oleh Ibnu Abi Jamroh namun
pendapat ini sangat lemah.
5.
Barangsiapa yang mimpi
bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam niscaya akan
melihat beliau di akhirat nanti. Berdasarkan makna ini, hadits ini merupakan
berita gembira bagi yang mimpi melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bahwa dia akan wafat dalam keadaan iman lalu nantinya dia akan
masuk ke dalam surga dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Insya Allah, inilah pendapat yang paling kuat tentang makna hadits ini.
6.
Bisa jadi maksud dari mimpi
tersebut adalah makna bentuk yang dilihatnya, yaitu tentang agama dan syari’at
beliau.
7.
Barangsiapa yang mimpi
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam niscaya akan melihat
beliau dalam keadaan terjaga dialam dunia ini. Pendapat yang
ketujuh inilah yang banyak dijadikan sandaran para tokoh sufi dalam
klaim mereka bahwa mereka bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam keadaan terjaga. Namun, kebenaran pendapat ini sangat
diragukan bila dilihat dari banyak sisi.
Pertama:
Jika memungkinkan bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam keadaan terjaga, niscaya siapa pun yang bertemu dengan beliau akan
menjadi sahabat yang berkonsekuensi bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam akan tetap ada sampai hari kiamat.
Kedua:
Banyak sekali orang yang mimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam namun tidak semuanya bercerita bahwa dia bertemu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam saat terjaga. Padahal kabar dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tidak mungkin salah.
Ketiga:
Para ulama sangat keras pengingkaran nya atas klaim ini. Di antaranya ialah apa
yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthubi yang dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari: “Pendapat ini berkonsekuensi bahwa semua yang pernah
melihat beliau itu mesti dalam bentuk saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam wafat. Tidak mungkin pula beliau dilihat oleh dua orang atau lebih
di tempat yang berbeda dalam satu waktu. Juga, ini berkonsekuensi bahwa
sekarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup sehingga
bisa mendatangi dan berbicara dengan mereka. Selain itu, kuburan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam akan kosong dari jasad beliau sehingga orang-orang yang
berziarah hanya menziarahi tanahnya saja karena tidak ada beliau.
Pendapat-pendapat ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang pun yang akalnya
masih sehat.”
Karomah Para Wali Allah Benar-Benar Ada
Kami
berharap, setelah keterangan di atas, jangan ada seorang pun yang menuduh bahwa
kami mengingkari karomah para wali Allah. Kebenaran akan adanya karomah bagi
mereka tidak diingkari oleh seorang pun Ahlus Sunnah.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Aqidah Wasithiyyah-Nya:
“Di antara pokok-pokok Ahlus Sunnah adalah mempercayai adanya karomah bagi para
wali dan apa yang Allah anugerahkan pada mereka yang berupa perkara luar biasa
baik yang berupa ilmu, mukasyafah, kemampuan, maupun pengaruh. Dan ini pernah
terjadi pada umat sebelum kita sebagaimana yang terdapat dalam Surah al Kahfi,
juga pada generasi pertama umat ini dari kalangan para sahabat dan tabi’in dan
juga lainnya. Dan ia akan terus ada sampai hari kiamat.”
0 Comment for "Syaikh Ahmad Ar-Rifa'i rahimahullah Mencium Tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?"